II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pembuktian dalam Perkara Pidana. kebenaran suatu peristiwa, kemudian mendapat awalan pem dan akhiran an,

dokumen-dokumen yang mirip
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

HUKUM PEMBUKTIAN PIDANA. Karya Tulis Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Abstrak. Kata Kunci : Implikasi Yuridis, Putusan MK, Saksi dan Keterangan Saksi

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

Dian Dewi Pulungsari, Diyas Mareti Riswindani

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

BAB III PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

BAB III PENUTUP. terhadap saksi dan korban serta penemuan hukum oleh hakim.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB III SMS (SHORT MASSAGES SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI PEMIDANAAN

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatasi kekuasaan para penegak hukum dan melindungi terdakwa dari

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENGANTAR. Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian dalam perkara pidana (hukum acara

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB III PENUTUP. pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, pada pokoknya dapat

I. PENDAHULUAN. penyidik maupun pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Pembuktian dalam Pekara Pidana 1. Pengertian Pembuktian dalam Perkara Pidana Kata pembuktian berasal dari kata bukti artinya sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, kemudian mendapat awalan pem dan akhiran an, maka pembuktian artinya proses perbuatan, cara membukti-kan sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, demikian pula pengertian membuktikan yang mendapat awalan mem dan akhiran an, artinya memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti. 18 Pembuktian merupakan bagian penting dalam pencarian kebenaran materiil dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Sistem Eropa Kontinental yang dianut oleh Indonesia menggunakan keyakinan hakim untuk menilai alat bukti dengan keyakinannya sendiri. Hakim dalam pembuktian ini harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti orang yang telah melakukan tindak pidana harus mendapatkan sanksi demi tercapainya keamanan, kesejahteraan, dan stabilitas dalam masyarakat. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa ia harus diperlakukan dengan adil sesuai 18 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Departemen P & K, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 133.

21 dengan asas Presumption of Innocence. Sehingga hukuman yang diterima oleh terdakwa seimbang dengan kesalahannya. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata membuktikan. Membuktikan menurut Sudikno Mertokusumo 19 disebut dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Lain halnya dengan definisi membuktikan yang diungkapkan oleh Subekti. Subekti 20 menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. 21 Berdasarkan definisi para ahli hukum tersebut, membuktikan dapat dinyatakan sebagai proses menjelaskan kedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dan didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak, sehingga pada akhirnya hakim akan mengambil kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah. Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. 22 Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. 23 Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara- 19 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hlm. 35. 20 Subekti., 2001, Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramitha, hlm. 1. 21 Ibid. 22 Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, hlm. 11. 23 Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, hlm. 133.

22 cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. 24 Hukum pembuktian merupakan sebagian dart hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. 25 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian. KUHAP hanya memuat peran pembuktian dalam Pasal 183 bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 2. Teori-Teori Sistem Pembuktian Secara Teoretis terdapat 4 (empat) teori mengenai sistem pembuktian yaitu: a). Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time) Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-tidaknya terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim 24 M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 273. 25 Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, hlm. 10.

23 semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah, akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh. 26 b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Log is (Conviction In Raisone) Sistem pembuktian Conviction In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alatalat bukti di luar ketentuan undang-undang. Hal yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan 26 Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:Ghana Indonesia, hlm. 241.

24 yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh reasoning atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus reasonable yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas. 27 c. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif Wettwlijks theode). Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan. Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang, maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan 27 Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Bandung : Citra Aditya, hlm. 56.

25 hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran format, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijkbewijs theori system di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja. 28 d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (negative wettelijk). Berdasarkan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikitdikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : "hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". 29 Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undangundang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. 28 D. Simons. Dalam Darwin Prinst, 1998, Op.Cit. hlm. 65 29 Ibid.

26 Teori pembuktian menurut undang-undang negatif tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk istilah ini berarti : wettelijk berdasarkan undang-undang sedangkan negatif, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. 30 Dalam sistem pembuktian yang negatif alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang. Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan sistem undang-undang secara negatif sebagai intinya yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapat disimpulkan sebagai berikut : 31 a) Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana; b) Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana. Kelebihan sistem pembuktian negatif (negative wettelijk) adalah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang, sehingga dalam pembuktian benar-benar 30 M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 319 31 Ibid.

