BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyandang cacat tubuh atau disabilitas tubuh merupakan bagian yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Sebelumnya istilah Disabilitas. disebagian masyarakat Indonesia berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. Penyandang cacat tubuh pada dasarnya sama dengan manusia normal lainnya,

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS

Partisipasi Penyandang Cacat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENYANDANG CACAT

2016 MINAT SISWA PENYANDANG TUNANETRA UNTUK BERKARIR SEBAGAI ATLET

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang eksis hampir di semua masyarakat. Terdapat berbagai masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN. Masalah mengenai kependudukan merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama

BAB I PENDAHULUAN. dan dirawat dengan sepenuh hati. Tumbuh dan berkembangnya kehidupan seorang

BAB I PENDAHULUAN. kemanusiannya. Pendidikan dalam arti yang terbatas adalah usaha mendewasakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyandang cacat terdapat di semua bagian bumi serta pada semua

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

PP 43/1998, UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. adalah lingkungan pertama yang dimiliki seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan,

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian.

WALI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN LANJUT USIA

mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas umum Pemerintahan dan pembangunan dibidang kesejahteraan sosial dan keagamaan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG PENJELASAN ATAS UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG KESEJAHTERAAN LANJUT USIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT,

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. pemutusan hubungan kerja atau kehilangan pekerjaan, menurunnya daya beli

BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 116/PUU-XIII/2015 Jangka Waktu Pengajuan Gugatan Atas Pemutusan Hubungan Kerja

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

Pembangunan bidang Kesejahteraan Sosial merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan Nasional yang bertujuan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. bersiap-siap mengakses dan menangani klien-klien lansia. Terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia saat ini dapat dikatakan memiliki angka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG KESEJAHTERAAN LANJUT USIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan kemampuan bicara (Somantri, 2006). selayaknya remaja normal lainnya (Sastrawinata dkk, 1977).

BAB I PENDAHULUAN. ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki tubuh dan alat indera yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dirumuskan bahwa fakir miskin dan

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia Hal 4

PMKS YANG MENERIMA BANTUAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Panti Sosial Bina Remaja sebagai salah satu Panti Sosial dari Unit Pelaksana

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kecelakaan, termasuk polio, dan lumpuh ( Anak_

halnya lansia yang bekerja di sektor formal. Hal ini menyebabkan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh lanjut usia terlantar.

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 4 Tahun T e n t a n g PENYANDANG CACAT

BAB I PENDAHULUAN. sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menghormati,

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN BAGI LANJUT USIA

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilandasi oleh tujuan untuk penciptaan keadilan dan kemampuan bagi

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. dalam diri manusia. Sebagai hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, hak

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam

PEMERINTAH KOTA PAREPARE RINCIAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH,ORGANISASI, PENDAPATAN,BELANJA DAN PEMBIAYAAN TAHUN ANGGARAN 2015

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUPLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Capacity Building Workshop on Supporting Employability of Persons with Disability

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS SOSIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan. Rumah Singgah Anak Mandiri

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

13 PEMENUHAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN ANAK ASUH DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. sosial lainnya. Krisis global membawa dampak di berbagai sektor baik di bidang ekonomi

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RAPAT KOORDINASI DAN PENGENDALIAN DINAS SOSIAL PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2016 TRIWULAN III. Disampaikan Oleh Dr. GUNTUR TALAJAN,SH.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KESETARAAN KEMANDIRIAN DAN KESEJAHTERAAN DIFABEL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2009 NOMOR : 26 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR : 26 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,

Jl. Sukarno Hatta Giri Menang Gerung Telp.( 0370 ) , Fax (0370) Kode Pos TELAAHAN STAF

PUSAT PERAWATAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ARSITEKTUR PERILAKU TUGAS AKHIR TKA 490 BAB I PENDAHULUAN

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini penitipan orang tua ke panti jompo menjadi alternatif pilihan

