BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

dokumen-dokumen yang mirip
1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dengan berbagai kesempurnaan.

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan kemampuan bicara (Somantri, 2006). selayaknya remaja normal lainnya (Sastrawinata dkk, 1977).

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diuraikan mengenai pengertian penerimaan diri, aspek-aspek penerimaan diri yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan tubuhnya secara efektif. Lebih lanjut Havighurst menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yuyun Yuniarsih, 2014 Perilaku sosial remaja tunadaksa yang menggunakan jejaring sosial

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

Adaptif. Adaptif dapat diartikan sebagai, penyesuaian, modifikasi, khusus, terbatas, korektif, dan remedial.

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial. Sebagai makhluk individu ia memiliki sifat dan ciri-ciri yang

BAB I PENDAHULUAN. dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB 1 PENDAHULUAN. kenyataannya, anak ada yang normal dan anak yang berkebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. yang indah, bahkan anak dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak

BAB I PENDAHULUAN. pikiran dan perasaan kepada orang lain. 1. lama semakin jelas hingga ia mampu menirukan bunyi-bunyi bahasa yang

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan untuk penguasaan konsep sepanjang kehidupan mereka. Semua indera yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

5. DISKUSI, KESIMPULAN, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena

BAB I PENDAHULUAN. yang didambakan. Berbagai harapan sempurna mengenai anak pun mulai

BAB I PENDAHULUAN. Retardasi mental adalah suatu gangguan yang heterogen yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. berbagai alasan. Terlebih lagi alasan malu sehingga tidak sedikit yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya setiap manusia membutuhkan orang lain. Naluri untuk hidup bersama orang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik maupun mental. Tetapi tidak semua anak terlahir normal, anak yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi

BAB I PENDAHULUAN. menjadi orang tua dari anak-anak mereka. Orang tua merupakan individu yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

POLA INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS DI SEKOLAH KHUSUS AUTIS. Skripsi Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan. Mencapai derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Anak tuna rungu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada setiap budaya dan lingkungan masyarakat, keluarga memiliki struktur yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. impian setiap orang. Ketikamenikah, tentunya orang berkeinginan untuk

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB1 PENDAHULUAN. Setiap individu merupakan manusia sosial, sehingga setiap individu dituntut

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai

LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN PERKEMBANGAN DAN PROSES PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi salah satu ruang penting penunjang terjadinya interaksi sosial

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua mendambakan memiliki anak yang sehat, baik secara jasmani maupun

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum masa remaja terbagi menjadi tiga bagian yaitu, salah satunya

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan

Transkripsi:

14 BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis merupakan harapan bagi semua orangtua yang sudah menantikan kehadiran anak dalam kehidupan perkawinan mereka. Anak yang lahir sebagai anggota baru dalam keluarga membawa harapan baru bagi kedua orangtua. Namun terkadang kenyataan tidak sesuai dengan harapan orang tua. Anak bisa mengalami berbagai macam kekurangan atau keterbatasan fisik dan psikis pada saat baru lahir yang tidak bisa ditentukan oleh manusia. Orang awam lebih sering menyebutnya sebagai anak cacat. Istilah lain darinya adalah anak berkebutuhan khusus. Anakanak berkebutuhan khusus ini bisa mengalami salah satu gangguan atau ketunaan dan bisa juga mengalami beberapa gangguan (tunaganda). Menurut Manggungsong (2009) bahwa gangguan atau ketunaan yang biasanya dialami anak sebagai berikut gangguan fisik (tunadaksa), emosional dan perilaku, kesulitan belajar (tunalaras), mental retardasi (tunagrahita), gangguan penglihatan (tunanetra) dan gangguan pendengaran (tunarungu). Lowell dan Pollack (dalam Herward, 1995) menyatakan bahwa ketika baru lahir, anak-anak mempelajari suatu hal melalui pendengaran mereka. Anak yang baru lahir dapat merespon suara dengan terkejut dan mengedipkan mata. Beberapa minggu selanjutnya bayi dengan pendengaran normal dapat mendengar suara yang pelan, mengenali suara orang tuanya, dan memperhatikan degukan dan ocehannya sendiri. Pada tahun pertama kehidupan, bayi mendapatkan banyak