27 mencari kebenaran yang hakiki, jadi sangat sedikit kemungkinan terjadinya salah putusan atau penerapan hukum yang digunakan. 32 Kekurangan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikitdikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu sehingga akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan suatu perkara, karena di lain pihak pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi dengan mencari kebenaran melalui penelitian tersebut, maka kebenaran yang terungkap benar-benar dapat dipertanggung jawabkan dan merupakan kebenaran yang hakiki. 3. Prinsip Pembuktian Perkara Pidana Dalam pembuktian pidana terdapat beberapa prinsip yaitu : 33 a) Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan atau disebut dengan istilah notoke feiten. Secara garis besar fakta notoke dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 1. Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. Yang 32 Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: Elsam. hlm. 3. 33 Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, hlm. 20.

28 dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia. 2. Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk. b) Kewajiban seorang saksi Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli. c) Satu saksi bukan saksi (unus testis nulus testis) Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Berdasarkan KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: "Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah".

29 d) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip "pembuktian terbalik" yang tidak dikenai oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. e) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri. Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa: "Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri". Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya. B. Jenis dan Kekuatan Alat bukti dalam Perkara Pidana 1. Jenis-Jenis Alat Bukti Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan

30 pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa. 34 Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada sesorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, dan di dalam Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya atau biasanya di sebutkan satu saksi bukan saksi (Unus testis nulus testis). Dengan demikian fungsi alat bukti dalam pembuktian dalam sidang pengadilan sangat penting sekali sehingga sering kita dengar bahwa suatu tindak pidana yang tidak cukup bukti tidak dapat dijatuhi pidana baik denda maupun penjara. 35 Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana membatasi bahwa alat bukti yang sah diantaranya ialah: 1. Keterangan saksi. 2. Keterangan ahli. 3. Surat. 4. Petunjuk. 5. Keterangan terdakwa. 34 Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju,hlm 11. 35 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta : GhaliaIndonesia, hlm. 19.

31 Selanjutnya di dalam ayat (2) menyatakan bahwa hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Memahami saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri, maka keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu. 36 2. Kekuatan Alat Bukti dalam Perkara Pidana Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan satu persatu mengenai alat bukti dan nilai kekuatan pembuktiannya, yaitu sebagai berikut: a. Keterangan Saksi Keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 37 Syarat sah keterangan saksi : 1) Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum memberikan keterangan). 36 Sabto Budoyo, Perlindungan Hukum Bagi saksi dalam Proses Peradilan Pidana,Universitas Diponegoro Semarang. 2008, hlm. 12. 37 Pasal 185 Ayat (1) KUHAP, bahwa Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.

32 2) Keterangan saksi harus mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri dengan sendiri dan yang dialami sendiri, dengan menyebutkan alasan pengetahuannya (testimonium de auditu = keterangan yang diperoleh dari orang lain tidak mempunyai nilai pembuktian). 3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (kecuali yang ditentukan pada pasal 162 KUHAP). 4) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis). 5) Pemeriksaan menurut cara yang ditentukan undang-undang. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang memenuhi syarat sah keterangan saksi (5 syarat) : 1) Diterima sebagai alat bukti sah 2) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (bersifat tidak sempurna dan tidak mengikat) 3) Tergantung penilaian hakim (hakim bebas namun bertanggung jawab menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi untuk mewujudkan kebenaran hakiki). 4) Sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan keterangan saksi a de charge atau alat bukti lain. b. Keterangan Ahli (Verklaringen Van Een Deskundige Expert Testimony) KUHAP telah merumuskan pengertian tentang keterangan ahli, sebagai berikut: 1) Pasal 1 angka 28 KUHAP, menyatakan bahwa: Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang

33 hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. 38 2) Pasal 186 KUHAP, menyatakan bahwa : Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. 39 Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli : 1) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. 2) Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan. 3) Penilaian sepenuhnya terserah pada hakim. c. Keterangan Bukti Surat Alat bukti surat menurut Sudikno Mertokusumo 40 adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Demikian pula menurut Pasal 187 KUHAP bahwa yang dimaksud dengan Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : 1) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan 38 Pasal 185 ayat (5) KUHAP, bahwa Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli. 39 Penjelasan 186 KUHAP, bahwa Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan, dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. 40 Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Pen. Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 115.

