DINAMIKA FAKTOR-FAKTOR RESILIENSI PADA REMAJA YANG PERNAH MENGALAMI KERUSUHAN DI AMBON TAHUN 1999 Affidina Chantal Yunus Denny Putra Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta denny.putra@ukrida.ac.id Abstract Ambon riot in 1999 has caused damage to children and teenager victim. This children and teenager need resilient to help them survive and dealing with their traumatic experience. Based on this, the researcher want to explore the resilient factor among teenager who experience the Ambon riot. Qualitative methods was used in this research. The subject of this research was two 15-18 years old teenager who lived in Yayasan Bersinar Orphant care, Jakarta. The research found that there were differences in the resilient factor (I Have, I am and I can) among two subject. There were also found a significant changes in the subject live between when they were in Ambon and after they were in Jakarta. The conclusion of this research was the resilient factor played an important factor in one s life. Keywords : resiliency, resilient factors, Ambon riot Pendahuluan Peristiwa yang terjadi di Ambon pada tahun 1999 merupakan suatu konflik yang berdampak besar bagi warga Ambon, karena banyak dari mereka menyaksikan segala tindak kriminal dan pertikaian yang terjadi seperti penculikan, pembunuhan, penembakan, penjarahan, pembakaran, maupun pembunuhan brutal seperti kepala yang dipenggal dengan kejam (Lewenussa & Mashoedi, 2007). Cahyono (1999) mendapatkan beberapa hal yang terjadi atas peristiwa di Ambon seperti sebanyak 1.132 korban tewas, 312 orang luka parah, 142 orang luka ringan. Sebanyak 765 rumah, 195 ruko serta puluhan kendaraan hancur dibakar. Di samping itu 100.000 ribu orang sudah meninggalkan tempat tinggalnya dan sedikitnya 30.000 orang menjadi pengungsi di 60 kamp penampungan, khususnya di kota Ambon dan 94
sekitarnya. Transportasi, khususnya transportasi udara, terhenti, harga-harga kebutuhan pokok kian melonjak, persediaan makanan menipis, dan kegiatan pendidikan terhenti. Kerusuhan Ambon ini telah berdampak negatif bagi mereka yang mengalami langsung peristiwa tersebut. Harsono (2009) mengatakan bahwa kejadian yang sudah berlangsung pada tahun 1999 itu tetap memberikan trauma tersendiri bagi anak-anak yang mengalami kerusuhan di Ambon, terutama bagi remaja. Peristiwa kerusuhan tersebut tetap teringat oleh mereka dan tetap terasa sampai sekarang karena menyebabkan rasa kesedihan dan kehilangan yang mendalam. Seseorang yang mengalami suatu peristiwa menyakitkan atau yang tidak menyenangkan seperti kerusuhan Ambon tersebut, membutuhkan suatu kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi atas peristiwa yang dialami. Kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi atas peristiwa yang dialami ini disebut dengan resiliensi. Melalui resiliensi, mereka yang mengalami dan menjadi korban kerusuhan, terutama remaja akan dapat memiliki kemampuan untuk bertahan dan menghadapi situasi yang tidak menyenangkan tersebut. Grotberg (1999) menjelaskan bahwa resiliensi merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu dalam menghadapi, mengatur, serta menjadi pribadi yang kuat ketika dihadapkan pada sebuah tantangan hidup yang menyulitkan. Resiliensi bukan sebuah keajaiban yang dapat ditemukan oleh seseorang dengan sumber yang tidak jelas. Resiliensi yang membuat seseorang menjadi mampu untuk belajar menghadapi setiap hambatan atau peristiwa hidup yang tidak menyenangkan. Werner (dalam Sudaryono, 2007) mengatakan bahwa seseorang yang resiliensi paling tidak dipengaruhi oleh 3 faktor. Pertama, faktor yang berasal dari diri sendiri, yang dapat meliputi cara berkomunikasi dengan orang lain yang ada disekitar, bagaimana cara dalam mengatasi masalah, serta cara ia bergaul. Kedua, yang berasal dari orang lain, dalam hal ini adalah hubungan dengan orang tua, apakah ia mendapatkan dorongan dari keluarga atau orang sekitarnya. Ketiga, yang berasal dari lingkungan, yaitu mengenai peran positif yang didapatnya dari lingkungan sekitar. Mengetahui kerusuhan Ambon pada tahun 1999 tersebut memberikan dampak tersendiri bagi anak-anak terutama remaja, peneliti ingin melakukan penelitian yang 95
