TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator,

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG)

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Harimau Taksonomi harimau dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia

BAB. I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

SMP NEGERI 3 MENGGALA

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

PENTINGNYA MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI ALAM DI SEKITAR KITA

KELIMPAHAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI SUAKA ALAM MALAMPAH SUMATERA BARAT. Fauziah Syamsi

A. Gajah Sumatera (Elephant maximus sumatranus)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

DINAS KEHUTANAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

IV. METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

Camera Trap Theory, Methods, and Demonstration

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.1

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis.

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family)

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

METODE PENELITIAN. Penelitian keberadaan rangkong ini dilaksanakan di Gunung Betung Taman Hutan

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara selain dari sektor

PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, menjadikan harimau menjadi salah satu satwa yang berperan penting dalam keseimbangan ekosistem. Keberadaannya sangat rawan terhadap kepunahan dibandingkan dengan jenis satwa lain apabila kawasan hutan terpisah-pisah menjadi blok-blok hutan kecil yang tidak mampu mendukung populasi hewan mangsa (Woodroffe dan Ginsberg, 1998). Taksonomi Harimau Sumatera Harimau Sumatera secara taksonomi dalam biologi termasuk dalam: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Carnivora Famili : Felidae Genus : Panthera Spesies : Panthera tigris Subspesies : Panthera tigris sumatrae (IUCN, 2010). Perilaku Harimau Sumatera Biasanya harimau hidup soliter, kecuali pada betina dan anak, mereka tidak anti sosial. Jantan bergabung dengan betina untuk kawin dan pernah teramati

jantan dengan betina dan anak saat makan atau istirahat. Tidak seperti kebanyakan jenis kucing lain, harimau dengan mudah memasuki air. Selama musim panas mereka akan berendam di danau atau kolam sepanjang hari yang panas. Umumnya harimau berburu antara sore dan pagi hari, tetapi dalam beberapa kondisi harimau berburu siang hari. Hewan mangsa harimau adalah seluruh satwa yang ada di habitat mereka, yang terdiri dari berbagai jenis rusa, babi, kerbau dan banteng. Harimau juga memangsa anak gajah dan badak, serta jenis lainnya yang lebih kecil, termasuk monyet, burung, reptil dan ikan. Harimau sewaktu-waktu membunuh leopard dan jenis mereka sendiri, serta karnivora lainnya, termasuk beruang yang beratnya mencapai 170 kg. Sifat khas harimau adalah mencengkeram leher mangsanya setelah berhasil dirubuhkannya. Harimau mencengkeram leher mangsanya ini untuk melindungi diri dari tanduk dan kaki mangsanya serta mencegah hewan mangsa tersebut tegak kembali. Harimau lebih suka menggigit bagian belakang leher dan membunuh mangsanya dengan cara mematahkan tulang belakang, kemudian akan menyeret mangsanya tersebut ke daerah yang ternaungi oleh vegetasi pohon. Harimau dapat memakan 18-40 kg daging mangsanya dalam sekali makan. Jika masih bersisa, biasanya ia kembali ke tempat tersebut untuk makan sisa-sisa perburuan. Mangsa yang besar ditangkap satu kali seminggu. Walaupun mempunyai keahlian berburu yang tinggi, harimau sering tidak berhasil memperoleh mangsa. Berburu mangsa biasanya dilakukan secara individu tetapi sesekali harimau juga berburu secara berkelompok. Harimau pada dasarnya tidak memangsa manusia kecuali habitatnya terganggu. Terdapat beberapa korban dari reaksi harimau dalam mempertahankan

diri dan melihat manusia sebagai makanan sehingga manusia menjadi target karena dianggap hewan mangsa yang mudah ditangkap. Harimau yang memangsa manusia mungkin mengajarkan kepada anaknya bahwa manusia adalah mangsa. Tetapi kematian atau luka disebabkan oleh harimau ataupun harimau yang melindungi anaknya, tidak selamanya menjadi petunjuk bahwa harimau pemakan manusia (Taman Nasional Bukit Tigapuluh, 2009). Biologi Harimau Sumatera Harimau Sumatera melahirkan sepanjang tahun dan tidak dipengaruhi oleh letak geografi (Semiadi dan Taufiq, 2006). Pendapat yang sama disampaikan oleh Taman Nasional Bukit Tigapuluh (2009), yang menyatakan bahwa musim kawin harimau sepanjang tahun, tetapi sebagian besar terjadi di akhir bulan November sampai awal April. Harimau mengalami estrus selama rata-rata tujuh hari, dengan siklus 15-20 hari. Satu kelompok harimau rata-rata berjumlah 2,98 ekor. Satu ekor betina biasanya diikuti oleh 2-3 ekor anaknya, sampai anak tersebut berumur 18-24 bulan, baik jantan maupun betina. Interval antar kelahiran 20-24 bulan, tetapi dalam kasus di mana anak hilang pada dua minggu pertama, interval antar kelahiran hanya 8 bulan. Sedangkan terakhir bereproduksi pada umur 14 tahun. Harimau dapat hidup sampai berumur 26 tahun. Kematian anak Harimau dapat disebabkan oleh kehilangan kelompok, kebakaran, banjir atau pembunuh anak. Harimau Sumatera jantan beratnya berkisar 100-140 kg, panjang diukur dari kaki belakang dan depan 2,20-2,55 m, panjang tengkorak 295-335 mm., sedangkan betina beratnya 75-100 kg, panjangnya 2,15-2,30 m, dan panjang tengkorak 263-294 mm (Taman Nasional Bukit Tigapuluh, 2009). Harimau Sumatera jantan beratnya 100 140 kg dan betina beratnya 75 110 kg

