1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara dengan populasi ke-empat terbesar dan penghasil beras ke-tiga terbesar di dunia (World Bank, 2000). Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras pertahunnya, namun konsumsi masih sedikit diatas tingkat produksi tersebut, dimana impor umumnya sampai dengan 7% dari besarnya konsumsi dalam setahun. Kekurangan tingkat produksi dibandingkan dengan konsumsi ini akan semakin besar jika terjadi kegagalan panen. Kegagalan panen tersebut sering diakibatkan oleh iklim yang ekstrim. Pengaruh iklim terhadap pertanian di Indonesia sangat kuat karena iklim di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena global seperti ENSO (El-Nino and Southern Oscillation), Dipole Mode, dan Madden Julian Oscillation (MJO). Fenomena ENSO merupakan fenomena yang mempunyai peran paling besar dari ketiga fenomena tersebut dalam keragaman iklim di Indonesia, khususnya curah hujan. Besarnya pengaruh ENSO ini ditunjukkan dari data kekeringan yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1844, dimana dari 43 kejadian tersebut, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan kejadian fenomena ENSO (Boer dan Subbiah, 2003). El-Nino biasanya menyebabkan kejadian kemarau panjang atau kekeringan karena terjadinya penurunan curah hujan jauh dibawah normal. Sebaliknya La-Nina seringkali menyebabkan lebih panjangnya musim hujan dan meningkatkan curah hujan jauh diatas normal pada musim kemarau. Mundurnya awal musim hujan dan penurunan curah hujan inilah yang menjadikan El-Nino mempunyai dampak negatif terhadap pertanian di Indonesia. Jika awal musim hujan mengalami kemunduran maka awal musim tanam juga mengalami kemunduran. Selain itu kekeringan seringkali menyebabkan kegagal panen. Salah satu indikasi yang menandakan terjadinya peristiwa ENSO adalah anomali suhu muka laut Pasifik Nino 3.4, oleh karena itu data ini bisa dijadikan sebagai prediktor untuk memperkirakan besarnya produksi padi di Indonesia. Dalam penelitian ini, prediktor tidak dihubungkan dahulu dengan curah hujan karena berdasarkan penelitian Naylor (2001), hubungan antara anomali suhu muka laut pasifik Nino 3.4 dengan produksi padi mempunyai korelasi yang kuat dan lebih baik untuk dijadikan sebagai prediktor karena memberikan waktu prediksi yang lebih lama dibandingkan dengan menggunakan curah hujan. Prediksi ini diharapkan bisa dipakai oleh pemegang keputusan dalam kebijakan ketahanan pangan agar bisa mempersiapkan langkahlangkah yang bisa diambil dalam rangka menjaga kestabilan ketahanan pangan di Indonesia. Selain itu, baik pemerintah maupun petani diharapkan bisa menyusun strategi tanam agar tidak terjadi kegagalan panen dan hasil pertanian bisa dioptimalkan. 1.2. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh fenomena ENSO terhadap produksi padi di Indonesia. 2. Menentukan prediktor terbaik untuk prediksi produksi padi di Indonesia. 3. Membuat prediksi produksi padi di Indonesia menggunakan data anomali suhu muka laut pasifik (Nino 3.4) agar bisa digunakan sebagai peringatan dini bagi ketahanan pangan. II. TINJAUAN PUSTAKA 4.1. Tipe Hujan di Indonesia Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis yang terletak di daerah tropis, diantara Benua Asia dan Australia, diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta dilalui garis katulistiwa, terdiri dari pulau dan kepulauan yang membujur dari barat ke timur, terdapat banyak selat dan teluk. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Hadley) dan sirkulasi zonal (Walker), dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim Indonesia. Selain itu karena keberadaan wilayah Indonesia ini, kondisi iklimnya akan dipengaruhi oleh fenomena global seperti El Nino, La Nina, Dipole Mode, dan Madden Julian Oscillation (MJO), disamping pengaruh fenomena regional, seperti sirkulasi monsun Asia-Australia, Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis atau Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan, serta kondisi suhu muka laut di sekitar wilayah Indonesia (BMKG, 2008). Sirkulasi angin di Indonesia ditentukan oleh pola perbedaan tekanan udara di Australia dan Asia. Pola tekanan udara ini mengikuti pola peredaran matahari dalam setahun yang mengakibatkan sirkulasi angin
2 di Indonesia umumnya adalah pola monsun, yaitu sirkulasi angin yang mengalami perubahan arah setiap setengah tahun sekali. Pola angin baratan terjadi karena adanya tekanan tinggi di Asia yang berkaitan dengan berlangsungnya musim hujan di Indonesia. Pola angin timuran/tenggara terjadi karena adanya tekanan tinggi di Australia yang berkaitan dengan berlangsungnya musim kemarau di Indonesia (BMKG, 2008). Wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan pola hujannya, yaitu pola Monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal (Boerema, 1938 dalam Boer, 2001). Pola Moonson biasanya mempunyai pola hujan yang mempunyai satu puncak musim hujan yaitu bulan Desember (unimodal) dan mempunyai curah hujan yang relatif tinggi selama enam bulan sehingga disebut musim hujan (Oktober-Maret) dan curah hujan yang rendah pada enam bulan berikutnya (April- September) sehingga disebut musim kemarau (Boer, 2001). Tipe Monsoon terbagi lagi menjadi dua kelompok yaitu Tipe A dan Tipe B. Perbedaan antara keduanya adalah antara musim hujan dan musim kemarau. Tipe A memiliki musim kemarau yang lebih panjang (wilayah timur Indonesia dan kepualuan Nusa Tenggara) dan memiliki hujan yang lebih rendah dari tipe B secara keseuluruhan (Jawa, Sumatra Selatan, dan Sulawesi Selatan). Oleh karena itu, daerah tipe A lebih sering mengalami kekeringan dibanding daerah tipe B. Sebagian besar wilayah Indonesia bagian Selatan didominasi oleh Tipe A dan B. Keragaman hujan musim kemarau secara umum lebih besar dibanding musim hujan (Oktober- Maret). Pengaruh angin musim Australia salama musim hujan sangat jelas pada wilayah ini (Boer, 2001). Pola equatorial ditandai dengan pola hujan yang mempunyai dua puncak musim hujan (bimodal), biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober pada saat matahari berada dekat equator. Sedangkan pola lokal mempunyai pola hujan yang berlawanan dengan pola monsun namun sama-sama mempunyai satu puncak hujan (unimodal). Tipe ekuatorial juga dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu tipe D dan E. Tipe D mencakup daerah di wilayah pantai barat Sumatra Utara sedangkan tipe E mencakup daerah di wilayah pantai barat Sumatra Selatan. Pada daerah ini musim kemarau tidak begitu jelas (Boer, 2001). Tipe lokal disebut juga sebagai tipe C. Daerah yang memiliki tipe ini adalah daerah bagian timur ekuator Indonesia (seperti Maluku dan Sorong). Musim kemarau pada daerah tipe ini tidak sekering tipe A maupun tipe B sehingga curah hujan tahunan di daerah tipe iklim ini lebih besar dari tipe A dan B. Hal ini disebabkan karena wilayah dengan tipe iklim ini mempunyai sifat geografis seperti pegunungan dan topografi yang memungkinkan intensifnya proses konveksi akan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan keragaman curah hujan wilayahnya (Rafi i, 1998). Gambar 1 Tipe Hujan Indonesia (Boer dan Subbiah, 2003).
