BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak bumi di Indonesia telah dilaksanakan sejak awal abad 19 ketika pulau Jawa dikuasai oleh Inggris. Pada saat itu, pemerintahan yang dipimpin oleh Letnan Jendral Raffles mengenakan sistem pajak bumi yang diadopsi dari sistem pajak India. Kemudian, pelaksanaan pajak bumi di Indonesia mengalami berbagai perkembangan mulai dari tahun 1811 hingga terbentuknya undang-undang yang mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1994. Yang dimaksud dengan PBB adalah pajak yang harus dibayarkan oleh masyarakat karena telah memiliki, menguasai atau mendapatkan manfaat dari suatu tanah dan/atau bangunan tertentu. PBB termasuk dalam pajak yang bersifat kebendaan yang memiliki arti bahwa besaran pajak ditentukan oleh keadaan objek pajak tanpa mempertimbangkan kondisi subjek pajaknya. Konsep pajak bumi ini pada awalnya muncul berdasarkan dalil bahwa semua tanah adalah milik raja, dan kepala-kepala desa dianggap sebagai penyewa dari tanah yang dikelola oleh kepala desa itu (Brata, 1991). Istilah PBB muncul pada tahun 1985 hingga pada akhirnya tanggal 27 Desember dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1856. Undang-undang tersebut dikeluarkan untuk menggantikan beberapa pajak yang pelaksanaannya dirasakan sangat rumit 1
dan tidak adil bagi masyarakat dan seringkali menimbulkan pajak berganda. Oleh karena itu, sistem perpajakan yang rumit dan memberatkan tersebut harus dihapuskan dan diganti dengan sistem perpajakan yang sederhana, mudah, adil, dan memberi kepastian hukum 1. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi setiap hak dan kewajiban warganya, menempatkan perpajakan sebagai salah satu wujud partisipasi aktif warga negara dalam melaksanakan kewajibannya kepada negara melalui kegotongroyongan dalam pembiayaan dan pembangunan nasional. Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), sistem perpajakan yang dijalankan harus mampu memberikan kepercayaan dan kesadaran kepada wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ayat 3 menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara, dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban untuk mengatur pemberian-pemberian hak dan penggunaan bumi oleh perseorangan atau badan yang memperoleh manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung atas hak keuasaan negara, sehingga wajar apabila mereka diwajibkan untuk mentaati peraturan dan memberikan iuran berupa pembayaran pajak kepada negara (Brata, 1991). Dalam mempermudah pelaksanaan administrasi, objek pajak PBB dikelompokkan berdasarkan karakteristiknya dalam beberapa sektor yaitu 1 Republik Indonesia, Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan 2
Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (PBB-P3). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 61/PJ/2010 memutuskan pengalihan semua kewenangan terkait pengelolaan PBB-P2 dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Pelaksanaan pengalihan pajak daerah tersebut dikenakan paling lambat tanggal 31 Desember 2013 sampai ada ketentuan Peraturan Daerah (Perda) tentang PBB- P2 yang dilaksanakan pada daerah masing-masing. Sementara itu, PBB sektor Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (P3) masih tetap menjadi pajak pusat. Keputusan pengalihan atas pajak pusat menjadi pajak daerah dinilai dapat menunjang pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa daerah otonom memiliki hak, wewenang dan kewajiban dalam mengatur sendiri urusan rumah tangganya termasuk dalam hal kebijakan pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki kemandirian yang bertanggung jawab atas pengelolaan urusan rumah tangganya demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah. Pengalihan atas pajak pusat menjadi pajak daerah menimbulkan beberapa perubahan dalam pengaturan PBB- P2, perubahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 3