34 tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. 2) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; 3) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; 4) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Jadi contoh-contoh dari alat bukti surat itu adalah berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh polisi (penyelidik/penyidik), BAP pengadilan, berita acara penyitaan (BAP), surat perintah penangkapan (SPP), surat izin penggeledahan (SIP), surat izin penyitaan (SIP) dan lain sebagainya. Nilai kekuatan pembuktian surat : 1) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. 2) Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan (lain halnya dalam acara perdata). 3) Penilaian sepenuhnya terserah keyakinan hakim.

35 d. Alat Bukti Petunjuk Pasal 188 KUHAP menyatakan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti petunjuk adalah: 1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan terdakwa. 3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. e. Alat Bukti Keterangan Terdakwa Pasal 189 KUHAP menyatakan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti berupa keterangan terdakwa, adalah: 1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. 2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

36 3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Ketentuan Pasal 189 KUHAP di atas pada dasarnya menyatakan bahwa keterangan terdakwa harus diberikan di depan sidang saja, sedangkan di luar sidang hanya dapat dipergunakan untuk menemukan bukti di sidang saja. Demikian pula apabila terdakwa lebih dari satu orang, maka keterangan dari masing-masing terdakwa untuk dirinya sendiri, artinya keterangan terdakwa satu dengan terdakwa lainnya tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya. Dalam hal keterangan terdakwa saja di dalam sidang, tidak cukup untuk membuktikan, bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu tindak pidana, tanpa didukung oleh alat bukti-bukti lainya. Nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa : 1) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas hakim tidak terikat dengan keterangan yang bersifat pengakuan utuh/ murni sekalipun pengakuan harus memenuhi batas minimum pembuktian. 2) Harus memenuhi asas keyakinan hakim. 3) Dalam Acara Perdata suatu pengakuan yang bulat dan murni melekat penilaian kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan.

37 C. Perkembangan Testimonium De Auditu dalam Penegakan Hukum di Indonesia Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar pada keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih perlu pembuktian dengan bukti keterangan saksi. Dalam hukum acara pidana di Indonesia sebagaimana dikemukakan dalam KUHAP bahwa yang dimaksud dengan saksi ialah orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dania alami sendiri. 41 Keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia: a) Dengar sendiri b) Lihat sendiri c) Alami sendiri Dengan menyebutkan alasan pengetahuannya itu. Di samping itu juga terdapat apa yang dikenal dengan istilah Testimonium de Auditu atau Hearsay Evidence. Hearsay berasal dari kata Hear yang berarti mendengar dan Say berarti mengucapkan. Oleh karena itu secara harfiah istilah hearsay berarti mendengar dari ucapan (orang lain). Jadi, tidak mendengar sendiri fakta tersebut dari orang yang mengucapkannya sehingga disebut juga sebagai 41 M.Karjadi dan R.Soesilo, KUHAP dengan Penjelasan dan Komentar, Bogor: Politea, 1983, hlm.6.