3 4.2. Fenomena El-Nino and Southern Oscillation (ENSO) ENSO merupakan fenomena global dari sistem interaksi lautan atmosfer yang ditandai memanas/mendinginnya suhu muka laut di Ekuator Pasifik Tengah (Nino 3.4) atau anomali suhu muka laut di daerah tersebut positif/negatif (lebih panas/dingin dari rata-ratanya) (BMKG, 2008). Peristiwa ENSO terbagi dua, yaitu El-Nino yang dikenal sebagai warm ENSO dan La-Nina sebagai cold ENSO. Menurut Enfield (2003), El-Nino merupakan pemanasan yang tidak biasa di wilayah Samudera Pasifik ekuator yang terjadi secara tidak teratur dengan interval sekitar 3-6 tahun sebagai tanggapan terhadap pelemahan angin skala besar (angin pasat) yang biasanya bertiup dari selatan Benua Amerika ke Asia. Pada umumnya, angin yang bertiup itu menghasilkan permukaan air dingin di Pasifik timur, melalui penguapan dan upwelling air yang lebih dingin di bawah permukaan. Akibatnya, air menjadi relatif hangat di seluruh Pasifik, Papua New Guinea, Amerika Selatan. Sedangkan La- Nina merupakan kebalikan dari El-Nino ditandai dengan anomali suhu muka laut negatif (lebih dingin dari rata-ratanya) di Ekuator Pasifik Tengah (Nino 3.4). Ada dua Indikator yang umum digunakan untuk menunjukkan akan terjadinya ENSO, yaitu meningkat/ menurunnya perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin melebihi dari normal atau terjadinya perubahan suhu muka laut di kawasan pasifik dari nilai rata-rata jangka panjang. Perubahan suhu muka laut ini disebut juga dengan anomali suhu muka laut. Kawasan yang menunjukkan anomali suhu muka laut pasifik adalah kawasan Nino 3, Nino 4 atau Nino 3.4. Nino 3.4 terletak antara 5 LU-5 LS, 170 BB-120 BB. Besarnya anomali suhu muka laut ini juga menujukkan besarnya kekuatan El-Nino dan La-Nina. Gambar 2 Kawasan Nino 3.4 (NOAA, 2005). Gejala El-Nino dimulai dengan menurunnya tekanan udara di Tahiti di bawah tekanan udara di Darwin sehingga angin barat tertiup lebih kuat memperlemah angin pasat sehingga massa air panas di kawasan pasifik bagian Barat mengalir ke arah Timur dengan bantuan arus equatorial menyebabkan terjadinya akumulasi massa air panas di Pasifik bagian Timur dan permukaan air lautnya naik lebih besar dibanding dengan yang di kawasan Barat. Kondisi ini mengakibatkan konveksi terjadi di pasifik bagian Timur dan subsidensi di atas kontinen maritim Indonesia. Subsidensi ini akan menghambat pertumbuhan awan konveksi. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat La-Nina berlangsung. Eq 30 o LS Eq 30 o LS DJF Normal 90 o BB 0 o 90 o BT 180 o 90 o BB DJF El Nino 90 o BB 0 o 90 o BT 180 o 90 o BB Gambar 3 Skematik dari sirkulasi Walker di bagian atas dan bawah atmosfer dalam keadaan normal dan El Nino (Nicholls, 1987 dalam Boer 2003). Keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Pengaruh ENSO di Indonesia sangat tergantung pada kondisi perairan wilayah Indonesia. Fenomena El-Nino yang berpengaruh di wilayah Indonesia dengan diikuti berkurangnya curah hujan secara drastis baru akan terjadi bila kondisi suhu perairan Indonesia cukup dingin. Namun bila kondisi suhu perairan Indonesia cukup hangat tidak berpengaruh terhadap kurangnya curah hujan secara signifikan di Indonesia. Disamping itu, mengingat luasnya wilayah Indonesia, tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El-Nino (BMKG, 2008). Menurut Tjasyono (1997), Besar dampak kejadian