15 informasi melalui pendengaran, mereka membedakan suara yang mempunyai makna dari suatu keributan, mengetahui arah datangnya suara dan meniru suara. Napierkowski (dalam Herward, 1998) menyatakan dengan seiring perkembangan pendengaran anak, mereka mengembangkan bahasa saat mendengarkan orang berbicara, dan menghubungkan suara ini dengan aktivitas dan peristiwa yang tak terkira banyaknya. Mereka memberikan makna melalui suara, dengan cepat mempelajari apa informasi yang disampaikan oleh orang lain dan menukar pikiran dan perasaan mereka dengan berbicara dan mendengar. Pada saat anak mulai masuk sekolah, dia biasanya memiliki kosakata lebih dari 5000 kata. Dan anak diharapkan sudah mempunyai 100 juta kontak yang bermakna dengan bahasa. Gangguan pendengaran (hearing impairment) atau di Indonesia dikenal dengan istilah tunarungu atau tuli merupakan salah satu gangguan pada alat indera yaitu telinga. Menurut data Kementerian Sosial pada tahun 2006 (data pusdatin) mencatat bahwa terdapat 295.763 anak dengan kecacatan. Jenis kecacatan yang banyak terjadi adalah tunadaksa (35,8%); tunanetra (17%); tunarungu (14,27%); tunagrahita (12,15%) dan lain lain (kurang dari 7%) (dalam Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Menurut Mores (dalam Mangunsong, 2009) ketunarunguaan adalah suatu kondisi dimana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian lain baik dalam derajat frekuensi ataupun intensitas. Definisi yang kuantitatif secara khusus menunjuk pada gangguan pendengaran sesuai dengan hilangnya pendengaran yang dapat diukur dengan alat audiometri. Audiometri merupakan alat yang dapat mengukur seberapa jauh seseorang dapat

16 mendengar atau seberapa besar hilang pendengaran dan ditunjukkan dalam satuan desibel (Db). Heward (1998) menyatakan bahwa fungsi pendengaran merupakan sesuatu hal yang sangat penting bagi anak di tahun pertama kehidupan mereka untuk menerima dan mempelajari informasi. Pendengaran merupakan hal yang penting untuk setiap aspek dari kehidupan sehari-hari kita. Jika tidak mendengar, akan menjadi sulit untuk berpartisipasi secara penuh dalam aktivitas di sekolah, pekerjaan, tetangga, teman, bahkan dengan keluarga sendiri. Selain itu juga, gangguan pendengaran bisa juga mempengaruhi perilaku dan perkembangan sosial emosional anak. Penelitian yang tersedia tidak begitu jelas mengambarkan pengaruh dari kehilangan pendengaran terhadap perilaku. Namun hal ini muncul bahwa anak yang tunarungu akan sukses berinteraksi dengan anggota keluarga, teman, dan orang-orang dalam komunitas bergantung pada perilaku orang lain dan kemampuan anak dalam berkomunikasi secara timbal balik dengan cara yang bisa diterima. Mangunsong (2009) menyatakan bahwa anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu) seringkali menimbulkan masalah tersendiri. Masalah utama pada anak dengan gangguan pendengaran adalah masalah komunikasi. Ketidakmampuannya untuk berkomunikasi berdampak luas, baik pada segi keterampilan bahasa, membaca, menulis, maupun penyesuaian sosial, serta prestasi sekolahnya. Namun demikian apabila dicermati, sebenarnya bukan hanya aspek-aspek itu saja yang terpengaruh, melainkan seluruh aspek perkembangannya dan aspek kehidupannya juga terpengaruh. Penderitaan anak tunarungu berpangkal dari kesulitannya mendengar, sehingga pembentukan

