Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB I PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

Proses Penularan Penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

Prevalensi pre_treatment

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh TIWIK SUSILOWATI J

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. Filariasis limfatik atau yang biasa disebut dengan kaki

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

Kajian Epidemiologi Limfatikfilariasis Di Kabupaten Sumba Barat (Desa Gaura) dan Sumba Tengah (Desa Ole Ate) Tahun Hanani M.

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

CAKUPAN PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2011 FILARIASIS MASS TREATMENT COVERAGE IN DISTRICT SOUTHWEST SUMBA 2011

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. No ISBN :

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

Filariasis Limfatik di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan

BAB I PENDAHULUAN. serta semakin luas penyebarannya. Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Filariasis Pada Masyarakat di Indonesia. Santoso*, Aprioza Yenni*, Rika Mayasari*

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak

Juli Desember Abstract

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan bagi

Kondisi Filariasis Pasca Pengobatan Massal di Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan

Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN JATI SAMPURNA

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan bagi negara tropis/

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP FILARIASIS DI KABUPATEN MAMUJU UTARA, SULAWESI BARAT. Ni Nyoman Veridiana*, Sitti Chadijah, Ningsi

BAB 1 PENDAHULUAN. jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK)

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh parasit Protozoa genus Plasmodium dan ditularkan pada

SOP POMP FILARIASIS. Diposting pada Oktober 7th 2014 pukul oleh kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu

BAB I PENDAHULUAN. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging disease yaitu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari 17% penyakit infeksi ditularkan melalui gigitannya dan lebih dari 1 juta orang

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai adalah Plasmodium Falciparum dan Plasmodium. Vivax. Di Indonesia Timur yang terbanyak adalah Plasmodium

SURVEI DARAH JARI FILARIASIS DI DESA BATUMARTA X KEC. MADANG SUKU III KABUPATEN OGAN KOMERING ULU (OKU) TIMUR, SUMATERA SELATAN TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Penyakit malaria

GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA FILARIASIS DI DESA SANGGU KABUPATEN BARITO SELATAN KALIMANTAN TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani deklarasi Millenium

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Penyakit kaki gajah atau dalam bahasa medis. disebut filariasis limfatik atau elephantiasis adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Filariasis limfatik atau lebih dikenal dengan. penyakit kaki gajah adalah salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. terkena malaria. World Health Organization (WHO) mencatat setiap tahunnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

Transkripsi:

Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis limfatik adalah penyalit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan berdampak pada kerusakan sistem limfe di tubuh manusia. Tiga spesies cacing filaria yang menyebabkan filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori (Schmidt dan Robert, 2000). Penyebaran penyakit diperantarai oleh nyamuk sebagai vektor. Cacing dewasa hidup pembuluh limfa, sedangkan mikrofilaria terdapat didalam darah (Mc Mahon dan Lawrence, 1996). Filariasis limfatik yang dikenal sebagai penyakit kaki gajah, menyebabkan risiko tertular bagi milyaran penduduk di banyak negara. Lebih dari 120 juta manusia telah terinfeksi, 40 juta diantaranya mengalami cacat fisik, sehingga mereka tidak mampu beraktifitas secara fisik. Sepertiga dari orang yang terinfeksi tinggal di India, Afrika dan sisanya terdapat di Asia Selatan, Pasifik dan Amerika. Negara-negara tropis dan sub wilayah tropis dimana penyakit ini didapatkan, prevalensi infeksinya cenderung mengalami peningkatan (WHO, 2000). Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan juga bahwa program kesehatan masyarakat yang dilaksanakan untuk memberantas penyakit ini belum sepenuhnya berhasil. Hal ini menyebabkan terjadi lonjakan kasus setiap tahunnya mulai, dari 25 juta di 12 negara pada tahun 2000 menjadi 122 juta di 36 negara pada tahun 2003 dan 250 juta di 39 negara pada tahun 2004. Menurut WHO (2000) filariasis bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan yang tepat dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan payudara serta alat kelamin, baik pada laki-laki maupun perempuan. Pada daerah yang endemik, lebih dari 10% laki-laki dan perempuan menderita penyakit ini.

Filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Walaupun penyakit ini tidak menyebabkan kematian tetapi pada stadium lanjut, dapat menyebabkan cacat fisik permanen sehingga menyebabkan menurunnya produktivitas penderitanya, keluarga, maupun masyarakat, dan merupakan beban sosial. Penyakit filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Brugia malayi, Brugia timori dan Wuchereria bancrofti (Depkes, 2003). Penyebaran filariasis hampir di seluruh wilayah Indonesia, dan umumnya daerah dataran rendah, terutama pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Dibeberapa daerah tersebut mempunyai tingkat endemisitas cukup tinggi. Berdasarkan hasil survei cepat pada data tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.233 orang yang tersebar pada 1.553 desa, di 231 kabupaten dan 26 propinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya dilaporkan oleh 42% dari 7.221 puskesmas (Depkes, 2006a). Tingkat endemisitas filariasis di Indonesia berdasarkan hasil survei darah jari tahun 1999 masih tinggi dengan Microfilaria rate (mf rate) 3,1% (Depkes, 2006a). Dan sejak tahun 2001 mf rate tertinggi terdapat di Papua, Aceh, Maluku dan NTT dengan kisaran antara 6,9 11,6 % (Depkes, 2004). Lokasi yang endemis dengan rata-rata Microfilaria rate 3,1%, berarti 6 juta orang berisiko terinfeksi cacing filaria karena nyamuk penularnya tersebar luas (Anonim, 2007). Penentuan suatu wilayah sebagai sebagai daerah endemis diawali dengan survai kasus kronis yang dilanjutkan dengan survei darah jari. Survei darah jari dimaksudkan untuk mengidentifikasi Microfilaria dalam darah tepi pada suatu populasi penduduk. Hasil dari survei jari tersebut bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas infeksinya yang dinyatakan dengan Microfilaria rate. Bila Microfilaria rate 1% maka daerah tersebut dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis. Saat ini telah teridentifikaksi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Amigeres yang menjadi vektor filariasis. (Depkes, 2006b). 2

Secara umum filariasis Wuchereria bancrofti tipe pedesaan banyak ditemui di kawasan timur Indonesia, seperti Papua dan Nusa Tenggara. Untuk menurunkan angka kesakitan penyakit filariasis, maka sejak tahun 2002 pemerintah mengadakan program eliminasi filariasis berupa pengobatan masal dengan pemberian obat filarzan/dietil karbamasin sitrat (DEC) 6 mg/kg berat badan ditambah dengan Albendazol 400 mg. Salah satu daerah yang menjadi fokus penanganan adalah Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (Anonim,2007). Walaupun telah dilakukan program pengobatan masal dalam rangka eliminasi filariasis di Indonesia sejak tahun 2002, namun demikian pada beberapa daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua masih ditemukan beberapa kasus baru penderita filariasis seperti yang terjadi di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat. Berdasarkan laporan kegiatan survei Filariasis dari Seksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari pada tahun 2007 yang dilaksanakan pada 5 (lima) distrik yaitu Masni, Ransiki, Maripi, Sidey dan Oransbari diketahui bahwa dari 2.455 penduduk yang diperiksa 8,35% dinyatakan positif, atau rata-rata mf ratenya 7,3. Untuk lebih jelasnya data tersebut dapat dilihat pada tabel 1. 3

