Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015. INDEPENDENSI HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP 1 Oleh: Alviano Maarial 2

dokumen-dokumen yang mirip
GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PERAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM TINDAK PIDANA UMUM MENURUT KUHAP 1 Oleh : Dedi Hartono Latif 2

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

AKIBAT HUKUM SURAT DAKWAAN BATAL DAN SURAT DAKWAAN DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA PIDANA 1 Oleh : Wilhelmus Taliak 2

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB YURIDIS PENAHANAN OLEH PENYIDIK KEPADA PENUNTUT UMUM 1 Oleh : Melky R. Pinontoan 2

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

1. Pendahuluan. Serat Acitya Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang ISSN : , Vol. 4 No. 3, 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

JURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION MATTER ABOUT DEMAND FOR REHABILITATION TO ILLEGAL ARREST AND RESTRAINT (Verdict Number : 01/Pid.PRA/2002/PN.

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

I. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

ALUR PERADILAN PIDANA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

Lex Crimen Vol. IV/No. 7/Sep/2015

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

Transkripsi:

INDEPENDENSI HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP 1 Oleh: Alviano Maarial 2 ABSTRAK Bersumber pada asas praduga tak bersalah, maka jelas dan wajar bila tersangka/terdakwa dalam proses peradilan Pidana wajib mendapatkan hak-haknya, demikian pula halnya dengan Praperadilan. Ada maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi, yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka. Karena pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan Praperadilan dalam KUHAP, untuk melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang. Berdasarkan uraian tersebut di atas, yang melatarbelakangi permasalahan dalam penulisan ini ialah bagaimana pengaturan praperadilan menurut KUHAP? dan bagaimana bentuk putusan Praperadilan dan upaya hukumnya?. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan adalah dengan cara meneliti, bahan-bahan kepustakaan (library research), yakni suatu metode penelitian yang dilakukan dengan jalan mempelajari buku-buku literatur, perundangundangan, majalah-majalah, diktat dan bahan hukum lainnya yang ada hubungannya dengan karya tulis ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengaturan Praperadilan menurut KUHAP mencakup tentang: a) Menguji Sah atau Tidaknya Penangkapan (pasal 17 KUHAP); b) Menguji Sah atau Tidaknya Penahanan (pasal 21 KUHAP); c) Menguji Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan (pasal 109 ayat (2) dan (3) KUHAP); d) Menguji Sah atau Tidaknya Penghentian Penuntutan (pasal 140 ayat (2) KUHAP); e) Memeriksa Permohonan Ganti Kerugian (pasal 95 KUHAP). sedangkan bentuk putusan praperadilan dan upaya hukumnya ada 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Henry R. Ch. Memah, SH, MH; Nixon S. Lowing, SH, MH; Noldy Mohede, SH, MH. 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 110711010 beberapa hal yang perlu dibahas, diantaranya: a) Surat Putusan Disatukan dengan Berita Acara (pasal 83 ayat (3) dan pasal 96 ayat (1) KUHAP); b) Isi Putusan Praperadilan (pasal 82 ayat (2) dan (3) KUHAP); c) Upaya Banding dan Kasasi Putusan Praperadilan (pasal 83 KUHAP); d) Putusan Praperadilan yang Dapat Dibanding (pasal 83 ayat (2) KUHAP). Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hal pemeriksaan praperadilan haruslah memenuhi syarat formal, yaitu menguji sah tidaknya penangkapan, menguji sah tidaknya penahanan, menguji sah tidak penghentian penyidikan, menguji sah tidaknya penghentian penuntutan dan memeriksa permohonan ganti kerugian. Isi putusan praperadilan adalah sah tidaknya penangkapan atau penahanan pasal 79 KUHAP, sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitas, perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan, besarnya ganti kerugian yang diputuskan oleh Hakim Praperadilan, berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka, serta memerintahkan segera mengembalikan barang sitaan. A. PENDAHULUAN Praperadilan merupakan barang baru dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia. Setiap hal yang baru, mempunyai misi dan motivasi tertentu. Pasti ada yang dituju dan yang hendak dicapai. Tidak ada sesuatu yang diciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan. Demikian pula halnya dengan pelembagaanpraperadilan. Ada maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi, yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat: 1. tindakan paksa yang dibenarkan undangundang demi kepentingan pemeriksaan 29

tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka, 2. sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka. 3 Tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law). Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka. 4 Setiap tindakan perkosaan yang ditimpakan kepada tersangka adalah tindakan yang tidak sah, karena bertentangan dengan hukum dan undang-undang (ilegal). Akan tetapi, bagaimana mengawasi dan menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum? Untuk itu perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menentukansah atau tidaknya tindakan paksa yang dikenakan kepada tersangka. Menguji dan menilai sah atau tidaknya tindakan paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum yang dilimpahkan kewenangannya kepada Praperadilan. Memang sangat beralasan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakan hukum di masa HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik pada waktu itu, semuanya lenyap ditelan kewenangan yang tidak terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga mana 3 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kasasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 3 4 Ibid, hal. 3 pun. HIR tidak memberi hak dan upaya untuk memintakan perlindungan dan koreksi. Bertahun-tahun pun tersangka ditahan, dianggap lumrah dan tersangka tidak mempunyai daya untuk mengadukan nasib perkosaan itu kepada siapa pun, karena HIR tidak memiliki lembaga yang berwenang untuk menguji sah atau tidaknya tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka. Berpijak dari pengalaman suram di masa HIR, pembuat undang-undang menanggapi betapa pentingnya menciptakan suatu lembaga yang diberi wewenang melakukan koreksi, penilaian dan pengawasan terhadap setiap tindakan upaya paksa yang dikenakan pejabat penyidik atau penuntut umum kepada tersangka, selama pemeriksaan berlangsung dalam tingkat proses penyidikan dan penuntutan. Pelembagaan yang memberi wewenang pengawasan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat dalam Taraf proses pemeriksaan penyidikan atau penuntutan inilah yang dilimpahkan KUHAP kepada Praperadilan. Kalau begitu, pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan Praperadilan dalam KUHAP, untuk melakukan pengawasan horizontal 5 atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang. Dari gambaran di atas, eksistensi dan kehadiran Praperadilan, bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Kalau selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili dan memutus perkara pidana danperkara perdata sebagai tugas pokok maka terhadap tugas pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, yang wewenang pemeriksaannya diberikan kepada Praperadilan. 5 Ibid, hal. 4 30

B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana pengaturan Praperadilan menurut KUHAP? 2. Bagaimana bentuk putusan Praperadilan dan upaya hukumnya? C. METODE PENULISAN Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan adalah dengan cara meneliti, bahan-bahan kepustakaan (library research), 6 yakni suatu metode penelitian yang dilakukan dengan jalan mempelajari buku-buku literatur, perundangundangan, majalah-majalah diktat dan bahan hukum lainnya yang ada hubungannya dengan judul skripsi. PEMBAHASAN 1. Pengaturan Praperadilan Menurut KUHAP Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 7 disebutkan: Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan Undang-Undang. Pasal tersebut telah diadopsi dalam asasasas KUHAP. Dengan demikian upaya paksa yang meliputi penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus dipenuhi tata cara di dalam melaksanakannya. 7 Oleh karena itu di dalam pemeriksaan praperadilan, haruslah diperiksa segi formal suatu upaya paksa di dalam melaksanakannya. 1. Menguji Sah atau Tidaknya Penangkapan Di dalam Pasal 17 KUHAP ditentukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan suatu tindak pidana, haruslah berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pengertian bukti permulaan yang cukup 8 ialah bukti permulaan untuk adanya tindak pidana haruslah sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP. Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan 6 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 15 7 Andi Hamzah, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam KUHAP, Bina Cipta, Bandung, 1986, hal. 17 8 Ibid, hal. 19 dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Dengan dihubungkan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP, maka bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan patut untuk menduga sebagai pelaku tindak pidana terhadap seseorang. Dengan demikian hal-hal yang dapat diuji oleh hakim praperadilan di dalam memeriksa perkara praperadilan berdasarkan alasan penangkapan, yaitu: 1. syarat-syarat formal suatu penangkapan; 2. dasar-dasar dilakukan penangkapan. Untuk menolong para hakim di dalam mempertimbangkan Bukti permulaan yang cukup dalam persidangan praperadilan yang diajukan dengan alasan penangkapan, 1. Arti bukti permulaan (prima facie evident) berarti adanya bukti sedikit untuk menduga ada tindak pidana, misalnya kepada seseorang kedapatan benda/barang curian, maka petugas penyidik dapat menduga keras bahwa pada seseorang itu telah melakukan tindak pidana berupa pencurian ataupun penadahan. 9 2. Bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal berupa alat-alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang dapat menjamin bahwa penyidik itu tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah dilakukan penangkapan. 10 2. Menguji Sah atau Tidaknya Penahanan Di dalam pemeriksaan sidang praperadilan dengan alasan penahanan yang tidak sah, hakim dapat memeriksa2 (dua) hal yaitu: 1. syarat-syarat formal suatu penahanan; 2. dasar-dasar dilakukan penahanan. 11 Bukti yang cukup berarti penyidik sudah bisa mengumpulkan alat bukti yang mengacu pada ketentuan Pasal 184 KUHAP, dan Pasal 183 9 Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hal. 19 10 P.A.F. Lamintang, KUHAP dengan pembahasan secara yuridis menurut yurisprudensi, Sinar Baru, Bandung, 1984, hal. 117 11 M. Hanafi Asmawie, Ganti Rugi dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, 1989, hal. 74 31

