KEPUTUSAN HIDUP MELAJANG PADA KARYAWAN DITINJAU DARI KEPUASAN HIDUP DAN KOMPETENSI INTERPERSONAL

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan interaksi tersebut dalam berbagai bentuk. Manusia. malam harinya. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan bersatunya seorang laki-laki dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rini Yuniati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Makhluk individu

KEBAHAGIAAN DAN KETIDAKBAHAGIAAN PADA WANITA MENIKAH MUDA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson and defrain, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BABI PENDAHULUAN. Setiap pasangan suami isteri tentu berharap perkawinan mereka bisa

BAB I PENDAHULUAN. Pada rentang kehidupan manusia akan selalu terjadi proses perkembangan.

Bab 1. Pendahuluan. Dalam menjalani kehidupan, manusia memiliki kodrat. Kodrat itu antara lain; lahir,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

MASA DEWASA AWAL. Dra. Aas Saomah, M.Si JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Seiring dengan berkembangnya zaman manusia untuk mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

para1). BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan impian setiap manusia, sebab perkawinan dapat membuat hidup

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih besar, sebab seiring dengan bertambahnya usia seseorang maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dimasuki oleh kaum wanita baik sebagai dokter, guru, pedagang, buruh, dan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. WHO mendefinisikan, masa remaja (adolence) mulai usia 10 tahun sampai 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

Karaktersitik individu memang memiliki peran terhadap produktivitas. Hal ini didukung oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan, karena pada

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

PENYESUAIAN DIRI PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDHA

PERBEDAAN TINGKAT KESEPIAN BERDASARKAN STATUS PADA WANITA DEWASA AWAL. Dwi Rezka Kemala. Ira Puspitawati, SPsi, Msi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

SUSI RACHMAWATI F

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa merupakan tahap memasuki masa dewasa dini. Hurlock (2002)

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

STRATEGI COPING UNTUK MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN PADA WANITA YANG SUAMINYA MENGALAMI DISFUNGSI SEKSUAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan akan sumber daya yang berkualitas. Setiap perusahaan

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

106 intisari-online.com

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perempuan di beberapa negara maju lebih memilih melajang atau berpasangan

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. suami-istri yang menjalani hubungan jarak jauh. Pengertian hubungan jarak jauh atau

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di zaman yang semakin maju dan modern, teknologi semakin canggih dari

Eni Yulianingsih F

PORTAL PELATIHAN PRA-NIKAH (PORPLAN) UNTUK MENGURANGI TINGKAT PERCERAIAN PADA PERNIKAHAN DINI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari proses kematangan dan pengalaman dalam hidupnya. Perubahan-perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MASA PERNIKAHAN AWAL

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB V PEMBAHASAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. Manusia menjalani hidupnya dalam berbagai rentang kehidupan. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

population Council mengemukakan jumlah kasus aborsi di Indonesia pada berarti terjadi sekitar 18 aborsi per 100 kehamilan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam sepanjang hidupnya individu mempunyai tugas perkembangan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rencana Hidup. yang akan datang. Individu dapat merencanakan hal-hal spesifik untuk menjaga

BAB I PENDAHULUAN. orang umumnya mulai berpikir untuk berumah tangga dan memiliki

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. dari kemacetan hingga persaingan bisnis serta tuntutan ekonomi kian

Transkripsi:

KEPUTUSAN HIDUP MELAJANG PADA KARYAWAN DITINJAU DARI KEPUASAN HIDUP DAN KOMPETENSI INTERPERSONAL SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Psikologi Oleh: RENDY ADIE PRASETIA F. 100.040.014 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menikah dipandang sebagai suatu kelaziman, tidak saja diterima tapi juga dikehendaki secara sosial, cara pandang ini membuat kehidupan melajang dianggap sebagai suatu keterpaksaan yang sangat menyedihkan. Memang tidak dapat disangkal di Indonesia sendiri hidup melajang masih dianggap tidak wajar dan masih dipermasalahkan. Masyarakat timur khususnya, masih memiliki persepsi yang negatif terhadap orang yang tidak menikah dan memilih hidup melajang, walaupun tidak ada peraturan tertulis tentang hal itu, tapi tuntutan untuk membina hidup rumah tangga dan memiliki keturunan seakan-akan sudah menjadi norma umum yang suka atau tidak suka harus diterima. Sarnianto (2002) menjelaskan bahwa tuntutan-tuntutan masyarakat seringkali membuat orang-orang lajang mengalami tekanan mental atau emosional, salah satunya mereka tidak bisa merasakan kepuasan dalam menjalani hidupnya. Dengan besarnya tuntutan itu, tidak heran jika banyak kaum muda baik laki-laki maupun perempuan tertekan ketika belum mendapatkan pasangan di usia yang sudah dianggap pantas menikah. Banyak pula yang akhirnya menikah dengan pasangan yang belum dikenal dengan baik hanya karena usia seolah sudah mengejar. Pengambilan keputusan untuk menikah atau melajang merupakan hal yanag penting, mengingat implikasinya yang kompleks bagi kehidupan 1

2 selanjutnya. Merujuk pada temuan Suhardono (1998) bahwa pengambilan keputusan pasca-krisis pernikahan dilakukan tanpa komitmen ini mendasari dugaan bahwa keputusan pernikahan pun boleh jadi tidak dilakukan dengan komitmen. Dugaan tersebut memberi suatu pemahaman bahwa masa pranikah yaitu periode pengambilan keputusan untuk menikah atau melajang merupakan periode yang menentukan bagi para lajang. Hasil survei yang dilakukan Data Statistik Indonesia 2000 dengan Singulate Mean Age at Marriage (SMAM), di Indonesia sendiri hampir 9juta lebih kelompok usia 30-49 pada tahun 2000 masih melajang, berarti kurang/lebih masih ada 20% dari seluruh jumlah penduduk usia 30-49. Menurut Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 dipulau Jawa sendiri kurang lebih terdapat hampir setengah juta penduduk usia 35-65 tahun ke atas baik laki-laki maupun perempuan yang belum menikah. Menurut Rizky (dalam Jurnal Nasional 2008), di beberapa perusahaan, justru banyak yang membuat karyawannya yang tidak mau menikah menjadi tidak mapan. Sejumlah perusahaan mewajibkan karyawannya yang masih melajang untuk segera menikah. Jika tidak, sanksinya adalah dipecat. Para lajang biasanya memiliki kehidupan sosial yang padat, pekerjaan yang mapan tapi kenyataannya sebagian besar para lajang mengaku ada banyak tuntutan dalam diri mereka yang tak seluruhnya bisa terpenuhi, misalnya mereka tetap saja merasa memerlukan seseorang yang bisa diajak berbagi. Hasil riset Emma, 2006 dari Universitas College London (British Council Indonesia) juga memprediksikan para lajang akan menguasai sekitar 38% rumah

3 tangga pada tahun 2026. Menurut Dienaryati (2004), hal ini dikarenakan adanya akselerasi modernisasi dan pembangunan ekonomi yang sudah dilangsungkan banyak membawa perubahan tata nilai dan pola pikir masyarakat, sedangkan perubahan itu tidak selalu menuju kearah yang positif, diantara perubahan tersebut yang paling mencemaskan adalah makin kuatnya kecenderungan masyarakat untuk memburu kesuksesan dan kepuasan hidup. Era globalisasi menjanjikan peluang dan berbagai tantangan bisnis baru bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia, sehingga memacu para penggeraknya untuk berusaha menjadikan perusahaannya menjadi yang terdepan sehingga secara langsung akan membawa dampak yang positif pula jika berhasil memajukan perusahaan ditempat dia bekerja. Kadang usaha memajukan perusahaan juga membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit, seperti waktu yang terbuang banyak hanya untuk kepentingan perusahaan sehingga mau tidak mau harus meyisihkan kepentingan-kepentingan pribadinya. Lewis (dalam Darington 2005) telah membuktikan bahwa 78% para lajang sangat menikmati dan puas dengan kehidupannya sendiri. Beberapa orang lajang mempunyai banyak permasalahan karena kelajangan mereka, namun sebagian yang lain tidak. Sebetulnya, mereka juga tak ingin hidup melajang, tapi jalan untuk hidup tanpa ikatan perkawinan memang sangat terbuka. Dunia kerja, teknologi, impian karier yang membentang, kadang sulit diabaikan, sehingga sadar atau tidak, mereka terjebak pada kenyataan makin sulit meninggalkan dunia lajang. Di Amerika Serikat kini lebih dari 35 juta orang dewasa berusia di atas 25 tahun yang menjalani hidup melajang mengaku frustrasi dengan gaya hidup yang

