Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB III PENUTUP. sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

Lex Crimen Vol. II/No. 4/Agustus/2013

PELAKSANAAN PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN JAMINAN. (Studi Kasus Tindak Pidana Penipuan di Pengadilan Negeri Klaten dan. Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015. INDEPENDENSI HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP 1 Oleh: Alviano Maarial 2

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

II. TINJAUAN PUSTAKA. Intelijen dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB YURIDIS PENAHANAN OLEH PENYIDIK KEPADA PENUNTUT UMUM 1 Oleh : Melky R. Pinontoan 2

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI PRAPERADILAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

IMPLEMENTASI PASAL 31 KUHAP TENTANG PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN ATAU TANPA JAMINAN (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali)

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Transkripsi:

PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan dalam penyidikan suatu perkara pidana dan bagaimana alasan penahanan dalam pemeriksaan suatu perkara pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative disimpulkan: 1. Alasan penangkapan dalam penyidikan perkara pidana adalah untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik atau penyelidik atas perintah penyidik terhadap seorang tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup yaitu bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. 2. Alasan penahanan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah alasan menurut hukum dan alasan menurut keperluan. Alasan menurut hukum ialah harus adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup bahwa orang itu melakukan tindak pidana, dan bahwa ancaman pidana terhadap tindak pidana itu adalah lima tahun ke atas, atau tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh undang-undang, meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun. Alasan menurut hukum saja belum cukup untuk menahan seseorang karena di samping itu harus ada alasan menurut keperluan, yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, atau merusak/menghilangkan barang bukti atau akan mengulangi tindak pidana. Kata kunci: Penangkapan, penahanan, upaya paksa. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dasar-dasar perlindungan terhadap hak-hak asasi seseorang sudah lebih dulu diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Godlieb N. Mamahit, SH, MH; Ernest Runtukahu, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 090711625 Kehakiman yang berbunyi : Tidak seorang jua pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, pensitaan, selain atas perintah tertulis atas kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan undang-undang. Pada saat ini hal tersebut diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : Dalam keadaan yang memaksa yakni apabila kepentingan masyarakat terganggu, berdasarkan kewenangannya yang berwajib dapat melakukan upaya paksa yang sesungguhnya mengurangi hak asasi seseorang. Undang-undang memberikan kewenangan kepada pejabat tertentu untuk melakukan pembatasan terhadap kebebasan dan kemerdekaan seseorang dalam berbagai bentuk kegiatan. Pembatasan kebebasan dari kemerdekaan ini ada yang bersifat sementara, adapula yang bersifat terhitung lama, bergantung pada bagaimana aturan hukum menentukan dan mengaturnya. Pembatasan kebebasan dan kemerdekaan ini merupakan suatu tindakan atau upaya paksa yang harus dilakukan dalam rangka mengikuti perintah undang-undang. KUHAP telah menentukan adanya beberapa tindakan atau upaya paksa yang dapat dilakukan sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Berbagai upaya paksa tersebut adalah tindakan penangkapan, tindakan penahanan, tindakan penggeledahan, tindakan penyitaan dan tindakan pemeriksaan surat. Dari beberapa bentuk upaya paksa yang diatur dalam KUHAP tersebut di atas penulis tertarik untuk membahas tentang penangkapan dan penahanan. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan dan penuntutan dan atau peradilan serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 3 Dengan demikian penangkapan hanya dapat dilakukan kepada tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan yang harus 3 Pasal 1 butir 20 KUHAP. 60