Tabel 1.1 Perubahan Pengaturan PBB-P2 Sebelum dan Sesudah Dialihkan Materi Sebelum dialihkan ke Pemda (UU PBB) Setelah dialihkan ke Pemda (UU PDRD) Subjek Orang atau badan yang secara Tidak ada perubahan nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/ atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/ atau memiliki, menguasai dan/ atau memanfaatkan atas bangunan Objek Bumi dan/ atau bangunan Bumi dan/ atau bangunan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan Tarif Tunggal 0,5% Paling tinggi 0,3% Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) 20% sampai dengan 100% (PP 25 Tahun 2002 ditetapkan sebesar 20% atau 40%) Tidak ada Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) PBB Terutang Paling tinggi Rp 12.000.000,00 per wajib pajak 0,5% x 20% x (NJOP- NJOPTKP) atau 0,5% x 40% x (NJOP- NJOPTKP) Paling rendah Rp 10.000.000,00 per wajib pajak 0,3% (maksimal) x (NJOP-NJOPTKP) Sumber : Buku Saku Pengalihan PBB 2013, Direktorat Jenderal Pajak DJP menyebutkan bahwa tujuan dari pengalihan PBB-P2 sebagai pajak pusat menjadi pajak daerah sesuai UU PDRD adalah untuk meningkakan local taxing power pada kabupaten/kota: 4
1. Memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah. 2. Menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah. 3. Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah. 4. Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah. Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap telah melaksanakan pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah mulai periode tahun pajak 2013, sehingga seluruh wewenang terkait pengelolaan PBB-P2 telah dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap. Hasil dari penerimaan PBB-P2 telah menjadi 100% milik pemerintah daerah kabupaten yang sebelumnya hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8%. Dalam melaksanakan pengalihan, pemerintah daerah berpedoman pada peraturan-peraturan yang berlaku seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Berbagai peluang yang dapat diperoleh dengan pengalihan ini adalah timbulnya keseimbangan kepentingan moneter dan regular, optimalisasi jaringan birokrasi, peningkatan kualitas pelayanan kepada wajib pajak dan peningkatan akuntabilitas penerimaan PBB-P2. Kabupaten Cilacap sebagai daerah terluas di Jawa Tengah dengan luas wilayah 225.360,840 Ha terbagi dalam 24 kecamatan, 269 desa dan 15 kelurahan memiliki potensi yang cukup besar dalam sektor penerimaan PBB-P2. Pembagian sektor perdesaan dan perkotaan pada setiap kecamatan ditentukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap. Pada dasarnya, sektor perdesaan dan perkotaan tidak memiliki perbedaan dalam hal 5
penentuan besarnya tarif PBB-P2 sehingga penentuan sektor perdesaan dan perkotaan di setiap kecamatan tidak menimbulkan masalah. Tabel 1.2 Sektor Perdesaan dan Perkotaan Kecamatan di Kabupaten Cilacap No Kecamatan Jumlah Sektor Perkotaan Jumlah Sektor Perdesaan 1 Cilacap Selatan 5-2 Cilacap Tengah 5-3 Cilacap Utara 5-4 Kesugihan 8 8 5 Jeruklegi 5 8 6 Kawunganten 5 7 7 Bantarsari 5 3 8 Kampung Laut - 4 9 Kroya 7 10 10 Nusawungu 5 12 11 Binangun 1 16 12 Adipala 8 8 13 Sampang 4 6 14 Maos 4 6 15 Sidareja 6 4 16 Cipari 3 8 17 Patimuan 3 4 18 Gandrungmangu 7 7 19 Kedungreja 3 8 20 Karangpucung 2 12 21 Majenang 8 9 22 Cimanggu 11 4 23 Wanareja 4 12 24 Dayeuhluhur 4 10 25 Menara Tower - 9 Sumber: DPPKAD Kabupaten Cilacap Berdasarkan keterangan pemerintah daerah Kabupaten Cilacap, pelaksanaan pengalihan pajak daerah pada tahun 2013 dan tahun 2014 memberikan banyak manfaat positif. Jumlah penerimaan 100% dari PBB-P2 memberikan peningkatkan pendapatan daerah yang dapat digunakan untuk meningkatkan pembangunan daerah yang merata di Kabupaten Cilacap. Di 6
