3 Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit. 4 Dahlan Siamat, Management Bank Umum, Intermedia,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

RESIKO DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN. Oleh : Rohyani R. I. Sumilat 1 ABSTRAK

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Bank adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yang telah memiliki beberapa Undang-undang yang mengatur tentang

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

DAFTAR PUSTAKA. Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB I PENDAHULUAN. cukup penting. Bank sebagai sarana dalam bertransaksi terutama transaksi yang

BAB I PENDAHULUAN. Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT PERBANKAN. yang relatif kecil sampai jumlah yang cukup besar, sehingga ada berbagai

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat telah memberikan kemajuan yang luar biasa kepada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. provisi, ataupun pendapatan lainnya. Besarnya kredit yang disalurkan akan

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

BAB I PENDAHULUAN. dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan kemudian dana yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Namun demikian perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian khusus dari

ASAS NATURALIA DALAM PERJANJIAN BAKU

Oleh Prihatin Effendi. ABSTRAK. A. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN GADAI PADA PT. PEGADAIAN (PERSERO) 1 Oleh: Sartika Anggriani Djaman 2

BAB I PENDAHULUAN. penduduk menjadikan Indonesia harus dapat meningkatkan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting

DAFTAR PUSTAKA. Abbas Salim, 1985, Dasar-Dasar Asuransi (Principle Of Insurance) Edisi Kedua, Tarsito, Bandung.

BAB I PENDAHULUAN. menyelerasikan dan menyeimbangkan unsur-unsur itu adalah dengan dana (biaya) kegiatan untuk menunjang kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan pinjam-meminjam

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK-HAK NASABAH SEBAGAI KONSUMEN PENGGUNA JASA BANK TERHADAP RISIKO YANG TIMBUL DALAM PENYIMPANGAN DANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. dana yang besar. Kebutuhan dana yang besar itu hanya dapat dipenuhi. dengan memperdayakan secara maksimal sumber-sumber dana yang

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan dapat didefinisikan sebagai suatu badan usaha yang menghimpun

KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Untuk mencapai. pembangunan, termasuk dibidang ekonomi dan keuangan.

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

BAB II RUANG LINGKUP LARANGAN PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN YANG DIATUR DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi termasuk sektor perbankan. Kelengkapan peraturan terutama

BAB I PENDAHULUAN. bahwa kata bank berasal dari bahasa Italy banca yang berarti bence yaitu suatu

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan analisis hukum terhadap perjanjian kredit yang dibakukan

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk

BAB I PENDAHULUAN. berkembanganya kerja sama bisnis antar pelaku bisnis. Banyak kerja sama

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : KONTRAK PERBANKAN DAN PEMBIAYAAN STATUS MATA KULIAH : KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB 1 PENDAHULUAN. hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi suatu negara. Fungsi bank adalah menjadi intermediasi

BAB II TINJAUAN UMUM KREDIT DAN PERJANJIAN KREDIT BANK. Istilah kredit bukanlah hal yang asing dalam kehidupan sehari-hari di

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI BANK DAN NASABAH

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam sistem perekonomian. Menurut Undang Undang Nomor

BAB I. Pendahuluan. setiap negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi

BAB I PENDAHULUAN. badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya seperti kebutuhan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum..., Pramita Dyah Hapsari, FH UI, 2011.

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya pembangunan aspek ekonomi tentunya tidak

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian dan pembaharuan hukum guna melengkapi. perkembangan perekonomian Indonesia.

memanfaatkan dana yang dipercayakan kepadanya. Kata kunci: Mediasi, Nasabah, Perbankan.

