I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. kondisi sosial budaya dan politik suatu negara berkembang untuk menuju sistem

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin besar pengaruhnya

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan wewenang, oleh sebab itu dalam pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kegiatan Penyidik yang implementasinya dapat berupa, misalnya penangkapan bahkan penahanan, maka hukum acara pidana melalui ketentuanketentuan yang sifatnya memaksa menyingkirkan asas yang diakui secara universal yaitu hak kebebasan seseorang. Hukum acara pidana memberikan hak kepada pejabat tertentu untuk menahan tersangka atau terdakwa dalam rangka melaksanakan hukum pidana materiil guna mencapai ketertiban dalam masyarakat. 1 Pentingnya diadakan suatu pengawasan atau kontrol terhadap aparat penegak hukum dalam melakukan tugasnya. Sebenarnya secara otomatis pengawasan atau kontrol terhadap tiap aparat penegak hukum telah melekat pada lembaga dimana aparat penegak hukum itu bernaung. Namun, pengawasan ini dirasa tidak cukup 1 Ratna Nurul Alfiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Jakarta : Akademika Pressindo C.V., 1986, hlm.35.

2 kuat karena sangat tergantung dari kesungguhan dan kemauan internal lembaga itu sendiri tanpa dimungkinkanya campur tangan dari pihak luar. Dapat diartikan bahwa dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia. Hal ini jelas tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada Pasal 28 D ayat (1). Hal itu mencerminkan harus adanya kepastian hukum. Pengakuan akan prinsip dasar tersebut, setiap manusia memiliki hak dasar yang disebut hak asasi manusia. Kesadaran akan adanya hak asasi manusia tumbuh dari pengakuan manusia sendiri bahwa mereka adalah sama dan sederajat. Pengakuan terhadap hak asasi manusia memiliki dua landasan, sebagai berikut: 1) Landasan yang langsung dan pertama, yakni kodrat manusia. Kodrat manusia adalah sama derajat dan martabatnya. Semua manusia adalah sederajat tanpa membedakan ras, agama, suku, bahasa, dan sebagainya. 2) Landasan yang kedua dan yang lebih dalam: Tuhan menciptakan manusia. Semua manusia adalah makhluk dari pencipta yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di hadapan Tuhan manusia adalah sama kecuali nanti pada amalnya. 2 Negara memberikan kewenangan kepada para aparat penegak hukum untuk menegakkan keadilan. Para penegak hukum sering juga melakukan kesalahan dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi dari pelaku tindak pidana dalam melakukan upaya paksa. Oleh sebab itu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjamin terlindungnya hak-hak pelaku tindak pidana. Menurut Lilik Mulyadi, pada asasnya pengertian hukum acara pidana itu merupakan: 1. Peraturan hukum yang mengatur, menyelenggarakan, dan mempertahankan eksistensi ketentuan hukum pidana materiil (materieel strafrecht) guna 2 Winarno, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009, hlm.129.

3 mencari, menemukan, dan mendapatkan kebenaran materiil atau yang sesungguhnya; 2. Peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara dan proses pengambilan putusan oleh hakim. 3. Peraturan hukum yang mengatur tahap pelaksanaan daripada putusan yang diambil. 3 Adapun dibentuknya berbagai tindak pidana dalam undang-undang mengandung tujuan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu dalam rangka tercapai dan terpeliharanya ketertiban umum. Hukum acara pidana mengatur sedemikian rupa agar penerapannya sampai pada tujuan yang dimaksudkan. 4 Berdasarkan KUHAP, menurut Pasal 1 angka (10) KUHAP yang dimaksud praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Menurut Pasal 77 KUHAP, Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 3 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana ( Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm.4. 4 Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Jakarta: Sinar Graha, 2010, hlm.1.