samping itu, Kabupaten Cilacap memiliki tingkat stabilitas penerimaan pajak daerah yang baik. Tingkat kepatuhan pajak wajib pajak atas pembayaran PBB-P2 tergolong tinggi, hal ini dapat dibuktikan dengan target penerimaan pemerintah daerah yang hampir 100% dapat direalisasi pada setiap tahun. Beberapa faktor yang dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan pengalihan pajak PBB-P2 oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah: 1. Proses pengalihan berjalan lancar dengan biaya yang minimal. 2. Stabilitas penerimaan PBB-P2 tetap terjaga dengan tingkat deviasi yang dapat diterima. 3. Wajib pajak tidak merasakan adanya penurunan pelayanan. PBB sebagai pajak yang tergolong dalam pajak yang bersifat kebendaan atau pajak pajak properti memiliki tingkat pengelolaan adminstrasi yang sangat kompleks dan memerlukan biaya yang cukup besar. Hal ini juga terjadi di berbagai negara yang menerapkan pajak properti, bahwa dalam pengelolaannya memiliki tingkat kompleksitas dan biaya yang tinggi. Berbagai permasalahan yang menjadi penyebabnya yaitu karena DJP melakukan multi fungsi sekaligus. DJP harus melakukan pendataan (surveying), pemetaan (mapping), penilaian (valuing), pengelolaan (managing), pemungutan dan pelayanan PBB. Masingmasing fungsi tersebut memberikan permasalahan tersendiri yang membuat tingkat kompleksitas pengelolaan administrasi PBB tinggi (Hartoyo & Supardi, 2010). Dalam proses pengalihan PBB-P2 tentunya diperlukan persiapan yang matang termasuk mengantisipasi berbagai permasalahan yang berpotensi timbul 7
dan mengganggu jalannya pelaksanaan PBB-P2. Secara empiris, permasalahan terkait hal tersebut memang seringkali terjadi di berbagai negara berkembang. Permasalahan terkait teknis pelaksanaan serta berbagai faktor bawaan lainnya harus segera diatasi, sehingga tingkat kepekaan pemerintah daerah dalam hal ini perlu ditumbuhkan. Masyarakat sebagai wajib pajak juga harus mendapatkan perhatian khusus untuk menjaga stabilitas penerimaan PBB-P2. Kondisi kualitas dan kuantitas wajib pajak sebelum dilakukan pengalihan dan setelah dilakukan pengalihan harus tetap terjaga dengan diberikan tambahan pengetahuan tentang maksud dan tujuan dari pengalihan pajak daerah agar proses pembangunan daerah berjalan dengan lancar dan merata. Berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak wajib pajak harus dianalisis agar dapat diperoleh informasi tentang bagaimana upaya efektif yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah untuk memberikan layanan terbaiknya kepada wajib pajak. Gambar 1.1 Sektor Perkotaan Kabupaten Cilacap Gambar 1.2 Sektor Perdesaan Kabupaten Cilacap Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan keuangan Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Cilacap, penerimaan PBB-P2 memiliki kontribusi yang cukup tinggi dalam penerimaan 8
pajak daerah sebagai pendapatan asli daerah. Tingkat realisasi penerimaan PBB- P2 dari tahun ke tahun selalu terjaga dalam kondisi yang stabil dengan persentase yang selalu sempurna yaitu 100% bahkan mampu melebihi 100% pada dua tahun terakhir. Hal ini tentunya merupakan hal yang patut untuk diapresiasi dengan tercapainya jumlah penerimaan pajak daerah diharapkan pemerintah daerah dapat melakukan pengelolaan pembangunan daerah dengan efektif dan efisien. Berkaitan dengan uraian latar belakang masalah yang telah disebutkan, keberhasilan pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah yang diterapkan di Kabupaten Cilacap sejak periode tahun pajak 2013 harus tetap dipertahankan dan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan bagi daerah lain yang melakukan pengalihan pajak daerah. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji potensi daerah dalam mengelola sendiri urusan keuangan daerah terkait dengan penerimaan pajak daerah khususnya PBB-P2 dan bagaimana tingkat kepatuhan PBB-P2 Kabupaten Cilacap serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, penulis memiliki suatu keinginan untuk menuangkannya dalam bentuk Tugas Akhir yang berjudul Analisis Potensi Daerah dalam Pembangunan Daerah Pasca Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Tingkat Kepatuhan yang Timbul di Kabupaten Cilacap. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang masalah maka dapat dilakukan identifikasi masalah, yaitu: 9
