BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Irpan Maulana, 2015

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan untuk mencapai

BAB I PENDAHULUAN. bahwa pengetahuan sebagai kerangka fakta-fakta yang harus dihafal.

BAB I PENDAHULUAN. bukan hanya kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kompleksnya tingkat berpikir siswa,

BAB 1 PENDAHULUAN. bangsa, menumbuhkan secara sadar Sumber Daya Manusia (SDM) melalui

2015 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CHILDREN S LEARNING IN SCIENCE

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS dan PKn

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewi Elyani Nurjannah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut teori belajar konstruktivis, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu

BAB I PENDAHULUAN. Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (selanjutnya disebut IPA) diartikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan implementasi

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

I. PENDAHULUAN. yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Umumnya proses pembelajaran di SMP cenderung masih berpusat pada guru

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desy Mulyani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu mata pelajaran sains yang diberikan pada jenjang pendidikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Proses pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis praktikum,

I. PENDAHULUAN. Pengetahuan IPA yang sering disebut sebagai produk dari sains, merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menuntut individu untuk memiliki kecakapan berpikir yang baik untuk

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menghadapi era globalisasi saat ini diperlukan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. ilmuwan untuk melakukan proses penyelidikan ilmiah, atau doing science (Hodson,

2016 PENGUASAAN KONSEP DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SMP PADA PEMBELAJARAN IPA TERPADU TIPE CONNECTED BERBASIS GUIDED INQUIRY

BAB I PENDAHULUAN. kurikulum yang berlaku di jenjang sekolah menengah adalah kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu

saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Sains diartikan sebagai bangunan ilmu pengetahuan dan proses.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Generatif (Generative Learning) Pembelajaran Generatif merupakan terjemahan dari Generative Learning.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut. pengembangan kemampuan siswa dalam bidang Ilmu Pengetahuan Alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang paling penting

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Elly Hafsah, 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu peristiwa yang diamati yang kemudian diuji kebenarannya

BAB I PENDAHULUAN. adalah pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Pembelajaran Ilmu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sudah dapat kita rasakan. Menurut pandangan ini, bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi siswa sehingga pembelajaran

I. PENDAHULUAN. konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Global Monitoring report, (2012) yang dikeluarkan UNESCO menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Ruang lingkup IPA meliputi alam semesta secara keseluruhan baik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

2016 PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ARGUMENT-BASED SCIENCE INQUIRY (ABSI) TERHADAP KEMAMPUAN MEMAHAMI DAN KEMAMPUAN BERARGUMENTASI SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENGAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. masalah dalam memahami fakta-fakta alam dan lingkungan serta

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 17 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang

I. PENDAHULUAN. terbangunnya sebuah peradaban suatu bangsa. Pendidikan di Indonesia banyak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan cabang dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang mempelajari

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Elita Lismiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wira Suwasti, 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. baik. Efektivitas berasal dari kata efektif. Dalam Kamus Besar Bahasa

Pembelajaran IPA Terpadu Melalui Keterampilan Kerja Ilmiah Untuk Mengembangkan Nilai Karakter. Henry Januar Saputra

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mewujudkan upaya tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31. Ayat (3) mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan dan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, dan mampu mengkomunikasikan

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF PDEODE BERBANTUAN SIMULASI KOMPUTER UNTUK MENGURANGI MISKONSEPSI SISWA PADA KONSEP LISTRIK DINAMIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS FISIKA SISWA KELAS X DI SMA NEGERI 7 MALANG UNIVERSITAS NEGERI MALANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Slavin (Nur, 2002) bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada tingkat sekolah dasar adalah merupakan pondasi bagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Herman S. Wattimena,2015