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

PEMERINTAH KABUPATEN BIMA DINAS SOSIAL Jl. Garuda No. 2 Tlp. (0374) 43229

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Banyak cara yang telah dilakukan oleh Indonesia untuk menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dipercayai sebagai wahana perluasan akses dan mobilitas sosial. dalam masyarakat baik secara horizontal maupun vertikal.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia saat ini mudah dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. keadaan bangsa mendatang tergantung dari usaha yang dilakukan bangsa tersebut

DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH PEMERINTAH KOTA CIMAHI TAHUN ANGGARAN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pengklasifikasian anak itu sudah dibagi dengan jelas. Untuk anak yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan yang memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup secara layak. Tujuan dari pembangunan kesejahteraan sosial adalah terwujudnya pemerataan dan keadilan sosial. Oleh karena itu, prinsip dasar yang terkandung di dalamnya yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup yang layak menurut kemanusiaan, termasuk mereka yang mengalami disfungsi dalam kehidupan karena kecacatan. Setiap manusia pasti menginginkan hidup normal tanpa ada kekurangan suatu apapun di dalam dirinya baik secara fisik, mental maupun perilaku sosial. Menurut Maslow salah satu kebutuhan manusia yang paling penting didalam hidupnya adalah kebutuhan akan harga diri. Kebutuhan akan harga diri dibagi dalam dua bagian. Pertama: adalah penghormatan atau penghargaan pada diri sendiri yang mencakup pada rasa percaya diri, kemandirian, dan kekuatan pribadi. Berarti seseorang ingin meyakinkan bahwa dirinya berharga serta mampu mengatasi segala tantangan dalam hidupnya. Kedua: adalah penghargaan dari orang lain, yang meliputi prestasi dan pengakuan dari orang lain. Apabila kebutuhan akan harga diri pada individu itu terpuaskan maka akan menghasilkan sikap percaya diri, rasa berharga, rasa kuat dan mampu serta perasaan berguna.

Sebaliknya pemuasan kebutuhan akan harga diri itu terhambat maka akan menghasilkan sikap rendah diri, rasa tak pantas, rasa lemah, rasa tidak mampu dan perasaan tidak berguna, yang menyebabkan seseorang mengalami kehampaan keraguan dan keputusasaan dalam menghadapi tuntutan-tuntutan hidupnya serta penilaian yang rendah atas dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Hal ini berlaku pada setiap manusia ciptaan Tuhan, tak terkecuali pada orang cacat terutama cacat tubuh (Nurdin, 1989:20). Kita ketahui bahwa di negara-negara Asia nasib penyandang cacat kurang beruntung termasuk di Indonesia. Perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap penyandang cacat sangat rendah. Dari sekitar 20-25 juta penyandang cacat di Indonesia, sekitar 10 juta adalah lansia dan lainnya adalah penyandang cacat lain. Kini, 210 juta jiwa lebih penduduk telah mendiami negara Indonesia. Mereka tersebar di ribuan pulau dalam beragam etnis, budaya, dan agama. Sementara dari 210 juta jiwa lebih penduduk tersebut 5% nya kalangan cacat. Menurut jenis kecacatan, penyandang cacat (difabel) dapat dikelompokkan atas empat jenis, yaitu penyandang cacat fisik/tunadaksa (physically disabled persons), penyandang cacat mental/tunagrahita (mentally retarded persons), penyandang cacat mata/tunanetra dan penyandang cacat telinga/tunarungu. Dari jenis cacat tersebut penyandang cacat fisik memiliki potensi yang paling besar sebagai sumber daya manusia untuk berperan dalam proses pembangunan kesejahteraan sosial umumnya pada sektor lapangan kerja baik di sektor formal maupun informal.