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM PADA KOPERASI SIMPAN PINJAM (KSP) ARTHA JAYA MAKMUR SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis media di Indonesia semakin berkembang pesat. Hal ini karena

II. Tinjauan Pustaka. Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi. Beberapa

POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. tidak menawarkan sesuatu yang merugikan hanya demi sebuah keuntungan sepihak.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ANTARA BANK DENGAN NASABAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. A. Pembiayaan Konsumen dan Dasar Hukumnya

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016. PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT TERHADAP KREDITUR DAN DEBITUR PADA BANK RAKYAT INDONESIA 1 Oleh : Mikhael Tooy 2

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi Indonesia tidak bisa lepas dari dasar falsafah

BAB I PENDAHULUAN. adalah untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan hal

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016 Website :

KEKUATAN MENGIKAT KONTRAK BAKU DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali

BAB I PENDAHULUAN. di dalam mewujudkan cita-cita atau tujuan pembangunan nasional, sub sektor ini

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. Hukum tentang Perjanjian diatur dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum

Transkripsi:

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH (DEBITUR) BANK SEBAGAI KONSUMEN PENGGUNA JASA BANK TERHADAP RISIKO DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK 1 Oleh: Mohammad Wisno Hamin 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana upaya perlindungan Hukum bagi nasabah (debitur) sebagai konsumen pengguna jasa bank dan bagaimana pertanggungjawaban bank jika terjadi risiko terkait perjanjian kredit bank. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Upaya perlindungan bagi nasabah debitur terhadap risiko yang dialaminya dalam perjanjian kredit bank selain dapat dilakukan dengan penerapan Pasal 18 UUPK, juga dapat dilakukan sesuai dengan kebijakan Bank Indonesia. Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru sistem perbankan nasional yang salah satu aspek didalamnya tercakup upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah. Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi Pilar ke VI dalam API yang mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi independen, transparansi informasi produk, dan edukasi nasabah. 2. Perjanjian kredit merupakan perjanjian baku (standard contract), dimana isi atau klausul-klausul perjanjian kredit tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blangko), tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk tertentu. Calon nasabah debitur tinggal membubuhkan tandatangannya saja apabila bersedia menerima isi perjanjian tersebut, tidak memberikan kesempatan kepada calon debitur untuk membicarakan lebih lanjut isi atau klausul-klausul yang diajukan pihak bank. Perjanjian baku diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya praktis dan kolektif Pada tahap ini kedudukan calon debitur sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang disodorkan oleh pihak bank, karena jika tidak demikian calon debitur tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksud. 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Dr. Theodorus H. W. Lumunon, SH, MH; Ronny Luntungan, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 110711090 Kata kunci: Perlindungan hukum, nasabah bank, jasa bank, perjanjian kredit. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang atau badan usaha yang berusaha meningkatkan kebutuhan konsumtif dan produktif sangat memerlukan pendanaan baik dari salah satunya dalam bentuk kredit mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak mampu mencukupi dalam mendukung peningkatan usahanya. 3 Perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) memegang peranan penting dalam proses pembangunan nasional. Kegiatan usaha utama bank berupa menarik dana langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau pembiayaan membuatnya sarat akan pengaturan baik melalui peraturan perundang-undangan di bidang perbankan sendiri maupun perundangundangan lain yang terkait. 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya disebut UUPK) juga sangat terkait, khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen. Antara lain dengan adanya perjanjian kredit atau pembiayaan bank yang merupakan perjanjian standar (standard contract). 5 Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan Bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya sudah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditor sedangkan debitor banyak mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku (standard contract), 6 di mana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada 3 Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hal. 41 4 Dahlan Siamat, Management Bank Umum, Intermedia, Jakarta, 1993, hal. 17 5 Ibid, hal. 17. 6 Mohammad Tjoetem, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial (Konsep, Teknik, dan Kasus), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal. 4 46

kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar-menawar yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu pihak. Konsumen jasa perbankan lebih dikenal dengan sebutan nasabah. Nasabah dalam konteks Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dibedakan menjadi dua macam, yaitu nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Dalam praktik perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, nasabah deposan yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk giro, tabungan dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau pembiayaan perbankan misalnya kredit kepemilikan rumah. pembiayaan murabahah, dan sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C). 7 Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai tata cara pencantuman klausula baku. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah antara lain adanya pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Debitur dalam perjanjian kredit bank 7 Marhais Abdul Miru, Hukum Perbankan di Indonesia, Alumni, Bandung, 2004, hal. 31 merupakan nasabah dalam bank tersebut, dalam UUPK disamakan dengan konsumen, ini dapat dilihat dari Pasal 1 ayat (2) yang menegaskan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan dir sendiri, keluarga, orang kin maupun makhluk hidup orang lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Apabila dilihat dari Pasal tersebut maka unsur dari konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa, dan tidak untuk diperdagangkan. Nasabah adalah orang pemakai barang dan/atau jasa yang diberikan bank tidak untuk diperdagangkan. Maka dalam hal ini nasabah termasuk juga konsumen. Pengertian Perlindungan Konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana upaya perlindungan Hukum bagi nasabah (debitur) sebagai konsumen pengguna jasa bank? 2. Bagaimana pertanggungjawaban bank jika terjadi risiko terkait perjanjian kredit bank? C. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi perlindungan hakhak nasabah sebagai konsumen pengguna jasa bank terhadap risiko yang terjadi di dalam perjanjian kredit bank dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen ini penulis melakukan penelitian hukum normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, penelitian ini disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis berdasarkan hukum yang tertulis dalam buku (law as it -written in the book). PEMBAHASAN A. Upaya Perlindungan Hukum Bagi Nasabah (Debitur) Sebagai Konsumen Pengguna Jasa Bank Undang-Undang Perlindungan Konsumen bukan satu-satunya hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen di Indonesia. 47

Sebelum disahkannya UUPK pada dasarnya telah ada beberapa perundang-undangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen antara lain : Pasal 202-205 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Ordonansi Bahan- Bahan Berbahaya (1949). Undang- Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan sebagainya. Lahirnya UUPK di harapkan menjadi payung hukum (umbrella act) di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan lain yang materinya memberikan perlindungan terhadap konsumen. Adanya perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di bidang perbankan menjadi urgen, karena secara faktual kedudukan antara para pihak seringkali tidak seimbang. 8 Kepentingan konsumen, termasuk pula dalam hal ini nasabah, secara rinci termuat dalam Revolusi PBB Nomor 39/248 Tahun 1985. Dalam sidang umum PBB ke-106 yang digelar tanggal 9April 1985 itu, digariskan bahwa hakhak konsumen yang dimaksud yaitu: 1. Perlindungan terhadap konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya. 2. Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen. 3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan mereka kemampuan melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi. 4. Pendidikan konsumen. 5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif. 6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen dan memberikannya kesempatan kepada mereka untuk menyatakan pendapat sejak saat proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan konsumen. 9 Dalam Pasal 4 Bab III Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan hak-hak konsumen secara khusus, yaitu antara lain: 8 Ibid, hal. 6. 9 Lihat Resolusi PBB No. 39/248 Tahun 1985, tanggal 9 April 1985 perihal Hak-Hak Konsumen 1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 10 Secara spesifik, hak-hak konsumen, terutama kepentingan hukumnya, telah termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, dalam hal itu merupakan kepentingan yang mutlak dan sah bagi masyarakat Indonesia sebagai konsumen. Suatu hal yang tidak adil bagi konsumen bila kepentingan konsumen tidak seimbang dan tidak dihargai sebagaimana penghargaan terhadap kalangan pengusaha. Dalam konteks itu, nasabah memiliki hak secara spesifik, yakni sebagai berikut: 1. Nasabah berhak untuk mengetahui secara terperinci tentang produkproduk perbankan yang ditawarkan. Hak ini merupakan hak utama dari nasabah, karena tanpa penjelasan terperinci dari bank melalui customer service-nya, maka sangat sulit nasabah untuk memilih produk perbankan apa 10 Lihat Pasal 4 Bab III Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 48