1. Terjadinya pengalihan atas PBB-P2 yang sebelumnya merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah yang diterapkan paling lambat pada akhir periode tahun pajak 2013. 2. Perlunya persiapan matang yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam mengelola sendiri keuangan daerah sesuai dengan kebijakan otonomi daerah yang berlaku. 3. Perlunya penjagaan atas stabilitas penerimaan pajak daerah untuk pembangunan daerah. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini meliputi analisis potensi daerah dalam pembangunan daerah pasca pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan tingkat kepatuhan yang timbul di Kabupaten Cilacap dengan batasan masalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini dilakukan terhadap tingkat kepatuhan PBB-P2 Kabupaten Cilacap. 2. Analisis dilakukan pada tahun pajak 2013 dan 2014, ditambah tahun 2011 dan 2012 sebagai pembanding penerimaan pajak berdasarkan data penerimaan pendapatan yang didapatkan dari Bidang Akuntansi dan Pelaporan Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Cilacap. 10
3. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak di Kabupaten Cilacap berdasarkan apa yang diperoleh dari DPPKAD Kabupaten Cilacap. 1.4 Rumusan Masalah berikut: Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai 1. Bagaimana potensi daerah dalam meningkatkan pembangunan daerah pasca pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah? 2. Bagaimana tingkat kepatuhan pajak atas PBB-P2 setelah dilakukannya pengalihan pada tahun 2013 dan 2014 di Kabupaten Cilacap? 3. Apakah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak Kabupaten Cilacap? 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian terhadap analisis potensi daerah dalam pembangunan daerah pasca pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan tingkat kepatuhan yang timbul di Kabupaten Cilacap adalah untuk mengidentifikasi, menganalisis dan membahas data tentang: 11
1. Potensi daerah dalam meningkatkan pembangunan daerah melalui pengelolaan keuangan daerah. 2. Tingkat kepatuhan pajak atas PBB-P2 setelah dilakukannya pengalihan pada tahun 2013 dan 2014 di Kabupaten Cilacap. 3. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak Kabupaten Cilacap. 1.6 Manfaat Penelitian Analisis potensi daerah dalam pembangunan daerah pasca pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan tingkat kepatuhan yang timbul di Kabupaten Cilacap ini diharapkan mampu memberi manfaat kepada berbagai pihak, antara lain: 1. Mengetahui potensi daerah dalam meningkatkan pembangunan daerah melalui pengelolaan keuangan daerah. 2. Mendapatkan analisis mengenai tingkat kepatuhan pajak atas PBB-P2 setelah dilakukannya pengalihan pada tahun 2013 dan 2014 di Kabupaten Cilacap. 3. Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak Kabupaten Cilacap. 4. Membantu memberikan masukan kepada pemerintah daerah terkait upaya peningkatan kepatuhan pajak demi meningkatkan penerimaan pajak daerah. 12
1.7 Kerangka Penulisan Kerangka penulisan Tugas Akhir yang berjudul Analisis Potensi Daerah dalam Pembangunan Daerah Pasca Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Tingkat Kepatuhan yang Timbul di Kabupaten Cilacap terdiri dari empat bab yang masing-masing terbagi menjadi beberapa sub bab. Berikut merupakan uraian singkat kerangka penulisan: BAB I PENDAHULUAN Bab ini menggambarkan mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan kerangka penulisan dari Tugas Akhir ini. BAB II GAMBARAN UMUM PENULISAN Bab ini berisi tentang kondisi umum atas permasalahan yang diambil, gambaran umum instansi terkait, landasan teori yang digunakan dan metodologi penelitian yang digunakan. BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan analisis dan pembahasan dari hasil analisis terhadap tingkat kepatuhan PBB-P2 Kabupaten Cilacap dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini memberikan kesimpulan atas hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan serta memberikan saran terkait kebijakan dalam meningkatkan tingkat kepatuhan PBB-P2. 13