BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan adalah membangun gagasan dan emosi secara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Efa Rosfita, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikansebagai

BAB I PENDAHULUAN. diakses pada tanggal 03 Nopember 2014, hlm.4.

BAB I PENDAHULUAN. Realitas Indonesia sebagai negeri bencana tidak dapat ditampik lagi. Hal

2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 7-E TERHADAP PENINGKATAN PENGUASAAN KONSEP BENTUK MUKA BUMI DALAM MATA PELAJARAN IPS

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada saat sekarang ini terus mengalami perubahan dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. A. Landasan Teori. 1. Hakekat Motivasi Belajar. a. Pengertian Motivasi Belajar

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

BAB II KAJIAN TEORI. Pendapat tersebut sudah jelas mengatakan bahwa kerjasama merupakan

I. PENDAHULUAN. dapat dikatakan sebagai sentral pembelajaran. Guru juga sebagai pengatur dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tri Suryani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

I. PENDAHULUAN. sangat berperan adalah lembaga pendidikan. Dalam mencapai tujuan

Penerapan Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VII-A SMP Brawijaya Smart School Malang

BAB I PENDAHULUAN. Fitri Aliva, 2013 Pengembangan Green Behaviour Melalui Model Pembelajaran Pelayanan (Service Learning)

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses pembelajaran matematika dan salah satu tujuan dari materi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Neni SUharjani, 2014

MODEL LEARNING CYCLE 5E SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Definisi dari Pendidikan IPS (social studies) menurut NCSS (National Council of

I. PENDAHULUAN. Dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini sedang mengalami krisis, yang harus dijawab oleh dunia pendidikan. Jika proses-proses

BAB I PENDAHULUAN. terampil, bermartabat, bermoral dan berkualitas. Usaha perbaikan mutu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tujuan bersama (Hamid Hasan dalam Solihatin 2009: 4). Cooperative learning

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dewasa ini diarahkan untuk peningkatan kualitas belajar,

Rata-rata UN SMP/Sederajat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

I. PENDAHULUAN. Bagian ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menghafal suatu konsep atau pengertian dari suatu materi pelajaran. aksi yang menyebabkan terjadinya perubahan bagi orang yang

A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang menanamkan. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah dapat

PENGARUH APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN TPS, NHT, DAN KONVENSIONAL TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan media yang sangat berperan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Penerapan Metode Inkuiri Berbasis Sains Teknologi Masyarakat Terhadap Hasil Belajar Hasil Belajar IPS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN. dibahas beberapa hal yang lebih mengarah pada judul yaitu berupa rumusan

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan sosial (IPS) di tingkat sekolah dasar (SD). Pembelajaran IPS

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan diartikan sebagai usaha atau kegiatan untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan implementasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab ini membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,

2015 PENINGKATAN KARAKTER RASA INGIN TAHU SISWA DALAM PEMBELAJARAN IPS DENGAN PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat berperan dalam upaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN. dibahas dalam bab ini yaitu rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1

I. PENDAHULUAN. Pembahasan dalam bab ini difokuskan pada beberapa subbab yang terdiri dari

Oleh : Yeyen Suryani dan Sintia Dewiana. Abstrak

2015 PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL SISWA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. memperoleh pengetahuan baru. Reber dalam Agus Suprijono (2010: 3)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menghiasi praktek pembelajaran di kelas. Pada umumnya guru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. penelitian. Untuk lebih jelasnya peneliti uraikan sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan satu dari sekian banyak disiplin ilmu yang dipelajari,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional bab I pasal (1), disebutkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang sekolah dasar mata pelajaran Ilmu

I. PENDAHULUAN. Mata pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) Terpadu di SMP terdiri dari studi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan peserta didik yang berkualitas, baik dilihat dari prestasi bidang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kondisi pembelajaran awal siswa sebelum diterapkan metode pembelajaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Sekolah Menengah Pertama

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PENGARUH PENGGUNAAN INTERNET TERHADAP HASIL BELAJAR IPS PESERTA DIDIK KELAS X SMK NURUL HUDA SUKARAJA OKU TIMUR Khafid Ismail