KUHAP yakni harus dipenuhinya minimum pembuktian. Baik di dalam melakukan upaya paksa yakni penangkapan dan atau penahanan, sesungguhnya penyidik sudah harus mempunyai alat bukti. Segalasesuatu yang masih bersifat informasi atau berupalaporan/pengaduan saja, seorang penyidik tidak boleh melakukan upaya paksa tersebut. 3. Menguji Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan Apabila penyidik telah melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, maka penyidik harus memberitahukan hal itu kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat (1) KUHAP). Pemberitahuan tersebut merupakan suatu kewajiban bagi penyidik. Dengan demikian sejak adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), maka ada suatu kontrol horizontal antara penyidik dan penuntut umum. Pengertian dimulainya penyidikan adalah jika dalam kegiatan penyidikan tersebut sudah dilakukan tindak upaya paksa dari penyidik, seperti pemanggilan pro justitia, penangkapan dan sebagainya. Akan tetapi ketentuan SPDP tersebut juga tidak ada sanksinya apabila dilanggar. 1. Dasar Hukum Penghentian Penyidikan. Penghentian penyidikan diatur dalam Pasal 109ayat (2) dan (3) KUHAP. 2. Dasar Atau Alasan Penghentian Penyidikan. Di dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP disebutkan alasan-alasan untuk menghentikan penyidikan 3. Prosedur Penghentian Penyidikan. Prosedur penghentian penyidikan adalah dengan mengeluarkan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3). Surat tersebut harus diberitahukan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya (Pasal 109 ayat (3) KUHAP). 4. Penghentian Penyidikan Secara Semu. Prosedur yang harus ditempuh dalam Pasal 109 ayat (3) KUHAP merupakan senjata ampuh bagi penyidik untuk membantah penghentian penyidikan di dalam sidang praperadilan. Penyidik beralasan bahwa belum mengeluarkan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3). 4. Menguji Sah atau Tidaknya Penghentian Penuntutan KUHAP menganut asas spesialisasi, diferensiasi dan kompartemenisasi, sehingga mengatur secara tegas pembagian fungsi, tugas dan wewenang masing-masing penegak hukum. 12 Dengan dianutnya asas tersebut maka di dalam KUHAP terjadi pemisahan secara tajam antara tugas penyidikan dan tugas penuntutan. Meskipun KUHAP menganut asasasas tersebut, mutlak disyaratkan adanya hubungan kerja yang serasi dan terkoordinir antara instansi penegak hukum untuk mewujudkan konsepsi integrated criminal justice system. Berhasil atau tidaknya suatu perkara di depan persidangan pengadilan pada hakikatnya merupakan tanggung jawab penuntut umum. Karena itu hubungan antara penuntut umum dan penyidik harus benar-benar saling bisa mengontrol. Oleh karena itu apabila penyidik sudah memulai melakukan penyidikan, penyidik harus memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat (1) KUHAP). Sedangkan apabila satu berkas perkara sudah diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum, tetapi masih belum lengkap dan sempurna, maka berkas tersebut harus dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik untuk dilengkapi. Hal tersebut disebut dengan prapenuntutan (Pasal 138 ayat (2) KUHAP). Agar perkara gol di pengadilan, maka penuntut umum harus mempergunakan lembaga prapenuntutan semaksimal mungkin. 5. Memeriksa Permohonan Ganti Kerugian Dasar hukum dari pemberian ganti kerugian terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pengertian ganti kerugian 13 adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atau tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang (Pasal 1 butir 22 KUHAP). 2. Bentuk Putusan Praperadilan Dan Upaya Hukumnya 12 P.A.F. Lamintang, Loc Cit, hal. 119 13 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 terhadap Kekuasaan Kehakiman Pasal 9 dan Pasal 1 Butir 22 KUHAP 32