Guggisberg (1975), 140 kg untuk yang jantan dan 90 kg pada hewan betina (Semiadi dan Taufiq, 2006). Anak harimau mempunyai berat 780 untuk 1600 gram saat lahir, membuka mata mereka setelah 6 sampai 14 hari, dirawat selama 3 sampai 6 bulan, dan memulai perjalanan dengan induknya ketika berusia 5 atau 6 bulan. Mereka diajarkan bagaimana cara berburu mangsa, dan mereka mampu berburu ketika berumur 11 bulan. Biasanya terpisah dari induk ketika berusia 2 tahun, tetapi dapat menunggu tahun lain. Kematangan seksual dicapai pada harimau betina pada umur 3 sampai 4 tahun dan pada harimau jantan pada umur 4 sampai 5 tahun. Sekitar setengah dari seluruh anak harimau tidak bertahan hidup lebih dari 2 tahun (Schaller, 1967). Habitat Harimau Sumatera Harimau Sumatera hanya ditemukan di Pulau Sumatera. Kucing besar ini mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan, dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi. Hanya sekitar 400 ekor tinggal di cagar alam dan taman nasional, dan sisanya tersebar di daerah-daerah lain yang ditebang untuk pertanian, juga terdapat lebih kurang 250 ekor lagi yang dipelihara di kebun binatang di seluruh dunia. Harimau Sumatera mengalami ancaman akan kehilangan habitat karena daerah sebarannya seperti blok-blok hutan dataran rendah, lahan gambut dan hutan hujan pegunungan terancam pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial, juga perambahan oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan. Karena habitat yang semakin sempit dan berkurang, maka harimau terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia, dimana seringkali mereka dibunuh dan ditangkap karena tersesat

memasuki daerah pedesaan atau akibat perjumpaan yang tanpa sengaja dengan manusia (Dinata dan Sugardjito, 2008). Adanya aktivitas manusia pada suatu kawasan menyebabkan hidupan liar cenderung menghindar (Griffiths dan Schaick, 1994). Harimau cenderung menghindari suara gergaji mesin (chainsaw) para pembalak dan menghindari area di mana dilakukannya aktivitas perburuan oleh pemburu liar (Hutajulu, 2007). Peta sebaran Harimau Sumatera dapat dilihat pada gambar berikut: Aceh North Sumatra West Sumatra Jambi Bengkulu South Sumatra Lampung Gambar 1. Peta Sebaran Harimau Sumatera (Santiapillai dan Ramono, 1985) Harimau Sumatera dijumpai di hutan-hutan dataran rendah sampai dengan pegunungan. Wilayah penyebarannya pada ketinggian 0-2.000 mdpl, tetapi kadang-kadang juga sampai ketinggian lebih dari 2.400 mdpl. Hutan dataran rendah merupakan habitat utama harimau sumatera dengan kepadatan 1-3 ekor per

