KEWENANGAN DISKRESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM MENENTUKAN REHABILITASI PENGGUNA NARKOTIKA

dokumen-dokumen yang mirip
KEWENANGAN DISKRESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM MENENTUKAN REHABILITASI PENGGUNA NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejalan dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tujuan

PELAKSANAAN TUGAS INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR DI PUSKESMAS PERKOTAAN RASIMAH AHMAD BUKITTINGGI

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

No II. anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, perlu diberi landasan hukum ya

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia telah lahir beberapa peraturan perundang-undangan yang

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Narkotika di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah personil yang di Direktorat Reserse Narkotika dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi. Seiring dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya,narkotika berkembang sangat pesat. ketergantungan bahkan ada yang meninggal akibat Narkotika

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA : 33/PUU-X/2012

KONSEP DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PROSES PIDANA

KONSEP DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PROSES PIDANA

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BNN TES URINE PEGAWAI BPK SUMUT

SKRIPSI KUALIFIKASI PECANDU NARKOTIKA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM

BUPATI HULU SUNGAI UTARA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. terbendung lagi, maka ancaman dahsyat semakin mendekat 1. Peredaran

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR,

BUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015

TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

TESIS EFEKTIVITAS REHABILITASI SEBAGAI HUKUMAN BAGI PENGGUNA NARKOTIKA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN PEREDARAN NARKOTIKA. O l e h :

20. PelaksanaanUU No.35/2009 tentangnarkotika. Pelatihan Outreach Worker Program Harm Reduction

BAB I PENDAHULUAN. (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kepolisian

BAB III PENUTUP. hukum ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. cepat dari proses pematangan psikologis. Dalam hal ini terkadang menimbulkan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NARKOTIKA JENIS KATINON DALAM PERSPEKTIF ASAS LEGALITAS

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, pendidikan, dan pengajaran 1. Penggunaannya diluar pengawasan dokter atau dengan kata lain

Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Narkotika Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Oktober 2015; disetujui: 15 Oktober 2015

OLEH : Ni Ketut Arie Setiawati. A.A Gde Oka Parwata. Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

WEWENANG DISKRESI OLEH PENYIDIK Oleh : Pebry Dirgantara I Made Tjatrayasa Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum,Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini sudah membuat kalangan masyarakat resah dan tidak nyaman.

SOSIALISASI INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR (IPWL) OLEH : AKBP AGUS MULYANA

2011, No sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2

TESIS PUTUSAN REHABILITASI DALAM KONSEP PEMIDANAAN DI INDONESIA

REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

JURNAL REHABILITASI SOSIAL TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

JURNAL ILMIAH KOORDINASI ANTARA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (POLRI) DAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM MENCEGAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dirasakan semakin menunjukkan peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari

BAB V PENUTUP. Penyalahguna magic mushroom dapat dikualifikasikan sebagai. golongan I sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

BAB III PENUTUP. A.Kesimpulan. Berdasarkan uraian dan pembahasan, penulis mengambil kesimpulan. sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

JURNAL IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

persepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang 2

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk di Indonesia berkembang

Ratna Indah Sari Dewi 1. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Syedza Saintika Padang 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

SKRIPSI. UPAYA REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA OLEH BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNNK/KOTA) PADANG (Studi Kasus di BNNK/Kota Padang)

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

3 Badan Narkotika Provinsi Sulut, Op Cit, h.43 4 Pasal 1 angka 16 UU No 35 tahun 2009 tentang

BUPATI BULUNGAN PROPINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini rasanya cukup relevan untuk membicarakan masalah polisi

Transkripsi:

JURNAL SKRIPSI KEWENANGAN DISKRESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM MENENTUKAN REHABILITASI PENGGUNA NARKOTIKA Diajukan oleh : FX YOGA NUGRAHANTO N P M : 090510113 Program Studi : Ilmu Hukum Program kekhususan : Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 2013