Tabel 1. Situasi Penyakit Filariasis menurut hasil survey pada beberapa Distrik di Kabupaten Manokwari, 2007 Jumlah Jumlah Jumlah Penduduk Penduduk Positif diperiksa No. Distrik Kampung 1. 2. 3. 4. 5. Masni Ransiki Maripi Sidey Oransbari Koyani Masni Dembek Tobou Saumarin Mupi Saray Kaironi Watariri Moari 123 278 581 433 124 275 169 149 388 262 120 250 445 334 120 265 150 140 375 256 12 24 14 18 13 8 23 54 26 13 Jumlah yang diobati 12 24 14 18 13 8 23 54 26 13 mf rate (%) 9,8 8,6 2,4 4,2 10,5 2,9 13,6 36,2 6,5 5,0 J u m l a h 2792 2455 205 205 7,3 Sumber : Laporaran Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari 2008 Tingginya kasus filariasis di Kabupaten Manokwari yang ditandai dengan angka Microfilaria rate yang berada diatas rata-rata angka nasional (3,1%) menggambarkan tingkat penularan filariasis yang cukup tinggi, dan merupakan indikator penentuan Kabupaten Manokwari sebagai daerah endemis filariasis. Secara epidemiologi, keadaan ini dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu manusia sebagai Host, mikrofilaria sebagai Agent dan Environment atau lingkungan yang memungkinkan terjadinya perkembangbiakan nyamuk penularnya. Kasus filariasis yang ditemukan di Kabupaten Manokwari adalah jenis W. bancrofti dan B. malayi yang ditularkan oleh nyamuk spesies Anopheles, Culex, Aedes dan Mansonia. Menurut Depkes 2006a, nyamuk yang menjadi vektor filariasis di Papua adalah An.farauti, An.koliensis, An.punctulatus An.barbirotris, Cx.annuliotris, Ma.uniformis serta Ae.kochi. Penyebaran filariasis di Kabupaten Manokwari meliputi daerah pesisir pantai di bagian utara yaitu Distrik Amberbaken dan Sidey yang berbatasan dengan Kabupaten Sorong sampai ke Distrik Oransbari, Ransiki dan Maripi di bagian selatan yang lingkungannya berawa dan berair payau. 4

Beberapa kasus bahkan ditemukan dilokasi transmigrasi yang lingkungan pemukimannya terdapat persawahan seperti Distrik Masni dan Oransbari. Penularan penyakit ini cukup tinggi karena didukung oleh perilaku atau kebiasaan masyarakat setempat untuk beraktivitas di luar rumah pada malam hari seperti menjaga kebun, berburu, menghadiri pesta adat dan kebiasaan tidak berpakaian lengkap saat ke luar rumah pada malam hari sehingga memudahkan digigit nyamuk. Kurangnya pengetahuan dan persepsi yang salah tentang penyakit filariasis dan tingkat sosial ekonomi yang umumnya rendah berdampak pada rendahnya upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap penularan filariasis, sehingga dapat menimbulkan kejadian kasus filariasis klinis maupun kronis berupa cacat menetap seperti yang dialami 228 penderita di Kabupaten Manokwari ( gambar 1 dan tabel 2) 120 100 80 jumlah 60 103 40 53 20 0 19 26 12 0 0 0 10 5 0-1 1-4 5-9 10-14 15-19 20-44 44-54 55-59 60-69 >70 Kelompok Umur Gambar 1. Grafik Penderita Filariasis dengan cacat menetap (Elefantiasis) di Kabupaten Manokwari, 2007 Berdasarkan grafik di atas diperoleh gambaran bahwa kelompok umur yang terbanyak menderita cacat fisik adalah kelompok umur 20 44 tahun atau usia produktif sebesar 103 kasus (45,18%) dan terendah adalah umur 10-14 sebanyak 5 kasus (2,19%). 5