melihat sumber resiliensi pada diri remaja yang menjadi korban kerusuhan tersebut. Melalui penelitian yang akan dilakukan ini, dapat tergambar dengan jelas dan tepat faktor-faktor apa saja yang membuat anak menjadi resilien atas peristiwa yang tidak menyenangkan itu. Oleh karena itu, rumusan permasalahan penelitian adalah bagaimana dinamika faktor-faktor resiliensi pada remaja yang pernah mengalami kerusuhan di Ambon tahun 1999. Resiliensi Block (2011) mendefinisikan resilensi sebagai ego-resilience yaitu kemampuan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri terhadap tekanan secara internal maupun eksternal. Resiliensi juga dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan yang dimiliki individu dalam menghadai, mengatur, serta menjadi pribadi yang kuat ketika dihadapkan pada sebuah tantangan hidup yang menyulitkan. Resiliensi membuat seseorang menjadi mampu untuk belajar menghadapi setiap hambatan atau peristiwa hidup yang tidak menyenangkan. Resiliensi terdiri dari beberapa faktor diantaranya faktor I have, I am, dan I can. Faktor I am merupakan dukungan eksternal dan faktor yang dapat meningkatkan resiliensi. Aspek yang termasuk di dalam faktor I am ini adalah aspek hubungan saling percaya, struktur dan aturan di rumah, role model, dorongan agar menjadi otonom, dan akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan layanan kesehatan. Faktor I am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri yang meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan dalam diri remaja. Faktor I am meliputi perasaan dicintai dan karakteristik menarik; mencintai, empati, dan altruistik; bangga pada diri sendiri; otonomi dan tanggung jawab; serta harapan, keyakinan, dan kepercayaan. Faktor I can merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai setting kehidupan, mengatur tingkah laku, dan mendapatkan bantuan saat membutuhkan. Beberapa aspek I can seperti berkomunikasi, memecahkan masalah, mengelola berbagai perasaan dan rangsangan, mengukur tempramen diri sendiri dan orang lain, serta mencari hubungan yang dapat dipercaya. 96
Menurut Wolin dan Wolin (dalam Anggraeni & Taganing, 2008), terdapat 7 karakteristik paling dasar yang dimiliki oleh remaja yang resilien. Karakteristik ini membantu individu dalam menghadapi berbagai hambatan dalam hidupnya serta untuk dapat mengembangkan potensi yang dimiliki oleh seseorang dengan maksimal. Ketujuh karakteristik resilien tersebut adalah insight, kemandirian, hubungan, inisiatif, kreatifitas, humor, dan moralitas Remaja Menurut Santrock (2010), masa remaja merupakan masa peralihan dari kanakkanak menuju dewasa. Pada masa ini terjadi perkembangan yang meliputi perkembangan psikoseksual, hubungan dengan orang tua, meliputi pula perkembangan fisik, kognitif, dan kepribadin sosial. Perkembangan fisik yang dialami remaja meliputi perubahan dalam tubuh otak, kemampuan sensori dan motorik. Perubahan dalam tubuh juga dapat meliputi berat badan, tingi badan, tulang, otot, dan juga kematangan seksual. Perkembangan kognitif yang dialami remaja meliputi kemampuan remaja dalam megolah dan memproses informasi yang diterima, menghasilkan ide-ide baru, memotivasi diri dan kemampuan dalam beradaptasi, sedangkan perkembangan kepribadian pada remaja meliputi perubahan cara pandang dan hubungan dirinya dengan kelompok teman sebaya, serta kemampuan remaja dalam menyatakan emosinya secara tepat. Korban kerusuhan Ambon Sebagian besar korban kerusuhan Ambon yang terjadi pada tahun 1999 adalah anak-anak. Kerusuhan Ambon itu menyebabkan rasa trauma mendalam pada mereka. Irwanto (2007) mengatakan bahwa trauma dapat menyebabkan rasa tidak percaya diri, emosi negatif, dan hubungan yang buruk dengan orang lain. Rasa trauma inilah yang dialami oleh 10 anak korban kerusuhan Ambon yang dibawa ke Jakarta pada tahun 2004. Kesepuluh anak ini ditempatkan di panti asuhan Yayasan Bersinar hingga sekarang dengan harapan mereka dapat menghilangkan trauma yang mereka alami, dapat memaksimalkan talenta yang dimiliki, dan kehidupan korban kerusuhan ini dapat kembali normal seperti remaja lain pada umumnya. Pendidikan 97