17 bahasa sebagai salah satu cara komunikasi menjadi terhambat. Dengan ketidakmampuan berbahasa, khususnya secara verbal, anak akan mengalami kesulitan dalam menyampaikan pikiran, perasaan, gagasan, kebutuhan dan kehendaknya pada orang lain, sehingga kebutuhan mereka tidak terpuaskan secara sempurna. Disamping tidak dimengerti oleh orang lain, anak tunarungu pun sukar memahami orang lain, sehingga tidak jarang mereka merasa terkucil atau terisolasi dari lingkungan sosialnya. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh TH, seorang pengajar di TKLB Santi Rahma, Jakarta: Anak tunarungu memiliki kesulitan dalam bersosialisasi karena ketidakmampuan berbahasa mereka yang menyebabkan mereka menjadi sulit untuk berkomunikasi ain itu, mereka lebih terkesan emosian. (Komunikasi personal, 6 April 2013). Goldstein (2005) menyatakan bahwa emosi merupakan pengalaman subjektif. Namun, tentu saja anak-anak yang memiliki gangguan pendengaran digambarkan bahwa mereka lebih sering memakai emosi negatif dibandingkan anak-anak lainnya. Emosi negatif yang ada pada anak tunarungu baik yang kategori severe, profound, atau mild adalah rasa marah yang menunjukan tandatanda seperti frustasi, temper, keras kepala dan bisa juga menjadi menarik diri. Hal ini seperti yang juga dinyatakan oleh S yang menyatakan bahwa: Kebanyakan anak tunarungu pada saat awal datang mereka terkesan sangat aktif, karena memang susah untuk diberitahu. Karena mereka tidak mendengar dan tidak mengerti tadi sehingga mereka melakukan sesuka hari. Dengan anak yang normal bisa berhenti jika disuruh berhenti. Mereka juga suka emosional kebanyakan mereka pemarah karena merasa tidak dimengerti lingkungannya. Bukan pemalu bukan apa, ada memang tapi kebanyakan yang saya lihat lebih kebanyakan pemarah (Komunikasi personal, 30 Maret 2013).

18 Menurut Roternberg & Eisenberg (dalam Papalia, 2008) kontrol terhadap emosi negatif merupakan salah satu aspek pertumbuhan emosional. Anak-anak belajar tentang apa-apa yang membuat mereka marah, takut, sedih, dan bagaimana orang lain bereaksi dalam menunjukan emosi ini, dan mereka belajar mengadaptasikan perilaku mereka dengan emosi-emosi tersebut. Mereka juga belajar perbedaan antar emosi dan mengekspresikannya. Bryant (1987) menyatakan pada pertengahan masa kanak-kanak, anakanak menyadari dengan baik aturan penampilan emosional kultur mereka. Emosional kultur semacam ini dikomunikasikan melalui reaksi orangtua terhadap penunjukan ekspresi oleh anak. Orangtua yang mengakui dan melegitimasi perasaan tertekan anak mendorong perkembangan empati dan prososial. Sementara itu menurut pendapat Fabes, Leornard, Kupenoff, & Martin (2001) ketika orangtua menunjukan ketidaksetujuan, atau menghukum, emosi negatif, emosi tersebut bisa jadi semakin intens ditunjukkan dan dapat merusak penyesuaian sosial anak. Atau anak tersebut mungkin belajar untuk menyembunyikan emosi negatif tetapi bisa menjadi cemas dalam situasi yang membangkitkan emosi tersebut (dalam Papilia, 2008). Gross (2007) juga menyatakan bahwa pemahaman anak dalam mengembangkan regulasi emosi dipengaruhi oleh input dari pengasuh atau orangtua. Orangtua yang menunjukkan dukungan ketika anak mengalami emosi negatif, mengajarkannya untuk mengatasi perasaan tersebut, yang akan membuat anak mengembangkan pemahamannya akan pengalaman emosi dan berdampak pada regulasi diri yang efektif. Regulasi emosi bisa didukung dan diganggu oleh bagaimana orang lain mengevaluasi perasaan seseorang. Respon simpati, respon

19 yang membangun menegaskan bahwa perasaan seseorang itu sesuai dan memberikan sumber dukungan sosial yang membantu dalam coping melalui pemahaman dan nasehat yang diberikan oleh orang lain. Tetapi penolakan, kritikan, atau respon meremehkan bisa menambah stress sebagai hambatan dari regulasi emosi. Khususnya terjadi pada emosi-emosi negatif, ketika kritikan dan reaksi untuk mengukum mengandung pesan implisit untuk mengabaikan kesesuaian antara perasaan atau ekspresi mereka. Gotman dan kawan-kawan (dalam Cortell, 2009) menyatakan bahwa pikiran dan perasaan orangtua mengenai emosi yang mereka alami sendiri sama halnya juga dengan dunia emosi dari anak-anak mereka. Dari hal ini lah, Gottman mengidentifikasi filosofi-filosofi yang berbeda bahwa orangtua bisa memiliki pengaruh terhadap emosi-emosi anak. Mendengar pandangan para orangtua mengenai strategi-strategi yang mereka gunakan untuk membantu anak mereka mengatur emosi membuat Dr. Gottman mengindentifikasi emotion coaching. Emotion coaching adalah suatu strategi bagi para orangtua atau pengasuh yang bisa digunakan untuk anak-anak dan para remaja. Dalam emotion coaching, orangtua tidak hanya berespon merenungi terhadap emosi-emosi anak mereka dan mencontohkan sebagai suatu pendekatan terhadap emosi melalui kesadaran, ekspresi, dan juga modulasi dari emosi-emosi mereka sendiri; mereka juga secara aktif dan berperan secara nyata dalam mengarahkan pendekatan terhadap emosiemosi anak dengan membicarakan mengenai dengan anak-anak mereka dan bekerjasama untuk memecahkan masalah-masalah yang menyangkut emosi. Parental emotional coaching merupakan suatu teknik yang ditujukan kepada orangtua agar mereka bisa menjadi pelatih emosi bagi anak saat