dilakukan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Demikian juga dengan penahanan ada alasan yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa. Menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP, penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. Dengan demikian penahanan dapat dilakukan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan oleh jaksa untuk kepentingan penuntutan dan oleh hakim untuk kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana di sidang pengadilan, yang harus dilakukan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, telah mendorong penulis untuk menulis skripsi ini dengan judul : Penangkapan dan Penahanan Sebagai Upaya Paksa Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah alasan penangkapan dalam penyidikan suatu perkara pidana? 2. Bagaimanakah alasan penahanan dalam pemeriksaan suatu perkara pidana? C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yaitu dengan melihat hukum sebagai kaidah (norma). Untuk menghimpun bahan digunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan mempelajari kepustakaan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan, himpunan peraturan perundang-undangan, artikel-artikel hukum dan berbagai sumber tertulis lainnya. Bahanbahan yang telah dihimpun selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisa kualitatif, di mana hasilnya disusun dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi. PEMBAHASAN A. Alasan Penangkapan Dalam Perkara Pidana Salah satu tindakan yang mungkin tidak bisa dihindarkan sebagai langkah permulaan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan ataupun mengadili ialah penangkapan. Oleh karena itu untuk kepentingan penyelidikan, penyidik atas perintah penyidik berwenang untuk melakukan penangkapan. Dalam melakukan penangkapan, penyelidik ataupun penyidik harus memiliki alasan yang kuat. Alasan penangkapan disebutkan dalam Pasal 17 KUHAP, yaitu perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dari ketentuan Pasal 17 KUHAP menurut pendapat penulis dapat dipahami bahwa alasan penangkapan yaitu : - Seseorang tersangka diduga keras melakukan tindak pidana, dan - Atas dugaan yang kuat tadi, harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pengertian bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan Pasal 17 KUHAP adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 dan Pasal 17 KUHAP ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Pada Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 4 Februari 1982, Bidang Penyidikan, tercantum antara lain : 4 Undang-undang tidak memberikan definisi/pengertian apa itu Bukti Permulaan. Keseragaman penafsiran ini perlu guna menghindari terjadinya hal yang tidak kita inginkan. Sebab bisa terjadi sesuatu hal oleh penyidik dianggap sebagai bukti permulaan, tetapi oleh hakim praperadilan yang memeriksa sah tidaknya penangkapan, sesuatu itu bukan/belum dikategorikan sebagai bukti permulaan apalagi bukti permulaan yang cukup untuk menduga seseorang bahwa ialah pelakunya. Sebab apabila kekuatan hukum pembuktian dari alat bukti pada tahap penyidikan gradasinya akan dipersamakan dengan alat pembuktian pada tahap penuntutan dan pengadilan, besar kemungkinan penyidik akan mengalami kesulitan. Sehubungan 4 Leden Marpaung, Op.cit, hal. 110. 61

dengan hal tersebut, perlu diartikan bahwa KUHAP menyerahkan kepada praktik, dengan memberikan kelonggaran kepada penyidik untuk menilai berdasarkan kewajaran apakah sesuatu hal itu merupakan alat bukti permulaan atau bukan. Tetapi bila didasarkan pada kewajaran, apakah telah cukup menjamin bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenangnya, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Hal ini perlu dikaji lebih mendalam, karena jika berbicara dengan kewajaran, maka seyogianya tidak perlu ditangkap, cukup dilakukan pemanggilan dengan mencantumkan sanksi Pasal 216 KUHAP. Kecuali orang tersebut telah dipanggil tidak mau memenuhi panggilan bahkan melarikan diri misalnya, maka wajar jika dilakukan penangkapan. Sudah tiba saatnya semua aparat penegak hukum menjunjung harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang mendambakan kehormatan agar dengan demikian bertumbuh dan berkembang pada diri sanubarinya perasaan malu. Malu berhadapan dengan aparat penegak hukum atau malu terlibat dengan suatu perkara, akan membawa dampak positif bagi tegaknya hukum, karena yang bersangkutan akan senantiasa menjaga dan mengendalikan perilakunya. Tujuan penangkapan ditentukan pula di dalam pasal 16 KUHAP, yakni untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan penyidikan. Adapun untuk sahnya suatu penangkapan diperlukan syarat-syarat sebagai berikut : 5 a. Dengan menunjukkan surat tugas penangkapan yang dikeluarkan oleh penyidik atau penyidik pembantu. b. Dengan memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. 5 H. Rasti Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 27. c. Surat perintah penangkapan tersebut harus dikeluarkan oleh pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang berwenang dalam melakukan penyidikan di daerah hukumnya. d. Dengan menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan itu kepada keluarga tersangka, segera setelah penangkapan dilakukan (Pasal 16 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP). Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Dari ketentuan Pasal 18 KUHAP, maka menurut penulis sebelum melaksanakan penangkapan, perlu dilakukan persiapanpersiapan sebagai berikut : - Menerbitkan Surat Perintah Penangkapan - Menerbitkan Surat Perintah Penangkapan - Petugas menguasai data dan informasi mengenai sasaran penangkapan antara lain : Identitas lain slain yang ada pada Surat Perintah Penangkapan. Sifat dan kebiasaan orang yang akan ditangkap. Jumlah dan kegiatan persenjataan orang yang akan ditangkap dan kemungkinan adanya pihak tertentu yang membantu/melindunginya. - Keadaan dan suasana tempat orang yang akan ditangkap. - Disusun rencana penangkapan, pengepungan/penggerebegan - Melengkapi petugas dengan peralatan/sarana yang diperlukan, sesuai dengan penugasannya. Hari Sasangka menyatakan : a. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan membawa: - Surat tugas. - Surat perintah penangkapan tersendiri dengan syarat-syarat: Dikeluarkan sebelum penangkapan dilakukan 62