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembelajaran fisika di SMA secara umum adalah memberikan bekal. ilmu kepada siswa, pemahaman dan sejumlah kemampuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Biologi merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam (natural science) yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hasil akhir yang ingin dicapai dari suatu proses pembelajaran pada umumnya meliputi tiga jenis kompetensi, yaitu kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Ketiga jenis kompetensi ini sejatinya dikembangkan secara seimbang, terpadu, tanpa adanya prioritas salah satu daripada lainnya di setiap jenjang pendidikan juga satuan mata pelajaran, tidak terkecuali mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Sebagai satuan mata pelajaran, IPA sangat memberikan peluang yang sangat besar dalam mengembangkan kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Hal ini dikarenakan IPA pada hakikatnya terdiri dari tiga komponen, yaitu sikap ilmiah, proses ilmiah, dan produk ilmiah. Oleh karena itu, tujuan mata pelajaran IPA sejatinya berorientasi pada ketiga komponen utama tersebut. Dalam konteks produk ilmiah, secara eksplisit dijelaskan bahwa mata pelajaran IPA bertujuan agar siswa menguasai konsep dan prinsip IPA serta mempunyai keterampilan mengembangkan pengetahuan dan sikap percaya diri, sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi (Kemdikbud, 2013). Hal ini dapat dipahami mengingat penguasaan konsep dan prinsip IPA akan menjadi modal bagi para siswa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sembiring (2008) mengemukakan riset dasar bidang fisika (bagian dari IPA) telah banyak membuka rahasia alam dan telah memberikan kontribusi riil dalam perkembangan teknologi. Oleh karena itu, pembelajaran IPA tidak sebatas pada kegiatan menghafalkan materi, tetapi juga menekankan pada pemahaman konseptual yang kemudian bermuara pada aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk aplikasi dalam bidang teknologi. Namun demikian, pentingnya kompetensi penguasaan konsep dan prinsip IPA (sains) serta kemampuan mengaplikasikan (menerapkan) konsep sebagai output pembelajaran nampaknya tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Banyak

pendapat yang menyebutkan bahwa penguasaan konsep sains siswa masih relatif rendah. Dewey dalam Heuvelen (2001) menyatakan bahwa pendidikan sains cenderung gagal karena begitu sering disajikan hanya sebagai pengetahuan siap pakai dan bersifat informatif saja. Sementara itu, Medriati (2010) mengungkapkan permasalahan dalam mata pelajaran sains adalah tidak dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan sistematis, serta siswa kurang mampu mengaplikasikan konsep sains dalam kehidupan sehari-hari karena strategi pembelajaran berpikir tidak digunakan secara baik dalam proses pembelajaran. Disamping itu, ditemukan pula gejala yang muncul pada para siswa dimana mereka mudah untuk menyelesaikan permasalahan jika permasalahan tersebut tepat sama dengan apa yang sudah mereka pelajari. Namun, tidak jarang mereka mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada situasi atau permasalahan baru yang sebenarnya memuat konsep yang sama dengan permasalahan yang mereka pelajari sebelumnya (Tongchai, dkk., 2011). Hal ini mengindikasikan bahwa siswa mengalami inkonsistensi konsepsi. Inkonsistensi konsepsi siswa adalah ketidaktetapan atau ketidakajegan siswa dalam menggunakan konsepsi tertentu dalam memberikan jawaban atas sejumlah pertanyaan atau persoalan yang memuat konsep-konsep yang sama. Hal ini diduga karena para siswa memang tidak memiliki pemahaman konseptual yang kuat dan mendalam. Menurut Ainsworth (2006), konsistensi respon siswa dalam memahami konsep fisika (bagian dari sains) menuntut pemahaman yang lebih dari siswa untuk melihat kesetaraan dari permasalahan fisika yang dituangkan dengan berbagai cara. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, akan menjadikan seorang siswa konsisten terhadap apa yang dia pahami dan diyakini kebenarannya. Permasalahan inkonsistensi konsepsi siswa di atas sejalan dengan temuan awal peneliti dimana sebagian besar siswa di salah satu SMP Negeri yang berada di Kabupaten Tasikmalaya mengalami ketidakkonsistenan dalam menjawab beberapa soal yang memuat konsep yang sama. Berdasarkan pengukuran awal yang dilakukan, diperoleh gambaran bahwa tingkat konsistensi konsepsi siswa pada materi Tekanan rata-rata masih berada pada level tidak konsisten. Adapun dalam hal kemampuan aplikasi konsepnya, berdasarkan pengukuran awal yang