20 menunjukkan emosi negatif. Bagaimana orangtua bisa menyikapi emosi negatif anak tanpa adanya pengabaian terhadap emosi negatif tersebut. Namun, bisa memberikan suatu pelajaran saat anak sedang mengalami emosi negatif sebagai suatu cara untuk mengikutsertakan anak dan mengajari mereka mengenai emosiemosi. Penerimaan orangtua akan ekspresi emosi berhubungan dengan kesadaran akan emosi dan kemampuan untuk berbicara mengenai emosi dan intensitas emosi. Gottman et al (dalam Cook, 2004) menemukan bahwa orangtua memiliki kesadaran emosi yang tinggi cenderung memandang emosi positif dan emosi negatif sebagai bagian dari hidup dan percaya bahwa ketika emosi negatif dengan intensitas rendah dihadapi akan mencegah meningkatnya emosi ke intensitas yang lebih tinggi. Sebaliknya, orangtua dengan kesadaran emosi yang rendah cenderung meminimalisir atau menghindari emosi negatif. Mereka cenderung memandang kesedihan dan kemarahan anak sebagai kejadian yang menyusahakan. Program parental emotional coaching dianggap bisa membantu orangtua atau pengasuh mempelajari untuk menilai rentang emosi, seperti kebahagian atau kesedihan. Tujuan dari program ini bagaimana orangtua bisa membantu anak dalam memecahkan masalah yang menjadi penyebab kesedihan/kemarahan/kekecewaan pada anak. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui efektifitas parental emotional coaching untuk meningkatkan kemampuan orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu sehingga penelitian ini diberi judul Parental Emotional Coaching

21 Untuk Meningkatkan Kemampuan Dalam Menghadapi Emosi Negatif Anak Tunarungu I. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah apakah program parental emotional coaching dapat meningkatkan kemampuan orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu. I. C. Tujuan Penelitian I. C. 1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil dari program parental emotional coaching yang dilakukan kepada orangtua bisa meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu. I. C.2. Tujuan khusus Penelitian ini memiliki tujuan khusus yaitu agar orangtua yang sudah mengikuti parental emotional coaching dapat memiliki kemampuan problem focused reaction saat harus menghadapi emosi negatif anak tunarungu. I. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : I. D. 1. Manfaat teoritis penelitian a. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu psikologi terutama di bidang psikologi perkembangan, klinis

22 anak, pendidikan khususnya mengenai emosi pada anak tunarungu dan peran serta orangtua untuk membantu menghadapi emosi negatif pada anak tunarungu. b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan dasar pengetahuan dan masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan mengenai anak tunarungu, emosi, regulasi emosi pada anak tunarungu dan program parental emotional coaching. I. D. 2. Manfaat praktis penelitian a. Penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat luas khususnya ibu yang memiliki anak tunarungu untuk bisa memahami dan mengatasi emosi-emosi negatif yang muncul pada anak. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi orang tua yang memiliki anak tunarungu agar berperan aktif untuk meningkatkan kemampuan orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak. c. Penelitian ini hendaknya dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai efektifitas parental emotional coaching.

23 I. E. Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan: dalam bab ini terdiri dari uraian tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penelitian. BAB II : Tinjauan Pustaka: di dalam bab ini dijelaskan beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tunarungu, emosi, parental emotional coaching. BAB III : Metode Penelitian: di bab ini akan dijelaskan metode yang akan digunakan dalam penelitian, metode pengumpulan data, subjek penelitian serta lokasi penelitian, prosedur penelitian dan tahap pelaksanaan penelitian dan metode analisa data BAB IV : Pelaksanaan dan Hasil Intervensi: peneliti akan menguraikan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan penelitian serta pembahasannya. BAB V : Kesimpulan dan Saran: Menjelaskan kesimpulan yang telah diperoleh saat melakukan penelitian serta saran-saran metodologis dan praktis.