Frekuensi (% tahun) 4 ENSO terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam antar wilayah. Pengaruh El-Nino kuat pada daerah yang mempunyai tipe hujan monsun, lemah pada daerah dengan sistem equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan sistim lokal. Sejak tahun 1844, Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan 43 kali. Dari 43 kejadian itu, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan kejadian fenomena ENSO (Boer dan Subbiah, 2003). Pada saat fenomena El-Nino berlangsung, hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal. Pengamatan terhadap tahun-tahun El-Nino yang terjadi dalam periode 1896 sampai 1987, diperoleh bahwa untuk setiap peningkatan anomali suhu muka laut di daerah Nino 3 rata-rata curah hujan wilayah di Indonesia pada musim kering turun sekitar 60 mm. Penurunan curah hujan wilayah dapat mencapai 80 mm dari normal apabila suhu muka laut di Nino-3 naik sampai 1.8 o C di atas normal (Boer, 2001). Berbeda dengan kejadian El Nino, kejadian La-Nina seringkali dicirikan oleh meningkatnya curah hujan di Indonesia khususnya curah hujan musim kemarau. Namun pengaruhnya terhadap peningkatan curah hujan musim hujan tidak begitu tegas. Berdasarkan pengamatan terhadap data hujan musim kemarau selama 100 tahun, secara rata-rata penurunan hujan dari normal akibat terjadinya La-Nina tidak lebih dari 40 mm. Hal ini menunjukkan bahwa bencana yang ditimbulkan kejadian El Nino lebih serius dibanding La Nina. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Seluruh tahun El-Nino La-Nina Juni-Nov (1890-1989) -80-70 -60-50 -40-30 -20-10 0 10 20 30 40 Anomali hujan (mm/bulan) Gambar 4 Anomali hujan rata-rata di Indonesia pada tahun El-Nino, Normal dan La-Nina (IRI, 1995). 4.3. Dampak ENSO terhadap Pertanian di Indonesia Fenomena ENSO tidak hanya mempengaruhi tingginya curah hujan tetapi juga mempengaruhi awal masuknya musim hujan. Pada umumnya pada saat terjadi El- Nino, awal musim hujan di wilayah bertipe iklim monsoon mengalami keterlambatan antara satu sampai dua bulan, sebaliknya pada saat berlangsungnya fenomena La- Nina, akhir musim hujan mengalami keterlambatan atau awal masuknya musim kemarau mundur sekitar satu bulan. Sebagai contoh, kejadian El-Nino pada tahun 1982/1983 menyebabkan terjadinya keterlambatan masuknya awal musim hujan atau memperpanjang lamanya musim kemarau antara satu sampai dua bulan (Boer, 2003). Keterlambatan datangnya musim hujan ini mempunyai dampak yang sangat besar terhadap pertanian di Indonesia karena lahan sawah yang dimiliki petani sebagian besar adalah sawah irigasi atau tadah hujan yang sangat bergantung kepada curah hujan. Tanaman padi lebih rentan terkena kekeringan atau terpengaruh oleh fenomena ENSO karena padi lebih banyak membutuhkan air daripada tanaman bijibijian yang lain (Bouman et al, 2007). Oleh karena itu menurut Naylor et al (2001) terjadi hubungan yang negatif antara ASML dengan curah hujan dan dengan produksi padi di Jawa. Rata-rata kehilangan produksi padi dalam sepuluh tahun terakhir akibat kejadian iklim ekstrim meningkat tiga kali lipat bila dibanding dengan periode sepuluh tahun sebelumnya, yaitu dari sekitar 100 ribu ton menjadi sekitar 300 ribu ton per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sistim produksi padi nasional semakin sensitif atau rentan terhadap kejadian iklim ekstrim. Pengamatan tahun El-Nino 1994 dan 1997 menunjukkan bahwa kumulatif luas sawah yang mengalami kekeringan dari bulan Mei sampai Agustus melebihi 400 ribu ha sementara pada tahun-tahun normal dan La- Nina kurang dari 75 ribu ha. Kehilangan produksi padi akibat kejadian kekeringan khususnya pada tahun-tahun iklim ekstrim dapat mencapai 2 juta ton (Boer, 2003). 4.4. Pola Tanam Padi Petani di Indonesia Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh fenomena El-Nino pada wilayah pertanaman padi sangat erat kaitannya dengan pola tanam dan prilaku petani. Pola tanam yang umum diikuti oleh petani di