Pemeriksaan sidang Praperadilan dilakukan denganacara cepat. Mulai dari penunjukanhakim, penetapan hari sidang, pemanggilan para pihak dan pemeriksaan sidang Praperadilan dilakukan dengan cepat, guna dapat menjatuhkan putusan selambatlambatnya dalam waktu 7 hari. Bertitik tolak dan prinsip acara pemeriksaan cepat, bentuk putusan Praperadilan pun sudah selayaknya menyesuaikan diri dengan sifat proses tadi. Oleh karena itu, bentuk putusan Praperadilan cukup sederhana tanpa mengurangi isi pertimbangan yang jelas berdasar hukum dan undang-undang. Jangan sampai sifat kesederhanaan bentuk putusan menghilangkan penyusunan pertimbangan yang jelas dan memadai. Sifat kesederhanaan bentuk putusan Praperadilan tidak boleh mengurangi dasar alasan pertimbangan yang utuh dan menyeluruh. Untuk menjelaskan bentuk putusan Praperadilan, ada beberapa hal yang perlu dibicarakan, terutama yang berkenaan dengan masalah bentuk putusan maupun isi putusan. 14 1. Surat Putusan Disatukan dengan Berita Acara Bentuk putusan Praperadilan tidak diatur secara tegas dalam undang-undang. Kalau begitu dari mana menarik kesimpulan bahwa pembuatan putusan Praperadilan dirangkaikan menjadi satu dengan berita acara pemeriksaan sidang? Kesimpulan dimaksud dapat ditarik dari dua sumber: 15 a. Dari Ketentuan Pasal 82 Ayat (I) Huruf c Ketentuan ini menjelaskan, proses pemeriksaan sidang Praperadilan dilakukan dengan acara cepat. Ketentuan ini harus diterapkan secara konsisten dengan bentuk dan pembuatan putusan dalam acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan cepat. Bentuk putusan yang sesuai dengan proses pemeriksaan cepat, tiada lain daripada putusan yang dirangkai menjadi satu dengan berita acara. Sedangkan dalam acara pemeriksaan singkat yang kualitas acara dan jenis perkaranya lebih tinggi dari acara pemeriksaan cepat bentuk dan pembuatan putusan dirangkai bersatu dengan berita acara. Apalagi dalam acara cepat, sudah 14 Ibid, hal. 18 15 Ibid, cukup memenuhi kebutuhan apabila bentuk dan pembuatan putusannya dirangkaikan dengan berita acara. b. Bertitik Tolak dari Ketentuan Pasal 83 Ayat (3) Huruf a dan Pasal 96 Ayat (1) Menurut ketentuan dimaksud bentuk putusan Praperadilan, berupa penetapan. Bentuk putusan penetapan pada lazimnya merupakan rangkaian berita acara dengan isi putusan itu sendiri. Kelaziman yang demikian juga dijumpai dalam putusan perdata Penetapan yang bersifat volunter secara exparte dalam proses perdata adalah bentuk putusan yang berupa rangkaian antara berita acara dengan isi putusan. Berita acara sidang dengan isi putusan tidak dibuat secara terpisah. Dan memang bentuk putusan Praperadilan, hampir mirip dengan putusan volunter dalam acara perdata.boleh dikatakan, putusan Praperadilan juga bersifat deklarator, yang berisi pernyataan tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan. Tentu tanpa mengurangi sifat yang kondemnator dalam putusan ganti kerugian, perintah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan apabila penahanandinyatakan tidak sah. Atau perintah yang menyuruh penyidik untuk melanjutkan penyidikan apabila penghentian penyidikan dinyatakan tidak sah. Maupun perintah melanjutkan penuntutan apabila penghentian penuntutan tidak sah. Atas alasan yang dikemukakan, cukup menjadidasar, bentuk dan pembuatan putusan Praperadilan merupakan penetapan yang memuat rangkaian kesatuan antara berita acara dengan isi putusan. Jadi putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara, sebagaimana bentuk dan pembuatan putusan dalam proses acara singkat yang diatur dalam Pasal 203 ayat (3) huruf d. 2. Isi Putusan Praperadilan Penggarisan isi putusan atau penetapan Praperadilan, pada garis besarnya diatur dalam Pasal 82 ayat (2) dan ayat (3). Oleh karena itu, di samping penetapan Praperadilan memuat alasan dasar pertimbangan hukum, juga harus 33