yang sesuai dengan kehendaknya. Hakhak apa saja yang akan diterima oleh nasabah apabila nasabah mau menyerahkan dananya kepada bank untuk dikelola. 2. Nasabah berhak untuk mendapatkan bunga atas produk tabungan dan deposito yang telah diperjanjikan terlebih dahulu. 11 Penulis berpendapat bahwa dalam praktek perbankan jika nasabah menyimpan uang ke bank harus dilindungi. Dalam praktik perbankan berlaku ketentuan bahwa nasabah yang akan menyimpan dananya pada waktu suatu bank dilakukan bukan dengan cuma-cuma. Nasabah berhak untuk menerima bunga atas dana yang disimpan pada bank tersebut. B. Pertanggungjawaban Bank Terhadap Risiko Yang Timbul Dalam Usaha Kegiatan Terkait Perjanjian Kredit Bank Pertanggungjawaban bank apabila nasabah mengalami kerugian adalah dengan menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan nasabah, untuk menghindari berlarut-larutnya masalah yang terjadi. Pengaduan nasabah dilakukan dengan standar waktu yang ditentukan dan berlaku secara umum. Risiko yang terdapat dalam perjanjian kredit bank dapat dilihat dari dua sisi yaitu risiko yang ditanggung oleh bank sebagai kreditur dan risiko yang ditanggung oleh nasabah debitur. Risiko yang ditanggung bank sebagai kreditur dapat berupa Credit Risk Strategic Risk, Regulatory Risk Operating Risk, Commodity Risk, Human Resources Risk, dan Legal Risk. Sedangkan risiko yang ditanggung oleh nasabah debitur antara lain risiko yang ditanggung debitur karena bentuk dari perjanjian kredit bank yang baku (standar) sehingga debitur tidak dapat ikut menentukan isi perjanjian tersebut. 12 Kedudukan yang berbeda antara bank dan nasabah debitur yakni dimana bank memiliki posisi tawar yang lebih kuat jika dibandingkan dengan nasabah debitur menyebabkan 11 Ahmadi Miru, Loc Cit, hal. 32. 12 David Y. Wonok, Perlindungan Hukum Atas Hak-Hak Nasabah Sebagai Konsumen Pengguna Jasa Bank Terhadap Risiko Yang Timbul Dalam Penyimpangan Dana, Skripsi, Pasca Sarjana UNSRAT, 2013, hal. 69 ketidakseimbangan dalam pembuatan perjanjian kredit bank. Hal ini disebabkan perjanjian kredit bank tersebut dibuat dalam bentuk yang baku (standard) oleh pihak bank sehingga isi dari perjanjian kredit baku tersebut lebih menguntungkan pihak bank sedangkan nasabah hanya dapat menerimanya. Bank dapat memasukkan klausul-klausul yang menguntungkannya namun merugikan pihak nasabah debitur seperti klausul eksonerasi yang membebaskan bank sebagai kreditur dart kewajibannya. Keberadaan lembaga mediasi perbankan merupakan sebuah bentuk perlindungan terhadap konsumen. Hal ini merupakan salah satu langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). 13 Keberadaan lembaga tersebut merupakan suatu terobosan seperti di negara lain karena Indonesia perlu menjamin dan memberdayakan nasabah perbankan dengan memberikan perlindungan kepada nasabah. Kehadiran mediasi perbankan sangat penting. Hal ini dikarenakan perbankan merupakan lembaga yang sangat mengandalkan kepercayaan dari masyarakat luas. Masyarakat mengandalkan jasa bank dilandasi rasa kepercayaan. Oleh karena itu, kepercayaan dari masyarakat harus tetap terjaga. Keberadaan Lembaga Mediasi independen ini akan memberikan manfaat baik bagi nasabah maupun bank. Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masingmasing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debitur. 14 Dilihat dari bentuknya, umumnya perjanjian kredit perbankan menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan 13 Ibid, hal. 69 14 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 71. 49

dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku (standard contract), di mana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar-menawar. Perjanjian kredit ini perlu memperoleh perhatian yang khusus baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan, dan penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan dengan itu, menurut Ch. Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: 1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok. 2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasanbatasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur. 3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit. 15 Dalam UUP tidak dicantumkan secara tegas apa dasar hukum perjanjian kredit. Hanya saja dari pengertian kredit sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 1 angka 13 UUP dapat disimpulkan, dasar hukum pemberian kredit adalah perjanjian. Bagaimana bentuk perjanjian yang dimaksud? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu terlebih dahulu dikemukakan di sini, pranata hukum pinjammeminjam sendiri diatur dalam Buku III Bab Ke Tiga Belas KUHPdt. Dalam Pasal 1754 KUHPdt dijelaskan, pinjam-meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Selanjutnya dalam Pasal 1765 KUHPdt dikemukakan, diperbolehkan memperjanjikan, bunga atas peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. Dari pengertian di atas, terlihat bahwa 15 Ibid, hlm. 72 unsur-unsur pinjam-meminjam adalah: a. Adanya persetujuan antara peminjam dengan yang memberi pinjaman; b. Adanya suatu jumlah barang tertentu habis karena memberi pinjaman; c. Pihak yang menerima pinjaman akan mengganti barang yang sama; dan d. Peminjam wajib membayar bunga bila diperjanjikan. 16 Bagaimana halnya dengan perjanjian kredit, apakah dapat diklasifikasikan sebagai perjanjian pinjam-meminjam yang disertai dengan bunga? Dengan perkataan lain, apakah ketentuan perjanjian kredit tunduk kepada ketentuan KUHPdt? Untuk menjawab pertanyaan ini kiranya perlu disimak berbagai pemikiran yang dikemukakan oleh para pakar hukum, antara lain: Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan, perjanjian kredit bank di Indonesia adalah perjanjian yang bernama. Selanjutnya dikemukakan, dalam aspeknya yang konsensual perjanjian ini tunduk kepada UUP dan bagian umum Buku III KUHPdt. Dalam aspek riil perjanjian ini tunduk pada UUP dan ketentuan yang terdapat di dalam model-model perjanjian (standar) kredit yang dipergunakan di lingkungan perbankan, perjanjian kredit dalam aspeknya yang riil ini tidak tunduk pada Bab XIII Buku III BW. 17 Pendapat senada dikemukakan oleh Sri Gambir Melati Hatta, perjanjian kredit merupakan suatu bentuk kontraktual dalam penuangannya. Dengan demikian berlakulah ketentuan-ketentuan hukum privat dalam hal ini tunduk pada ketentuan hukum perjanjian yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III. Perjanjian kredit pengaturannya di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undangundang ini merupakan lex specialis. Sedangkan lex generalis-nya bertopang pada KUHPdt Buku III Bab ke tiga belas tentang pinjam-meminjam. Juga. Bab I sampai dengan Bab IV mengenai ketentuan umum. 18 16 Lihat Penjelasan Pasal 1765, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 17 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, hlm. 40. 18 Sri Gambir Melati Hatta. Perkreditan dari Tantangan Dunia Perbankan Artikel dalam www.leqalitas.org. Akses 14 Maret 2016 50