yang diberikan di Jakarta diharapkan dapat membuat mereka bangkit dan kembali beradaptasi dengan lingkungan baru yang ada di sekitar mereka. Dinamika penelitian Setiap individu pasti menginginkan kehidupan yang normal berjalan seperti biasa. Namun pada kenyataannya, situasi sulit juga pasti akan terjadi dalam kehidupan individu, termasuk situasi yang dialami warga Ambon saat kerusuhan besar-besaran yang terjadi pada tahun 1999. Kerusuhan Ambon tersebut terjadi secara cepat dan tiba-tiba, disebabkan oleh pertengkaran dua orang yang berbeda agama yaitu Islam dan Kristen. Akibat dari pertengkaran tersebut, terjadi kerusuhan besar-besaran dan banyak korban jiwa berjatuhan. Tidak hanya orang dewasa, anakanak dan remaja pun ikut menjadi korban kerusuhan ini. Mereka menjadi salah satu saksi yang menyaksikan langsung peristiwa kerusuhan ini, banyak harta benda dan keluarga mereka yang menjadi korban. Seiring berjalannya waktu, anak-anak dan remaja yang menjadi korban ternyata tidak mudah untuk melupakan peristiwa kerusuhan tersebut. Hal ini menyebabkan rasa takut pada diri mereka, hingga menjadi sebuah trauma bagi anakanak dan remaja korban kerusuhan. Mereka mungkin memerlukan waktu yang lama untuk dapat melupakan peristiwa yang terjadi, namun bukan berarti mereka tidak mampu bangkit. Diperlukan suatu hal yang dapat membuat mereka bangkit dan melupakan peristiwa yang negatif atau menyakitkan, dan hal ini disebut resiliensi. Resiliensi adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat bertahan dan berjuang dari situasi sulit. Resiliensi dapat membantu anak-anak atau remaja yang menjadi korban kerusuhan untuk dapat melewati masa sulit mereka. Resiliensi memiliki beberapa faktor yaitu I have, I am, dan I can. Melalui peristiwa kerusuhan Ambon ini, anak-anak dan remaja yang menjadi korban mungkin belum tahu secara mendalam mengenai peristiwa kerusuhan itu. Mereka hanya merasakan kesedihan, ketakutan, ataupun kekhawatiran. Adanya relasi dengan orang lain terutama dengan orang dewasa dapat memberikan kenyamanan dan pengertian yang benar. Faktor I have memiliki peran yang besar dalam membantu anak-anak menemukan diri mereka sendiri. Hal ini mampu membuat anak-anak dan remaja 98
menemukan cara mereka sendiri dalam mengurangi rasa takut dan sedih mereka. Adanya hubungan dengan orang lain dapat menimbulkan rasa nyaman, rasa percaya terhadap orang lain atau dengan kata lain membantu anak-anak atau remaja tersebut melupakan peristiwa kerusuhan Ambon 1999 yang menyedihkan. Saat mereka sudah memiliki faktor I have dan I am, maka dengan itu mereka dapat membangun hubungan yang baik dengan orang lain (I can). Metode penelitian Partisipan Peneliti mengambil 2 subjek penelitian yang bertempat tinggal di Panti asuhan Bersinar Jakarta. Subjek penelitian tersebut adalah yang bersuku Ambon dan memiliki jenis kelamin perempuan. Usia subjek adalah 15 dan 16 tahun. Karakteristik subyek yang turut menjadi bagian dari penelitian ini adalah karakteristik dari subyek yang resilien. Karakteristik dari subyek yang resilien ini mencakup 7 karakteristik menurut Wolin dan Wolin (dalam Anggraini & Taganing, 2008), yaitu Insight, kemandirian, hubungan, inisiatif, kreatifitas, humor, dan moralitas. Karakteristik-karakteristik tersebut yang akan menentukan subyek dalam penelitian. Karaktersitik ini dapat diketahui melalui wawancara terhadap informan yang mengenal subyek. Pengukuran Penelitian ini menggunakan Criterion Sampling, yang