5 Jawa dan hampir seluruh wilayah Indonesia adalah padi-padi-padi atau padi-padi-bera. Padi pertama ditanam pada musim hujan yaitu Nov/Des (MT1), padi kedua pada awal masuk musim kemarau yaitu Maret/April (MT2) dan padi ketiga pada bulan Juni/Juli (MT3). Padi yang biasanya terkena kekeringan adalah padi yang ditanam pada musim kemarau. Pada tahun 1991/92 umumnya petani sudah selesai melakukan penanaman pada waktu kekeringan mulai terjadi sehingga banyak yang tidak bisa diselamatkan lagi. Sebaliknya pada tahun 1997/98 karena pembentukan El-Nino sangat cepat dan terjadi di awal musim kemarau, maka hujan pada musim kemarau sudah tidak ada sehingga petani banyak yang tidak berani melakukan penanaman, khususnya pada MK2. Oleh karena itu, luas yang terkena kekeringan menjadi lebih sedikit. Gambar 5 Pola Tanam Padi Petani di Indonesia (Boer, 2003). Pada umumnya, pada penanaman musim kemarau petani biasanya akan melakukan penanaman padi apabila terjadi satu atau dua kali hujan tanpa terlalu memperhatikan apakah hujan akan turun atau tidak pada bulan-bulan berikutnya. Jadi pada El-Nino 1991/92 banyak pertani yang terkecoh karena pada awal musim kemarau gejala akan terjadi kemarau yang panjang (tidak ada hujan) belum terdeteksi, sebaliknya pada kejadian El-Nino 1997/98. 4.5. Kebijakan Ketahanan Pangan di Indonesia Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Indikator ketahanan pangan juga menggambarkan kondisi yang cukup baik. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang belum mendapatkan kebutuhan pangan yang mencukupi. Sekitar tiga puluh persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi mereka masih berada dibawah kebutuhan konsumsi yang semestinya (World Bank, 2005). Terdapat tiga komponen kebijakan ketahanan pangan (World Bank, 2005) : 1. Ketersediaan Pangan. Indonesia secara umum tidak memiliki masalah terhadap ketersediaan pangan. Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras setiap tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkat produksi tersebut; dimana impor umumnya kurang dari 7% konsumsi. Lebih jauh jaringan distribusi swasta yang berjalan secara effisien turut memperkuat ketahanan pangan di seluruh Indonesia. Beberapa kebijakan kunci yang memiliki pengaruh terhadap ketersediaan pangan meliputi: - Larangan impor beras - Upaya Kementerian Pertanian untuk mendorong produksi pangan - Pengaturan BULOG mengenai ketersediaan stok beras. 2. Keterjangkauan Pangan. Elemen terpenting dari kebijakan ketahanan pangan ialah adanya jaminan bagi kaum miskin untuk menjangkau sumber makanan yang mencukupi. Cara terbaik yang harus diambil untuk mencapai tujuan ini ialah dengan memperluas strategi pertumbuhan ekonomi, khususnya pertumbuhan yang memberikan manfaat bagi kaum miskin. Kebijakan ini dapat didukung melalui program bantuan langsung kepada masyarakat miskin, yang diberikan secara seksama dengan target yang sesuai. Sejumlah kebijakan penting yang mempengaruhi keterjangkauan pangan meliputi: - Program Raskin yang selama ini telah memberikan subsidi beras bagi hampir 9 juta rumah tangga. - Upaya BULOG untuk mempertahankan harga beras. - Hambatan perdagangan yang mengakibatkan harga pangan domestik lebih tinggi dibandingkan harga dunia. 3. Kualitas Makanan dan Nutrisi. Hal yang juga penting untuk diperhatikan, sebagai bagian dari kebijakan untuk menjamin ketersediaan pangan yang mencukupi bagi penduduk, ialah kualitas pangan itu sendiri. Artinya penduduk dapat