38 bukti tidak langsung (second hand evidence) sebagai lawan dari bukti langsung (original evidence), karena mendengar dari ucapan orang lain, maka saksi deauditu atau hearsay ini mirip dengan sebutan report, gosip atau rumor. Dengan demikian, definisi kesaksian de auditu atau hearsay evidence yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain. Disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami. Ada juga yang mendefinisikan kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung dengan melihat, mendengar dan mengalami sendiri melainkan dari orang lain. 42 Sedangkan Subekti menamakannya dengan kesaksian pendengaran. Sementara itu, definisi yang cukup lengkap dikemukakan oleh Munir Fuady yakni yang dimaksud dengan kesaksian tidak langsung atau de auditu atau hearsay adalah suatu kesaksian dari seseorang dimuka pengadilan untuk membuktikan kebenaran suatu fakta, tetapi saksi tersebut tidak mengalami/mendengar/melihat sendiri fakta tersebut. 43 Dia hanya mendengarnya dari pernyataan atau perkataan orang lain, dimana orang lain tersebut menyatakan mendegar, mengalami atau melihat fakta tersebut sehingga nilai pembuktian tersebut sangat bergantung pada pihak lain yang sebenarnya berada diluar pengadilan. Jadi, pada prinsipnya banyak kesangsian atas kebenaran dari kesaksian tersebut sehingga sulit diterima sebagai nilai bukti penuh. 42 Muntasir Syukri, Menimbang Ulang Saksi de Auditu Sebagai Alat Bukti (PendekatanPraktik Yurisprudensi dalam Sistem Civil Law). Artikel di akses pada 25 Maret 2015 darihttp://www.badilag.com. 43 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata,, Bandung : Citra AdityaBakti, 2012, Cet II hlm. 132.

39 De auditu menurut Sudikno Mertokusumo adalah keterangan seorang saksi yang diperolehnya dari pihak ketiga. Dalam sistem Common Law dikenal dengan hearsay evidence yang memiliki pengertian yang sama yakni keterangan yang diberikan seseorang yang berisi pernyataan orang lain baik melalui verbal, tertulis atau cara lain. Perkembangan definis saksi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angak 26 juncto Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP diperluas berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 65/PUU-VIII/2010. Perulasan definisi saksi bermula ketika penyidik Kejaksaan Agung dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus M. Amari menolak permintaan Yusril agar menghadirkan empat saksi a de charge atau meringankan, yakni mantan Presiden Megawati Soekarno Putri, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Seperti diketahui, Yusril telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). Permintaan itu ditolak dengan alasan keempat orang itu bukan saksi dalam kategori orang yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri sebuah tindak pidana. Penolakan itu didasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP. 44 Berdasarkan penolakan tersebut, Yusril Ihza Mahendra yang berstatus sebagai tersangka tindak pidana korupsi biaya akses fee dan biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Sistem Administrasi Badan Hukum Kementerian Hukum dan HAM RI mengajukan permohonan uji materi KUHAP terhadap 44 http://entertainment.kompas.com/read/2010/11/02/03274912/saksi.ditolak.yusril.minta.mk.taf sirkan.kuhap, diakses pada tanggal 26 Mei 2015 pukul 12.00 WIB

40 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pemohon memohon kiranya Mahkamah Konstitusi melakuakn pengujian terhadap Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), (4), Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Putusan Mahkamah Kontitusi No. 65/PUU-VIII/2010, menyatakan Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), (4), Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pengertian saksi dalam pasalpasal itu tidak dimaknai orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dilihat dari putusan tersebut, bahwa keterangan saksi tidak hanya harus keterangan yang dilihat, didengar dan dialami sendiri. Perluasan definisi dalam putusan MK tersebut pada intinya menyatakan bahwa definisi saksi sebagai alat bukti adalah keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. 45 Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan pengertian saksi menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit hanya dengan mengacu pada Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP. Pengertian saksi dalam Pasal tersebut membatasi bahkan menghilangkan kesempatan bagi 45 Eddy O.S. Hiariej, 2012. Teori dan hukum Pembuktian. Erlangga, hlm. 102-103.

41 tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya, karena frase ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri mensyaratkan bahwa hanya saksi yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri suatu perbuatan dapat diajukan sebagai saksi menguntungkan bagi tersangka/terdakwa. 46 46 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e49f3ff83f2a/perubahan-makna-saksi-dalamhukum-acara-pidana-dan-implikasinya-terhadap-sistem-peradilan-pidana, diakses pada tanggal 25 Mei pukul 23.15 WIB