BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan kondisi yang progresif meskipun pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi diabetes menimbulkan beban finansial dan medis yang besar (Graffy et al., 2010). Diabetes melitus ditandai dengan peninggian kadar gula darah dan menyebabkan penurunan kualitas dan harapan hidup, dengan lebih besar risiko penyakit jantung, stroke, neuropati perifer, penyakit ginjal, kebutaan dan amputasi (Thevenod, 2008). Banyak penelitian epidemiologi menunjukkan kecenderungan terjadinya peningkatan insidensi dan prevalensi diabetes melitus tipe 2 di penjuru dunia. World Health Organization (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Prevalensi DM sebesar 14,7% di daerah urban dan 7,2% di daerah rural (PERKENI, 2011). Sedangkan prevalensi DM yang tidak terdiagnosis di Indonesia sebesar 4,1 % dari 5,6% prevalensi diabetes (Pramono et al., 2010). Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi diabetes melitus berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 persen pada tahun 2007 menjadi 2,1 persen pada tahun 2013. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes
yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur 3,3%. Sebanyak kurang lebih 25% pasien yang baru terdiagnosis DM sudah terjadi retinopati diabetik atau mikroalbuminuria. Sekitar sepertiga dari penyandang diabetes tidak mengetahui mereka menyandang DM, dan rentang waktu antara onset dan terdiagnosis rata-rata 7 tahun (Saudek et al., 2008; Patel, 2010). Periode preklinis DM sampai 12 tahun, sehingga diabetes menjadi tidak terdiagnosis 1/3 sampai 1/2 dari semua penyandang DM tipe 2 selama periode tersebut, dan mereka telah mengalami komplikasi pada saat terdiagnosis (Woolthuis et al.,2009). Diagnosis awal DM sangat penting karena manajemen yang baik dapat mengurangi komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler (Bennet et al., 2007). Diagnosis yang terlambat dikarenakan kebijakan, peran medis, akses pasien dan penerimaan kriteria diagnosis yang berbeda-beda, oleh karena itu tenaga medis harus lebih teliti dalam mendiagnosis DM untuk mengurangi kesalahan diagnosis terutama pada pasien dengan obesitas dan peningkatan ringan kadar glukosa darah puasa (Samuels et al., 2006). Diabetes merupakan penyakit yang dapat diterapi, dan pemeriksaannya dapat diterima baik dan terjangkau oleh pasien. Penanganan DM sejak awal akan memperbaiki komplikasi mikrovaskuler, namun skrining universal belum diketahui dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas yang disebabkan DM (Patel, 2011). Penelitian kohort menunjukkan deteksi dini diabetes akan
memperbaiki outcome, meskipun bukti dasar untuk skrining massal lemah (Noble et al., 2011). Skrining tidak dianjurkan secara masal karena biaya mahal dan umumnya tidak dilakukan tindak lanjut bagi mereka yang ditemukan kelainan (PERKENI, 2011). Skrining DM tipe 1 tidak direkomendasikan karena terapi tidak dapat mencegah progesi DM tipe 1 pada pasien yang teridentifikasi mempunyai risiko tinggi berdasarkan riwayat keluarga dan antibodi sel islet yang positif. Berbeda dengan DM tipe 2, dengan pengobatan dan intervensi gaya hidup dapat menurunkan risiko diabetes. Skrining dan penatalaksanaan gangguan toleransi glukosa pada pasien yang berisiko DM mungkin cost effective, namun data skrining DM tipe 2 masih kurang (Patel dan Macerollo, 2010).. Dokter layanan primer didorong untuk lebih proaktif dalam mendeteksi dini dan melakukan penatalaksanaan baik diabetes maupun prediabetes. American Diabetes Association (ADA, 2013) merekomendasikan tes untuk mendeteksi diabetes tipe 2 dan prediabetes yang tanpa gejala bagi usia dewasa umur berapapun dengan berat badan berlebih atau obese (BMI > 25 kg/m 2 ) dan mempunyai faktor risiko diabetes. United States Preventive Services Task Force (USPSTF) tahun 2011 merekomendasikan skrining untuk DM tipe 2 dilakukan pada mereka dengan usia dewasa yang mempunyai tekanan darah > 135/80 mmhg baik yang diterapi atau tidak diterapi. American Academy of Family Phycisian (AAFP, 2007) merekomendasikan skrining diabetes tipe 2 dilakukan pada mereka yang hipertensi dan hiperlipidemia. Menurut PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia) tahun 2011, skrining dilakukan pada mereka yang mempunyai faktor risiko DM, namun tidak menunjukkan gejala DM. Diabetes paling sering dikaitkan dengan usia tua, obesitas, riwayat keluarga diabetes, riwayat diabetes gestasional, inaktifitas fisik, dan etnik tertentu (Singh, 2011). Lebih dari 95% populasi diabetes melitus adalah diabetes melitus tipe 2 sebagai hasil interaksi lingkungan gen untuk beberapa faktor risiko seperti umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, obesitas dan hipertensi. Salah satu strategi pencegahan diabetes adalah skrining pada kelompok risiko tinggi. Individu yang diketahui berisiko tinggi adalah yang mempunyai riwayat keluarga diabetes, riwayat diabetes gestasional, kadar glukosa darahnya diketahui meningkat secara moderat, dan hipertensi (Eriksson, 2001). Faktor risiko digunakan untuk mendeteksi diabetes yang belum terdiagnosis dan insiden diabetes (Philips et al., 2013). Pola penurunan gen diabetes masih belum jelas meskipun sudah dilakukan penelitian gen yang berkontribusi terhadap perkembangan diabetes. Belum diidentifikasi gen yang tepat menyebabkan diabetes. Diabetes disebabkan multifaktorial, namun begitu riwayat keluarga memegang peranan penting dalam berkembangnya diabetes tipe 2 (Amini dan Janghorbani, 2007). Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor yang paling menentukan diabetes tipe 2 (Eriksson, 2001). Prevalensi penyandang diabetes di dunia meningkat, jumlah individu dengan riwayat keluarga diabetes juga meningkat, dan hal tersebut akan meningkatkan risiko terjadinya diabetes.
Penelitian menunjukkan orang tua yang menderita diabetes tipe 2 akan meningkatkan risiko keturunannya menderita diabetes 2-4 kali. Hubungan antara saudara kandung lebih kuat dari pada antara orang tua anak (Pierce et al., 1995). Penelitian jangka panjang melaporkan prevalensi diabetes tipe 2 pada usia 80 tahun 3,5 kali pada mereka yang mempunyai riwayat keluarga diabetes tipe 2 dibandingkan mereka yang tidak mempunyai riwayat keluarga (Valdez, 2009). Keturunan garis pertama keluarga dengan riwayat diabetes tipe 2 sekitar 40% berkembang menjadi diabetes melitus, sementara insiden di populasi umum hanya 6% (Wu et al., 2014). Informasi yang akurat terhadap prevalensi diabetes, toleransi glukosa terganggu, glukosa darah puasa terganggu, dan hubungan faktor risiko pada populasi dengan riwayat keluarga diabetes dengan diabetes melitus penting diketahui. Hal ini berguna untuk lebih memahami penyebab diabetes dan untuk mencegah atau menunda progresi dan komplikasi terutama di negara berkembang (Amini dan Janghorbani, 2007). Identifikasi faktor risiko pada populasi dengan riwayat keluarga diabetes berkaitan dengan meningkatnya kerentanan perkembangan diabetes menjadi semakin penting. Beberapa penelitian menyebutkan riwayat keluarga diabetes merupakan salah satu variabel yang dimasukkan ke dalam skrining individu yang berisiko tinggi terhadap diabetes sebagai kontributor independent (Valdez, 2009). Penelitian ini akan mendeteksi diabetes melitus pada populasi dengan riwayat keluarga diabetes melitus tipe 2.
I.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Prevalensi DM tipe 2 semakin meningkat di seluruh dunia khususnya di Indonesia seiiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup 2. Sebagian besar penderita DM tipe 2 tidak menunjukkan gejala pada awal penyakit dan biasanya terdiagnosis sudah dalam keadaan lanjut dan timbul komplikasi baik mikrovaskuler maupun makrovaskuler 3. Riwayat keluarga menjadi alat yang penting untuk melakukan intervensi pencegahan terhadap meningkatnya risiko diabetes melitus, sehingga skrining dengan gejala klinis diabetes melitus pada populasi dengan riwayat keluarga diabetes melitus tipe 2 tersebut perlu diteliti. I.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, disusun suatu pertanyaan penelitian : Bagaimana gejala klinis sebagai skrining diabetes melitus pada populasi dengan riwayat diabetes melitus tipe 2? I.4. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk mendeteksi dini DM. Penelitian yang dilakukan Woolthuis et al., 2009, skrining DM tipe 2 di layanan primer dengan pemeriksaan gula darah kapiler pada 3.724 pasien yang berisiko tinggi yang biasa periksa dan pada 465 pasien yang berisiko rendah yang dihubungi lewat email. Seratus satu pasien yang berisiko tinggi (2,7%; 95% CI
2.3%-3.3%) dan 2 berisiko rendah (0.4%; 95% CI, 0.1%-0.6%) terdiagnosis DM. Pada penelitian ini, obesitas sebagai prediktor paling baik DM yang tidak terdiagnosis (OR=3.2; 95% CI, 2.0-5.2). Deteksi DM baru dan gangguan gula darah puasa di layanan primer dengan sistem pragmatis yang sederhana di teliti oleh Greaves et al.,2004. Skrining dilakukan menggunakan data dokter praktek umum yaitu umur dan IMT. Hasilnya, pasien dengan kriteria BMI > 27 dan umur > 50 tahun mempunyai prevalensi besar terdeteksi DM dengan pemeriksaan gula darah puasa. Amirudin et al. memvalidasi skor AUSDRISK untuk mendeteksi dini diabetes dibandingkan dengan kadar gula darah sewaktu sebagai gold standar, hasilnya yaitu sensitifitas 93,46% dan spesifisitasnya 70,98%. Badan Litbangkes (2002) meneliti indeks antropometrik sebagai uji diagnostik diabetes melitus tipe-2, dengan hasil ukuran lingkar pinggang memberikan nilai tertinggi untuk skrining diabetes melitus pada cut off point 83,05 cm walaupun tidak dapat memenuhi hipotesis untuk mencapai sensitivitas dan spesifisitas minimal 80%. Rahman et al.(2008) meneliti penggunaan Cambrige Diabetes Risk Score untuk mengidenfikasi mereka yang berisiko menderita DM. Hasilnya sebanyak 323 kasus baru terdiagnosis DM, insidensi kumulatif 2.76/1000 penduduk per tahun dengan kunitil puncak 22 kali beresiko berkembang menjadi DM jika dibandingkan kuintil paling bawah (OR 22.3; 95% CI: 11.0-45.4) Skor risiko ini sederhana dan efektif untuk mengidentifikasi mereka yang berisiko berkembangnya diabetes tipe 2.
Ealovega et al. (2004) meneliti bahwa 95% skrining secara kebetulan dengan tes gula darah sewaktu, sensitivitasnya paling kecil, hanya 3% skrining menggunakan glukosa darah puasa, 2% menggunakan HbA1c, dan kurang dari 1% menggunakan TTGO. Woolthuis et al., 2007, menggunakan rekam medis elektronik dokter praktek umum untuk mengidentifikasi pasien yang tidak terdiagnosis DM tipe 2. Berdasarkan penilaian risiko tambahan tanpa rekam medis berbasis risiko menunjukkan 51% memiliki lebih dari satu faktor risiko, terutama riwayat keluarga (51.2%) dan obesitas (59%). Di kedua grup kadar gula darah puasa yang melebihi nilai untuk diagnosis DM sebesar 5.9% dan 4.1%. Pencatatan riwayat keluarga dan obesitas yang baik dalam rekam medis dapat digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko dalam skrining oportunistik. I.5. Tujuan penelitian Mengetahui gejala klinis sebagai skrining diabetes melitus pada populasi dengan riwayat keluarga diabetes melitus tipe 2. I.6. Manfaat Penelitian 1. Bagi dokter : penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi dokter layanan primer dalam mengidentifikasi pasien diabetes melitus, intoleransi glukosa dan dapat mengelola pasien tersebut di pelayanan primer.
2. Bagi masyarakat : masyarakat memiliki kesadaran untuk melakukan deteksi dini agar faktor risiko DM dapat diwaspadai dan komplikasinya dapat dicegah 3. Bagi peneliti : memberikan bukti prevalensi dan faktor risiko diabetes melitus pada populasi dengan riwayat keluarga diabetes melitus tipe 2 sehingga diharapkan data tersebut dapat diimplementasikan dan ditindaklanjuti di layanan primer.