memuat amar. Amar yang harus dicantumkan dalam penetapan disesuaikan dengan alasan permintaan pemeriksaan. Alasan permintaan yang menjadi dasar isi amar penetapan. Amar yang tidak sejalan dengan alasan permintaan, keluar dari jalur yang ditentukan undangundang. Kalau begitu amar penetapan Praperadilan, bisa berupa pernyataan yang berisi: 16 a. Sah atau Tidaknya Penangkapan atau Penahanan Jika dasar alasan permintaan yang diajukan pemohon berupa permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan yang disebut Pasal 79 maka amar penetapannya pun harus memuat pernyataan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan. b. Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penuntutan Jika alasan yang diajukan pemohon berupa permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, berarti amar penetapan Praperadilan memuat pernyataan mengenai sah atau tidaknya tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan. c. Diterima atau Ditolaknya Permintaan Ganti Kerugian atau Rehabilitasi Di sini pun demikian halnya. Jika dasar alasan permintaan pemeriksaan mengenai tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi, berarti amar penetapan memuat dikabulkan atau ditolak permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi. d. Perintah Pembebasan dari Tahanan Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 82 ayat (3) huruf a. Agar penetapan Praperadilan memuat amar yang memerintahkan tersangka segera dibebaskan dari tahanan. Amar yang demikian merupakan kemestian dalam kasus permintaan pemeriksaan yang berhubungan tentang sah atau tidaknya penahanan. Jika tersangka atau keluarganya mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, dan Praperadilan berpendapat penahanan tidak sah, amar 16 Lihat Penjelasan Pasal 82 ayat (2) dan (3) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana putusan Praperadilan harus memuat pernyataan dan perintah: a) penahanan tidak sah, b) dan perintah pembebasan tersangka dari tahanan. Dengan dicantumkannya amar yang berisi perintah pembebasan tersangka dari tahanan, penyidik atau penuntut umum harus segera membebaskan dari tahanan. e. Perintah Melanjutkan Penyidikan atau Penuntutan Mungkin ada yang berpendapat, amar ini tidak mutlak dicantumkan dalam penetapan Praperadilan. Alasannya, dengan adanya penetapan yang menyatakan penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, dalam jiwa pernyataan putusan yang demikian sudah terkandungperintah yang mewajibkan penyidik melanjutkan penyidikan atau yang mewajibkan penuntutan dilanjutkan. Karena itu, sekiranya Praperadilan menjatuhkan putusan yang menyatakan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah amar penetapan tidak mesti memuat pernyataan yang memerintahkan penyidik wajib melanjutkan penyidikan atau amar yang memerintahkan penuntut umum melanjutkan penuntutan. Akan tetapi, untuk sempurna serta berpedoman pada bunyi rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b, tidak ada salahnya mencantumkan amar yang demikian. 3. Upaya Banding dan Kasasi Putusan Praperadilan Tinjauan tentang masalah upaya hukum terhadap putusan Praperadilan, mungkin bisa menimbulkan perbedaan penafsiran, terutama mengenai upaya hukum yang menyangkut permintaan pemeriksaan kasasi. Barangkali ada yang berpendapat, terhadap putusan Praperadilan, dapat dimintakan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Perbedaan pendapat ini timbul disebabkan undang-undang tidak memberi penegasan yang jelas tentang hal ini. Lain halnya dengan upaya hukum banding, Pasal 83 KUHAP telah memberi penegasan yang jelas, sehingga para pencari keadilan maupun praktisi hukum, sudah mengetahui dengan terang putusan mana yang 34