100 km 2, sedangkan daerah pegunungan 1 ekor per 100 km 2. Namun, tingginya kerusakan hutan dataran rendah di Sumatera (65-80%) menyebabkan harimau bergerak ke atas menuju hutan perbukitan dan pegunungan (Dinata dan Sugardjito, 2008). Tipe lokasi yang biasanya menjadi pilihan habitat Harimau Sumatera bervariasi, dengan ketinggian antara 0 3.000 meter dari permukaan laut, seperti : 1. Hutan hujan tropik, hutan primer dan sekunder pada dataran rendah sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka, hutan pantai, dan hutan bekas tebangan. 2. Pantai berlumpur, mangrove, pantai berawa payau, dan pantai air tawar 3. Padang rumput terutama padang alang-alang 4. Daerah datar sepanjang aliran sungai, khususnya pada sungai yang mengalir melalui tanah yang ditutupi oleh hutan hujan tropis 5. Juga sering terlihat di daerah perkebunan dan tanah pertanian 6. Selain itu juga banyak harimau ditemui di areal hutan gambut. (Sinaga, 2005). Sebagai hewan pemangsa utama (top predator), harimau memerlukan wilayah habitat yang luas supaya dapat hidup dan berkembang biak. Oleh karena itu, kepadatan hewan mangsa sebagai sumber pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam mendukung keberlanjutan populasi harimau. Ketersediaan hewan mangsa ini juga memainkan peran penting dalam menentukan daerah jelajah individu harimau (Dinata dan Sugardjito, 2008). Pada prinsipnya untuk mempertahankan hidup, Harimau Sumatera memerlukan tiga kebutuhan dasar yaitu ketersediaan hewan mangsa yang cukup,

sumber air, dan tutupan vegetasi yang rapat untuk tempat menyergap mangsa (Lynam dkk.,2000). Sunquist (1981) berpendapat bahwa harimau menyukai habitat pinggir sungai (riverine habitat). Sungai merupakan tempat berkumpul satwa dan keberadaan harimau dekat dengan sungai kemungkinan berhubungan dengan pemangsaan. Dinata dan Sugardjito (2008) juga menyebutkan bahwa harimau lebih memilih kawasan yang dekat dengan sungai agar lebih mudah melakukan penyergapan terhadap hewan mangsa. Tempat-tempat di sekitar alur sungai mempunyai tutupan vegetasi yang rapat, sehingga sangat menguntungkan harimau yang memburu mangsanya dengan cara serangan mendadak atau penyergapan. Menurut Karanth (2001), harimau merupakan jenis yang suka air dan perenang yang handal. Suhu harian yang mencapai 33 0 C tergolong tinggi memungkinkan bagi harimau untuk menurunkan suhu tubuh dengan berendam di sungai. Hutan Primer dan Hutan Sekunder Hutan Primer mengacu pada tidak disentuh, hutan murni yang ada dalam kondisi asli nya. Hutan ini belum dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Hutan hujan primer sering ditandai dengan langit-langit penuh kanopi dan biasanya terdiri dari beberapa lapis. Lantai hutan umumnya dari vegetasi berat karena kanopi yang penuh memungkinkan cahaya masuk yang sangat kecil. Hutan primer adalah jenis yang paling beragam secara hayati hutan (Butler, 1994). Hutan sekunder adalah hutan yang telah terganggu dalam beberapa cara, alami maupun buatan. Hutan sekunder dapat dibuat dalam beberapa cara, dari hutan terdegradasi pulih dari tebang pilih, ke daerah dibersihkan dengan garis miring dan bakar pertanian yang telah direklamasi oleh hutan. Umumnya, hutan

sekunder ditandai (tergantung tingkat degradasi) oleh struktur kanopi kurang berkembang, pohon-pohon yang lebih kecil, dan keanekaragaman kurang (Butler, 1994). Daerah Jelajah dan Kepadatan Harimau Sumatera Kajian yang dilakukan oleh Franklin dkk. (1999) menunjukkan bahwa daerah jelajah Harimau Sumatera betina dewasa berkisar antara 40 70 km 2, sedangkan Griffith (1994) dalam Tilson dkk. (1994) memperkirakan bahwa daerah jelajah Harimau Sumatera jantan dewasa sangat bervariasi, yaitu antara 180 km 2 pada kisaran ketinggian antara 100 600 meter di atas permukaan laut (mdpl.), 274 km 2 pada kisaran ketinggian antara 600 1.700 mdpl., dan 380 km 2 pada ketinggian di atas 1.700 mdpl. Daerah jelajah satu harimau jantan dewasa dapat mencakup daerah jelajah dua betina dewasa (Franklin dkk., 1999). Australian Zoo Organization (2004) menyatakan bahwa Harimau Sumatera jantan mempunyai daerah jelajah sekitar 380 km 2 dan untuk betina hanya setengahnya. Seekor harimau betina penetap dapat melakukan pergerakan lebih dari 10 km per hari dan harimau jantan pengembara mencapai ratusan km per minggu (Karanth dan Chundawat, 2002: Sunquist, 1981). Salah satu faktor utama yang mempengaruhi luas jelajah Harimau Sumatera adalah ketersediaan satwa mangsa. Sebagai contoh, Santiapillai dan Ramono (1985) memperkirakan kepadatan rata-rata Harimau Sumatera dewasa berkisar antara 1 individu/100km 2 hingga 1 3 individu/100 km 2 pada hutan dataran tinggi dan meningkat pada hutan dataran rendah. Kajian lain memperkirakan kepadatan Harimau Sumatera adalah 1,1 individu/100 km 2 pada hutan dataran tinggi dan meningkat tajam hingga 2,3 3 individu/100 km 2 pada