BAB I PENDAHULUAN (1982:1-2):

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha yang dapat ditempuh untuk mengembangkan. dan meningkatkan ilmu pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh

BAB II KAJIAN TEORI. yang penting bagi keberhasilan proses pembelajaran. Keaktifan adalah

BAB I PENDAHULUAN. diakui oleh masyarakat. Dalam lembaga pendidikan formal, aktifitas pendidikan. terlaksana melalui kegiatan pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mempelajari fakta dan informasi saja, namun juga harus mempelajari

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Hal senada pun diungkapkan oleh Gunawan (2013, hlm. 48) menyatakan

BAB II KAJIAN TEORI. Pada bab ini akan dikemukakan teori mengenai komponen-komponen

PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN THINK PAIR AND SHARE DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN IPS KELAS VI SEKOLAH DASAR NEGERI SAWAH 2 CIPUTAT

2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI TULISAN DAN PENGUASAAN KONSEP SISTEM EKSKRESI SISWA KELAS XI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intan Setiawati, 2013

Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dengan Menggunakan Metode NHT (Numbered Head Together) Pada Pokok Bahasan Gaya Kelas V SDN 6 Tambun

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan nasional merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh negara

PERBEDAAN HASIL BELAJAR SISWA ANTARA YANG MENGGUNAKAN SRATEGI INKUIRI DENGAN STRATEGI EKSPOSITORI

BAB I PENDAHULUAN. Padahal metode ceramah memiliki banyak kekurangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sanjaya (2006:145),

Sriwinda Mana a, Bonifasius Saneba, dan Anthonius Palimbong

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) SD. social studies, seperti di Amerika. Sardjiyo (repository. upi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, yang tercermindari keberhasilan belajar siswa. Proses

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pendidikan adalah membangun gagasan dan emosi secara terus-menerus. Perubahan kesadaran manusia dari tidak tahu menjadi tahu, dari tahu menjadi mengerti dan dari mengerti menjadi paham, urutan perubahan itu pun dikenal dengan sebutan proses. Proses tersebut berlangsung tanpa henti memberikan karakter distingtif pada pendidikan. Proses tersebut juga membuat pembelajaran dalam pendidikan menjadi semacam proses yang menyenangkan dan terus mengalami perubahan, sebagaimana pemikiran dan perasaan yang juga terus dibangun dan dikembangkan secara berkelanjutan. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang merangkul pengalaman belajar tanpa batas mengenai bagaimana gagasan dan emosi berinteraksi dengan suasana kelas dan bagaimana keduanya dapat berubah sesuai suasana yang turut berubah (Joyce, Weil dan Calhoun, 2009: 6-7). Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi dan modifikasi dari konsep-konsep dan keterampilan disiplin ilmu sejarah, geografi, sosiologi, antripologi dan ekonomi yang diorganisasikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pembelajaran. National 1

Council for the Social Studies (NCSS) tahun 1992 menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial adalah: Social studies is the integrated study of the social science and humanities to promote civic competence. Within the school prgram social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such diciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics and natural science. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent word (Stahl dan Hartoonian, 2003: 3 dalam Maryani dan Sjamsuddin, 2008: 14) National Council for the Social Studies memberi gambaran standar kurikulum pembelajaran IPS yang powerfull/tangguh saat guru berpegang pada 5 prinsip pembelajaran yaitu: bermakna (meaningful), terpadu (integrative), menantang (challenging), aktif (active) dan berbasis nilai (value based) (Sunal dan Hans, 2005:5). Menurut Wiriaatmadja (2002: 307-308) proses belajar mengajar ilmu-ilmu sosial akan tangguh apabila melakukan banyak kegiatan aktif seperti: 1. Belajar mengajar aktif harus dengan berfikir reflektif dan pengambilan keputusan selama kegiatan berlangsung, karena proses pembelajaran berlangsung dengan cepat dan peristiwa dapat berkembang tiba-tiba. 2. Melalui proses belajar aktif, peserta didik lebih mudah mengembangkan dan memahami pengetahuan baru mereka. 3. Proses belajar aktif membangun kebermaknaan pembelajaran yang diperlukan agar peserta didik dapat mengembangkan pemahaman sosialnya. 4. Peran guru secara bertahap bergeser dari berbagai sumber pengetahuan atau model kepada peranan yang tidak menonjol untuk mendorong peserta didik agar mendiri dan disiplin. 2