4 Terbentuknya lembaga praperadilan menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP disebutkan: mengingat demi kepentingan pemeriksaan perkara diperlukan adanya pengurangan-pengurangan dari hak-hak asasi tersangka, namun bagaimanapun hendaknya selalu berdasar ketentuan yang diatur dalam undang-undang, maka untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak asasi, tersangka/terdakwa diadakan suatu lembaga praperadilan. 5 Praperadilan secara tidak langsung melakukan pengawasan atas kegiatan yang dilakukan penyidik dalam rangka penyidikan maupun penuntutan, mengingat tindakan penyidik pada dasarnya melekat pada instansi yang bersangkutan. Sudah saatnya dibangun budaya saling kontrol di dalam era supremasi hukum, antara semua komponen penegak hukum agar kepastian hukum benar-benar dapat diberikan bagi mereka para pencari keadilan. Berdasarkan Pasal 80 KUHAP menyebutkan bahwa: Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya. Berdasarkan Pasal 80 tersebut, terdapat peluang bahwa yang diberikan dengan masuknya pihak ketiga yang berkepentingan sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan praperadilan. Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah: 1. Tersangka/ terdakwa; 2. Keluarga dari tersangka/ terdakwa; 3. Kuasa dari tersangka/ terdakwa; 5 Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, dan Praperadilan dalam Teori dan Praktek, Bandung: CV. Mandar Maju, 2007, hlm.16.

5 4. Pelapor yang dirugikan dengan dilakukannya itu atau yang dapat kuasa darinya. Adanya lembaga praperadilan tersebut diharapkan dapat menjamin hak-hak asasi manusia yang merasa dirugikan dengan adanya kesalahan yang dilakukan oleh penegak hukum. Praperadilan sendiri merupakan lembaga yang sifatnya temporer artinya adanya praperadilan jika adanya gugatan yang diajukan para pihak. Banyaknya permohonan pemeriksaan perkara melalui praperadilan karena untuk mewujudkan keadilan sebelum perkara dilanjutkan ke Pengadilan Negeri. Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur. Tidak semuanya putusan praperadilan dapat dimenangkan oleh tersangka atau pihak yang mengajukan dalam proses sidang pemeriksaan praperadilan. Adapun salah satu contoh kasus adalah praperadilan yang diajukan oleh seorang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi terhadap status penetapan tersangka yang telah ditetapkan oleh penyidik, dimana dalam permohonannya pemohon mengajukan gugatan praperadilan yang menjadi objek dalam praperadilan ini adalah sah tidaknya penetapan tersangka. Sidang praperadilan yang pernah dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Nomor Perkara 04/Pid.Prap/2015.PN.Jkt.Sel yang pada pokok perkaranya adalah permohonan terhadap praperadilan tidak sahnya penetapan tersangka yang dilakukan oleh pihak penyidik. Hal ini terjadi dimana pihak pemohon merasa dirugikan akan penetapan status tersangka yang dilakukan oleh pihak termohon. Berdasarkan hal yang menjadi objek praperadilan ini penetapan

6 tersangka bukan merupakan objek praperadilan, jika dilihat dalam Pasal 77 KUHAP, namun dalam sidang praperadilan ini hakim telah memutuskan bahwa gugatan praperadilan diterima. Hakim telah menetapkan bahwa status penetapan tersangka tidak sah. Hal ini menyebabkan terjadinya perluasan objek praperadilan. Namun dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menyebabkan objek praperadilan mengalami perluasan yang kemudian menjadi dasar penetapan tersangka merupakan salah satu objek praperadilan. Dengan dikeluarkannya putusan tersebut membuka peluang kepada tersangka untuk mengajukan gugatan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. Keluarnya keputusan MK ini akan menjadi landasan para hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan bahwa penetapan tersangka masuk dalam objek praperadilan dan perselisihan pendapat yang kadang terjadi dan bahkan sampai kepada disparitas putusan hakim mengenai praperadilan tentang penetapan tersangka bisa dikahiri. Berdasarkan uraian tersebut maka tidak semua gugatan praperadilan dapat diterima dan penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam wewenang praperadilan sebelum dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi dan sampai dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sah tidaknya penetapan tersangka yang telah menjadi objek praperadilan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis memutuskan memilih judul: Analisis Praperadilan Dalam Memutus Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Tindak Pidana Korupsi.