hutan dataran rendah (Borner 1978). Griffith (1994) memperkirakan bahwa kecenderungan tersebut dipengaruhi oleh semakin berkurangnya ketersediaan satwa mangsa dengan semakin meningkatnya ketinggian (Departemen Kehutanan, 2007). Deforestasi yang terjadi akibat penebangan pohon menyebabkan menurunnya biomassa vegetasi yang berarti juga menurunnya kualitas habitat. Penurunan kualitas habitat ini sangat mempengaruhi populasi hewan-hewan mangsa karena berkurangnya sumber pakan dan naungan vegetasi sebagai tempat berlindung (Dinata dan Sugardjito, 2008). Aktivitas Harimau Sumatera Pola aktivitas Harimau Sumatera dapat dikatakan mengikuti pola aktivitas satwa mangsa, yaitu krepuskular dan diurnal (seperti kijang, beruk, babi hutan dan pelanduk) dan nokturnal (seperti rusa sambar). Kemungkinan hal tersebut berhubungan dengan pemangsaan. Perubahan pola aktivitas harian harimau sumatera juga kemungkinan disebabkan oleh tekanan dari manusia yang banyak beraktivitas di dalam kawasan dan di pinggir kawasan sehingga menyebabkan perubahan kualitas habitat dan menurunnya kelimpahan satwa mangsa utama (Hutajulu, 2007). Hewan nokturnal adalah binatang yang melakukan aktifitas di malam hari. Sedangkan siang hari bagi binatang nokturnal adalah waktu untuk beristirahat (tidur). Lawan dari hewan nokturnal adalah diurnal. Binatang diurnal melakukan aktifitas pada siang hari dan malam harinya digunakan untuk istirahat. Selain nokturnal dan diurnal juga masih terdapat binatang-binatang yang mempunyai waktu beraktifas tertentu seperti hewan matutinal (fajar menjelang pagi), hewan

krepuskular (senja menjelang malam), dan hewan metaturnal (aktif di sebagian malam juga sebagian siang) (Alamendah, 2010). Satwa Mangsa Harimau Sumatera Sebagai predator, harimau memangsa berbagai jenis hewan, termasuk burung, reptilia, amfibia, ikan dan bahkan hewan invertebrata, namun kelas mamalia khususnya hewan ungulata merupakan pakan utamanya. Keberadaan hewan mangsa merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan Harimau Sumatera (Dinata dan Sugardjito, 2008). Pakan utama Harimau Sumatera adalah Rusa dan Babi Hutan. Dalam keadaan tertentu Harimau Sumatera juga memangsa berbagai jenis mangsa alternatif lain, seperti Kijang, Kancil, Beruk, Landak, Trenggiling, Beruang Madu dan Kuau Raja. Keberadaan harimau sangat dipengaruhi oleh keberadaan satwa mangsanya (Departemen Kehutanan, 2007). Pada siang hari, kemungkinan harimau memangsa jenis-jenis yang melakukan aktivitas seperti Babi Hutan, Beruk dan Kijang, dan pada malam hari melakukan pemangsaan terhadap Rusa dan Kancil (Hutajulu, 2007). Babi sebagian besar aktif pada malam hari, tetapi juga secara periodik pada siang hari, terutama ketika cuaca sejuk. Beruk dan kijang adalah hewan yang aktif pada siang hari. Kancil aktif pada malam dan siang hari. Rusa aktif terutama pada malam hari, juga pada pagi hari dan menjelang petang (Payne dkk.,2000). Keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan ketinggian 100-600 mdpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan ketinggian 600-1.700 mdpl. Semakin tinggi letak geografis habitat hutan semakin kecil variasi vegetasinya yang mempengaruhi pula kepadatan satwanya (Griffith, 1994).

