BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

BAB I PENDAHULUAN. menjanjikan memiliki prospek baik, potensi hutan alam yang menarik. memiliki potensi yang baik apabila digarap dan sungguh-sungguh

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.


PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 November Pembangunan Taman Hutan. Raya Bukit Barisan ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

1.1 Latar Belakang. Luas kawasan konservasi di Indonesia sampai dengan tahun 2006 adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka. Taman Nasional

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya tahun 1994, 1997, 1998, antara tahun , 2006 dan yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan Daer

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lem

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA.

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA R. SOERJO

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi, Fungsi dan Tujuan Taman Nasional

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

BAB I PENDAHULUAN. daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan tersebut, menurut Hardjasoemantri (1999) memberikan hak penguasaan kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakannya bagi sebesar- besar kemakmuran rakyat, termasuk di dalamnya adalah sumberdaya hutan. Kementerian Kehutanan sebagai salah satu institusi pemerintah pusat, mendapat mandat dari Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengurusan bidang kehutanan. Tugas dari Kementerian Kehutanan pada hakekatnya adalah sebagai perumus dan pelaksana kebijakan pemerintah dalam rangka mendapatkan manfaat hutan yang sebesar-besarnya secara serbaguna dan lestari baik secara langsung maupun tidak langsung, bagi kemakmuran masyarakat. Dalam sepuluh tahun terakhir, kondisi hutan dan kehutanan di Indonesia mendapat ancaman serius berupa tingginya tingkat deforestasi, yang kemudian menjadi salah satu isu penting yang mendapat perhatian dunia. Beberapa penyebab terjadinya deforestasi di Indonesia antara lain adalah kebakaran dan perambahan hutan; Illegal loging dan illegal trading yang antara lain didorong

2 oleh adanya permintaan yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainya di pasar lokal, nasional dan global; adanya konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan, pemukiman, dan sebagainya; serta adanya penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai kawasan hutan. Tingginya tingkat deforestasi mengancam keberadaan keanekaragaman hayati yang merupakan satu kesatuan yang utuh dari suatu ekosistem. Sementara itu, keanekaragaman hayati memberikan kontribusi yang nyata dalam kehidupan manusia. Terjaminnya ketersediaan air, sumber plasma nutfah yang penting bagi ketahanan pangan, bank tumbuhan yang berkhasiat obat merupakan sebagian kontribusi sumber daya alam hayati yang dapat dirasakan. Oleh karena itu, mempertahankan keutuhan kawasan konservasi dan hutan lindung menjadi sangat penting bagi penyelamatan keanekaragaman hayati, dan hal ini merupakan salah satu tugas dari Kementerian Kehutanan sebagai regulator dalam pengurusan hutan di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan konservasi mencakup 2 kelompok besar, yaitu kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA). Kawasan Suaka Alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, bertujuan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Sementara untuk Kawasan Pelestarian Alam yang terdiri dari Taman Nasional, Tahura, Taman Wisata Alam dan Taman Buru, selain kedua tujuan tersebut, juga bertujuan untuk pemanfaatan yang lestari.

3 Dari beberapa bentuk kawasan konservasi tersebut, taman nasional memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan bentuk kawasan konservasi yang lain, yaitu taman nasional lebih menjamin keutuhan dan kelangsungan proses secara alami, mampu menampung lebih dari satu ekosistem secara utuh, keadaan ekologis masih asli. Pengelolaan taman nasional yang diterapkan dengan model zonasi dapat menampung berbagai aspek kepentingan berdasarkan kondisi wilayah seperti kepentingan rehabilitasi, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan kepentingan lainnya dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam. Taman Nasional Gunung Merapi (dalam tulisan ini kemudian disebut dengan TNGM) ditunjuk oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merapi seluas ± 6.410 ha, yang terletak di Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten Provinsi Jawa Tengah; serta Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam pengelolaannya, kawasan TNGM dibagi menjadi dua wilayah pengelolaan yaitu Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I (SPTN Wilayah I) Sleman-Magelang dan SPTN Wilayah II Boyolali-Klaten. SPTN Wilayah I terdiri dari empat Resort Wilayah, yaitu Resort Wilayah Cangkringan, Resort Wilayah Turi Pakem, Resort Wilayah Dukun dan Resort Wilayah Srumbung. Sedangkan SPTN Wilayah II terdiri dari tiga Resort Wilayah yaitu Resort Wilayah Kemalang, Resort Wilayah Musuk-Cepogo dan Resort Wilayah Selo.