Pendapat yang lebih spesifik dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini, pencantuman katakata persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam di dalam pengertian kredit sebagaimana dimaksud dalam UUP dapat mempunyai beberapa maksud yakni Pertama, pembentuk undang-undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitor yang berbentuk pinjammeminjam. Kedua, pembentuk Undang-Undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. 19 Bila ditilik secara saksama pandangan yang dikemukakan oleh para pakar perbankan di atas, tampak bahwa hubungan hukum antara badan usaha bank (kreditor) dengan nasabah peminjam (debitor) diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Bahkan dalam berbagai peraturan pelaksanaan UUP yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dengan tegas dikemukakan, bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian secara tertulis. 20 Perjanjian tertulis antara kreditor dengan debitor pada umumnya sudah dalam bentuk kontrak standar. Untuk jenis perjanjian semacam ini oleh para ahli hukum dikualifikasikan sebagai perjanjian kredit bank. Seperti yang dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, dalam praktik setiap bank telah menyediakan blanko/formulir perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu. Formulir ini ditawarkan kepada pemohon kredit. Jika perjanjian kredit tersebut dipelajari lebih rinci, terlihat bahwa perjanjian kredit terbagi dalam dua bagian yaitu perjanjian induk dan perjanjian tambahan. Perjanjian induk mengatur hal-hal pokok, sedangkan perjanjian tambahan menguraikan apa yang diatur dalam perjanjian pokok. 21 Apabila demikian halnya, maka satu hal yang harus disadari oleh para pihak dalam perjanjian kredit khususnya bagi pihak debitor, bahwa implikasi yuridis yang muncul dengan ditandatanganinya suatu perjanjian maka para pihak berkewajiban untuk mematuhinya. 19 Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta: IBI, 1993, hlm. 181. 20 M. Bahsan, Hukum dan Ketentraman Perbankan di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 2003, hlm. 81. 21 Mariam Darus Badrulzaman, Op Cit, hlm. 37. Artinya, perjanjian yang sudah ditandatangani mengikat kedua belah pihak. 22 Secara normatif dalam hukum perjanjian dijabarkan atau lebih tepatnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) dijabarkan apa yang dimaksud dengan perjanjian. Dalam Pasal 1313 KUHPdt dikemukakan, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Selanjutnya dalam Pasal 1320 KUHPdt dijelaskan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yakni: a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. suatu hal tertentu dan d. suatu sebab yang halal. Sementara itu dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt dijelaskan, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, bagi para pihak yang akan menandatangani suatu perjanjian khususnya perjanjian kredit perlu mempelajari dengan cermat apa hak dan kewajiban yang harus dipenuhi jika perjanjian kredit (dalam praktik dikenal juga dengan istilah akad kredit ) sudah ditandatangani. Hal ini penting, mengingat dalam perjanjian kredit sarat dengan klausul. Artinya ada sejumlah persyaratan yang harus dipatuhi oleh debitor. Bila tidak dipatuhi akan mempunyai konsekuensi antara lain berupa denda yang tentunya dapat merugikan debitor. Oleh karena itu, acapkali terjadi dalam perjanjian kredit, pihak debitor merasa hak-haknya sebagai nasabah peminjam diabaikan begitu saja, padahal debitor sendiri sudah menandatangani perjanjian kredit. Hal ini berarti debitor setuju terhadap syarat-syarat apa yang dicantumkan dalam perjanjian kredit. Dari sudut pandang kreditor sendiri, kreditor semata-mata hanya melaksanakan apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Biasanya kasus mulai muncul dalam hal terjadi kredit bermasalah. Bagi kreditor sendiri, tentunya ingin agar dana yang ia salurkan ke nasabah peminjam (debitor) kembali pada waktu yang sudah disepakati. Hal ini dapat dipahami, mengingat dana yang dikumpulkan dari nasabah penyimpan 22 Pasal 1233 KUHPdt disebutkan, tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian maupun karena undangundang. Pasal 1234 KUHPdt, tiap-tiap perikatan adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. 51