Pada habitat pegunungan dengan mangsa yang tersedia sangat terbatas dan hutan cukup rapat, luasan area 100 km 2 hanya akan mampu menampung seekor harimau. Di habitat aslinya, sebagai akibat dari maraknya pembukaan hutan, secara langsung akan menurunkan ketersediaan sumber pakan bagi harimau, khususnya dari kelompok rusa dan babi (Semiadi dan Taufiq, 2006). Camera Trap Camera trap bukan alat baru dalam satwa liar ilmu pengetahuan. Ini ditemukan di akhir 1890-an, sebelum yang pertama kali digunakan di lapangan pada 1913 (Sanderson dan Trolle, 2005). Dalam dekade belakangan ini, telah banyak digunakan di dunia, dengan kenaikan tahunan sebesar 50%. Hasil ini penelitian telah dipublikasikan di internasional diakui jurnal (Rowcliffe dan Carbone, 2008). Camera trap berfungsi untuk mendapatkan gambar satwa liar di alam yang sulit untuk ditemui dengan pertemuan langsung. Camera trapping adalah tehnik yang semakin banyak digunakan untuk memonitor satwa yang sulit ditemui, karena kamera dapat ditinggalkan di lapangan dan akan memicu pengambilan foto saat dilewati oleh satwa. Hasil foto dapat digunakan sebagai perhitungan kasar dari kelimpahan relatif, perkiraan dari jumlah populasi minimum suatu spesies berdasarkan pada pengenalan secara individual atau perkiraan dari kelimpahan berdasarkan cara menangkap tandai dan tangkap kembali (capture mark recapture) (Maddox dkk., 2004). Foto-foto yang dihasilkan camera trap juga menunjukkan adanya tumpang tindih di wilayah hidup untuk kedua jenis kelamin. Compelx polygon yang mempresentasikan wilayah hidup harimau, ditentukan di sekitar lokasi kamera

dimana tercatat kemunculan beberapa individu harimau tertentu (Franklin dkk., 1999). Camera trap dipasang secara berpasangan pada setiap lokasi dan titik koordinat serta ketinggian lokasi direkam dengan GPS (Global Positioning System). Jarak antar lokasi camera trap ditentukan dari luas daerah jelajah minimum Harimau Sumatera. Berdasarkan hasil penelitian Franklin dkk. (1999) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, luas jelajah minimum Harimau Sumatera betina adalah 49 km 2, sehingga diperoleh jarak maksimal antar stasiun camera trap tidak melebihi 3,95 km (Hutajulu, 2007). Menurut Franklin dkk. (1994) Penghitungan luas daerah jelajah harimau dengan menggunakan data camera trap kurang akurat untuk menggambarkan wilayah jelajah sebenarnya. Ukuran sampel kecil sangat sensitif untuk menggambarkan home range suatu individu jenis (Pete, 2005). Pada kebanyakan studi dengan menggunakan camera trap, jumlah kamera merupakan faktor pembatas, akan tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan desain sampel yang baik. Apabila jumlah kamera yang digunakan sedikit maka solusinya adalah dengan membagi lokasi studi menjadi beberapa petak area dengan luas yang lebih kecil, kemudian pemasangan kamera dilakukan per bagian area yang lebih kecil tersebut satu demi satu. Lokasi dan lama waktu pemasangan camera trap merupakan dua faktor yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan data yang mencukupi dan mewakili untuk suatu area penelitian (Karanth dan Nicholas, 2002). Seperti manusia, kebanyakan satwa liar menggunakan jalur-jalur yang ada di hutan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga jalur-jalur yang ada di

dalam hutan dapat digunakan sebagai lokasi pemasangan camera trap (Asriana, 2007). Keadaan Umum Lokasi Penelitian United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatra pada tahun 2004 sekaligus sebagai cagar biosfer pada tahun 1981. kawasan ini sangat penting bukan hanya karena keanekaragaman hayatinya yang tinggi tetapi juga karena fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitarnya (Balai TNGL, 2006). TNGL adalah salah satu Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia seluas 1.094.692 ha yang secara administrasi pemerintahan terletak di dua Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Provinsi NAD yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya,Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang, sedangkan Provinsi Sumatera Utara yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Dairi, Karo dan Langkat. Taman nasional ini mengambil nama dari Gunung Leuser yang menjulang tinggi dengan ketinggian 3404 meter di atas permukaan laut di Nanggroe Aceh Darussalam. Taman nasional ini meliputi ekosistem asli dari pantai sampai pegunungan tinggi yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu taman nasinal yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi yang terletak di wilayah sumatera bagian utara. Selain itu TNGL merupakan hulu dari sepuluh

daerah aliran sungai yang mensuplai air untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara. Namun keadaan terkini TNGL mengalami degradasi dan deforestrasi akibat perambahan hutan dan alih guna lahan di beberapa lokasi (Waruwu, 1984). Dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, Kawasan Taman Nasional dikatagorikan sebagai kawasan lindung merupakan satu komponen yang menyusun suatu pola keruangan berdasarkan fungsi utama kawasan. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan denagn fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumber daya buatan (Lubis, 2009).