JURNAL SKRIPSI KEWENANGAN DISKRESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM MENENTUKAN REHABILITASI PENGGUNA NARKOTIKA Diajukan oleh : FX YOGA NUGRAHANTO N P M : 090510113 Program Studi : Ilmu Hukum Program kekhususan : Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 2013 i

1 I. Judul tugas akhir : Kewenangan Diskresi Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Menentukan Rehabilitasi Pengguna Narkotika II. Nama Mahasiswa: Fx Yoga Nugrahanto, Nama Pembimbing: CH. Medi Suharyono III. Program Studi : Ilmu hukum, Fakultas Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta IV. Abstract: Discretion police is basically police authority based on the principle of common liabilities police which is a principle which gives authority to police official to act or do not act alone, according to his judgment generally, the obligation of keeping in order maintains order and guarantee security of the general. Discretion is considered by some authorities will suffer arrogance and the act of arbitrary authority from police itself, that would only aggravate the image of the police force. Responding to the problems about the determination of the police about the offender narcotic crime which are handled tend not in accordance with the process of criminal justice and deviating from laws and regulations that manage it. Discretion police can tangible or intangible as placing narcotics addict into the rehabilitation of the institution. Of the problems have been elaborated it can be concluded that the authority of the discretionary owned a police force that has been regulated in the implementation regulations must also be careful to prevent a positive image of the police force. The act of police was tending to valued by the public, negative many circles of

2 society didn' t know the authority of the discretionary owned police against the offender narcotic crime. Keyword: discretion; police, rehabilitation and narcotic. V. Pendahuluan Latar Belakang: Penyalahgunaan narkotika adalah pemakaian narkotika diluar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, dan pemakaiannya bersifat patologik (menimbulkan kelainan) dan menimbulkan hambatan dalam segala aktifitas serta menimbulkan ketergantungan. 1 Penyalahgunaan narkotika dirasa merugikan negara, karena generasi muda memperoleh dampak buruk dari narkotika yang berimbas pada jasmani dan rohani generasi muda yang menjadi harapan bagi generasi penerus bangsa. Kepolisian merupakan instansi pertama yang melakukan proses awal dalam penegakan hukum pidana. Pada waktu menjalankan tugasnya terkadang polisi mengalami benturan-benturan dari anggota masyarakat itu sendiri ketika kepentingan-kepentingan masyarakat tidak ditanggapi atau diakomodir oleh anggota kepolisian. Persepsi inilah yang melatarbelakangi masyarakat menilai anggota kepolisian bertindak atas keuntungan yang diperoleh dari tugas-tugas polisi tersebut. Polisi harus mampu mengambil sebuah keputusan yang cepat dan tepat atau lebih dikenal dengan istilah diskresi. Keputusan yang cepat dan 1 Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Jakarta, PT Raja Grafindo, Persada, 2008, hlm. 2.

3 tepat itu tentu saja dilatarbelakangi atas sebuah pertimbangan serta disertai dengan adanya pertanggung jawaban. Menanggapi permasalahan tentang penentuan pihak kepolisian mengenai rehabilitasi pengguna narkotika yang ditangani cenderung tidak sesuai dengan proses peradilan pidana dan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Kepolisian cenderung melakukan tindakan sepihak untuk menanganinya tanpa melalui proses permohonan atau penetapan dari pengadilan. Tindakan diskresi kepolisian mempertimbangkan dari segi-segi yang ada, walaupun pada kenyataannya masyarakat lebih menilai bahwa kepolisian bertindak secara sewenang-wenang. Rumusan Masalah: 1. Bagaimanakah kewenangan Diskresi Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menentukan Rehabilitasi Pengguna Narkotika? 2. Apakah Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai kendala dalam menentukan Rehabilitasi Pengguna Narkotika? VI. Isi Makalah A. Tinjauan Umum tentang Diskresi Kepolisian Negara Republik Indonesia 1) Pengertian Diskresi Diskresi pada dasarnya merupakan suatu tindakan atau kebijakan yang dimiliki seseorang untuk melakukan dan/ atau tidak melakukan tidakan lain menurut penilaiannya sendiri. Diskresi Kepolisian pada dasarnya merupakan kewenangan Kepolisian yang bersumber pada asas Kewajiban