(penjelasan Pasal 16 ayat (1) KUHAP); Dikeluarkan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berwenang melakukan penyidikan di wilayah hukumnya. (penjelasan Pasal 18 ayat (1) KUHAP). b. Isi perintah penangkapan tersebut harus ada; - identitas tersangka; - alasan penangkapan; - uraian singkat perkara yang dipersangkakan; - tempat ia diperiksa. (Pasal 18 ayat (1) KUHAP). c. Surat perintah penangkapan harus diberikan pada tersangka dan tembusan pada keluarganya segera setelah penangkapan (Pasal 18 ayat (3) KUHAP). d. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan dengan tanpa stirat perintah dengan catatan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti kepada penyidik/penyidik pembantu terdekat (Pasal 18 ayat (2) KUHAP). Dari pendapat Hari Sasangka tersebut di atas, maka pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan membawa surat tugas, surat perintah penangkapan tersendiri dengan syarat-syarat dikeluarkan sebelum penangkapan dilakukan (penjelasan Pasal 16 ayat (1) KUHAP) dan dikeluarkan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berwenang melakukan penyidikan di wilayah hukumnya (penjelasan Pasal 18 ayat (1) KUHAP). Isi perintah penangkapan tersebut harus ada identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat perkara yang dipersangkakan dan tempat ia diperiksa (Pasal 18 ayat (1) KUHAP). Surat perintah penangkapan harus diberikan pada tersangka dan tembusan pada keluarganya segera setelah penangkapan (Pasal 18 ayat (3) KUHAP). Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan dengan tanpa stirat perintah dengan catatan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti kepada penyidik/penyidik pembantu terdekat (Pasal 18 ayat (2) KUHAP). Menurut penulis, sebaiknya penangkapan berdasarkan bukti permulaan yang cukup harus ada salah satu dari alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP tersebut di atas. Permasalahan dalam alasan penangkapan karena Undang-Undang tidak memberikan definisi/pengertian apa itu "Bukti permulaan". Keseragaman penafsiran ini perlu guna menghindari terjadinya hal yang tidak kita inginkan. Sebab bisa terjadi sesuatu hal oleh penyidik dianggap sebagai bukti permulaan, tetapi oleh hakim pra peradilan yang memeriksa sah tidaknya penangkapan, sesuatu hal itu bukan/belum dikategorikan sebagai bukti permulaan apalagi bukti permulaan yang cukup untuk menduga seseorang bahwa ialah pelakunya. Sebab apabila kekuatan hukum pembuktian dari alat bukti pada tahap penyidikan gradasinya akan dipersamakan dengan alat pembuktian pada tahap penuntutan dan pengadilan, besar kemungkinan penyidikan akan mengalami hambatan. Sehubungan dengan hal tersebut perlu diartikan bahwa KUHAP menyerahkan kepada praktik, dengan memberikan kelonggaran kepada penyidik untuk menilai berdasarkan kewajaran apakah sesuatu hal itu merupakan alat bukti permulaan atau bukan. B. Alasan Penahanan Dalam Perkara Pidana Secara langsung tidak ada ketentuan yang dapat menjelaskan yang menjadi tujuan penahanan. Akan tetapi, jika melihat isi dari Pasal 20 KUHAP dapat memberikan petunjuk bahwa tujuan penahanan, yakni untuk kepentingan penyidikan, kepentingan penuntutan, dan kepentingan pemeriksaan hakim. Adapun mengenai alasan penahanan dalam berbagai literatur sering dibagi menjadi dua bagian, yakni : 6 a. Alasan objektif Disebutkan sebagai alasan objektif karena undang-undang sendiri yang menentukan tindak pidana mana yang akan dikenakan penahanan. Yang termasuk alasan objektif adalah 6 Ibid, hal. 29-30. 63