4 dijalani, padahal rata-rata karir para lajang bagus, hidup berkecukupan, mandiri, begitu pula pergaulannya. Menikah bukan lagi dipandang sebagai keharusan, melainkan suatu pilihan bagi setiap individu, banyak orang dewasa yang berusia 35 tahun keatas masih melajang dan mereka mampu menyikapi semuanya dengan tenang (Soelaeman, 2002), tapi menurut Diener (dalam Judge dan Watanabe, 1993) status perkawinan akan berpengaruh terhadap kepuasan hidup. Individu yang telah menikah akan mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang belum menikah, karena pernikahan dianggap sebagai puncak kepuasaan hidup seseorang. Hurlock (2001) menambahkan bahwa masa dewasa mempunyai banyak masalah yang berkaitan dengan penyesuaian pernikahan dan pekerjaan, sehingga antara karier dan kebutuhan mencari pasangan merupakan masalah yang muncul secara bersamaan, sehingga tidak mengherankan sebagian besar orang dewasa lebih memilih untuk berkecimpung dalam dunia pekerjaan dahulu. Selain itu, Psikolog Kathy Miller dalam Batam Online 19, Maret 2006 menjelaskan bahwa jenis kelamin yang berbeda juga akan mempengaruhi untuk hidup melajang pula, karena laki-laki mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk mengaktualisasikan diri lebih tinggi dibanding dengan perempuan. Lakilaki lebih bebas dalam menentukan arah hidupnya dibanding dengan perempuan yang lebih mengikuti adat yang sudah ada dalam masyarakat, karena kapuasan hidup seseorang itu dapat dilihat melalui seberapa besar seseorang itu mampu membebaskan dirinya untuk mencapai apa yang dicita-citakan, dan peluang itu selalu terbuka bagi laki-laki. Kartika (2002) memaparkan bahwa jumlah

5 prosentase wanita di Indonesia yang belum menikah pada usia matang adalah 33,82% yaitu lebih kecil dari laki-laki yaitu 42,04%. Risnawaty (2003) menjelaskan bahwa dalam banyak wacana perempuan digambarkan dalam posisi yang subordinat yang dapat memberikan pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Ideologi patriarki yang lebih mengakui superioritas laki-laki atas perempuan muncul dalam arena yang beragam, termasuk dalam lingkup kaluarga dan masyarakat Menurut Rieka (2007), sejak pertengahan tahun 1990-an, kecenderungan perempuan Indonesia untuk menikah di atas usia 30 tahun semakin besar. Alasannya beragam, ada yang ingin mengejar karir, karena belum ketemu pasangan yang cocok atau karena sulit mencari pasangan yang setara karena tingkat pendidikan yang tinggi. Papalia, Olds dan Feldmen (1998) juga menjelaskan bahwa banyak sekali orang yang sudah menyelesaikan pendidikan tinggi akan membawa akibat bagi tugas perkembangan lain yaitu semakin berambisi untuk menjadi pekerja. Hal ini meningkatkan komitmen terhadap karier dan penundaan dalam pernikahan. Menurut Emilia (2006) hidup melajang memang terkesan nyaman, tak semua orang lajang merasa betah dengan hidup tanpa pasangan, tidak selamanya benar bahwa sebagian orang dewasa yang masih lajang mengalami kesepian, kalut dengan urusan mencari pasangan hidup, beresiko buruk, mempunyai kecanggungan sosial, takut untuk menjalin keakraban atau tanggung jawab, tidak dewasa secara rohani, mudah marah, atau mengasihi diri sendiri