4 umum Kepolisian ( Plichtmatigheids beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. 2 2) Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 3) Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas pokok antara lain: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 4) Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia Wewenang kepolisian dibagi menjadi dua tipe wewenang kepolisian yang meliputi wewenang umum dan wewenang khusus. a. Wewenang umum sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat (1) seperti: menerima laporan dan/atau pengaduan, membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; 2 http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/hukum-kepolisian/diskresi-kepolisian-ii/, Diskresi Kepolisian, hlm. 1, Selasa 19 maret 2013

5 b. Wewenang khusus terdapat dua penggolongan yaitu kewenangan yang berdasarkan peraturan Perundang-undangan pasal 15 ayat (2), serta wewenang penyelidikan atau penyidikan dalam proses pidana yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. 1. Wewenang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, seperti: memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya, menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; 2. Sedangkan wewenang di bidang proses pidana, seperti melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; 5) Kewenangan Diskresi Kepolisian Negara Republik Indonesia Kewenangan diskresi tersebut diatur dalam pasal 18 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu: 1. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. 2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

6 B. Tinjauan Umum mengenai Rehabilitasi Pengguna Narkotika 1) Pengertian Rehabilitasi Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan arti rehabilitasi sebagai berikut: 1. Pemulihan kepada kedudukan (keadaan) yang dahulu (semula) 2. Perbaikan anggota tubuh yang cacat dan sebagainya atas individu (misal pasien rumah sakit, korban bencana) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat di masyarakat. Pengertian rehabilitasi narkotika adalah sebuah tindakan represif yang dilakukan bagi pencandu narkotika. Tindakan rehabilitasi ditujukan kepada korban dari penyalahgunaan narkoba untuk memulihkan atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. Selain untuk memulihkan, rehabilitasi juga sebagai pengobatan atau perawatan bagi para pecandu narkotika, agar para pecandu dapat sembuh dari kecanduannya terhadap narkotika. 3 Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan arti rehabilitasi yaitu pemulihan kepada kedudukan (keadaan) yang dahulu (semula). Rehabilitasi narkotika ada 2 macam penanganan yaitu melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 3 http://www.psychologymania.com/2012/08/pengertian-rehabilitasi-narkoba.html, kamis 21 maret 2013

7 2) Pengertian Pengguna Narkotika Pengguna narkotika dan obat terlarang adalah pemakai narkoba secara tetap dan bukan untuk tujuan pengobatan atau digunakan tanpa mengikuti aturan takaran yang seharusnya (Yatim dalam Hawari, 1996). Menurut Joewono (1996), pengguna narkotika dan obat terlarang adalah individu yang menggunakan narkotika dan obat terlarang dalam jumlah yang berlebihan, secara berkala atau terus menerus berlangsung cukup lama sehingga dapat merugikan kesehatan jasmani, mental dan kehidupan sosial. 4 Pada dasarnya, pengedar narkoba dalam terminologis hukum dikategorisasikan sebagai pelaku(daders), akan tetapi pengguna dapat dikategorisasikan baik sebagai pelaku dan/atau korban. Selaku korban, maka pengguna narkoba adalah warga negara yang harus dilindungi, dihormati serta dihormati hak-haknya baik dalam proses hukum maupun dimensi kesehatan dan sosial. 5 3) Proses Dalam Menentukan Rehabilitasi Pengguna Narkotika IPWL sendiri menerima pecandu yang mendaftarkan dirinya sendiri atau sesuai dengan putusan pengadilan untuk menjalani proses rehabilitasi. Kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial berlaku bagi Pecandu Narkotika yang diperintahkan berdasarkan putusan pengadilan jika Pecandu Narkotika terbukti bersalah melakukan 4 http://pamangsah.blogspot.com/2008/10/strategi-coping-pengguna-narkotika-dan.html?=1 5 Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., 2012, Penelitian Asas, Teori, Norma dan Praktik Penerapannya Dalam Putusan Pengadilan, hlm. 5.