Menurut Survei Sensus Nasional (SUSENAS) tahun 2004 mencatat, bahwa penyandang cacat berjumlah sekitar 1,85 juta orang (tidak termasuk mereka yang sedang atau telah menerima pelayanan), diantara kriterianya adalah ketidakmampuan melakukan fungsi sosial atau tidak produktif (http://thor.prohosting.com/~arema/malang/prokesos/pedoman.htm). Jumlah penyandang cacat yang begitu besar tersebut perlu mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah agar mereka tidak selamanya terbelenggu dengan kecacatannya sehingga menjadi beban di keluarganya, masyarakat maupun pemerintah. Pemerintah wajib mensejahterakan penyandang cacat walaupun dengan keterbatasan fisik atau psikis yang mereka derita. Sebab seringkali dalam realita kehidupan mereka mengalami distriminasi dan perlakuan yang tidak baik. Penyandang cacat bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau disingkirkan, justru dengan kondisi mereka yang seperti itu patut untuk dibantu agar mereka dapat berfungsi sosial kembali dengan keterbatasan yang dimiliki sehingga mampu mandiri ditengah-tengah masyarakat luas. Langkah yang dianggap paling efektif adalah dengan memberikan pendidikan dan pelatihan keterampilan yang memadai bagi mereka sehingga mereka dapat melayani dirinya sendiri dan tidak tergantung pada orang lain, baik secara ekonomi maupun sosial. Kecacatan diartikan sebagai hilang atau terganggunya fungsi fisik atau kondisi abnormalitas fungsi struktur anatomi, psikologi, maupun fisiologi seseorang. Kecacatan telah menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau gangguan terhadap fungsi sosialnya sehingga mempengaruhi keleluasan aktifitas

fisik, kepercayaan dan harga diri yang bersangkutan, dalam berhubungan dengan orang lain maupun dengan lingkungan. Kecacatan pada dasarnya berkaitan dengan tidak berfungsinya salah satu bagian fisik maupun psikis, sehingga tidak berfungsinya salah satu bagian dari fisik dan psikis sama sekali tidak ada kaitannya dengan mampu atau tidak mampunyai seseorang secara keseluruhan. Kebebasan yang dapat diwujudkan bagi para penyandang cacat adalah dilengkapinya sarana dan prasarana bagi para penyandang cacat agar mereka dapat beraktifitas tanpa mengalami keterbatasan-keterbatasan yang cukup mengganggu, seperti fasilitas kendaraan umum, tempat parkir khusus bagi para penyandang cacat, fasilitas tangga dan sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan sarana yang dapat menunjang mereka dalam berkreasi. Definisi Penyandang Cacat Menurut Undang-undang Nomor : 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental; dan (c) penyandang cacat fisik dan mental. PBB menetapkan pada tanggal 3 Desember sebagai Hari Internasional Penyandang Cacat (Hipenca) dan 10 Desember sebagai Hari Internasional Hak Asasi Manusia. Hak penyandang cacat adalah termasuk bagian dari hak asasi manusia. Undang-undang No. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak,

kewajiban, dan peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan (http://depsos.go.id/modules.php?name=newa&file=print&sid=917). Kondisi seperti ini menyebabkan terbatasnya kesempatan bergaul, bersekolah, bekerja dan bahkan kadang-kadang menimbulkan perlakuan diskriminatif dari mereka yang tidak cacat. Sisi lain dari kecacatan adalah pandangan sebagian orang yang menganggap kecacatan sebagai kutukan, sehingga mereka perlu disembunyikan oleh keluarganya. Perlakuan seperti ini menyebabkan hak penyandang cacat untuk berkembang dan berkreasi sebagaimana orang-orang yang tidak cacat tidak dapat terpenuhi. Masalah kecacatan akan semakin diperberat bila disertai dengan masalah kemiskinan, keterlantaran, dan keterasingan. Setiap manusia pasti berpendapat bahwa memiliki kaki dan tangan merupakan organ tubuh yang memiliki peranan sangat penting untuk mobilitas. Hal ini disebabkan dengan memanfaatkan kedua jenis organ tubuh tersebut, manusia dapat melengkapi dan merealisasikan segala keinginan untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, baik yang dilakukan secara parsial maupun integral bersama organ sensoris pendukung lainnya. Atas dasar itulah, apabila fungsi kedua anggota tubuh tersebut mengalami gangguan, baik sebagian atau keseluruhan, yang disebabkan oleh luka pada bagian saraf otak (cerebral palsy), kelainan pertumbuhan, ataupun amputasi, akan mempengaruhi mobilitas hidup yang bersangkutan. Masyarakat sering menyebutnya dengan istilah tunadaksa.

Seseorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luku, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan (Efendi, 2006:114). Keanekaragaman pengaruh perkembangan yang bersifat negatif menimbulkan resiko bertambah besarnya kemungkinan munculnya kesulitan dalam penyesuaian diri pada penderita tunadaksa. Hal ini berkaitan erat dengan perlakuan masyarakat terhadap kehadiran mereka. Sebenarnya kondisi sosial yang positif menunjukkan kecendrungan untuk menetralisasikan akibat keadaan tunadaksa tersebut. Nampak atau tidak nampaknya keadaan tunadaksa itu merupakan faktor yang penting dalam penyesuaian diri penderita tunadaksa dengan lingkungannya, karena hal itu sangat berpengaruh terhadap sikap dan perlakuan orang normal terhadap penderita tunadaksa. Keadaan tunadaksa yang tidak nampak lebih memungkinkan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan wajar dibandingkan apabila ketunadaksaan tersebut nampak. Pemerintah tentunya diharapkan menjadi pemicu sekaligus pemacu terciptanya suasana dan iklim yang ramah terhadap para penyandang cacat. Regulasi Pemerintah berkaitan dengan Hak-hak Penyandang Cacat Undangundang No. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pada pasal 6 dijelaskan bahwa setiap

penyandang cacat berhak memperoleh : (1) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (2) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; (3) perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; (4) aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; (5) rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan (6) hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat ( Adapun suatu bentuk yang harus dilakukan oleh semua daerah di pelosok dunia (termasuk di Indonesia) adalah dengan memberikan aksesibilitas, yaitu lingkungan yang memberi kebebasan dan keamanan yang penuh terhadap semua orang tanpa adanya hambatan. Aksesibilitas juga berguna buat orang lanjut usia, semua orang yang mederita cacat, ibu hamil, anak-anak, orang yang mengangkat beban berat, dan sebagainya. Contoh bentuk aksesibilitas adalah, memberi tanjakan atau ramp pada jalur tangga, supaya mereka yang menggunakan kursi roda atau yang tidak sanggup naik tangga, tetap bisa melewatinya. Juga pegangan pada setian jalan, atau kamar mandi, dan sebagainya. Upaya penanganan pemerintah, dalam hal ini terkhusus Dinas Sosial dalam penanganannya menghadapi masalah kemandirian penyandang cacat melalui melakukan program pendidikan dan keterampilan untuk mereka. Dengan demikian mereka dapat berdaya dan mandiri dalam arti agar kesejahteraan hidupnya meningkat baik fisik, mental, dan sosial yang bernuansa pemerataan keadilan, peningkatan kemampuan dan kesempatan didalam menghadapi