merupakan teknik pengambilan data. Teknik ini merupakan teknik yang digunakan oleh peneliti ketika mengambil sampel adalah dengan cara menanyakan dan menggali informasi pada orang yang telah ditanyakan terlebih dahulu yang berkaitan dengan subyek penelitian. Informasi yang didapatkan oleh peneliti tersebut mencakup karakteristik-karakteristik subyek yang telah ditentukan oleh peneliti sebelumnya. Peneliti menggunakan teknik ini karena sampel yang diambil berdasarkan tujuan dan maksud tertentu. Seseorang yang diambil sebagai subyek dianggap oleh peneliti sebagai seseorang yang dapat memberikan informasi secara mendalam mengenai penelitiannya (Poerwandari, 2011). 99
Prosedur Peneliti menggunakan jenis pendekatan kualitatif pada penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan peneliti ingin mengetahui gambaran suatu proses atau peristiwa dari kasus tertentu. Melalui pendekatan kualitatif ini, penelitian dapat menghasilkan data secara deskriptif melalui kata-kata tertulis ataupun secara lisan dari responden yang akan diamati (Afriani, 2009). Jenis penelitian kualitatif yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini termasuk dalam jenis Fenomenologi dikarenakan ingin mengungkap suatu pengalaman dalam diri invidu, dalam hal ini adalah dalam diri subyek sebagai korban kerusuhan Ambon. Penelitian ini juga diadakan dalam situasi yang alami tanpa membatasi makna dan pemahaman akan fenomena yang akan diteliti. Penelitian ini yang diawali oleh peneliti dalam mengumpulkan semua kerangka yang berkaitan dengan fenomena kerusuhan Ambon sebelum terjun langsung kepada individu yang akan diteliti (Afriani, 2009) Hasil penelitian Fika dan Mirel memiliki role model yang sama, yaitu pada ibu mereka masingmasing. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibu mereka sendiri. Ayah mereka adalah pekerja yang sibuk, yang banyak menghabiskan waktu untuk bekerja. Fika kehilangan ayahnya saat kerusuhan terjadi, sedangkan Mirel kehilangan ibunya. Fika memiliki seorang role model baru yang mengajarkan banyak hal juga dalam kehidupannya, mulai dari mengajarkan tentang agama, bagaimana mengatasi sesuatu yang sulit, dan mengajarkan Fika untuk mencoba hal yang baru dan belum pernah ia lakukan sebelumnya. Demikian pula dengan role model yang dimiliki oleh Mirel di Jakarta, ia tidak begitu dekat dengan role model tersebut, namun cukup memberi teladan yang cukup berarti bagi Mirel. 100
Tabel 1. Tabel Perbandingan Faktor I Have pada Fika dan Mirel Fika Mirel Trusting relationship Struktur dan aturan Role model Dorongan otonom Akses pada pendidikan Tetap merasakan kedamaian dan kehangatan secara fisik dan emosional meski ada kesulitan dalam menyesuaikan diri dalam lingkungan yang baru Rutinitas dan aturan secara jelas dalam menjalankan kegiatan didapatkannya di panti untuk membantunya dalam belajar disiplin Tetap memiliki role model sebagai teladan yang mengajarkan keagamaan dan yang selalu mendukungnya untuk tetap percaya diri saat dirinya merasa tidak mampu Mendapat dorongan dan dukungan menjadi mandiri dan memiliki inisiatif untuk melakukan suatu pekerjaan yang sulit dan butuh perhatian penuh Akses terhadap pendidikan di bidang design yang diminatinya kurang memadai karena orangorang disekitarnya masih belum banyak yang mengerti Memiliki pengganti ibu sebagai pemberi perhatian utama dan adanya dukungan emosional dari pembina saat masih mengingat kematian ibunya Rutinitas dan aturan secara jelas dalam menjalankan kegiatan didapatkannya di panti untuk membantunya menjalani hidup lebih baik Adanya pengganti role model (ibunya) sebagai teladan baru, namun tidak terlalu konsisten. Yang memberikan semangat baru untuk bersekolah Mendapat dorongan dan dukungan menjadi mandiri dan memiliki inisiatif ketika dituntut untuk melakukan pekerjaan yang tidak biasa dilakukannya Memiliki banyak informasi tentang bidang pemasaran yang diminati dari orang-orang disekitarnya Rutinitas dan peraturan yang diterapkan di panti adalah sebuah cara untuk memberikan kesibukan bagi anak-anak panti, termasuk Fika dan Mirel, untuk membuat mereka bangkit dan melupakan peristiwa kelam di Maluku. Maksud dan tujuan dari rutinitas dan peraturan yang Fika dan Mirel jalankan di panti adalah untuk membuat hidup mereka masing-masing berjalan lebih baik lagi dan mereka dapat melanjutkan hidup lebih baik lagi. Fika dan Mirel selalu di dorong dan diberi dukungan untuk dapat menjadi mandiri dan memiliki inisiatif dalam melakukan tugas tertentu. Fika yang suka dengan bidang design, memiliki kesulitan dalam memperoleh informasi tentang bidangnya tersebut. Hal tersebut dikarenakan, orang-orang yang berada di sekelilingnya masih kurang mengerti dengan bidang designer itu. Berbeda 101
dengan Mirel yang menekuni bagian pemasaran. Mirel banyak memperoleh informasi mengenai bidang yang ditekuninya itu. Mirel mendapatkannya dari beberapa kakakkakak di panti yang telah lulus dari jurusan pemasaran. Fika mendapatkan rasa sayang yang cukup besar dari ibunya setelah kerusuhan itu terjadi. Ibunya banyak berkorban untuk dapat mencukupi kebutuhan Fika. Demikian pula dengan Mirel, meskipun Mirel jarang untuk menghabiskan waktu bersama dengan ayahnya, namun Mirel tetap mendapatkan rasa sayang yang cukup dari ayahnya. Mirel tetap merasakan bahwa ayahnya mencintainya. Fika dan Mirel sama-sama tetap menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang yang berada disekitarnya. Saat berada di panti pun, mereka tetap dapat dengan mudah untuk melakukan adaptasi dengan orang-orang yang berada disekitarnya. Tabel 2. Tabel Perbandingan Faktor I Am pada Fika dan Mirel Fika Mirel Perasaan dicintai Mencintai dan Empati Bangga pada diri sendiri Otonomi dan tangg ungjawab Harapan, keyakinan, dan kepercayaan Merasakan disayangi oleh pembina, teman-teman, dan adik-adik di panti, sama dengan keadaan di Maluku Peduli terhadap korban kerusuhan lain sebagai bentuk mencintai dengan tetap menjaga komunikasi yang baik Nilai yang menurun membuat rasa bangganya turun karena ada rasa malas dan kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah Pengajaran dan dorongan dari orang sekitar membuatnya dapat melaksanakan tanggungjawab dengan baik Percaya akan adanya Tuhan, masa depan di jurusan design, dan akan keberhasilannya dalam melakukan sesuatu Mulai menyadari bahwa dirinya disayangi oleh orang-orang disekitarnya (pembina, teman, adik) meski ia pernah merasa ditinggalkan Meski ditinggalkan oleh orang yang dicintai, ia tetap berbagi kepedulian terhadap korban lainnya Dengan hasil yang memuaskan akan nilainya, mulai timbul rasa bangga atas prestasi yang dicapainya meski ada kesulitan dan ketidakyakinan dalam bersekolah Paham akan tanggungjawabnya, namun masih belum melaksanakannya dengan tepat Adanya harapan bagi orang lain dan diri sendiri, serta keyakinan situasi akan berjalan jauh lebih baik 102
Dari awal sekolah, Fika adalah anak yang memiliki semangat sekolah yang tinggi. Nilai-nilainya juga baik di sekolah. Fika pun semangat dalam sekolah bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun juga karena Fika ingin membuat ibunya bangga akan prestasi yang dimilikinya. Mirel yang sejak awal ia bersekolah di Maluku sudah tidak memiliki semangat untuk sekolah. Namun ketika Mirel berada di Jakarta, Mirel telah mendapatkan semangat untuk sekolah. Hal tersebut dikarenakan orang-otrang yang berada disekelilingnya yang selalu memberi dukungan bagi Mirel untuk sekolah. Mirel juga telah banyak melihat contoh dan pengalaman dari orang-orang yang berada disekitarnya mengenai semangat dalam mencapai cita-cita. Tabel 3. Perbandingan Faktor I Can pada Fika dan Mirel Fika Mirel Komunikasi Pemecahan masalah Mengelola perasaan dan rangsangan Mengukur temperamen Mencari hubungan yang dipercaya Dapat mengekspresikan perasaan dan pikirannya saat sedang marah terhadap teman Mampu