8 tindak pidana Narkotika, dan penetapan pengadilan jika Pecandu Narkotika tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. 4) Pemberian Rehabilitasi Pengguna Narkotika oleh Polri Kepolisian Republik Indonesia maupun BNN dapat menentukan pengguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika Pasal 13 ayat (3), (4), (5), dan (6) yang menyatakan bahwa: (3) Pecandu Narkotika yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. (4) Penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaan setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim Dokter. (5) Ketentuan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga bagi Korban Penyalahgunaan Narkotika. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait.

9 C. Kendala Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Menentukan Diskresi Terhadap Rehabilitasi Pengguna Narkotika 1. Pemberian rehabilitasi oleh kepolisian tersebut pada kenyataannya tidak efektif karena walaupun kepolisian dapat menunjuk tempat untuk rehabilitasi akan tetapi tidak menghentikan proses hukumnya sampai putusan pengadilan. 2. Pemberian diskresi yang dilakukan kepolisian harus berhati-hati, agar pandangan negatif masyarakat terhadap kepolisian dapat dihindari. 3. Masyarakat menilai bahwa penerapan diskresi sebagai penyalahgunaan tugas dan wewenang petugas kepolisian. Kurangnya pemahaman kasus oleh masyarakat yang dihadapi kepolisian dalam penerapan diskresi rehabilitasi pengguna narkotika membuat masyarakat cenderung melihat bahwa penerapan diskresi tersebut sebagai penyalahgunaan tugas dan wewenang. 4. Adanya institusi penerima wajib lapor seperti rumah sakit, puskesmas, dan lembaga swadaya masyarakat yang dikelola pemerintah sebagai upaya pengobatan pecandu narkotika, menghambat adanya pemberantasan tindak pidana narkotika oleh kepolisian, sehingga penerapan diskresi mengenai rehabilitasi pengguna narkotika tidak dapat secara optimal dapat dilakukan kepolisian. VII. Kesimpulan 1. Kewenangan Diskresi Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pengguna narkotika adalah menempatkan pengguna narkotika kedalam

10 lembaga rehabilitasi setelah adanya rekomendasi dari tim dokter dan memperhatikan kepentingan umum seperti upaya penangkapan yang dilakukan oleh kepolisian dan publikasi kepada masyarakat sebagai pemberitahuan kewenangan diskresi yang dilakukan kepolisian mengenai penempatan pengguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi. Diskresi diatas sesuai dengan ketentuan dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesiadan pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. 2. Kendala Kepolisian dalam menentukan rehabilitasi: a. Adanya pandangan negatif masyarakat bahwa penerapan diskresi sebagai penyalahgunaan tugas dan wewenang petugas kepolisian. Kurangnya pemahaman kasus oleh masyarakat yang dihadapi kepolisian dalam diskresi mengenai rehabilitasi pengguna narkotika membuat masyarakat cenderung melihat bahwa penerapan diskresi tersebut sebagai penyalahgunaan tugas dan wewenang. b. Kurangnya koordinasi diantara lembaga-lembaga yang memiliki wewenang untuk menangani pengguna narkotika dengan kepolisian kedalam lembaga rehabilitasi menjadikan penanganan dan pemberantasan narkotika tidak berjalan secara optimal.

11 VIII. Daftar Pustaka : Buku: Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., 2012, Penelitian Asas, Teori, Norma dan Praktik Penerapannya Dalam Putusan Pengadilan, hlm. 5. Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Jakarta, PT Raja Grafindo, Persada, 2008, hlm. 2. Website: http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/hukum-kepolisian/diskresikepolisian-ii/, Diskresi Kepolisian, hlm. 1, Selasa 19 maret 2013 http://www.psychologymania.com/2012/08/pengertian-rehabilitasinarkoba.html, kamis 21 maret 2013 http://pamangsah.blogspot.com/2008/10/strategi-coping-penggunanarkotika-dan.html?=1 Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika