BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GAMBARAN PENERIMAAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) DI JAKARTA BARAT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan

POLA INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS DI SEKOLAH KHUSUS AUTIS. Skripsi Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan. Mencapai derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial, psikologis, dan spiritual anak.

BAB I PENDAHULUAN. lembaga-lembaga kemasyarakatan. Kelompok-kelompok ini biasanya

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak merupakan hal yang ditunggu-tunggu dan sangat. menggembirakan bagi pasangan suami istri. Kehdiran anak bukan saja

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak. sempurna atau mengalami hambatan perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Nasional (Susenas) tahun 2010 di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

BABI PENDAHULUAN. Semua orangtua menginginkan anak lahir dengan keadaan fisik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada anak-anak, diantaranya adalah ganguan konsentrasi (Attention

PENERIMAAN ORANG TUA TERHADAP ANAK PENDERITA AUTIS DI SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan ini sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan jiwa seseorang. yang berarti akan meningkatkan jumlah pasien gangguan jiwa.

Pedologi. Attention-Deficit Hyperactivity Disorder Kesulitan Belajar. Yenny, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bermain adalah pekerjaan anak-anak semua usia dan. merupakan kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan, tanpa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

BAB I PENDAHULUAN. penelitian yang dilakukan oleh Center for Diesease Control and Prevention

BAB I PENDAHULUAN. yang menyenangkan, terampil dan pintar yang nantinya akan menjadi penerus dalam

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak adalah anugerah, anak adalah titipan dari Allah SWT. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak yang lahir merupakan sebuah karunia yang besar bagi orang

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. asuhan keperawatan yang berkesinambungan (Raden dan Traft dalam. dimanapun pasien berada. Kegagalan untuk memberikan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan setiap manusia pasti diikuti dengan beberapa macam

BAB I PENDAHULUAN. hidup mereka. Anak juga seringkali menjalani prosedur yang membuat. Anak-anak cenderung merespon hospitalisasi dengan munculnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

B A B 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan anak sakit dan hospitalisasi dapat menimbulkan krisis

Memahami dan membantu anak-anak yang mengalami ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa sekolah bagi anak adalah masa yang paling dinantikan. Anak bisa

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Mardiyono, 2010). Autisme adalah

BAB I PENDAHULUAN. orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak. merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut

BAB II LANDASAN TEORI Hospitalisasi atau Rawat Inap pada Anak Pengertian Hospitalisasi. anak dan lingkungan (Wong, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan terhadap 50 anak usia prasekolah, yaitu anak-anak usia 3-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Nurul Fahmi,2014 EFEKTIVITAS PERMAINAN KELOMPOK UNTUK MENGEMBANGKAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA

BAB I PENDAHULUAN. Attention Deficit Hyperactivity Disorder, dalam pengertian secara umum berarti

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

TIME OUT : ALTERNATIF MODIVIKASI PERILAKU DALAM PENANGANAN ANAK ADHD (ATTENTION DEFICIT/HYPERACTIVITY DISORDER)

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses

STRATEGI COPING ORANG TUA MENGHADAPI ANAK AUTIS

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk terbiasa menghadapai peran yang berbeda dari sebelumnya, karena memiliki anak berkebutuhan khusus (Miranda, 2013).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja (Hidayat, adalah orang yang berada di bawah usia 18 tahun.

BAB I PENDAHULUAN. yang indah, bahkan anak dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.

BAB I PENDAHULUAN. masa pernikahan. Berbagai harapan mengenai keinginan memiliki anak pun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

Pengaruh Perceraian Pada Anak SERI BACAAN ORANG TUA

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

ANAK ADHD PERSISTILAHAN DISORDER. DIOTAK KECIL. OTAK KECIL. 1. ADHD= ATTENSION DEFISIT AND HYPERACTIVITY 2. ADD= ATTENSION DEFISIT DISORDER.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa negara menjadi