dapat dimintakan pemeriksaan banding. Untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti uraian berikut. 17 a) Putusan Praperadilan yang Tidak Dapat Dibanding Tidak semua putusan Praperadilan dapat diminta banding. Sebaliknya pula, tidak seluruhnya putusan Praperadilan yang tidak dapat diminta pemeriksaan banding. 18 Demikian menurut ketentuan Pasal 83 KUHAP. Dalam Pasal 83 inilah ditentukan putusan yang menyangkut kasus mana yang dapat dibanding, dan yang tidak dapat diajukan permintaan banding. Mari kita perhatikan ketentuan Pasal 83 ayat (1), yang berbunyi: Terhadap putusan Praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding. Berdasar Pasal 83 ayat (1), ditentukan putusan Praperadilan yang menyangkut kasus mana yang tidak dapat dimintakan pemeriksaan banding. Boleh dikatakan, hampir semua jenis putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Memang demikianlah prinsipnya. Terhadap putusan Praperadilan tidak dapat diajukan permintaan banding. Hal ini sesuai dengan asas acara yang menyangkut tata cara pemeriksaan Praperadilan, dilakukan dengan acara cepat. Demikian juga dari segi tujuan pelembagaan Praperadilan untuk mewujudkan putusandan kepastian hukum dalam waktu yang relatif singkat. Sekiranya terhadap putusan Praperadilan diperkenankan upaya banding, hal itu tidak sejalan dengan sifat dan tujuan maupun dengan cirinya, yakni dalam waktu yang singkat putusan dan kepastian hukum sudah dapat diwujudkan. Lagi pula jika ditinjau kewenangan Praperadilan bertujuan memberi pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penyidik dan penuntut umum, pada hakikatnya apa yang diperiksa dan diputuskan Praperadilan adalah di luar ruang lingkup perkara pidana. Praperadilan tidak berwenang memeriksa perkara pidana. Yang diperiksa dan diputusnya terbatas mengenai tindakan aparat penyidik dan penuntut umum terhadap tersangka selama pemeriksaan perkara berlangsung pada instansi yang bersangkutan. Adapun mengenai putusan Praperadilan yang tidak dapat dimintakan pemeriksaan banding, telah disebut satu per satu dalam Pasal 83 ayat (1). Yakni putusan Praperadilan yang menyangkut jenis kasus yang disebut dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81. Jelasnya, putusan Praperadilan yang tidak dapat dimintakan pemeriksaan banding. b) Penetapan Sah atau Tidaknya Penangkapan atau Penahanan Putusan yang berisi penetapan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan yang dimaksud dalam Pasal 79. Dalam Pasal 79 hanya disebut tentang sah atau tidaknya penahanan. Di dalamnya tidak termasuk tentang sah atau tidaknya penggeledahan atau penyitaan. Tampaknya, pembuat undang-undang kurang konsisten dalam hal ini. Padahal kalau diikuti lebih lanjut kewenangan Praperadilan sebagaimana yang dijelaskan penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP, kewenangan Praperadilan termasuk meliputi memeriksa dan memutus permintaan ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindakan pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Kalau begitu kewenangan Praperadilan bukan hanya meliputi pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan saja, tapi meliputi pemeriksaan tentang sah atau tidaknya pemasukan rumah penggeledahan, dan penyitaan. Seandainya tersangka atau keluarganya mengajukan permintaan pemeriksaan kepada Praperadilan tentang sah atau tidaknya pemasukan rumah, penggeledahan atau penyitaan, Praperadilan harus memeriksa dan memutusnya. Terhadap putusan Praperadilan yang berkenaan dengan sah atau tidaknya pemasukan rumah, penggeledahan atau penyitaan, tidak dapat diajukan permintaan banding. c) Putusan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Putusan lain yang tidak dapat diajukan permintaan banding ialah putusan yang berkenaan dengan kasus permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi. 19 Sebagaimana yang 17 H.M.A. Kuffar, Loc Cit, hal. 286 18 Lihat Penjelasan Pasal 83 ayat (1) dan bandingkan dengan pasal 79, 80, dan Pasal 81 KUHAP 19 Putusan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 81 bandingkan dengan Penjelasan Pasal 95 dan 97 KUHAP. 35