dilakukan, diperoleh gambaran bahwa perolehan rerata skor kemampuan aplikasi konsep siswa hanya sebesar 58 (selengkapnya dapat dilihat pada lampiran A). Produk atau hasil belajar, termasuk kemampuan aplikasi konsep dan konsistensi konsepsi siswa di dalamnya, bergantung pada serangkaian proses pembelajaran sains yang terjadi. Adanya permasalahan dalam domain produk sains diduga buah dari kurang efektifnya pembelajaran sains. Terkait dengan hal ini, Mundilarto (2005) menyatakan bahwa secara umum, rendahnya rerata perolehan nilai pada mata pelajaran sains mengindikasikan proses pembelajarannya belum dapat berlangsung sebagai mana mestinya. Kondisi itu antara lain disebabkan konsep sains selama ini lebih sering disampaikan guru kepada siswa sebagai fakta, bukan sebagai peristiwa atau gejala alam yang harus diamati, diukur, dan didiskusikan. Hal ini sejalan dengan hasil studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan di salah satu SMP Negeri yang berada di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2014 terkait kegiatan pembelajaran sains. Berdasarkan data-data hasil studi pendahuluan, peneliti menemukan bahwa kegiatan pembelajaran lebih sering dilakukan melalui demonstrasi dan ceramah. Sedangkan kegiatan praktikum relatif jarang dilakukan. Jika ditinjau dari hasil observasi kegiatan pembelajaran, pada saat observasi dilakukan, pembelajaran dilakukan secara pratikum atau eksperimen. Namun sayangnya eksperimen yang dilakukan tidak berorientasi pada kegiatan inkuiri. Hal ini tergambar pada saat awal pembelajaran, dimana kegiatan eksperimen belum dilakukan, namun guru sudah menjelaskan konsep terkait yang justru seharusnya siswa simpulkan melalui hasil eksperimen. Eksperimen yang dilakukan terkesan hanya bersifat verifikasi saja. Oleh karena itu, kegiatan eksperimen yang dilakukan kurang melatihkan kemampuan berpikir kepada siswa. Terlebih lembar kerja yang digunakan bersifat cookbook yang petunjuknya begitu lengkap sehingga siswa hanya bekerja seperti mesin, dan sedikit kesempatan bagi mereka untuk melatih kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak ilmiah, serta mengaplikasikan konsep-konsep yang mereka pelajari dalam kehidupan seharihari.

Hal-hal tersebut di atas sangat kontras dengan amanat Pemerintah terkait pelaksanaan proses pembelajaran. Kemdikbud (2013) menyatakan bahwa pembelajaran IPA sebaiknya menggunakan metode penemuan, metode pembelajaran yang menekankan pola dasar, yaitu melakukan pengamatan, menginferensi, dan mengomunikasikan/ menyajikan. Pandangan dasar tentang pembelajaran adalah bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru kepada siswa. Siswa dituntut untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran dimana mereka mengonstruksi pengetahuannya secara mandiri. Bagi siswa, pembelajaran harus bergeser dari diberi tahu menjadi aktif mencari tahu (Kemdikbud, 2013). Peran guru dalam pembelajaran adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan melalui kegiatan yang memungkinkan siswa menemukan pengetahuan tersebut. Pembelajaran terjadi apabila siswa terlibat secara aktif dalam menggunakan proses mentalnya agar mereka memperoleh pengalaman, sehingga memungkinkan mereka untuk menemukan pengetahuan. Proses-proses mental itu misalnya mengamati, menanya dan merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, melaksanakan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, menarik kesimpulan, serta menyajikan hasil kerjanya. (Kemdikbud, 2013). Oleh karena itu, proses-proses mental inilah yang kiranya harus guru hadirkan dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu alternatif solusi yang kiranya mampu menjawab tuntutan di atas adalah model pembelajaran generatif. Model ini merupakan salah satu model pembelajaran yang dilandasi teori belajar konstruktivisme, teori belajar yang menekankan adanya kegiatan penemuan dan pengkonstruksian pengetahuan secara mandiri oleh siswa, sebagaimana harapan Pemerintah yang telah dipaparkan sebelumnya. Aktivitas-aktivitas dalam model pembelajaran ini meliputi (1) tahap orientasi, guru membangun kesan pertama yang bertujuan untuk menarik perhatian dan minat siswa, (2) tahap pengungkapan ide, guru memberi pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui konsep awal siswa, (3) tahap tantangan dan restrukturisasi, guru memfasilitasi sharing idea antar siswa, guru memunculkan konflik kognitif, peragaan atau demonstrasi, ataupun penyelidikan