6 Hasil wawancara dengan beberapa lajang dalam Pikiran Rakyat, Minggu 19 Februari 2006, menunjukkan bahwa beberapa wanita karier yang masih melajang awalnya menginginkan sebuah keluarga yang bahagia dengan pasangannya, hanya karena mereka ditinggal pasangannya selingkuh atau karena pasangannya meninggal, sehingga membuat mereka "malas" mencari pasangan. Hidup melajang telah memberikan kesempatan untuk beramal lebih banyak, karena tidak terikat dengan tugas-tugas rumah tangga, sehingga lebih banyak mempunyai waktu untuk berorganisasi. Mereka beranggapan bahwa semua yang dialaminya merupakan jalan yang diberikan Tuhan agar bisa lebih banyak memberikan pertolongan dan perhatian pada orang lain. Berbeda dengan pendapat dari dosen (45 tahun) pada sebuah perguruan tinggi swasta memaparkan, "Kalau sudah ada sate kenapa harus beli kambing?" Perumpamaan yang ekstrim ini menunjukkan bahwa semua kebutuhan, termasuk kebutuhan biologis, sudah dapat diperoleh tanpa melalui ikatan perkawinan. Menurutnya hidup membujang jauh lebih menarik dibandingkan memiliki istri. Bisa bebas membawa teman kerumah, pulang kapan saja tanpa omelan atau muka tak sedap seorang istri, serta tak repot mengurusi anak. Menurut Sutardjo Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung dalam Pikiran Rakyat, Minggu 19 Februari 2006, hal yang paling mendasari banyaknya orang melajang lebih karena kemampuan interpersonal atau membina hubungan pribadi yang lemah. Hal ini menyangkut relasi antarpribadi yang tidak baik untuk membina hubungan yang lebih mendalam. Orang yang kurang memiliki kemampuan ini bukan berarti orang yang tidak bisa memiliki

7 hubungan dengan orang lain dan bukan juga orang yang tidak berguna. Justru sebaliknya, orang lajang biasanya memiliki hubungan yang sangat luas dengan masyarakat, serta teman-teman kerjanya. Sutardjo menambahkan bahwa para lajang khususnya yang tinggal dikotakota besar biasanya memiliki kehidupan sosial yang padat, pakerjaan yang padat, berolah-raga, ikut kelas malam, makan diluar dan pergi ke klub-klub, walaupun kehidupan sosialnya padat, tetapi mereka tidak mampu memahami berbagai situasi sosial dan bagaimana menentukan perilaku yang tepat untuk menyikapinya. Menurut penelitian Troy (2005) kompetensi interpersonal seseorang dalam melakukan komunikasi dengan sesama terbukti membawa dampak yang baik dan dapat dipercaya mampu meningkatkan kepuasan hidup seseorang dalam bersosialisasi. Austrom dan Hanel (dalam Darington, 2005) menemukan bahwa 43% para lajang usia 34 tahun memilih untuk tetap sendiri, dan mempunyai pertimbangan-pertimbangan positif mengapa memutuskan untuk melajang, 23% dikarenakan adanya kelemahan dalam kepribadian seperti perasaan malu dan tidak menarik. Hasil penelitian Frazier (dalam Darington, 2005) menunjukkan bahwa orang tetap melajang dikarenakan ada kesukaran dalam memelihara hubungan jangka panjang dengan baik serta hubungan antar pribadi yang kurang mendalam. Dari uraian di atas, maka timbul permasalahan apakah ada hubungan antara kapuasan hidup dan kompetensi interpersonal dengan keputusan hidup melajang pada karyawan? Maka dari itu penulis ingin membuat penelitian dengan

8 judul Keputusan Hidup Melajang pada Karyawan Ditinjau dari Kepuasan Hidup dan Kompetensi Interpersonal. B. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui hubungan antara kepuasan hidup dan kompetensi interpersonal dengan keputusan hidup melajang pada karyawan. 2. Untuk mengetahui hubungan antara kepuasan hidup dengan keputusan hidup melajang pada karyawan. 3. Untuk mengetahui hubungan antara kompetensi interpersonal dengan keputusan hidup melajang pada karyawan. 4. Untuk mengetahui perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam memutuskan untuk hidup melajang. 5. Untuk mengetahui tingkat kepuasan hidup pada karyawan. 6. Untuk mengetahui tingkat kompetensi interpersonal pada karyawan. 7. Untuk mengetahui tingkat keputusan hidup melajang pada karyawan. C. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: a. Bagi karyawan lajang, mampu memberikan gambaran tentang kepuasan hidup dan kemampuan interpersonal pada karyawan yang hidup melajang. b. Bagi para lajang pada umumnya, mampu memberikan gambaran tentang kepuasan hidup dan kemampuan interpersonal pada orang-orang dewasa yang memutuskan untuk hidup melajang.

9 c. Bagi Psikolog, mampu memberikan gambaran secara khusus mengenai kehidupan melajang yang dipilih oleh orang dewasa serta mampu menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang psikologi khususnya psikologi sosial dan psikologi perkembangan. d. Bagi masyarakat, mampu memberikan pemahaman serta memperluas cara pandang tentang orang-orang dewasa yang memilih untuk hidup melajang.