6 mengkonsumsi nutrisi-nutrisi mikro (gizi dan vitamin) yang mencukupi untuk dapat hidup sehat. Konsumsi pangan pada setiap kelompok pengeluaran rumah tangga telah meningkat pada jenis-jenis pangan yang berkualitas lebih baik. Namun, seperti catatan diatas, keadaan nutrisi makanan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan sejak akhir krisis. Sejumlah kebijakan penting yang berpengaruh terhadap kualitas pangan dan nutrisi meliputi: - Upaya untuk melindungi sejumlah komoditas pangan penting - Memperkenalkan program pangan tambahan setelah krisis - Penyebarluasan dan pemasaran informasi mengenai nutrisi. Petani adalah ujung tombak penjaga ketahanan pangan, jika produktivitas usaha tani meningkat, berarti suplai pangan nasional meningkat pula. Hal ini berarti meningkatkan tingkat ketersediaan pangan nasional. Ketika hasil usaha tani mereka mampu memberikan pendapatan tinggi, berarti akses petani terhadap pangan meningkat. Sekitar 60% penduduk Indonesia ini adalah petani yang 89% di antaranya merupakan petani guram yang miskin. Naiknya pendapatan mereka berarti aspek keterjangkauan dalam ketahanan pangan nasional akan meningkat pula. III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-November 2010 yang bertempat di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor dan Center for Climate Risk and Opportunity Management in South Asia and the Pacific (CCROM-SEAP). 3.2. Bahan dan Alat Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data anomali suhu muka laut pasifik (NINO 3.4) bulanan dari tahun 1983-2009 (Sumber: http://www.cpc.noaa. gov/data/indices/nino34.mth.ascii.txt) 2. Data produksi dan luas panen dan produktivitas padi empat bulanan seluruh propinsi di Indonesia dari tahun 1983-2009, yaitu bulan January-April (kuartal satu), Mei-Agustus (kuartal dua), September-Desember (kuartal tiga) (Sumber: Badan Pusat Statistik dan Dirjen Ketahanan Pangan). 3. Data luas tanam padi bulanan seluruh propinsi di Indonesia dari tahun 2000-2009 (Sumber: Badan Pusat Statistik dan Dirjen Ketahanan Pangan). Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ini sebagai berikut: 1. Software Microsoft word 2007. 2. Software Microsoft excel 2007. 3. Software minitab 14. 3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Penyusunan Format Data Data Produksi padi yang berupa produksi, luas panen, produktivitas dan luas tanam telah didapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dirjen Ketahanan Pangan harus dilakukan penyusunan ulang karena data yang didapat sebagian masih berupa data kabupaten dan belum dipisahkan antara produksi, luas panen dan produktivitas sehingga perlu dilakukan penyusunan agar bisa digunakan untuk analisis. 3.3.2. Menghilangkan Tren Data Produksi (Menghitung Anomali) Data produksi padi di Indonesia selalu mengalami tren naik setiap tahunnya. Kenaikan tersebut diakibatkan oleh faktorfaktor selain faktor iklim. Oleh karena itu, agar hubungan antara faktor iklim dengan data produksi lebih terlihat, maka faktorfaktor selain iklim tersebut harus dihilangkan. Penghilangan faktor selain faktor iklim itu bisa dilakukan dengan metode analisis tren. Tiga metode yang digunakan sebagai analisis tren dalam penelitian ini yaitu: 1. First differences Anomali produksi dihitung dengan menggunakan rumus: AY i = Y i Y (i-1) Dimana: AY i = Anomali Produksi tahun ke-i = Data produksi tahun ke-i Y i Y (i-1) = Data produksi tahun ke- (i-1). 2. Polynomial Membuat persamaan polynomial pangkat tiga dari data produksi menggunakan rumus berikut: AY i = Yi- (ax 3 + bx 2 + cx + d) Dimana: AY i Yi = Data anomali tahun ke-i = Data produksi tahun ke-i.