5. Proses belajar mengajar ilmu-ilmu sosial yang tangguh menekankan proses pembelajaran dengan kegiatan aktif di lapangan untuk mempelajari kehidupan nyata dengan menerapkan bahan untuk keterampilan yang ada di lapangan. Berkaitan dengan konsep IPS sebagai perpaduan pengetahuan dan ilmu-ilmu sosial, maka tujuan kurikulum IPS menurut Sumaatmadja (1984: 48) harus mampu mencapai hal-hal berikut: 1. Membekali peserta didik dengan pengetahuan sosial yang berguna dalam kehidupan di masyarakat. 2. Membekali peserta didik dengan kemampuan mengidentifikasi, menganalisa dan menyusun alternatif pemecahan masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan di masyarakat. 3. Membekali peserta didik dengan kemampuan berkomunikasi dengan sesama warga masyarakat dan dengan berbagai bidang keilmuan serta berbagai keahlian. 4. Membekali peserta didik dengan kesadaran, sikap mental yang positif dan keterampilan terhadap lingkungan hidup yang menjadi bagian dari kehidupannya yang tidak terpisahkan. 5. Membekali peserta didik dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keilmuan IPS sesuai dengan perkembangan kehidupan, perkembangan masyarakat, perkembangan ilmu dan teknologi. Menurut Dufty (1970) dalam Maryani (2008: 16) mengartikan IPS sebagai the process of learning to live with other people. Uraian tersebut menampakan bahwa IPS bertujuan untuk melatih peserta didik agar berfikir sistematis, kritis, bersikap dan bertindak sehingga adaptable terhadap kehidupan masyarakat. Semua yang menjadi tujuan dari IPS salah satu pencapaiannya melalui pembelajaran. 3

Pendidikan berkualitas memerlukan suatu pembelajaran yang berkualitas pula. Pada proses pembelajaran, pengetahuan yang diperoleh peserta didik seharusnya tidak melalui pemberian informasi saja melainkan melalui proses pemahaman tentang bagaimana pengetahuan itu diperoleh, bagaimana proses daya alih untuk menggali, mendapatkan pengetahuan dan informasi yang diinginkan. Utami Munandar (1990) dalam Al Muchtar (2006: 61), memberikan penilaian terhadap perolehan pendidikan dewasa ini, seperti dilansir pada harian Kompas (23/12/1999), bahwa kelemahan utama pendidikan adalah terlalu besarnya penekanan terhadap aspek kognitif. Hal ini pun terjadi pada mata pelajaran IPS. Pengembangan mata pelajaran IPS saat ini lebih banyak memuat aspek kognitif pada tingkat rendah dan terpusat pada hapalan. Akibatnya mata pelajaran IPS lebih memberikan kesan kepada peserta didik sebagai pelajaran hapalan. Kondisi ini menguat, terutama pada kelas VI SD dan kelas III SMP disebabkan orientasi pada pencapaian target UAN/UN. Maman Abdurachman (1990) dalam Al Muchtar (2006: 59) dalam penelitiannya menambahkan rangkaian permasalahan IPS yaitu, bahwa seharusnya proses belajar mengajar lebih mengutamakan kemampuan berpikir, namun pada kenyataannya profil belajar peserta didik lebih banyak dalam prilaku belajar menyimak informasi dengan kegiatan guru yang dominan, sehingga dirasakan hanya mengembangkan berpikir tingkat rendah. Guru lebih banyak memberikan pengetahuan dari pada proses berpikir. 4