4 Fakta menunjukkan bahwa Gunung Merapi memiliki nilai yang khas dan tinggi dari aspek ekologi (kekhasan flora, fauna, fenomena geologi) bagi kepentingan perlindungan dan system penyangga kawasan di bawahnya (tata air, kesuburan tanah). Kawasan ini juga merupakan lokasi penting bagi penelitian, pendidikan, wisata alam dan ekowisata serta aspek sosial/budaya yang telah dibuktikan oleh pola adaptasi dan kearifan masyarakat lereng Merapi dalam menyikapi Merapi dengan segala fenomenanya yang telah menjadi bagian dari unsur membentuk kebudayaan mereka. Dari aspek ekonomi, kawasan ini terkait erat dengan pembangunan dan pengembangan wilayah (pemukiman, pertanian, perikanan, perkebunan, pariwisata). Namun saat ini, kondisi sebagian kawasan hutan TNGM telah mengalami kerusakan terutama akibat aktivitas manusia. Berdasarkan data hasil patroli pengamanan hutan tahun 2013 yang dilaksanakan oleh petugas Balai TNGM, diketahui bahwa kerusakan kawasan hutan yang cukup parah berada pada kawasan Resort Wilayah Srumbung SPTN Wilayah I. Kondisi ini terutama disebabkan karena kegiatan illegal oleh manusia, diantaranya adalah penyerobotan kawasan hutan dan penambangan liar. Pihak Balai TNGM dalam hal ini Resort Wilayah Srumbung telah melakukan berbagai upaya dalam rangka perlindungan hutan untuk mencegah dan membatasi terjadinya kerusakan kawasan. Tindakan-tindakan yang telah diupayakan meliputi penyuluhan dan sosialisasi peraturan perundangan bidang kehutanan, pelatihan kader konservasi bagi masyarakat sekitar kawasan, pembentukan dan penguatan kelembagaan masyarakat peduli kawasan TNGM,

5 pembentukan pam swakarsa, penjagaan maupun patroli pengamanan hutan. Namun dalam kenyataannya, upaya-upaya tersebut belum maksimal dalam mencegah kerusakan hutan dari gangguan manusia, dan kegiatan-kegiatan yang merusak kelestarian ekosistem TNGM khususnya kawasan Resort Wilayah Srumbung masih tetap berlangsung. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih ada permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan hutan di kawasan TNGM khususnya Resort Wilayah Srumbung. Tulisan ini akan berusaha mengurai tentang permasalahan yang menyebabkan kurang berhasilnya implementasi kebijakan perlindungan hutan di kawasan TNGM khususnya Resort Wilayah Srumbung. 1.2. Rumusan Masalah Untuk keperluan operasional penelitian, secara lebih terperinci dirumuskan permasalahan dengan formulasi pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu mengapa implementasi kebijakan perlindungan hutan di Resort Wilayah Srumbung Balai TNGM kurang berhasil? 1.3. Tujuan Penelitian Berawal dari permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui permasalahan yang menjadi penyebab kurang berhasilnya implementasi kebijakan perlindungan hutan di Resort Wilayah Srumbung Balai TNGM. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat terutama sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi bagi pelaku-pelaku kebijakan khususnya di

6 lokasi penelitian, dalam menyusun perencanaan dan menentukan strategi dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait perlindungan hutan. Manfaat lain adalah memberi tambahan acuan bagi para pengamat dan peneliti yang berminat untuk mengembangkan kajian implementasi kebijakan publik khususnya pada penyelenggaraan kebijakan pengurusan hutan.