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang tua menginginkan dan mengharapkan anak yang dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan pintar. Anak-anak yang patuh, mudah diarahkan, dan mempunyai prestasi belajar yang baik adalah dambaan dan harapan setiap orang tua (BKKBN, 2010). Sebagian besar orang tua mengharapkan memiliki anak yang sehat dan normal, namun kenyataannya terdapat juga orang tua yang mendapatkan titipan khusus dari Tuhan untuk mengasuh anak dengan kebutuhan khusus, salah satu contohnya adalah anak dengan gangguan ADHD. Anak ADHD adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian. Kondisi ini juga disebut sebagai gangguan hiperkinetik, yaitu suatu gangguan pada anak yang timbul pada masa perkembangan dini sebelum anak berusia 7 tahun, dengan ciri utama tidak mampu memusatkan perhatian (inatentif), hiperaktif, dan impulsif. Ciri perilaku ini mewarnai berbagai situasi dan dapat berlanjut sampai dewasa (Davidson, Neale, dan Kring, 2006). Dari tahun ke tahun jumlah anak yang didiagnosis dan dirawat karena ADHD telah mengalami peningkatan yang pesat, diperkirakan dua kali lipat pada tahun 1990-an (Stain dalam Santrock, 2002). Gangguan ADHD lebih banyak diderita oleh anak laki-laki empat hingga sembilan kali ketimbang dengan anak perempuan. Namun, ada kontroversi tentang peningkatan diagnosis ADHD (Terman dkk., 1996 dalam Santrock, 2002) dimana beberapa ahli mengatakan bahwa peningkatan tersebut terutama 1

2 diakibatkan meningkatnya kesadaran akan gangguan tersebut. Dari survey yang peneliti lakukan di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan, ada sekitar 25 anak yang mengalami gangguan pervasive atau gangguan hiperkinetik dan setengahnya merupakan anak ADHD. Gejala ADHD biasanya muncul pada masa prasekolah atau TK. Anak ADHD memiliki keaktifan yang sangat tinggi dan rentang perhatian yang terbatas. Biasanya anak ADHD sukar didisiplinkan, memiliki toleransi yang rendah terhadap rasa frustasi, dan memiliki masalah dalam hubungan dengan teman sebaya. Menurut Davidson, Neale, dan Kring (2006) beberapa bentuk perilaku yang mungkin sering terlihat oleh anak ADHD adalah seperti berlarian di dalam kelas saat guru sedang mengajar, tidak dapat duduk di kursi dengan tenang sehingga mengalami kesulitan mengikuti proses belajar di kelas, dan bergerak aktif tanpa tujuan atau banyak melamun yang membuat anak tersebut tidak dapat memusatkan perhatian kepada apa yang ia pelajari. Ciri umum lainnya dari anak yang menderita ADHD mencakup ketidakmatangan umum dan kekakuan (Santrock, 2002). Menurut Buitelaar & Paternotte (2010), perilaku negatif anak ADHD selalu mengundang reaksi dari lingkungannya, banyak orang menyebut anak ADHD sebagai anak pengganggu, selalu merusak bendabenda yang ada di sekelilingnya, dan dianggap sebagai anak yang aneh. Pada akhirnya anak ADHD kesulitan untuk membangun konsep diri yang positif yang akhirnya akan membawanya pada masalah-masalah emosional. Banyak anak ADHD yang menunjukkan perilaku agresi, dimana perilaku bermasalahnya ke arah luar seperti perkelahian atau pelecehan, tetapi ada juga arah masalahnya justru ke dalam diri anak, seperti berkembangnya perilaku rasa takut dan depresif. Menurut

3 Davidson, Neale, dan Kring (2006) anak-anak dengan ADHD sering kali dengan cepat dijauhi dan ditolak atau diabaikan oleh teman-teman seusia mereka karena anak ADHD menunjukan sejumlah perilaku agresi yang tampak jelas dan perilaku ketidakpatuhan. Prestasi sekolah anak ADHD seringkali berada di bawah rata-rata atau turun naik dan seringkali dikeluarkan oleh pihak sekolah (Buitelaar & Paternotte, 2010). Sekitar 15 hingga 30 persen anak-anak dengan gangguan ADHD mengalami disabilitas atau ketidakmampuan belajar dalam matematika, membaca, atau mengeja (Barkley, DuPaul, & McMurray, 1990; Casey, Rourke, & DelDotto, 1996; Semrud-Clikeman dkk., 1992 dalam Davidson, Neale, dan Kring, 2006) dan sekitar separuh anak-anak dengan ADHD dimasukan dalam berbagai program pendidikan khusus karena mereka sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan kelas yang normal (Barkley dk., 1990 dalam Davidson, Neale dan Kring, 2006). Anak ADHD sulit sekali diminta melakukan sesuatu oleh gurunya karena setiap kali gurunya berbicara, mereka cenderung tidak mendengarkan sampai gurunya selesai berbicara, hal ini disebabkan karena anak ADHD memiliki masalah dalam memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas (Davidson, Neale, dan Kring, 2006). Guru dan murid lainnya akan terganggu setiap kali anak ADHD berlari dari aktivitas satu ke aktivitas lainnya setiap menitnya, anak ADHD juga seringkali membuat kegaduhan dan mengganggu teman-temannya, karena hal tersebut anak ADHD mudah sekali mendapat permasalahan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Padahal kebutuhan anak untuk bersosialisasi cukup tinggi pada masa-masa pra sekolah (Somantri, 2004).

4 Anak ADHD secara langsung maupun tidak langsung dianggap sulit untuk ditangani. Perilaku anak ADHD terutama perilaku tidak mau mendengarkan, merupakan bentuk ketidakpatuhan yang sangat dikhawatirkan oleh orang tua. Hal ini yang membuat orang tua yang memilki anak ADHD kerap meragukan kapasitas pengasuhan mereka. Orang tua seringkali merasa bersalah jika mereka gagal mengikuti aturan pengasuhan yang umum. Dimana seorang anak seharusnya patuh dan mudah diberi arahan oleh orang tuanya dan guru di sekolah. Konflik yang terjadi di dalam keluarga dan tanggapan masyarakat terhadap perilaku negatif ADHD membuat orang tua merasa tertimpa reaksi negatif dari lingkungan. Hal ini dapat mengakibatkan orang tua membatasi kontak sosial anak dengan cara membatasi pergaulan anak dan melarang anak bermain di luar rumah karena takut mengganggu anak-anak lain atau merusak mainan milik tetangganya. Hal ini dapat menjadi ancaman isolasi sosial terhadap anak ADHD tersebut (Buitelaar & Paternotte, 2010). Banyak masyarakat luas yang belum mengetahui dan memahami mengenai anak ADHD. Banyak orang beranggapan anak ADHD adalah anak yang nakal, bodoh, dan aneh. Sebagian masyarakat bahkan tidak menerima keberadaan anak-anak ADHD karena perilakunya yang sering kali menunjukan perilaku agresi seperti memukul dan berteriak. Penolakan terhadap anak ADHD terlihat ketika mereka sulit diterima untuk belajar di sekolah-sekolah umum sebagaimana anak-anak normal lainnya walaupun penolakan seringkali terjadi saat anak sudah menjalani kegiatan sekolah selama beberapa bulan. Hal ini dapat menjadi beban bagi orang tua anak ADHD. Ada perasaan malu dan juga perasaan untuk menjauh dari kehidupan sosialnya (Buitelaar & Paternotte, 2010).

5 Berdasarkan observasi dan survey yang dilakukan peneliti di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan, terlihat bahwa tidak mudah bagi orang tua untuk menghadapi kenyataan bahwa mereka memiliki anak ADHD. Pada awalnya bagi orang tua yang baru menerima diagnosa bahwa anaknya mengalami ADHD akan merasa bingung karena orang tua tidak memiliki pemahaman mengenai ADHD sebelumnya. Ada juga orang tua yang merasa bersalah karena memiliki pemahaman yang salah tentang ADHD itu sendiri. Beberapa reaksi emosi yang muncul ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya mengalami ADHD adalah seperti merasa terkejut yang bercampur sedih, penyangkalan, merasa tidak percaya, kecemasan, perasaan menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, takut, dan marah, merasa bahwa anak ADHD lahir akibat dosadosa orang tua, bahkan ada juga orang tua yang bertengkar lalu saling menyalahkan. Reaksi-reaksi emosi tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kubler-Ross (dalam Safaria, 2005) bahwa ada beberapa reaksi emosional individu ketika menghadapi cobaan dalam hidup yaitu menolak, menerima kenyataan, marah, melakukan tawarmenawar, depresi, dan penerimaan. Perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami ADHD kadang-kadang menyebabkan orang tua mencari dokter lain untuk menyangkal diagnosis dokter sebelumnya atau untuk memperjelas keadaan yang sebenarnya terjadi pada anaknya. Dampak dari kebingungan, keterkejutan, rasa berdosa dan pertengkaran orang tua yang berlarut-larut dapat merugikan anak ADHD karena diagnosis anak tidak segera dilakukan (Buitelaar & Peternotte, 2004). Berdasarkan survey yang dilakukan peneliti di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan mengenai perasaan orang tua yang mempunyai anak ADHD