Tabel 2. Data penderita filariasis dengan cacat menetap (Elephantiasis) menurut lokasi kejadian di Kabupaten Manokwari 2007 No Puskesmas / Distrik Jumlah % 1 Amban / Manokwari Barat 1 0.44 2 Anggi / Anggi 0 0.00 3 Kebar / Kebar 121 53.07 4 Maripi / Manokwari Selatan 58 25.44 5 Masni / Masni 0 0.00 6 Minyambow / Minyambow 0 0.00 7 Sanggeng / Manokwari Barat 1 0.44 8 Saukorem / Amberbaken 0 0.00 9 Sidey / Masni 1 0.44 10 Oransbari / Oransbari 0 0.00 11 Prafi / Prafi SP IV 12 5.26 12 Ransiki / Ransiki 18 7.89 13 Sururey / Sururey 0 0.00 14 Warmare / Warmare 15 6.58 15 Wosi / Manokwari Barat 1 0.44 Kabupaten Manokwari 228 100.00 Sumber : Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kab.Manokwari 2008 Berdasarkan data pada tabel 2, di atas diketahui bahwa dari total kasus sebanyak 228 kasus, golongan umur dengan jumlah terbanyak adalah 20 44 tahun yaitu sebanyak 103 kasus. Namun demikian kejadian elefantiasis ini dijumpai juga pada golongan umur dibawah 30 tahun (5 kasus) dan umur diatas 70 tahun (10 kasus). Sedangkan lokasi dengan kasus terbanyak adalah Distrik Kebar dengan jumlah 121 kasus (53,07%). Berdasarkan uraian tersebut di atas yang ditunjang dengan data yang ada, maka penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian tentang faktor risiko yang berhubungan dengan timbulnya kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari. 6

B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Apakah lingkungan pemukiman yang berawa, ada persawahan dan kondisi rumah yang tidak sehat merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat?. b. Apakah status sosial budaya dan ekonomi seperti pekerjaan sebagai petani, tingkat pendapatan dan pengetahuan yang rendah merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat? c. Apakah perilaku atau kebiasaan tidak menggunakan kelambu saat tidur, ke luar rumah pada malam hari dan tidak menggunakan pakaian lengkap saat keluar rumah pada malam hari, merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. 2. Tujuan Khusus : a. Untuk mengetahui apakah faktor lingkungan pemukiman yang berawa, ada persawahan dan kondisi rumah yang tidak sehat merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. b. Untuk mengetahui apakah faktor sosial budaya dan ekonomi seperti pekerjaan sebagai petani, tingkat pendapatan dan pengetahuan yang rendah merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. 7

c. Untuk mengetahui apakah faktor perilaku atau kebiasaan tidak menggunakan kelambu saat tidur, keluar rumah pada malam hari, dan tidak menggunakan pakaian lengkap saat keluar rumah pada malam hari merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi pengelola program pemberantasan filariasis serta memperbaiki sistem pelayanan kesehatan yang ada. 2. Menjadi acuan untuk menentukan kebijakan-kebijakan program pencegahan dan pemberantasan filariasis di Kabupaten Manokwari. 3. Untuk menambah wawasan peneliti terutama dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. E. Keaslian penelitian Penelitian serupa belum pernah dilakukan di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Penelitian yang sama pernah dilakukan oleh : 1. Saniambara, 2005 dengan metode penelitian cross sectional study dengan perbedaan pada metode dan varibel penelitian, dan lokasi penelitian. Pada penelitian tersebut metode yang digunakan adalah cross sectional study dan varibel umur, jenis kelamin merupakan varibel penelitian, sedangkan pada penelitian ini metode yang digunakan adalah Case control study dan varibel umur serta jenis kelamin tidak diteliti. 2. Uloli, 2007 dengan metode penelitian case control study dengan perbedaan pada varibel penelitian dan lokasi penelitian. Perbedaannya adalah pada penelitian tersebut varibel kebiasaan memelihara kucing termasuk variabel yang diteliti tetapi variabel kondisi rumah tidak diteliti. Pada penelitian ini variabel kebiasaan 8

memelihara kucing tidak diteliti sedangkan variabel kondisi rumah merupakan salah satu variabel yang diteliti. 3. Putra, 2007 dengan metode penelitian case control study dengan perbedaan pada varibel penelitian dan lokasi penelitian. Perbedaannya adalah pada penelitian tersebut salah satu variabel independen adalah cara berpakaian ke sawah/kebun/hutan. Pada penelitian ini variabel tersebut tidak diteliti sedangkan variabel cara berpakaian pada saat keluar pada malam hari merupakan salah satu variabel yang diteliti. 9