BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Guru berperan penting dalam proses pendidikan anak di sekolah, bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membantu individu

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional melalui Undang-undang Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan formal maupun nonformal. mempermudah mendapatkan pekerjaan. Berdasarkan data dari Badan

PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir lo

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I Pendahuluan. Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. potensi intelektual dan sikap yang dimilikinya, sehingga tujuan utama

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam proses belajar disiplin belajar sangat penting dalam menunjang

BAB I PENDAHULUAN. untuk pertama kalinya belajar berinteraksi atau melakukan kontak sosial

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan sosial ini berpangkal dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. dalam buku Etika Profesi Pendidikan). Pendidikan di Sekolah Dasar merupakan jenjang

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Siswa SMA pada umumnya berusia 16 sampai 19 tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. sangat mudah untuk diakses dan dibaca oleh masyarakat luas. Dalam menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupannya. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Esa unggul merupakan salah satu Universitas swasta yang

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku, di mana individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. yang cacat, termasuk mereka dengan kecacatan yang berat di kelas pendidikan umum,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hindam, 2013

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

KUALITAS INTERAKSI SOSIAL SISWA KELAS VII DI SMP NEGERI 24 KOTA JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK. Mengenal tujuan dan arti ibadah.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. mempertajam keterampilan yang dimiliki serta menjalin pertemanan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan

keberhasilan belajar yang semakin tinggi dan tanggung jawab terhadap perilaku

PROFIL PENYESUAIAN SOSIAL SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 35 JAKARTA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Siswanya sering berpindah berpindah dari satu negera ke negera lainnya. Staf di sekolah terdiri dari orang-orang berbagai bangsa. Sekolah-sekolah sejenis ini biasanya menawarkan satu atau lebih program internasional (namun bukanlah program dari negara sekolah ini berada) atau merupakan kombinasi dari keduanya. Sekolah-sekolah ini adalah sekolah swasta yang tersebar di sejumlah negara (franchise). Sekolah internasional juga melayani orang tua (kebanyakan orang asing dan juga lokal) yang menginginkan puteraputerinya menerima pendidikan yang berbeda dari program lokal. Pada umumnya, orang tua siswa lokal tertarik oleh percampuran budaya yang terjadi di sekolah yang bersangkutan. (Ian Hill, 2008) Bagian inti dari sekolah internasional adalah pemahaman keanekaragaman budaya. Kontak personal antara para guru dan murid yang berbeda warga negara di sebuah sekolah akan membawa para murid berhadapan langsung dengan keanekaragaman budaya. Disini para guru lebih memerhatikan fakta bahwa perbedaan pendapat dapat terjadi yang dikarenakan oleh latar belakang budaya. Oleh karena itu ketika berdiskusi di dalam kelas para murid dapat memberikan contoh dari kebudayaan lain yang tidak terwakilkan di dalam kelas, kemudian bersama-sama menelusuri lebih dalam mengapa hal itu dapat terjadi. Para guru diharuskan untuk berlaku sensitif terhadap perbedaan budaya dan mampu mengarahkan diskusi agar murid-murid mengerti bahwa banyak terdapat perbedaan sudut pandang, meskipun hal tersebut asing bagi kepercayaan mereka dan meskipun mereka siap atau tidak untuk 1

2 menerimanya. Berusaha untuk mengerti asal mula budaya dari perbedaan sudut pandang adalah hal yang mendasar dalam pemahaman keanekaragaman budaya. Mencari tahu dari mana asal sudut pandang tersebut dan mengetahui mengapa sebuah kebudayaan memiliki sebuah kepercayaan juga sangatlah penting (Ian Hill, 2008). Pemahaman mengenai perbedaan budaya juga menjadi penting karena pengekspresian emosi dalam setiap kebudayaan bisa berbeda (Ekman, 1992). Saat ini terdapat tujuh sekolah internasional yang ada di Kota Bandung, dan salah satunya adalah Sekolah Internasional X. Sekolah Internasional X di Bandung didirikan pada tahun 2006 dan menggunakan sistem pendidikan Cambridge (IGCSE) yang memiliki jenjang pendidikan dari pre-school, primary school, dan secondary school, dimana secondary school memiliki jenjang 4 tahun pendidikan yaitu dari kelas 7 hingga kelas 10. Saat ini sekolah internasional X memiliki 60 siswa secondary school yang tersebar di kelas 7 sebanyak 21 siswa, kelas 8 sebanyak 15 siswa, kelas 9 sebanyak 13 siswa dan kelas 10 sebanyak 11 siswa. Sekolah internasional X tidak hanya menerima siswa asing dari berbagai negara seperti Korea Selatan dan Singapura, namun juga siswa yang berasal dari sekolah nasional, persentase antara siswa asing dan siswa lokal adalah 20% siswa asing dan 80% siswa lokal. Sedangkan presentase guru lokal dan guru asing adalah 80% guru lokal dan 20% guru asing. Dari 60 siswa secondary school yang tersebar di empat tingkatan kelas, 19 siswa adalah siswa pindahan, sehingga proses pembiasaan dan pembelajaran di lingkungan baru akan berbeda dengan siswa yang sudah lama mengikuti pendidikan di sekolah X. Keragaman latar belakang siswa membawa situasi tertentu bagi para siswa. Pihak sekolah memiliki tuntutan kepada siswa untuk bisa berbaur dengan lingkungan sekolah yang beragam, siswa memiliki prestasi baik secara akademik maupun non-akademik, mampu bersikap fleksibel terhadap perubahan, dan memiliki kesadaran budaya. Tuntutan sekolah saat

3 ini belum dapat dipenuhi oleh sebagian siswa yang ada di sekolah internasional X. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap staf pengajar oleh peneliti di sekolah internasional X, terdapat fakta bahwa masalah terbanyak yang dihadapi oleh staf pengajar di sekolah X banyak berasal dari jenjang secondary school. Masalah utama yang sering muncul adalah masalah disiplin. Siswa sering melanggar peraturan, tidak mengerjakan kewajiban sebagai siswa seperti tidak mengumpulkan tugas atau terlambat mengumpulkan, seringkali bersikap tidak sopan dan tidak menghargai guru dan staff di sekolah (mengucapkan kata yang kasar, melawan atau pun menghina guru), permasalahan penyesuaian dengan teman sebaya atau senior, dan tidak mengikuti program pembelajaran yang ada di sekolah dengan serius. Berdasarkan observasi pada saat pelajaran Geografi di kelas yang dilakukan oleh peneliti terhadap 20 siswa di sekolah internasional X, tampak lima siswa didalam kelas cenderung tidak memerhatikan pelajaran yang sedang dijelaskan, sering bercanda, dan bertindak sesuai dengan keinginannya tanpa melihat keadaan di sekitar kelas. Siswa yang lain dapat mengikuti pemebelajaran dengan baik dan cukup serius, bahkan aktif bertanya jawab dengan guru mereka. Berdasarkan keterangan dari guru mata pelajaran lain, tindakan serupa juga terjadi di kelas mata pelajaran lain. Tiga siswa di jenjang F2 (kelas 8) yang memiliki masalah penyesuaian sosial baik dengan guru, atau pun teman sebaya juga menunjukkan performa akademik yang tidak terlalu baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Rao, 1964 dalam Sharma, 2011) yang menyatakan bahwa penyesuaian sosial menjadi hal yang sangat penting didalam sekolah yang memiliki beragam kebudayaan. Selain kemampuan untuk berinteraksi, berempati, dan berkomunikasi dengan satu sama lain, penyesuaian sosial juga menjadi salah satu aspek yang memengaruhi pencapaian dan performa akademis.

4 Oleh karena beragamnya siswa di sekolah, maka itu dibutuhkan penyesuaian sosial di sekolah agar siswa mampu berperilaku sesuai dengan norma, nilai, dan aturan yang berlaku di lingkungan sekitar, yaitu di sekolah agar tercipta kondisi yang kondusif pada kegiatan belajarmengajar, juga pergaulan yang sehat antar siswa di sekolah. Scheneiders (1964) menyatakan bahwa penyesuaian sosial adalah kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Secara lebih spesifik, penyesuaian sosial di sekolah merujuk pada kemampuan siswa untuk secara konsisten menyelaraskan diri dengan tuntutan lingkungan sekolah dengan memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya agar dapat diterima oleh lingkungan. Dalam hal ini, siswa sekolah internasional X berada di lingkungan yang mayoritas adalah orang Indonesia, sehingga mereka dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan dan aturan orang Indonesia pada umumnya, terutama di sekolah. Meski pun budaya bebas berekspresi terjadi di sekolah, siswa seharusnya mampu untuk mengekspresikan perasaan atau pun emosinya kepada guru, karyawan, atau pun siswa lain dengan cara yang dapat diterima. Demikian pula dengan pergaulan dan komunikasi sehari hari, terutama dengan guru, yang mayoritas berkewarganegaraan Indonesia. Siswa secondary students di Sekolah Internasional X berada pada tahap perkembangan remaja awal, yaitu usia 12 15 tahun. Pada masa ini siswa diharapkan mampu untuk mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab sesuai dengan tuntutan lingkungan (Santrock, 2012). Dalam penyesuaian sosial dituntut pula kemampuan individu untuk mengikuti perubahan yang ada di sekitarnya dengan wajar dan dengan cara yang sehat atau yang disebut juga dengan penyesuaian pribadi (Schneiders, 1964). Menyesuaikan diri dengan perubahan di dalam diri serta lingkungan eksternal menjadi tantangan besar bagi remaja.

5 Sebagian besar masalah remaja berpusat pada penampilan fisik, kesehatan dan perkembangan fisik, nilai, hubungan dengan anggota keluarga, guru, dan penyesuaian rumah. Ketidakmampuan menyesuaikan diri ini dapat menyebabkan ketidakhadiran, prestasi rendah, dan kebiasaan yang tidak layak lainnya dari remaja (Subramanyam, 1986). Transisi ke sekolah menengah menandai akhir dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Transisi ini sebagaimana yang dikatakan oleh Goleman (1995) adalah tantangan yang sulit di ranah emosi. Remaja yang memasuki sekolah menengah dihadapkan dengan suasana interaksi sosial yang tepat adalah elemen yang penting untuk sukses. Sebagaimana remaja muda tumbuh dan berkembang dalam tahap ini, menjadi cerdas secara emosi tidak hanya penting, tetapi kondisi yang diperlukan untuk berhasil di sekolah. Memiliki kecerdasan emosional akan memungkinkan siswa untuk berhubungan dengan teman sebaya dan menghadapi tantangan akademik (Adeyemo, 2005). Kecerdasan emosional melibatkan kemampuan untuk memahami secara akurat, menilai, dan mengekspresikan emosi; menggunakan emosi untuk memandu proses berpikir; kemampuan untuk memahami dan menganalisis berbagai macam emosi serta kemampuan untuk mengatur emosi untuk mengatasi permasalahan (problem-solving). (Salovey, Mayer, 1997) Penelitian dari Sharma (2011) yang membahas mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial, yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional secara langsung memengaruhi penyesuaian sosial, pada siswa tingkat menengah. Hal ini berarti siswa yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi memiliki tingkat penyesuaian sosial yang tinggi pula.

6 Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap tiga guru dan sepuluh siswa, permasalahan siswa secondary school di sekolah internasional X, yang kerap mengganggu aktivitas pembelajaran adalah bagaimana siswa kurang mampu mengekspresikan emosi yang mereka rasakan, sehingga seringkali pengekspresian dan pengaturan emosi terjadi di tempat yang tidak seharusnya, contohnya menangis keras-keras ketika pelajaran tengah berlangsung, marah terhadap guru dan teman tanpa alasan yang jelas, berbicara kasar terhadap guru karena tidak suka akan suatu hal, kurangnya motivasi siswa untuk belajar sehingga memengaruhi nilai, dan sebagainya. Kurangnya rasa empati terhadap sesama, kurangnya pengenalan terhadap emosi yang dirasakan oleh diri sendiri, menjaga hubugan baik dengan orang lain baik dengan junior, senior, guru maupun karyawan juga merupakan berbagai permasalahan yang terjadi di sekolah internasional X. Terdapat tiga siswa yang dapat dikatakan cukup dewasa dan menunjukkan kecerdasan emosional yang baik di usianya. Mereka lebih bertanggung jawab secara akademis, mampu bersikap lebih tenang dalam menghadapi berbagai tugas yang diberikan secara mendadak, dan lebih peduli dengan lingkungan di sekitarnya. Lima siswa yang berprestasi memiliki pengendalian diri dan manajemen diri yang baik didalam bidang akademik, namun terkadang bersikap kurang sopan dan kurang menghargai guru mereka, serta dua siswa menunjukkan perilaku tidak memerhatikan guru, dan bersikap tidak sopan di kelas. Siswa yang menampakkan beberapa aspek kecerdasan emosional yang tinggi juga tidak selalu menunjukkan penyesuaian sosial yang tinggi. Sebaliknya pula, siswa yang menampakkan beberapa aspek kecerdasan emosional yang rendah juga tidak selalu menunjukkan penyesuaian sosial yang rendah. Setelah proses konseling yang dilakukan oleh pihak sekolah terhadap berbagai permasalahan diatas, permasalahan yang dihadapi oleh siswa di sekolah, berasal dari rumah.

7 Hal ini menunjukkan siswa seringkali mengekspresikan emosi di tempat yang tidak seharusnya (misplaced) yang mengindikasikan adanya masalah di bidang kecerdasan emosional. Berbagai masalah dalam emosi ini baik secara langsung atau pun tidak langsung dapat memengaruhi siswa dalam menjalani kesehariannya di sekolah, baik secara akademis maupun kehidupan sosial di sekolah. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial di sekolah pada siswa secondary school di sekolah internasional X Kota Bandung 1.2 Identifikasi Masalah Dari studi ini, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial di sekolah pada siswa secondary school Sekolah Internasional X, Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kecerdasan emosional dan penyesuaian sosial di sekolah pada siswa secondary school Sekolah Internasional X, Bandung.

8 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memeroleh hubungan signifikansi antara kecerdasan emosional dan penyesuaian sosial di sekolah pada siswa secondary school Sekolah Internasional X, Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Memberikan informasi mengenai hubungan kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial di sekolah pada siswa jenjang sekolah menengah pertama dalam bidang ilmu Psikologi Pendidikan. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai kecerdasan emosional dan penyesuaian sosial di sekolah. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada pihak sekolah mengenai hubungan antara penyesuaian sosial dan kecerdasan emosional siswa secondary school di sekolah internasional X, agar dapat menjadi acuan untuk mengembangkan program pengajaran bagi siswa agar siswa mampu melakukan penyesuaian sosial di sekolah secara sehat. 1.5 Kerangka Pikir Siswa secondary school sekolah internasional X merupakan siswa yang berusia antara 12 15 tahun, yang berada di tahap perkembangan remaja awal (Santrock, 2012). Banyak hal baru ditemukan seiring dengan perkembangan yang begitu berbeda dengan masa anak-anak,

9 baik secara fisik seperti perubahan hormonal maupun perubahan psikologis seperti perubahan cara berpikir, maka dalam setiap masa perkembangan seseorang perlu menyesuaikan diri. Oleh karena tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku, maka masa ini bukanlah masa yang mudah bagi remaja. Terdapat transisi fisik, kognitif, dan sosial pada remaja. Pada transisi sosial, remaja mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Membantah orang tua, serangan agresif terhadap teman sebaya, perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja dalam peristiwa tertentu serta peran gender dalam masyarakat merefleksikan peran proses sosial-emosional dalam perkembangan remaja (Santrock, 2012). Siswa di jenjang pendidikan secondary school juga menemui berbagai macam tuntutan dari lingkungan, seperti tuntutan akademis, emosi, dan tuntutan sosial. Dalam usaha untuk memenuhi berbagai tuntutan lingkungan, siswa harus mampu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan tuntutan tersebut. Kemampuan siswa untuk mengubah tuntutan menjadi tantangan adalah dengan cara beradaptasi terhadap tuntutan yang berasal dari lingkungan eksternal, yaitu lingkungan sekolah. Penyesuaian di jenjang secondary school dianggap sulit bagi remaja, karena merupakan suatu jenjang yang membutuhkan tanggung jawab dan kemandirian yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenjang sebelumnya. Kemampuan penyesuaian sosial di sekolah dibutuhkan oleh siswa untuk memenuhi tuntutan dalam lingkungan sekolah. Penyesuaian sosial yaitu kemampuan seseorang untuk saling memengaruhi satu sama lain secara berkesinambungan didalam suatu lingkungan. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku yang sesuai dengan hukum, aturan, adat yang dipatuhi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di kehidupannya, termasuk di sekolah. (Schneiders, 1964)

10 Penyesuaian sosial di sekolah diartikan sebagai kemampuan siswa untuk bereaksi secara tepat didalam realitas, situasi, dan relasi sosial, sehingga mampu berinteraksi secara wajar dan sehat, serta dapat memberikan kepuasan bagi dirinya dan lingkungan (Schneiders, 1964). Siswa yang dapat menyesuaikan diri di lingkungan sekolah ditandai oleh respon siswa yang sesuai dengan keadaan dirinya, sesuai dengan hubungan dengan teman, guru, maupun staf atau karyawan. Penyesuaian sosial di sekolah juga dapat membantu siswa untuk mengembangkan potensi atau kemampuan yang mereka miliki secara fleksibel tanpa diwarnai konflik didalam dirinya. Schneiders (1964) telah menyusun tuntutan lingkungan atau perilaku yang diharapkan dan berkaitan dengan realitas, situasi, dan realasi sosial yang dihadapi oleh siswa di lingkungan sekolah menjadi lima aspek, yaitu (1) hormat dan mau menerima otoritas yang ada di sekolah, (2) menunjukkan minat dan partisipasi dalam kegiatan sekolah, (3) menjalin hubungan yang harmonis dengan teman dan guru, (4) mau menerima larangan dan tanggung jawab, serta (5) membantu sekolah untuk melaksanakan tujuan sekolah. Aspek yang pertama, siswa di jenjang secondary school di sekolah internasional X dituntut untuk menerima dan menghargai otoritas yang ada di sekolah seperti kepala sekolah, guru, staf sekolah dan menaati berbagai peraturan yang berlaku serta menyadari pentingnya peraturan sekolah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan cara bersikap sopan dan santun terhadap kepala sekolah, guru, dan staf. Selain itu, siswa juga harus mengetahui dan menaati setiap aturan yang ada di sekolah dan menyadari konsekuensi jika berbuat kesalahan. Aspek yang kedua adalah berpartisipasi dalam aktivitas sekolah. Siswa secondary school di sekolah internasional X diharapkan mampu berpartisipasi secara aktif baik didalam aktivitas pembelajaran akademik maupun non-akademik yang diselenggarakan oleh sekolah

11 seefektif mungkin. Siswa juga diharapkan menyadari pentingnya kegiatan yang dirancang oleh pihak sekolah. Pada aspek yang ketiga siswa di jenjang secondary school, juga dituntut untuk membina relasi yang sehat dengan teman sebayanya, dengan guru, staf, senior, maupun junior. Siswa mampu untuk berinisiatif untuk membina relasi yang baik dengan teman, guru dan staf, dapat memertahankan persahabatan dengan teman, bertutur kata yang sopan ketika sedang berbicara dengan guru atau orang yang lebih tua, menggunakan volume suara yang lebih rendah dari orang yang lebih tua ketika sedang berkomunikasi. Relasi yang sehat ini tidak hanya diharapkan didalam kehidupan nyata sehari-hari, namun juga melalui media sosial yang saat ini digunakan oleh hampir seluruh siswa secondary school di sekolah internasional X. Aspek yang keempat adalah siswa secondary school adalah mampu menerima batasan dan tanggung jawab. Siswa harus berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku dan diajarkan di sekolah, menjaga sikap ketika bertemu dengan kepala sekolah, guru, dan staf juga dengan siswa lain. Siswa juga dituntut untuk bertanggung jawab sebagai siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas dengan sikap yang baik, serta mengerjakan segala tugas yang diberikan oleh guru dengan sungguh-sungguh. Aspek yang kelima adalah membantu merealisasikan tujuan dari sekolah, dimana siswa diharapkan dapat membantu untuk mengharumkan nama sekolah dengan cara berpartisipasi dalam program yang disusun sekolah diluar dari kegiatan akademik yang terprogram, seperti mengikuti kompetisi atau perlombaan di berbagai bidang. Schneiders (1964) menyatakan bahwa penyesuaian sosial di sekolah dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah kondisi fisiologis, perkembangan dan kematangan, khususnya intelektual, sosial, moral, dan emosi dan juga kondisi psikologis, meliputi pengalaman, proses belajar, pembiasaan, frustrasi, dan konflik.

12 Faktor eksternal yang memengaruhi penyesuaian sosial adalah kondisi lingkungan, khususnya lingkungan rumah, keluarga, sekolah, dan masyarakat dan juga faktor kebudayaan termasuk agama. Dalam penelitian ini, dari seluruh faktor yang memengaruhi penyesuaian sosial di sekolah, peneliti lebih menyoroti faktor emosi dan pembiasaan diri siswa di sekolah. Faktor belajar dan pembiasaan diri siswa di sekolah adalah salah satu faktor yang memengaruhi penyesuaian siswa di sekolah. Siswa di sekolah X tidak seluruhnya mengikuti pendidikan di jenjang secondary sejak awal (F1). Dari 60 siswa secondary school yang tersebar di empat tingkatan kelas, 19 siswa adalah siswa pindahan, sehingga proses pembiasaan dan pembelajaran di lingkungan baru akan berbeda dengan siswa yang sudah lama mengikuti pendidikan di sekolah X. Dari faktor internal yang memengaruhi penyesuaian sosial di sekolah, peneliti akan menyoroti lebih dalam pada masalah emosi, karena beberapa anak tidak mampu untuk menemukan landasan emosional dan sosial yang solid sesuai dengan tahapan perkembangan mereka. Ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dapat menyebabkan kesulitan untuk siswa itu sendiri dan lingkungan di sekitar mereka (Sumi, Marder, Wagner, 2005). Dari masalah emosional yang muncul seperti ketidakmampuan untuk mengidentifikasi emosi diri dan emosi orang di sekitar siswa, pengekspresian emosi yang tidak tepat, dan ketidakmampuan meregulasi emosi menunjukkan bahwa siswa memiliki permasalahan kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memahami secara akurat, menilai, dan mengekspresikan emosi; menggunakan emosi untuk memandu proses berpikir; kemampuan untuk memahami emosi dan pengetahuan emosional serta kemampuan untuk mengatur emosi untuk untuk mengatasi permasalahan (problem-solving) (Salovey, Mayer, 1997).

13 Kecerdasan emosional menurut Salovey dan Mayer (1997) dibagi menjadi empat cabang, (1) Kemampuan untuk memersepsi, menilai, dan mengekspresikan emosi secara akurat, (2) menggunakan emosi untuk memandu proses berpikir, (3) memahami dan menganalisis berbagai macam emosi, dan (4) regulasi emosi untuk mengatasi permasalahan (problemsolving). Secara keseluruhan, jika siswa memiliki derajat kecerdasan emosional yang tinggi, siswa akan mampu untuk akan menunjukkan perilaku penyesuaian sosial yang sesuai dengan tuntutan sekolah. Siswa akan menaati peraturan, berbicara dengan sopan terhadap kepala sekolah, guru, dan staf. Siswa juga akan dengan lapang dada menerima konsekuensi atau hukuman apabila mereka melakukan kesalahan, siswa juga akan menunjukkan sikap yang antusias dan memiliki keingintahuan yang kuat. Siswa akan memiliki pandangan yang positif mengenai program yang dirancang sekolah dan akan mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Siswa akan menunjukkan sikap yang ramah, supel, mudah bergaul, dan mampu menjadi pendengar yang baik. Siswa akan mampu membina relasi yang sehat dengan teman sebayanya, junior maupun senior juga guru dan staf. Siswa akan mengikuti proses pendidikan dengan sungguh-sungguh. Siswa juga akan menyadari tanggung jawabnya sebagai seorang siswa, dalam hal ini mengerjakan tugas yang diberikan dengan tepat waktu, atau pun menerima tugas yang diberikan secara mendadak oleh guru. Siswa akan berusaha untuk membantu sekolah dalam merealisasikan tujuan sekolah dan mengharumkan nama sekolah dengan berprestasi di luar sekolah dalam berbagai bidang dan tingkatan. Siswa yang memiliki derajat kecerdasan emosional yang rendah akan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah. Siswa akan cenderung mengkritisi dan mengkonfrotasi ototiras yang ada di sekolah dan tidak mematuhi aturan sekolah dan perkataan guru, tidak bersemangat atau pun kurang responsif dalam mengikuti kegiatan di sekolah,

14 bersikap menggurui (bossy), egois, agresif, dan banyak menuntut (demanding) terhadap teman-temannya atau pun kepada guru, acuh dan cenderung akan mengabaikan tugas-tugas yang diberikan kepada siswa, serta bersikap pasif dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Berikut bagan kerangka pemikiran hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial di sekolah di sekolah internasional X kota Bandung adalah sebagai berikut:

15 Kecerdasan Emosional Siswa secondary school sekolah 1. Persepsi, penilaian, dan ekspresi emosi. 2. Menggunakan emosi dalam memandu proses berpikir. 3. Memahami dan menganalisis emosi, menggunakan pengetahuan emosional. 4. Regulasi emosi untuk mendukung perkembangan emosional dan intelektual. Penyesuaian Sosial di Sekolah 1. Menerima dan menghargai otoritas 2. Berpartisipasi dalam aktivitas sekolah 3. Membina relasi yang sehat dengan teman sebaya, guru, dan staf di sekolah 4. Menerima batasan dan tanggung jawab 5. Membantu merealisasikan tujuan sekolah Faktor internal: - Kematangan dan perkembangan: Intelektual, social, moral, emosi - Psikologis: pengalaman, pembiasaan Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir

1.6 Asumsi Penelitian Siswa secondary school di Sekolah Internasional X melakukan penyesuaian sosial di sekolah dengan cara yang beragam sesuai dengan derajat kecerdasan emosionalnya. Kecerdasan emosional akan tercermin melalui kemampuan siswa untuk mengelola penyesuaiannya dan memanifestasikannya ke lingkungan. 1.7 Hipotesis Penelitian Menjawab identifikasi masalah sebelumnya, dari studi ini peneliti mengajukan hipotesis berupa adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial di sekolah pada siswa secondary school di Sekolah Internasional X Kota Bandung.