menilai masalah dan mengatasi masalah itu Masih labil, namun cenderung mengenal dan mengendalikan emosi. Kadang marah, sedih, senang yang berubah-ubah Memahami temperamennya dan memiliki respon yang baik dalam suatu rangsangan Memiliki seseorang untuk berbagi cerita dan terbuka dalam berbagi perasaan yaitu teman pantinya untuk meluapkan perasaannya Dapat mengekspresikan perasaan dan pikirannya ketika sedih dalam masalahnya Bertahan dalam mengatasi masalah dan menemukan solusi yang tepat Mengenal emosinya, namun kurang dapat mengendalikannya dengan tepat seperti membalas perlakuan kasar sari temannya Cenderung berespon negatif terhadap suatu rangsangan Memiliki seseorang untuk berbagi cerita dan terbuka dalam berbagi perasaan, teman pantinya yang setia untuk mendengar ceritanya Fika sudah dapat memahami tanggungjawabnya sejak ayahnya meninggal dan ia tinggal berdua dengan ibunya. Sejak saat itu, Fika telah membantu ibunya seperti menjaga toko dan pekerjaan lain ibunya. Mirel pun juga memiliki tanggungjawab yang 103
sama, namun Mirel tidak melaksanakan tanggungjawab tersebut dengan baik. Dalam sekolahnya, ia sering bolos, hal tersebut menandakan bahwa Mirel masih belum dapat melaksanakan tanggungjawabnya dengan baik. Meskipun Fika dan Mirel adalah korban kerusuhan Maluku, namun Fika dan Mirel memiliki harapan yang mulia terhadap korban lainnya. Fika dan Mirel pun memiliki rasa percaya diri terhadap dirinya sendiri. mereka menganggap bahwa rasa percaya terhadap dirinya sendiri sangat diperlukan. Fika dan Mirel memiliki komunikasi yang baik dengan lingkungan yang ada disekitarnya, baik ketika mereka masih berada di Maluku ataupun saat mereka berada di panti. Fika dan Mirel dapat mengekspresikan perasaannya dan pikirannya kepada orang lain. Fika dan Mirel mampu menilai permasalahan dengan baik dan mereka juga mampu untuk mengatasi permasalahan yang ada. Permasalahan tersebut juga bukan sesuatu yang membuat mereka menyerah, namun permasalahan itu adalah tantangan tersendiri untuk mereka. Mereka dapat bertahan dari masalah yang telah mereka hadapi, sebagai contohnya saja mereka dapat bertahan dari kerusuhan Ambon tersebut. Fika termasuk orang yang dapat memahami emosinya sendiri. Saat ia ingin mengeluarkan emosinya, ia dapat mengeluarkannya dengan tepat. Ia menyatakan emosinya dengan benar dan dapat melakukan kontrol terhadap temperamen dari dalam dirinya. Mirel pun memiliki pengalaman yang sama saat waktu kecil. Ia adalah anak yang bandel dan nakal, saat bermain dengan teman-temannya Mirel pasti bertengkar. Saat ia berada di panti, hal tersebut pun terulang. Ada beberapa peristiwa yang membuat Mirel dapat mengendalikan emosinya dan beberapa peristiwa juga yang membuat Mirel tidak dapat mengendalikannya. Fika dan Mirel memiliki seseorang yang dapat mendengarkannya cerita dan meluapkan perasaan serta pikirannya. Fika dapat terbuka dengan orang tersebut dan mendiskusikan masalahnya kepada orang tersebut, demikian pula Mirel yang dapat terbuka dengan orang yang dekat dengannya dalam menceritakan permasalahannya 104
Kesimpulan Berdasarkan analisa yang dilakukan terhadap subyek, dapat disimpulkan bahwa terdapat suatu dinamika antara faktor-faktor resiliensi pada diri subyek, yaitu faktor I Have, I Am, dan I Can. Terlihat sebuah peristiwa dan pengalaman dari subyek mengenai kehidupannya sebelum dan sesudah kerusuhan Ambon 1999 terjadi. Peneliti melihat bagaimana terjadi suatu perbedaan atau suatu perubahan dengan jelas saat subyek masih berada di Ambon sekitar 5 tahun setelah kerusuhan tersebut terjadi dan 7 tahun berada di panti asuhan di Jakarta. Dukungan yang berasal dari luar ataupun dari dalam membantu subyek untuk pulih dari rasa takut akibat kerusuhan yang dialaminya. Ketiga faktor tersebut yang membantu subyek untuk dapat bertahan dan menghadapi peristiwa sulit. Ketika subyek mendapat dukungan dan dorongan dari orang lain yang menjadikannya pribadi yang