Paradigma lama yang terjadi dalam proses pembelajaran peserta didik adalah penerima pengetahuan yang pasif, dan guru memiliki pengetahuan yang nantinya akan dihafal oleh peserta didik seperti halnya istilah mengisi botol kosong dengan pengetahuan. Hal ini sejalan dengan penelitian Al Muchtar (2006: 59) yang menyatakan bahwa profil peserta didik lebih banyak dalam prilaku belajar menyimak informasi dengan kegiatan guru yang dominan dan guru yang banyak mengambil posisi di depan kelas yang cenderung menggurui dari pada mengajar peserta didik untuk belajar memikirkan bahan pelajaran. Sumaatmadja (1990: 64), menilai bahwa dewasa ini muncul adanya perlakuan diskriminatif terhadap pendidikan IPS sehingga mengakibatkan merosotnya citra pendidikan IPS. Salah satu temuan Al-Muchtar (2004) menyatakan adanya suatu sekolah di Kota Bandung yang tidak menyediakan jurusan IPS pada jenjang SMA di kelas 2 dan 3 Al Muchtar (2006: 64). Permasalahan yang lain pula muncul sebagai bentuk kelemahan dari proses pembelajaran IPS. Kebiasaan guru IPS lebih banyak menggunakan pendekatan Ekspository dari pada inquiry. Guru lebih banyak menerapkan metode ceramah dan jarang untuk menerapkan metode-metode lain selain ceramah. Hal ini pula diperkuat dengan hasil penelitian Maryani dan Sjamsuddin (2008: 88), bahwa 67.7% peserta didik SMP di Jawa Barat, tidak menginginkan penggunaan metode ceramah dalam kegiatan pembelajaran. 5

Kebanyakan guru mengajar dengan metode ceramah dan mengharapkan peserta didik duduk, diam, (men)dengar(kan), (men)catat dan (meng)hafal serta mengadu peserta didik satu sama lain (Lie, 2008: 3). Ada pula beberapa guru yang menyatakan bahwa mereka telah melaksanakan metode belajar dengan berkelompok (Lie, 2008: 7) namun strategi guru yang sering digunakan untuk mengaktifkan peserta didik dengan seluruh peserta didik lain di kelas ternyata tidak juga terlalu efektif, walaupun guru sudah berusaha dan mendorong peserta didik untuk berpartisipasi. Kenyataan yang terjadi adalah kebanyakan peserta didik terpaku menjadi penonton, sementara arena kelas dikuasai hanya segelintir peserta didik saja. Kaitannya dengan ketidakefektifan strategi yang digunakan dalam mengaktifkan peserta didik, Karp dan Yoel (1988) dalam Lie (2008: 6) mencatat hasil pengamatan pada tingkat perguruan tinggi dan menemukan bahwa kelas dengan mahasiswa yang berjumlah kurang dari 40 orang, hanya empat sampai lima orang saja yang menggunakan 75% dari waktu interaksi yang disediakan. Hasil pengamatan tersebut memperlihatkan pula, bahwa dalam kelas yang berisi lebih dari 40 orang, hanya dua orang sampai tiga orang saja yang mendominasi separuh dari interaksi kelas. Perkembangan metode-metode pembelajaran saat ini dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Metode pembelajaran merupakan salah satu komponen pembelajaran yang dapat mempengaruhi proses dan kualitas pembelajaran. Menurut Sanjaya (2006: 59), beberapa komponen utama dalam pembelajaran adalah tujuan, isi/materi, metode, alat atau media dan penilaian atau evaluasi. Komponen-komponen 6

tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Terlebih lagi, dalam beberapa sekolah, umumnya proses pembelajaran diatur oleh masing-masing guru. Interaksi guru dan peserta didik hanya terbatas pada model pembacaan atau hafalan, guru akan menanyakan apa saja yang telah dipelajari, meminta salah seorang peserta didik untuk menjawab pertanyaan tersebut, kemudian membenarkan atau memperbaiki respon peserta didik (Sirotnik, 1983 dalam Joyce, Weil dan Calhoun, 2009: 296). Pola-pola evaluasi yang demikian menjadikan kelas sebagai ruang kompetensi antarsatu peserta didik dengan peserta didik lainnya. Tentu saja menurut beberapa penggagas teori pembelajaran kooperatif berpandangan bahwa pola-pola pendidikan individualistik, digabungkan dengan hafalan yang dikuasai seorang guru, sebenarnya merupakan hal yang kontra produkrif baik dalam tataran individu maupun sosial. Hal ini disebabkan bahwa metode yang demikian hanya menekan angka pembelajaran, menciptakan sebuah interaksi yang tidak alamiah, bahkan menjelma menjadi sebuah suasana yang antisosial. Simbol kegagalan dalam upaya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya dan melatih kemampuan untuk bekerjasama. Secara fitrah, bagaimanapun, manusia pada dasarnya suka bekerjasama, berdebat, berdiskusi, dan selalu berupaya menyaingi kompetensi yang dimiliki lawan debat atau diskusinya (Jhonson, 1990; Sharan, 1990; Thelen, 1960 dalam Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 296). 7

Metode ceramah seperti yang tersebut diatas, sudah selayaknya dikembangkan pada pemikiran peserta didik dan lingkungan pendidikan menuju istilah kontruktivisme. Inti dari pembelajaran konstruktivisme ini adalah pembelajaran diarahkan dengan bagaimana melatih peserta didik mengembangkan kapasitas peserta didik dalam meningkatkan pengetahuan dan bekerja sama dengan orang lain untuk menciptakan hubungan sosial dan intelektual yang produktifmeningkatkan pengetahuan dalam ranah akademik, sosial, dan personal secara bersamaan. Guru tidak mendominasi kelas dan pembelajaran lebih berpusat pada peserta didik dengan menjadikan peserta didik sebagai pemikir yang membentuk pengetahuan sendiri dan peserta didik dalam proses pembelajaranan, menyimpan informasi, mengolah, dan mengubah konsepsi-konsepsi yang sudah ada sebelumnya. Pembelajaran bukan hanya sekedar proses menyerap informasi, gagasan, dan keterampilan, karena materi-materi baru tersebut akan dikonstruksi oleh otak. Sehingga pengetahuan tidak sekedar ditransmisikan oleh guru, tetapi mau tidak mau harus dibangun dan dimunculkan sendiri oleh peserta didik agar mereka dapat merespon informasi dalam lingkungan pendidikan. Bagi sebagian guru, konsep tentang berbagai metode pembelajaran merupakan jalan besar untuk menjadi seorang guru yang profesional. Dalam satu kesimpulan yang muncul dalam penelitian Bruce (1970-1980) dalam Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 30) bahwa ada begitu banyak model pembelajaran, sebagian ada yang hanya bisa diterapkan untuk satu atau dua tujuan, sebagian lagi ada yang bisa 8

diterapkan untuk tujuan yang lebih besar, dan sebagian yang lain ada yang benarbenar sesuai untuk tujuan-tujuan tertentu. Metode pembelajaran merupakan cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan peserta didik pada saat berlangsungnya pembelajaran. Metode pembelajaran sangat diharapkan dapat membangun interaksi antara guru dengan para peserta didik dan mempertajam lingkungan/ suasana saat proses pembelajaran, sehingga beberapa praktek dalam penerapan metode pembelajaran menjadi sasaran kajian formal, diteliti dan dimanipulasi/ dipoles sehingga menjadi metode yang dapat digunakan dalam mengembangkan keterampilan-keterampilan profesional untuk tugas-tugas pembelajaran. Salah satu metode pembelajaran yang dikembangkan oleh para pakar penelitian pendidikan dalam upaya meningkatkan keaktifan dan keterampilan sosial peserta didik adalah metode pembelajaran kooperatif yang dikenal dengan cooperative learning. Sebenarnya pembelajaran kooperatif telah memiliki sejarah yang panjang. Sejak zaman dahulu kala, para guru telah membolehkan atau mendorong peserta didik untuk bekerja sama dalam tugas-tugas kelompok tertentu, dalam diskusi atau debat kelompok, atau bentuk-bentuk kerja kelompok, atau kegiatan pelajaran tambahan berkelompok lainnya. Metode ini biasanya bersifat informal, tidak berstruktur, dan hanya digunakan pada saat-saat tertentu saja. Bahkan pada saat inipun, pada kegiatan pembelajaran di sekolah, tetap ada penerapan belajar 9

kelompok, seperti halnya pengerjaan soal-soal latihan yang dikerjakan peserta didik secara berkelompok, namun, tetap saja diterapkan dengan teknik-teknik yang lama. Metode pembelajaran kooperatif mestinya tidak sama dengan sekedar belajar secara berkelompok. Unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif berbeda dengan kerja kelompok biasa. Pelaksanaan prosedur metode pembelajaran kooperatif dengan benar memungkinkan guru mendapat cara yang baik untuk mengatasi masalahmasalah yang timbul dalam metode pembelajaran lain, seperti halnya diskusi, sehingga tujuan pembelajaran kooperatif akan tercapai. Suasana kelas direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga peserta didik mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Maksud dari interaksi ini adalah, peserta didik membentuk komunitas yang memungkinkan mereka mencintai proses pembelajaran pengembangan keterampilan sosial yang saat ini cenderung terlepas karena terlampau tetap bermuara kepada pencapaian hasil belajar saja. Peserta didik di kelas tidak dibangun untuk memberikan kesempatan berinteraksi satu dengan yang lain. Proses pembelajaran dikembangkan dari metode konvensional saja melalui Ekspository. Proses pembelajaran di kelas belum mengembangkan keterampilan sosial peserta didik. Penciptaan suasana belajar yang mengembangkan keterampilan sosial sangat diperlukan sehingga dapat mengembangkan keterampilan sosial dan dapat melakukan hubungan positif dengan yang lainnya. 10

Berdasarkan hasil penelitian Sumartini (2006) pembelajaran kooperatif dapat menjadikan peserta didik lebih aktif, lebih demokrastis, dan dapat mengembangkan pengetahuannya yang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik sehingga peserta didik terlibat partisipasi aktif, kritis dan kreatif dalam mengikuti proses pembelajaran. Berangkat dari permasalahan di atas dan sedikit paparan mengenai pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square, tipe Numbered Heads Together dan metode pembelajaran Ekspository maka penulis tertarik untuk meneliti perbandingan pembelajaran kooperatif antara tipe Think Pair Square dan tipe Numbered Heads Together, perbandingan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square dan metode pembelajaran Ekspository dan yang terakhir perbandingan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together dan metode pembelajaran Ekspository dalam pengaruhnya terhadap keterampilan sosial peserta didik pada mata pelajaran IPS. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaruh penggunaan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square dan tipe Numbered Heads Together terhadap kemampuan keterampilan sosial peserta didik pada mata pelajaran IPS?. Permasalahan tersebut dijabarkan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat perbedaan rata-rata skor keterampilan sosial antara kelompok eksperimen pertama yang menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Think 11

Pair Square dan kelompok eksperimen kedua yang menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together? 2. Apakah terdapat perbedaan rata-rata skor keterampilan sosial antara kelompok eksperimen pertama yang menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square dan kelompok kontrol yang menerapkan metode pembelajaran Ekspository? 3. Apakah terdapat perbedaan rata-rata skor keterampilan sosial antara kelompok eksperimen kedua yang menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together dan kelompok kontrol yang menerapkan metode pembelajaran Ekspository? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi keterampilan sosial peserta didik pada kelompok eksperimen pertama yang menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square. 2. Mengidentifikasi keterampilan sosial peserta didik pada kelompok eksperimen kedua yang menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together. 3. Mengidentifikasi keterampilan sosial peserta didik pada kelompok kontrol yang menerapkan metode pembelajaran Ekspository. 12

4. Mengkaji tentang perbandingan/perbedaan rata-rata skor keterampilan sosial peserta didik, baik dari skor post test maupun nilai hasil observasi antara kelompok ekperimen pertama yang menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square dan kelompok eksperimen kedua yang menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together. 5. Mengkaji tentang perbandingan/perbedaan rata-rata skor keterampilan sosial peserta didik, baik dari skor post test maupun nilai hasil observasi antara kelompok eksperimen kedua yang menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square dan kelompok kontrol yang menerapkan metode pembelajaran Ekspository. 6. Mengkaji tentang perbandingan/perbedaan rata-rata skor keterampilan sosial peserta didik, baik dari skor post test maupun nilai hasil observasi antara kelompok eksperimen kedua yang menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together dan kelompok kontrol yang menerapkan metode pembelajaran Ekspository. D. Manfaat Penelitain Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah: 1. Sebagai bahan informasi bagi guru tentang penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square dan Numbered Heads Together sehingga dapat dijadikan salah satu alternatif metode pembelajaran. 13

2. Sebagai informasi hasil perbandingan rata-rata skor keterampilan sosial peserta didik, baik dari skor post test maupun nilai hasil observasi antara kelompok ekperimen pertama yang menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square dan kelompok eksperimen kedua yang menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together. 3. Sebagai informasi hasil perbandingan rata-rata skor keterampilan sosial peserta didik, baik dari skor post test maupun nilai hasil observasi antara kelompok eksperimen kedua yang menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square dan kelompok kontrol yang menerapkan metode pembelajaran Ekspository. 4. Mengkaji tentang perbandingan/perbedaan rata-rata skor keterampilan sosial peserta didik, baik dari skor post test maupun dari hasil observasi antara kelompok eksperimen kedua yang menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together dan kelompok kontrol yang menerapkan metode pembelajaran Ekspository. 5. Memberikan pengalaman baru bagi peserta didik dengan pembelajaran kooperatif dan diharapkan dapat memberikan kemampuan keterampilan sosial yang signifikan. 14

E. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. - Hipotesis nol (H 0 ): Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor (post test) keterampilan sosial antara kelompok eksperimen pertama yang menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square dan kelompok eksperimen kedua yang menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together. - Hipotesis alternatif (H 1 ) Terdapat perbedaan rata-rata skor (post test) keterampilan sosial antara kelompok eksperimen pertama yang menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square dan kelompok eksperimen kedua yang menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together. 2. - Hipotesis nol (H 0 ) Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor (post test) keterampilan sosial antara kelompok eksperimen pertama yang menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square dan kelompok kontrol yang menerapkan metode pembelajaran Ekspository. - Hipotesis alternatif (H 1 ) Terdapat perbedaan rata-rata skor (post test) keterampilan sosial antara kelompok eksperimen pertama yang menerapkan pembelajaran kooperatif 15

tipe Think Pair Square dan kelompok kontrol yang menerapkan metode pembelajaran Ekspository 3. - Hipotesis nol (H 0 ) Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor (post test) keterampilan sosial antara kelompok eksperimen kedua yang menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together dan kelompok kontrol yang menerapkan metode pembelajaran Ekspository. - Hipotesis alternatif (H 1 ) Terdapat perbedaan rata-rata skor (post test) keterampilan sosial antara kelompok eksperimen kedua yang menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together dan kelompok kontrol yang menerapkan metode pembelajaran Ekspository. F. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan deskriptif kuantitatif yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai pengaruh pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Square dan tipe Numbered Heads Together terhadap keterampilan sosial pada mata pelajaran IPS. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan quasi eksperimen dengan Alternative Treatment Post test-only with Nonequivalent Groups Design. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tes dan 16

pedoman observasi. Analisis terhadap data dilakukan dengan bantuan SPSS versi 17. G. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian Lokasi penelitian di Sekolah Menengah Pertama Negeri 52 Bandung. Alamat dari SMP Negeri 52 Bandung di Jalan Bukit Raya Ciumbuleuit Kecamatan Cidadap Bandung. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh peserta didik Kelas VIII tahun ajaran 2009/2010 yang berjumlah 491 peserta didik yang mencakup dalam 13 kelas paralel, yaitu kelas VIII A sampai dengan kelas VIII M. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas VIII I dan VIII G sebagai kelompok eksperimen pertama dan kedua dan kelas VIII J sebagai kelompok kontrol. 17

18