7 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup: 1. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang diangkat adalah sebagai berikut: 1. Apakah lembaga praperadilan berwenang memutus sah tidaknya penetapan tersangka dalam tindak pidana korupsi? 2. Apakah faktor penghambat yang ditemui lembaga praperadilan dalam memutus sah tidaknya penetapan tersangka terhadap tindak pidana korupsi? 2. Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah menyangkut analisis praperadilan dalam memutus sah tidaknya penetapan tersangka tindak pidana korupsi. Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Fakultas Hukum Universitas Lampung. Lingkup bidang ilmu dalam penelitian ini adalah hukum acara pidana dalam KUHAP Pasal 77 yang mengalami perluasan objek praperadilan serta peraturan perundang-undangan yang terkait dan teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Tahun penelitian dilakukan pada tahun 2015. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan yang ingin dicapai, yaitu sebagai berikut: 1. Memahami dan menganalisis kewenangan lembaga praperadilan dalam

8 memutus sah tidaknya penetapan tersangka tindak pidana korupsi. 2. Memahami faktor penghambat yang ditemui lembaga praperadilan dalam memutus sah tidaknya penetapan tersangka terhadap kasus tindak pidana korupsi. Kegunaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, kegunaan dari penelitian ini adalah mencangkup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: a. Kegunaan Teoritis Secara teoritis diharapkan dapat berguna dan memberikan manfaat untuk mengembangkan informasi, pengetahuan dan wawasan ilmu hukum, dan hukum pidana yang menyangkut putusan praperadilan dalam menetapkan sah atau tidaknya penetapan tersangka tindak pidana korupsi dalam objek praperadilan. b. Kegunaan Praktis Secara praktis penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan jawaban dari permasalahan yang ada, sebagai pertimbangan bagi praktisi hukum dan masyarakat.

9 D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teori Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. 6 a. Istilah Praperadilan dan Penemuan hukum Istilah yang dipergunakan oleh KUHAP praperadilan maka maksud dan artinya yang harafiah berbeda. Pra artinya sebelum atau mendahului, berarti praperadilan sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan, di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Fungsi hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d Instruction di Perancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara. 7 Menurut Oemar Seno Adji di dalam buku Andi Hamzah, lembaga rechter commissaris (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yang di Eropa Tengah mempunyai posisi yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang middelen), penahanan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat. 8 Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu 6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian, Jakarta, UI Press, 2008, hlm.6. 7 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, 2008, hlm.187. 8 Ibid., hlm.188.

10 penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa. Selain itu, kalau hakim komisaris di negeri Belanda melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama terhadap pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan terhadap kedua instansi tersebut. Begitu pula Judge d Instruction di Prancis, mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat bukti yang lain. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat bukti yang lain. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu, melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu perkara cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau cukup alasan, ia akan membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu. Namun demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa. 9 Penemuan hukum adalah kegiatan terutama dari hakim dalam melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit. Undang-undang sebagaimana kaedah pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Oleh karena itu harus dilaksanakan atau ditegakkan.untuk dapat melaksanakannya 9 Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, hlm.92-94.

11 undang-undang harus diketahui orang. Agar dapat memenuhi asas setiap orang dianggap tahu akan undang-undang maka undang-undang harus tersebar luas dan harus pula jelas. Kejelasan undang-undang ini sangat penting. Oleh karena itu setiap undang-undang selalu dilengkapi penjelasan yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara. Sekalipun namanya serta maksudnya sebagai penjelasan namun seringkali terjadi bahwa penjelasan itu tidak juga memberi kejelasan, karena hanya diterangkan cukup jelas pada hal teks undang-undangnya tidak jelas dan masih memerlukan penjelasan. Setiap peraturan hukum itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. 10 Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Menjelaskan ketentuan undang-undang akhirnya adalah untuk merealisir fungsi agar hukum positif itu berlaku. 11 Alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan oleh hakim dalam menemukan hukumnya adanya metode interpretasi. 10 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 11-12. 11 Ibid., hlm. 13.

12 Menurut Sudikno Mertokusumo metode interpretasi tersebut dapat dibedakan menjadi: (1) Menurut bahasa (gramatikal), merupakan cara penafsiran atau penjelasan secara sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata atau bunyinya. 12 (2) Teleologis atau sosiologis, yaitu apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. 13 (3) Sistematis atau logis, yaitu terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan. 14 (4) Historis, yaitu penjelasan menurut terjadinya undang-undang. 15 (5) Perbandingan hukum (komparatif) yaitu dengan perbandingan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang. (6) Futuristis yaitu penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. 16 (7) Restriktif yaitu penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi. (8) Ekstensif yaitu dilampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi gramatikal.penafsiran ekstensif ini sering dipergunakan untuk memperhalus penafsiran analogi yang dilarang untuk digunakan dalam melakukan penafsiran terhadap rumusan ketentuan dalam undangundang. 17 b. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor-faktor dalam penegakan hukum diantaranya: a. Faktor undang-undang adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. b. Faktor penegakan hukum adalah yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. c. Faktor sarana dan fasilitas adalah faktor yang mendukung dari penegakan hukum. d. Faktor masyarakat yakni faktor yang meliputi lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 12 Ibid., hlm. 14. 13 Ibid., hlm. 15. 14 Ibid., hlm. 16. 15 Ibid., hlm. 17. 16 Ibid., hlm. 19. 17 Tri Andrisman, Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011, hlm.43.

13 e. Faktor budaya adalah sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 18 2. Konseptual Kerangka konseptual adalah merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti. Konsep adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasi dari gejala-gejala tertentu. 19 Ada beberapa konsep dan istilah yang dijadikan sebagai batasan yang tepat dalam penafsiran, yaitu sebagai berikut: a. Analisis yaitu penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya). Untuk mengetahui keadaaan yang sebenarnya (sebab musababnya, bagaimana, duduknya perkara, dan sebagainya). 20 b. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP. 18 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 1983, hlm.4-5. 19 Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral; Edisi Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1996, hlm.4. 20 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai pustaka, 1997, hlm.32.

14 c. Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. d. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP. e. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP. f. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah sebagaimana diatur dalam UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. E. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibagi ke dalam empat bab, masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Selanjutnya sistematikanya adalah sebagai berikut: I. PENDAHULUAN

15 Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan maslah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, dan diakhiri dengan sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang telaah kepustakaan yang berupa kerangka teori yang melandasi penelitian yang berisi tentang tinjauan terhadap praperadilan yang terdiri dari pengertian dan sejarah praperadilan, acara praperadilan penetapan tersangka, tujuan penciptaan lembaga praperadilan, wewenang lembaga praperadilan, tinjauan terhadap korupsi yang terdiri dari pengertian korupsi dan sifat korupsi, ciri-ciri korupsi dan faktor penyebab korupsi, penetapan tersangka tindak pidana korupsi, dan faktor penghambat penegakan hukum sehingga menjadi pengantar dalam memahami pokok-pokok yang berkaitan dengan masalah. III. METODE PENELITIAN Bab ini memuat dan membahas tentang tentang langkah-langkah yang digunakan dalam metode penelitian yang dimulai dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data dan diakhiri dengan analisis data. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab yang menyajikan hasil penelitian dan pembahasan terkait dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu kewenangan lembaga praperadilan dalam menetapkan sah tidaknya penetapan tersangka tindak pidana korupsi dan faktor penghambat yang ditemui lembaga praperadilan dalam

16 memutus sah tidaknya penetapan tersangka yang terjadi dalam praperadilan terhadap kasus tindak pidana korupsi. V. PENUTUP Bab ini merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran mengenai permasalahan yang ada dalam penulisan karya ilmiah yang sifatnya dapat digunakan sebagai acuan dalam penyelesaian masalah.