disebut dalam Pasal 81. Seperti yang sudah disinggung terdahulu, wewenang Praperadilan meliputi pemeriksaan tuntutan ganti kerugian berdasar alasan Pasal 95. Juga berwenang memeriksa permintaan rehabilitasi berdasar alasan yang ditentukan dalam Pasal 97 KUHAP Tuntutan atau permintaan ganti kerugian maupun permintaan rehabilitasi dapat diajukan pemohon kepada Praperadilan atas alasan tidak sahnya penangkapan, penahanan atau sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Namun disini pun, permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi yang disebut dalam Pasal 81 ini harus disejajarkan meliputi alasan permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 95 dan 97 KUHAP. Bukan hanya permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi yang didasarkan atas alasan penangkapan atau penahanan saja, tetapi meliputi alasan tidak sahnya pemasukan rumah, penggeledahan atau penyitaan. Kita heran mengapa Pasal 81 tidak sejalan rumusan dan kaidahnya dengan Pasal 95 dan 97. Padahal maksud dan permasalahan yang diatur di dalamnya, sama-sama berhubungan dengan kewenangan Praperadilan memeriksa dan memutus permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi. Juga sama-sama mengatur landasan alasan yang dijadikan dasar untuk mengajukan permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi. Seolah-olah pembuat undangundang merumuskannyasaling bertentangan. Semestinya antara Pasal 81 dengan Pasal 95 dan 97, harus sejalan dan saling menyempurnakan. 4. Putusan Praperadilan yang Dapat Dibanding Mengenai putusan Praperadilan yang dapat diminta banding ke Pengadilan Tinggi, diatur dalam Pasal 83 ayat (2). Di situ ditentukan, putusan Praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan saja yang dapat diajukan permintaan banding. Pasal 83 ayat (2) membedakan antara putusan yang mengesahkan dengan yang tidak mengesahkan penghentian penyidikan dan penuntutan. Oleh karena itu, tidak terhadap semua putusan Praperadilan yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan pemeriksaan banding. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 83 ayat (2): 1. terhadap putusan yang menetapkan sahnya penghentian penyidikan ataupenuntutan, tidak dapat diajukan permintaan banding, 2. terhadap putusan yang menetapkan tentang tidak sahnya penghentian penyidikanatau penuntutan, dapat diajukan permintaan banding, 3. Pengadilan Tinggi yang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidaksahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yangmemeriksa dan memutus dalam tingkat akhir.dimungkinkan permintaan kasasi, karena keharusan cepat perkara Praperadilan tidak akan terpenuhi kalau masih dimungkinkan pemeriksaan kasasi, 4. wewenang Pengadilan Negeri yang dilakukan oleh Praperadilan, dimaksudkan hanya sebagai wewenang pengawasan secara horizontal terhadap tindakan pejabat penegak hukum lainnya, 5. juga Pasal 244 KUHAP, tidak membuka kemungkinan melakukan pemeriksaan kasasi terhadap putusan Praperadilan, karena pemeriksaan kasasi yang diatur Pasal 244 hanya mengenai putusan perkara pidana yang benar-benar diperiksa dan diputus Pengadilan Negeri atau pengadilan selain dari Mahkamah Agung, 6. selain daripada itu, menurut hukum acara pidana, baik mengenai pihak-pihak maupun acara pemeriksaannya berbeda sifat dan kedudukannya jika dibandingkan dalam pemeriksaan Praperadilan. Itulah kira-kira saduran pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut. Dari pertimbangan dimaksud, dapat dilihat pendirian, permintaan kasasi terhadap putusan Praperadilan tidak dapat diterima. Pendirian yang seperti ini dapat juga dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Mei 1984, Reg. No. 680 K/Pid/1983. Salah satu bagian pertimbangannya berbunyi: bahwa menurut yurisprudensi tetap terhadap putusanputusan Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, sehingga permohonan kasasi dari pemohon kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dari bunyi pertimbangan ini, semakin 36