permasalahan sosial supaya mereka dapat melaksanakan fungsi sosialnya (social functioning) di tengah-tengah lingkungannya. Kelompok Usaha Bersama (KUBE) merupakan salah satu pendekatan yang digunakan Program Dinas Sosial dalam memberdayakan para penyandang cacat terkhusus tunadaksa pada keterampilan guna untuk mendorong kemandirian dan meningkatkan kemampuan mereka. Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sebagai Program Dinas Sosial yang diluncurkan oleh pemerintah RI. KUBE dibentuk dengan harapan agar para penyandang cacat khususnya tunadaksa dapat tereliminir sedikit demi sedikit. Pembentukan KUBE dimulai dengan proses pembentukan kelompok sebagai hasil bimbingan sosial, pelatihan keterampilan berusaha, bantuan stimulun, dan pendampingan. Sasaran program kesejahteraan sosial (PROKESOS) dalam kaitan dengan kebijakan MPMK adalah PMKS yang hidup dibawah garis kemiskinan dengan rincian sebagai berikut: Pertama: Keluarga Fakir Miskin yang dibina melalui Program Bantuan Kesejahteraan Sosial Fakir miskin; Kedua: Kelompok Masyarakat Terasing yang dibina melalui Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing; Ketiga: Para Penyandang Cacat yang dibina melalui Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat; Keempat: Lanjut Usia yang dibina melalui Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia; Kelima: Anak Terlantar yang dibina melalui Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar; Keenam: Wanita Rawan Sosial Ekonomi yang dibina melalui Program Peningkatan Peranan Wanita di Bidang Kesejahteraan Sosial; Ketujuh: Keluarga Muda Mandiri yang dibina melalui Program Pembinaan

Keluarga Muda Mandiri; Kedelapan: Remaja dan Pemuda yang dibina melalui Program Pembinaan Karang Taruna; Kesembilan: Keluarga Miskin di Daerah Kumuh yang dibina melalui Program Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh (RSDK) (http://thor.prohosting.com/~arema/malang/prokesos/pedoman.htm). Adapun tujuan KUBE adalah memberikan keterampilan (skill) khususnya menjahit bagi penyandang cacat terkhusus untuk tunadaksa didalam memandirikan mereka melalui kelompok usaha bersama. Program KUBE dikonseptualisasikan di penyandang cacat (PC) Lanita Medan. Ini salah satu dari banyaknya KUBE penyandang cacat yang ada di Medan yang menjadi program Dinas Sosial yang dilihat berpeluang didalam memberikan keterampilan bagi penyandang cacat yang ada di sekitar Jln. Perjuangan, Pancing. PC Lanita merupakan sebuah wadah yang menjadi tempat untuk para penyandang cacat yang membutuhkan keterampilan khususnya kursus menjahit. PC Lanita juga tidak memberi batasan bagi siapa saja yang mau mendapatkan keterampilan menjahit sekalipun orang tersebut memiliki tubuh normal. Dengan melihat tingginya perhatian pemerintah terhadap program KUBE yang dikerjakan oleh Dinas Sosial terkhusus untuk KUBE PC Lanita, maka peneliti tertarik meneliti peranan program kelompok usaha bersama Lanita Medan dalam meningkatkan keberfungsian sosial penyandang cacat.

1.2 Perumusan Masalah Masalah merupakan bagian pokok dari suatu kegiatan penelitian (Arikunto, 1992:47). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan: bagaimana peranan KUBE Lanita dalam meningkatkan keberfungsian sosial penyandang cacat?. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana peranan kelompok usaha bersama PC Lanita di Medan. 2. Untuk memperoleh data dan informasi secara langsung realistis dan objektif mengenai peranan kelompok usaha bersama Lanita di Medan. 1.3.2 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini dapat memperkaya khasanah penelitian. Khususnya Ilmu Kesejahteraan Sosial, terutama mengenai permasalahan sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat saat ini. 2. Penelitian ini diharapkan dapat melatih dan mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir secara ilmiah dengan menerapkan pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu

Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 3. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi peneliti dalam pengembangan Ilmu Kesejahteraan Sosial dan bagi lembaga Lanita yang terkait dalam melaksanakan pembinaan terhadap penyandang cacat. 1.4 Sistematika Penulisan Penulisan ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan tentang teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep, dan definisi operasional. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data. BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan tentang gambaran umum mengenai lokasi dimana peneliti melakukan penelitian.

BAB V : ANALISA DATA Bab ini berisikan tentang uraian data dari hasil peneliti dan analisanya. BAB VI : PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat dari hasil penelitian.