6 adalah sebagian besar orang tua merasa sedih dan kasihan akan perlakuan tetangga kepada anaknya. Anak ADHD akan dijauhi karena perilaku mereka yang dianggap aneh, yaitu takut pada hal yang seharusnya tidak ditakuti. Sebagai contoh, pada umumnya anak-anak menyukai kegiatan naik perosotan atau lempar bola dan bermain hujan, tetapi anak ADHD akan ketakutan dan merasa sangat sakit bila terkena bola atau merasa sangat takut saat menaiki tangga perosotan atau menangis saat hujan turun, sehingga teman-teman seusianya merasa aneh dengan perilakunya dan justru mengolok-olok anak ADHD tersebut. Hal ini yang membuat kebanyakan orang tua yang memiliki anak ADHD merasa lebih aman dan nyaman apabila anaknya berada didalam rumah dibandingkan di luar rumah. Orang tua juga sering kesulitan untuk memasukan anaknya ke sekolah, karena sulit bagi sekolah reguler untuk menerima anak dengan kebutuhan khusus seperti anak ADHD. Orang tua seringkali memohon bantuan pihak sekolah agar anaknya diterima sehingga anaknya dapat belajar seperti anak normal lainnya. Menurut Davidson, Neale, dan Kring (2006), agar anak ADHD dapat berkembang maka anak ADHD membutuhkan terapi, namun berdasarkan observasi, peneliti melihat bahwa terapi saja ternyata tidak cukup, karena selain terapi anak ADHD membutuhkan dukungan dari orang tuanya untuk berkembang. Berdasarkan pengamatan, beberapa orang tua yang membawa anaknya terapi di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan ada yang bisa menerima kondisi anaknya yang ADHD dan ada yang belum bisa menerima. Peneliti juga melihat bahwa ada beberapa anak ADHD yang perkembangannya lambat atau belum ada kemajuan walaupun sudah mengikuti terapi.

7 Puspita (dalam Marijani, 2003) mengatakan bahwa penerimaan orang tua pada anak ADHD secara ikhlas dan apa adanya sangat membantu proses penanganan anak dengan kebutuhan khusus yang lebih baik. Adanya penerimaan dari orang tua dapat membuat orang tua mampu mengendalikan reaksi-reaksi emosinya. Orang tua harus mencoba memahami dan menerima kenyataan hasil diagnosa anak dan perilaku anak agar orang tua mampu bereaksi untuk menyesuaikan diri dengan berbagai permasalahan yang muncul baik dari anak itu sendiri, dari diri sendiri maupun permasalahan yang timbul dari lingkungan sekitarnya. Penerimaan diri itu sendiri menurut Hurlock (dalam Sharma, 2004) adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yaitu tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri, sehingga individu lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Sedangkan penerimaan orang tua itu sendiri adalah suatu efek psikologis dan perilaku dari orang tua pada anaknya seperti rasa sayang, kelekatan, kepedulian, dukungan dan pengasuhan dimana orang tua tersebut bisa merasakan dan mengekspresikan rasa sayang kepada anaknya. Orang tua diharapkan mampu menerima keadaan dimana memiliki anak dengan kebutuhan khusus dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki anak itu sendiri, agar orang tua mampu mengupayakan usaha untuk penyembuhan anak sebaik mungkin. Selain itu orang tua juga diharapkan mampu mengontrol reaksi emosinya terhadap perilaku anak terutama perilaku yang dapat membahayakan

8 dirinya, misalnya berlarian di luar rumah atau memanjat tiang di pinggir jalan. Disamping itu, orang tua juga sering mengalami pengasingan dari pergaulan sosial karena terkadang orang lain mempunyai pemahaman yang salah mengenai hiperaktivitas sehingga dengan tidak adanya penerimaan, selain kesembuhan anak terhambat orang tua juga akan merasakan stress yang lebih besar (Buitelaar & Paternotte, 2010) Dari berbagai macam reaksi orang tua yang muncul ketika mengetahui bahwa anaknya mengalami ADHD dan diikuti permasalahanpermasalahan yang dialami orang tua yang memilki anak ADHD yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimana penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD, dan berdasarkan dari latar belakang di atas maka peneliti menggunakan rumusan permasalahan yaitu Bagaimana gambaran penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD?. 1.2 Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : Bagaimanakah penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD dilihat dari karakteristik-karakteristik tahapan penerimaan? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD.

9 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya penelitianpenelitian dalam ilmu psikologi khususnya penelitian dalam psikologi klinis anak mengenai penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD. 1.4.2 Manfaat Praktis a. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada orang tua mengenai reaksi-reaksi emosi yang mungkin muncul di dalam dirinya dan dampaknya terhadap perkembangan anak dengan gangguan ADHD. b. Memberikan gambaran dan pemahaman kepada terapis di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan mengenai penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD sehingga dapat bekerjasama dengan orang tua dalam memberikan penanganan kepada anak dengan gangguan ADHD. c. Memberikan pemahaman kepada guru atau pendidik anak ADHD mengenai bagaimana penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD sehingga dapat bekerja bersama-sama dengan orang tua dalam membantu penanganan dan penyembuhan anak ADHD.