memperjelas pendirian Mahkamah Agung, permintaan kasasi terhadap putusan Praperadilan tidak dimungkinkan, dan dinyatakan tidak dapat diterima. Bahkan pendirian itu sudah merupakan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung. Kalau begitu, mau tidak mau, praktek peradilan terpaksa menyesuaikan diri dengan pendirian tersebut. PENUTUP 1. Kesimpulan 1. Dalam hal pemeriksaan praperadilan haruslah memenuhi syarat formal antara lain: a. Menguji sah tidaknya penangkapan b. Menguji sah tidaknya penahanan c. Menguji sah tidak penghentian penyidikan d. Menguji sah tidaknya penghentian penuntutan e. Memeriksa permohonan ganti kerugian. 2. Adapun isi putusan praperadilan adalah sebagai berikut: a. Sah tidaknya penangkapan atau penahanan pasal 79 KUHAP. b. Sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan c. Diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitas. d. Perintah pembebasan dari tahanan e. Perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan. f. Besarnya ganti kerugian yang diputukan oleh Hakim Praperadilan. g. Berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka h. Memerintahkan segera mengembalikan barang sitaan. 2. Saran 1. Diharapkan agar keberadaan Praperadilan berkaitan langsung dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang sekaligus sebagai fungsi kontrol terhadap aparat penegak hukum sebagai sarana pengawasan secara horizontal terhadap perlindungan terhadap tersangka dan terdakwa. 2. Hakim sebagai penegak hukum dan penegak keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan bisa menilai azas praduga tak bersalah, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum (Hakim) sebagai benteng terakhir para pencari keadilan dapat di percaya oleh masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Affandi Wahyu, Ganti rugi dan Rehabilitasi Dalam KUHAP, Sinar Harapan, 4 Januari 1982. Arto A. Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007. Asmawie M. Hanafi, Ganti Rugi dan Rehabilitasi Menurut Yurisprudensi, Sinar Baru, Bandung, 1984 Asnawi M. Natsir, Hermeneutika Putusan Hakim, UII Press, Yogyakarta, 2014. Basiang Martin, The Contemporary Law Dictionary (First Edition), Red & White Publishing, 2009. Campbell Black Henry, Black s Law Dictionary (Revised Fourth Edition). Minnesota: West Publishing, 1968. Fausan Achmad & Suhartanto, Teknik Penyusunan Gugatan Perdata di Pengadilan Negeri,, Yramawidya, Bandung, 2006 Hamzah Andi, Perbandingan KUHAP-HIR dan Komentar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985. Harahap M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2002. Kaligis, O.C, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Alumni, Bandung, 2006 Kuffal HMA., Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum, UMM Press, Malang, 2004. Lamintang PAF, KUHAP dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi, Sinar Baru, Bandung, 1984. Luqman Loeby, Praperadilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987. Makarao Muhammad Taufik & Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktik, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004. 37

Manan Bagir, Memulihkan Peradilan Yang Berwibawa Dan Dihormati, Pokok-Pokok Pikiran, Ikatan Hakim Indonesia, 2008. Nasution Adnan Buyung, Praperadilan Versus Hakim Komisaris, Beberapa Pemikiran Mengenai Keberadaan Keduanya, Makalah Diajukan Dalam Seminar Sosialiasi KUHAP Oleh Depkeham, Jakarta, 2001. Pangaribuan Luhut, P., Hukum Acara Pidana, Surat-Surat Resmi Di Pengadilan Oleh Advokat, Praperadilan, Eksepsi, Pleidoi, Duplik, Memori Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Djambatan, Jakarta, 2002. Prodjodikoro Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung, 1977. Prodjohamidjojo Martiman, Komentar Atas KUHAP Pradnya Paramita, Jakarta, 1982. Sasangka Hari, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2007 Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, 1985. Syahrani Riduan, Semangat Pelaksanaan KUHAP Perlu, Sinar Harapan. 5 Juli 1982 Tanusabroto, S., Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana Alumni, Bandung, 1983. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman 38