(4) tahap penerapan, guru membimbing siswa menerapkan konsep pada masalah yang lain, serta (5) tahap revisi, diskusi dan tanya jawab kembali untuk membandingkan materi yang telah diperoleh berdasarkan percobaan dengan pengetahuan awal sebelum melakukan percobaan. Dalam model pembelajaran ini, pemahaman dan penguasaan suatu materi merupakan produk dari proses pengintegrasian pengetahuan awal yang ada di benak siswa dan informasi baru yang siswa temukan. Oleh karena itu, model pembelajaran generatif cukup memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh pemahaman konseptual yang mendalam. Lingbiao dalam Redhana, dkk. (2003) menyatakan bahwa melalui pembelajaran generatif, konsep-konsep yang dirasakan sulit bagi siswa menjadi lebih mudah dipahami. Dengan demikian, hal tersebut akan berdampak pada konsistensi konsepsi siswa. Berbagai penelitian yang berhubungan dengan model pembelajaran generatif, seperti yang telah dilakukan Osborne, dkk. (1983), Khalidin (2005), Henny (2012) menemukan berbagai kelebihan dari model pembelajaran ini. Kelebihan model pembelajaran generatif yaitu mampu melatih siswa menggeneralisasi pengetahuan yang mereka miliki, melatih siswa untuk menyampaikan secara lisan konsep yang telah mereka pelajari, memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun konsep baru dari percobaan yang mereka lakukan, serta mampu meningkatkan pemahaman konsep siswa. Namun demikian, guna lebih menguatkan model pembelajaran generatif sedemikian sehingga diperoleh hasil yang optimal, terdapat sebuah strategi pembelajaran yang kiranya sangat cocok untuk dipadupadankan dengan model ini. Strategi pembelajaran tersebut dikenal dengan strategi predict, discuss, explain, observe, discuss, explain (PDEODE). Sebagaimana model pembelajaran generatif, strategi ini mengacu pada pandangan konstruktivisme. Strategi ini memiliki enam tahapan pembelajaran, yang meliputi: 1) Predict, siswa secara individu membuat prediksi jawaban berdasarkan pengetahuan awal mereka atas fenomena yang guru sajikan; 2) Discuss I, prediksi jawaban masing-masing siswa didiskusikan secara berkelompok untuk menghasilkan jawaban sementara; 3) Explain I, setiap kelompok siswa mengungkapkan jawaban sementara yang merupakan hasil

kesepakatan diskusi kelompok; 4) Observe, dengan bimbingan guru, siswa melakukan kegiatan observasi (penyelidikan) untuk mengonstruksi pengetahuan yang mereka perlukan guna memberikan jawaban yang pasti atas fenomena yang guru sajikan di awal; 5) Discuss II, siswa bersama kelompoknya kembali mendiskusikan jawaban atas fenomena yang guru sajikan berdasarkan pengetahuan atau pemahaman yang mereka dapatkan dari kegiatan observasi; 6) Explain II, setiap kelompok siswa memberikan penjelasan akhir atas fenomena yang guru sajikan. Strategi pembelajaran PDEODE diyakini mampu menanamkan pemahaman konseptual sains kepada siswa. Hal ini disebabkan konsep sains tidak serta-merta diterima siswa sebagai suatu informasi pengetahuan, melainkan hasil rekonstruksi pengetahuan awal mereka dengan pengetahuan baru yang mereka temukan dari kegiatan observasi (penyelidikan). Hal ini sangat cocok dengan model pembelajaran generatif yang berorientasi pada pengkonstruksian pengetahuan baru dengan mengakomodir pengetahuan awal siswa. Keutamaan dari strategi pembelajaran ini adalah siswa diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengungkapkan gagasan awal mereka terkait dengan suatu konsep sains, sekaligus membuktikan kebenaran dari gagasan tersebut. Terkait dengan hal ini, Kolari, dkk. (2005) mengungkapkan strategi pembelajaran PDEODE memungkinkan adanya perubahan konseptual pada pengetahuan yang dimiliki siswa. Perubahan konseptual yang terjadi adalah perubahan konsep awal siswa yang keliru menjadi pengetahuan yang baru yang terbukti kebenarannya. Berdasarkan pemaparan di atas, adanya pemaduan model pembelajaran generatif dan strategi PDEODE diharapkan akan saling menguatkan keunggulan masing-masing. Hal tersebut tentu sangat memungkinkan, mengingat keduanya memiliki banyak persamaan sebagaimana dipaparkan di atas. Namun demikian, pemaduan ini juga diharapkan akan saling melengkapi kekurangan masingmasing. Sebagai contoh, strategi PDEODE kurang memfasilitasi siswa mengembangkan kemampuan mengaplikasikan konsep. Namun, kekurangan tersebut dapat ditutupi dengan pembelajaran generatif yang memang memuat

tahapan penerapan (tahapan ke-4), sehingga kemampuan aplikasi konsep dapat tetap dibangun secara maksimal. Pada akhirnya, diharapkan penerapan model pembelajaran generatif dengan menggunakan strategi pembelajaran PDEODE dapat menjadi alternatif solusi dalam menyelesaikan permasalahan terkait produk sains di atas, khususnya konsistensi konsepsi dan kemampuan aplikasi konsep siswa. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh strategi pembelajaran PDEODE dalam model pembelajaran generatif terhadap konsistensi konsepsi dan kemampuan siswa dalam mengaplikasikan konsep sains, perlu kiranya dilakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Penerapan Strategi Predict, Discuss, Explain, Observe, Discuss, Explain (PDEODE) dalam Pembelajaran Generatif terhadap Konsistensi Konsepsi dan Peningkatan Kemampuan Aplikasi Konsep Siswa SMP pada Materi Tekanan. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaruh penerapan strategi predict, discuss, explain, observe, discuss, explain (PDEODE) dalam pembelajaran generatif terhadap konsistensi konsepsi dan peningkatan kemampuan aplikasi konsep siswa SMP pada materi Tekanan. Rumusan masalah tersebut diuraikan menjadi beberapa pertanyaan penelitian berikut. 1. Bagaimana konsistensi konsepsi siswa sebagai efek penerapan strategi PDEODE dalam pembelajaran generatif pada materi tekanan? 2. Bagaimana peningkatan kemampuan aplikasi konsep siswa sebagai efek penerapan strategi PDEODE dalam pembelajaran generatif pada materi tekanan? 3. Bagaimana hubungan antara konsistensi konsepsi dengan kemampuan aplikasi konsep siswa pada materi tekanan? 4. Bagaimana sikap siswa terhadap penerapan strategi PDEODE dalam pembelajaran generatif pada materi tekanan?

C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang: 1. Konsistensi konsepsi siswa sebagai efek penerapan strategi PDEODE dalam pembelajaran generatif pada materi tekanan. 2. Peningkatan kemampuan aplikasi konsep siswa sebagai efek penerapan strategi PDEODE dalam pembelajaran generatif pada materi tekanan. 3. Hubungan antara konsistensi konsepsi dengan kemampuan aplikasi konsep siswa pada materi tekanan. 4. Sikap siswa terhadap penerapan strategi PDEODE dalam pembelajaran generatif pada materi tekanan. D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti empiris tentang potensi penerapan strategi PDEODE dalam pembelajaran generatif dalam memaksimalkan konsistensi konsepsi dan meningkatkan kemampuan aplikasi konsep siswa, serta dapat memperkaya hasil penelitian sejenis yang nantinya dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, seperti para guru sains, mahasiswa LPTK, para peneliti dalam bidang pendidikan, dan lain-lain.