mempunyai biaya berupa bunga simpanan yang harus ditanggung oleh bank. Pentingnya dibuat perjanjian kredit tiada lain sebagai alat bukti bagi para pihak yang terkait dengan kredit. Selain sebagai alat bukti, perjanjian kredit juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengontrol apakah dana yang digunakan sesuai dengan peruntukan kredit. Seperti yang dikemukakan oleh Hasanuddin Rahman, perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi yakni: Pertama, sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya; Kedua, sebagai alat bukti mengenai batas-batas hak dan kewajiban antara kreditor dan debitor; Ketiga, sebagai alat untuk memonitoring kredit. 23 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Upaya perlindungan bagi nasabah debitur terhadap risiko yang dialaminya dalam perjanjian kredit bank selain dapat dilakukan dengan penerapan Pasal 18 UUPK, juga dapat dilakukan sesuai dengan kebijakan Bank Indonesia. Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru sistem perbankan nasional yang salah satu aspek didalamnya tercakup upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah. Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi Pilar ke VI dalam API yang mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi independen, transparansi informasi produk, dan edukasi nasabah. 2. Perjanjian kredit merupakan perjanjian baku (standard contract), dimana isi atau klausul-klausul perjanjian kredit tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blangko), tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk tertentu. Calon nasabah debitur tinggal membubuhkan tandatangannya saja apabila bersedia menerima isi perjanjian tersebut, tidak memberikan kesempatan kepada calon debitur untuk membicarakan lebih lanjut isi atau klausul-klausul yang diajukan pihak bank. Perjanjian baku diperlukan untuk 23 Hasanuddin Rahman, Loc Cit, hlm. 150. memenuhi kebutuhan yang sifatnya praktis dan kolektif Pada tahap ini kedudukan calon debitur sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang disodorkan oleh pihak bank, karena jika tidak demikian calon debitur tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksud. B. Saran 1. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 diharapkan dapat menciptakan kegiatan usaha perdagangan yang jujur tidak hanya bagi kalangan pelaku usaha, melainkan secara langsung untuk kepentingan konsumen baik selaku pengguna, pemanfaat maupun pemakai barang atau jasa yang ditawarkan. 2. Bagi calon nasabah debitur sebelum menandatangani isi perjanjian kredit bank sebaiknya mempelajari isi perjanjian dan jika perlu berkonsultasi terlebih dahulu kepada seorang konsultan hukum yang menguasai bidang perkreditan. DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan Inggris Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1991. Az Lukman Santoso, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka Yustisia, 2011. Badrulzaman Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1998. Bahsan M., Hukum dan Ketentraman Perbankan di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 2003. Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia. Cetakan ke III, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Dunil Z., Kamus Istilah Perbankan Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004. Hatta Sri Gambir Melati. Perkreditan dari Tantangan Dunia Perbankan Artikel dalam www.leqalitas.org. Akses 14 Maret 2016. Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005. Idroes Ferry N., Manajemen Risiko Perbankan 52

Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan Bansel II Terkait aplikasi regulasi dan pelaksanaannya di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2011. Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Miru Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004. Miru Marhais Abdul, Hukum Perbankan di Indonesia, Alumni, Bandung, 2004. Rahman Hasanudin, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Panduan Dasar Legal Officer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Sembiring Sentosa, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung, 2012. Siamat Dahlan, Management Bank Umum, Intermedia, Jakarta, 1993. Simorangkir O.P., Seluk Beluk Bank Komersial, Jakarta, Perbanas, 1998., Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Ghalia Indonesia, 2004. Soekanto Soerjono dan Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif, Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1982. Subekti R., Hukum Perjanjian, cetakan IV, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1976. Sudarsono, Kamus Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2007. Sulistyandary, Perlindungan Hukum Nasabah Korban Pembobolan Rekening (Bagian II), http://www.google.com, Selasa 1 Maret 2016. Sutojo Siswanto, Analisis Kredit Bank Umum Konsep dan Teknik, PPM, Jakarta, 1995. Syahrani Riduan, Seluk Beluk dan Asas-Asa Hukum Perdata, Penerbit Alumni, Bandung, 2006. Sjahdeini Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta: IBI, 1993. Tjoetem Mohammad, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial (Konsep, Teknik, dan Kasus), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999. Tobing Denggan Mauli, Risiko Hukum Yang Terjadi di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, Skripsi, Fakultas Hukum USU, Sumatera Utara, 2008. Wonok David Y., Perlindungan Hukum Atas Hak-Hak Nasabah Sebagai Konsumen Pengguna Jasa Bank Terhadap Risiko Yang Timbul Dalam Penyimpangan Dana, Skripsi, Pasca Sarjana UNSRAT, 2013. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-Undang RI No. 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi UU No. 13 Tahun 2008. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang RI No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. 53