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yaitu: - Perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih dan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 331 ayat (1), Pasal 2353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 huruf a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 459, Pasal 480, dan Pasal 506 KUHP, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi bea dan cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 4 Undang- Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). b. Alasan subjektif Yang dimaksud dengan alasan subjektif adalah alasan yang muncul dari penilaian subjektif pejabat yang menitikberatkan pada keadaan atau keperluan penahanan itu sendiri. Adapun yang termasuk alasan subjektif ini ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu : - Adanya dugaan keras bahwa tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup; - Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka terdakwa akan melarikan diri; dan - Adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengurangi tindak pidana. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan meiarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau' percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Moeljatno membagi alasan/syarat penahanan menjadi dua macam : 7 1. Syarat obyektif, yaitu karena syarat tersebut dapat diuji ada atau tidaknya oleh orang lain; 2. Syarat subyektif, yaitu karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi apakah syarat itu ada atau tidak. Apabila pembagian tersebut di atas dihubungkan dengan syarat penahanan yang ada di dalam KUHAP, maka yang dimaksud dengan syarat subyektif penahanan adalah Pasal 21 ayat (1) yakni adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan: - Melarikan diri; - Merusak atau menghilangkan barang bukti; - Mengulangi tindak pidana. Sedangkan untuk syarat obyektif penahanan tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yakni tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana. Menurut R. Atang Kamihardjo, alasan yang terpenting dalam penahanan yang diatur dalam KUHAP, dapat dibagi dalam 2 hal, yaitu : 8 I. Gronden van rechtmatigheid (Dasar yang merupakan landasan hukumnya) yang menjadi syarat mutlak, ialah : 1. Adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup bahwa orang itu melakukan tindak pidana (Pasal 21 ayat (1) KUHAP). 7 Moeljatno, Hukum Acara Pidana, Tanpa Penerbit, Tahun 1984, hal. 25. 8 R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, 1983, hal. 41-42. 64

II. 2. Dengan surat perintah penaanan atau penahanan lanjutan yang diberikan oleh penyidik atau penuntut umum atau dengan penetapan hakim, yang mencantumkan identitas tersangka/terdakwa, alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan-didakwakan dan tempat ia ditahan: tembusan surat perintah penahanan/penahanan lanjutan atau penetapan hakim harus diberikan kepada keluarganya (Pasal 21 ayat (2) dan (3) KUHAP). 3. Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam hal : a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. b. tindak pidana tertentu seperti yang tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP. Gronden van noodzakelijkheid (Dasar untuk kepentingan yang mendesak) yang merupakan syarat alternative yaitu dikhawatirkan tersangka/terdakwa akan : 1. melarikan diri: 2. merusak atau mengliilangkan barang bukti: 3. mengulangi tindak pidana: (pasal 21 ayat 1 KUIIAP). Dari uraian di atas menurut penulis, alasan untuk melakukan penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa harus ada alasan menurut hukum dan alasan menurut keperluan. Alasan menurut hukum ialah harus adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup bahwa orang itu melakukan tindak pidana, dan bahwa ancaman pidananya terhadap tindak pidana itu adalah lima tahun ke atas atau tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh undang-undang, meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun. Namun alasan menurut hukum saja bukan saja belum cukup untuk menahan seseorang karena di samping itu harus ada alasan menurut keperluan, yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri atau merusak/menghilangkan barang bukti, atau akan mengulangi tindak pidana. Sifat dari alasan menurut keperluan adalah alternatif berarti cukup apabila terdapat salah satu hal daripada ketiga syarat-syarat tersebut. Menurut Hari Sasangka sebenarnya dalam praktik alasan menurut keperluan tidak hanya terbatas sebagaimana tersebut di atas saja. Alasan penahanan menurut keperluan misalnya sangat dibutuhkan terhadap : 9 - Seorang tersangka yang tidak mempunyai tempat tinggal tidak tetap (T-4). - Seorang tersangka telah mengancam seorang saksi. Pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang untuk melakukan penahanan adalah : 10 a. Penyidik b. Penuntut Umum c. Hakim Pengadilan Negeri d. Hakim Pengadilan Tinggi e. Hakim Mahkamah Agung Penyidik mempunyai wewenang melakukan penahanan tertiadap tersangka dengan lama masa penahanan dua puluh hari. Jika masa penahanan ini telah habis sementara pemeriksaan belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum selama empat puluh hari sehingga kewenangan penyidik melakukan penahanan adalah selama enam puluh hari. Dalam hal ini, tidak menutup ke-mungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. Demikian pula penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum jika masa tahanan tersebut telah habis meskipun pemeriksaan terhadap diri tersangka belum selesai (Pasal 24 KUHAP). Penuntut umum berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dengan masa penahanan dua puluh hari. Kewenangan ini masih dapat dimintakan perpanjangai kepada ketua pengadilan negeri jika diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai. Ketua pengadilan dapat memberikan perpanjangan selama tiga puluh hari. Dengan perpanjangan tersebut berarti keseluruhan lamanya masa penahanan yang merupakan kewenangan penuntut umum untuk menahan 9 Hari Sasangka, Op-cit, hal. 116. 10 H. Rusly Muhammad, Op-cit, hal. 30-32. 65

tersangka adalah berjumlah lima puluh hari. Seperti halnya dengan penyidik, penuntut umum harus segera mengeluarkan tersangka dari tahanan jika masa penahanan telah habis sekalipun pemeriksaan belum selesai (Pasal 25 KUHAP). Kewenangan penahanan dapat juga diberikan kepada hakim pengadilan negeri dengan lama masa penahanan tiga puluh hari. Jangka waktu tiga puluh hari apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan paling lama enam puluh hari. Dengan demikian, hakim pengadilan negeri berhak menahan terdakwa selama sembilan puluh hari. Tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum berakhirnya masa penahanan tersebut jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. Demikian pula jika masa penahanan telah habis, hakim harus segera mengeluarkan terdakwa dari tahanan sekalipun pemeriksaan belum selesai (Pasal 26). Sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk melakukan penahanan guna kepentingan pemeriksaan banding, hakim pengadilan tinggi berwenang menahan seseorang selama tiga puluh hari. Apabila diperlukan guna pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan paling fama enam puluh hari. Dengan demikian, keseluruhan lama masa penahanan yang dapat diberikan oleh hakim pengadilan tinggi berjumlah sembilan puluh hari. Sekalipun berwenang menahan selama Sembilan puluh hari, tidak menutup kemungkinan terdakwa dapat dikeluarkan dari tahanan sebelum masa penahanan itu selesai jika ternyata pemeriksaan dianggap cukup. Demikian pula jika masa penahanan sembilan puluh hari itu telah habis, hakim pengadilan tinggi harus segera mengeluarkan terdakwa dari tahanan sekalipun pemeriksaan belum selesai dilakukan (Pasal 27). Guna' pemeriksaan perkara kasasi, hakim Mahkamah Agung diberi wewenang menahan seseorang terdakwa paling lama lima puluh hari. Jika kepentingan pemeriksaan belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua Mahkamah Agung selama enam puluh hari. Dengan demikian, keseluruhan masa penahanan yang diberikan kepada hakim Mahkamah Agung adalah 110 hari. Sebagaimana pejabat-pejabat lainnya, sekalipun masa penahanan ini belum habis, jika pemeriksaan sudah selesai dilakukan, hakim Mahkamah Agung dapat mengeluarkan terdakwa dari tahanan. Demikian pula jika masa penahanan sudah habis namun pemeriksaan belum selesai dilakukan, hakim Mahkamah Agung harus segera mengeluarkan terdakwa dari tahanan demi hukum (Pasal 28 KUHAP). PENUTUP A. Kesimpulan 1. Alasan penangkapan dalam penyidikan perkara pidana adalah untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik atau penyelidik atas perintah penyidik terhadap seorang tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup yaitu bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. 2. Alasan penahanan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah alasan menurut hukum dan alasan menurut keperluan. Alasan menurut hukum ialah harus adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup bahwa orang itu melakukan tindak pidana, dan bahwa ancaman pidana terhadap tindak pidana itu adalah lima tahun ke atas, atau tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh undangundang, meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun. Alasan menurut hukum saja belum cukup untuk menahan seseorang karena di samping itu harus ada alasan menurut keperluan, yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, atau merusak/menghilangkan barang bukti atau akan mengulangi tindak pidana. B. Saran 1. Seyogianya dalam melakukan penangkapan penyidik, penyidik pembantu dan penyelidik atas perintah penyidik tidak melakukan secara semenamena agar tidak terjadi pelanggaran 66

terhadap hak asasi manusia dan tuntutan terhadap petugas yang telah salah melakukan tugasnya oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan tersebut. Oleh karena itu perintah penangkapan harus betul-betul ditujukan kepada orang yang melakukan tindak pidana dengan menyerahkan surat perintah penangkapan kepada tersangka, yang memuat identitas (nama lengkap, umur, pekerjaan, agama). Alasan penangkapan atas diri tersangka dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat tersangka diperiksa dan menyerahkan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah penangkapan. 2. Seyogianya penahanan terhadap tersangka atau terdakwa sekalipun telah memenuhi alasan menurut hukum maupun alasan menurut keperluan, tetapi juga harus mempertimbangkan hak asasi manusia sehingga terhadap tersangka atau terdakwa yang koorporatif dalam rangka mendukung kelancaran pemeriksaan dan yang merupakan tulang punggung keluarga dapat diberikan penangguhan penahanan. Muhammad Rasti H., Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. Prodjohamidjojo Martiman, Komentar atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta. Ranoemihardja Atang R., Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, 1983. Sasangka Hari, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan Dalam Teori Dasar Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007. Soedjono D., Pemeriksaan Pendahuluan menurut KUHAP, Alumni, Bandung, 1982. Soesilo R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1988. DAFTAR PUSTAKA Adji Seno Oemar, Hukum Acara Pidana, Septa Arya Jaya, Jakarta, 1980. Amin S.M., Hukum Acara Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Yayasan LBHI, Jakarta, 1971. Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, 2008. Harahap Yahya M., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Kuttal H.M.A., Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum, UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah, Malang. Marpaung Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Moeljatno, Hukum Acara Pidana, Tanpa Penerbit, Tahun 1984. 67