kuat dan dapat bertahan, subyek dapat dengan sendirinya memunculkan dukungan dari dalam dirinya. Dengan begitu, subyek akan dapat melakukan adaptasi dan komunikasi dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya. Namun, terdapat pula beberapa peristiwa atau suatu hal yang membedakan setiap faktor resiliensi terhadap diri subyek. Hal tersebut tergantung dengan situsai dan kondisi dalam diri subyek. Situasi dan kondisi tersebut yang membedakan diri seseorang dengan orang lainnya dalam memiliki pengalaman tersendiri dalam kehidupannya. Hal tersebut juga termasuk dalam cara seseorang bertahan dalam menghadapi permasalahannya. Lingkungan tempat tinggal anak dapat ikut mempengaruhi perubahan hidup dari anak. Anak yang masih tinggal di Ambon ketika kerusuhan tersebut telah selesai, mungkin masih belum belajar banyak hal, karena di Ambon masih sangat kental ingatan akan kerusuhan itu. Namun di Jakarta, anak dapat belajar untuk melupakannya dan lebih berusaha untuk masa depannya karena di Jakarta anak akan banyak diberikan hal-hal yang dapat membuat anak untuk dapat lupa dan dapat melihat ke depan. 105
Diskusi Penelitian ini menjelaskan bagaimana subyek yang bertahan hidup mendapatkan dukungan internal dan eksternal. Dukungan tersebut yang menjadikan subyek menjadi individu yang dapat melanjutkan hidup yang lebih baik lagi setelah masa sulit yang dihadapinya. Berdasarkan analisa yang dihasilkan dalam penelitian ini, peneliti melihat bagaimana dukungan dari keluarga, teman, serta orang-orang yang berada disekitar subyek dapat membantu subyek. Subyek dapat memandang dunia dalam sisi yang berbeda dan memiliki pandangan yang positif berdasarkan pengalamannya. Penelitian ini menjelaskan bagaimana anak-anak tersebut memiliki dukungan yang berasal dari dalam dirinya maupun yang berasal dari luar dirinya. Penelitian yang dilakukan Berk (1998) menjelaskan adanya intervensi yang dilakukan terhadap anak-anak itu untuk mengurangi pandangan negatif dari pengalaman yang mereka dapatkan. Hal itu juga untuk mengurangi anak-anak tersebut yang dapat mengisolasi diri mereka. Terdapat sedikit perbedaan antara penelitian Berk dengan penelitian yang dilakukan peneliti, dalam hal intervensi yang diberikan terhadap anak-anak ataupun hasil dari intervensi tersebut. Berdasarkan pengalaman yang dirasakan oleh anakanak tersebut terdapat persamaan mengenai pengalaman yang dirasakan dan mengenai kejadian yang dialami. Dalam kedua penelitian ini menetapkan dukungan yang ada pada diri anak-anak adalah dukungan yang berasal dari dalam diri dan yang berasal dari luar diri anak. Dukungan internal dan eksternal itu adalah dukungan yang membantu anak untuk dapat bertahan dari masa sulitnya. Daftar pustaka Afriani, I. (2009). Metode penelitian kualitatif. Diunduh dari http://www.penalaranunm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/116-metode-penelitian-kualitatif.html. Anggraeni, R. R., Taganing, N. M. (2008). Resilience strapped tuna in post-accident daksha. Diunduh dari http://www.gunadarma.ac.id. Cahyono, E. (1999). Pola kerusuhan di tanah Ambon-Lease. Diunduh pada tanggal 26 April 2011, dari http://members.fortunecity.com/edicahy/selectedworks/.html. Grotberg, E. H. (1999). Tapping your inner strength. Oakland, CA: New Harbinger. Harsono, B., Gunadi. (2009). Anak-anak korban konflik Ambon. Indosiar. Diunduh dari http://www.indosiar.com/fokus/27492/anak-anak-korban-konflik-ambon. 106
Lewenussa, H. A. P., Mashoedi, S. F. (2007). Hubungan identitas sosial dan prasangka pada remaja yang mengalami konflik di Ambon. Jurnal Psikologi Sosial, 13, 141-154. Poerwandari, E. K. (2011). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia (3rd ed.). Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia. Sudaryono. (2007). Resiliensi dan locus of control guru dan staf sekolah pasca gempa. Diunduh pada http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/371075572.pdf. 107