BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA CYBERCRIME. A. Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime.

dokumen-dokumen yang mirip
Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

Pembahasan : 1. Cyberlaw 2. Ruang Lingkup Cyberlaw 3. Pengaturan Cybercrimes dalam UU ITE

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA CYBER CRIME (MAYANTARA)

TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIA SOSIAL Oleh : Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK [LN 2008/58, TLN 4843]

BAB I PENDAHULUAN. tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin

MELINDUNGI PENGGUNA INTERNET DENGAN UU ITE

JURNAL ILMIAH TINJAUAN TENTANG CYBER CRIME YANG DIATUR DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

BAB II KEJAHATAN PEMBOBOLAN WEBSITE SEBAGAI BENTUK KEJAHATAN DI BIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Seminar Nasional IT Ethics, Regulation & Cyber Law III

Keamanan Sistem Informasi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN

BAB II PENGATURAN KEJAHATAN INTERNET DALAM BEBERAPA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku

ANALISIS KASUS CYBERCRIME YANG TERPUBLIKASI MEDIA KASUS PENANGKAPAN WNA YANG DIDUGA KELOMPOK CYBERCRIME INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. melalui kebijakan hukum pidana tidak merupakan satu-satunya cara yang. sebagai salah satu dari sarana kontrol masyarakat (sosial).

Makalah Kejahatan E-Commerce "Kasus Penipuan Online" Nama : Indra Gunawan BAB I PENDAHULUAN

Carding KELOMPOK 4: Pengertian Cyber crime

I. PENDAHULUAN. dan media elektronik yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Perpustakaan LAFAI

Penyalahgunaaan TIK serta Dampaknya

Bab 2 Etika, Privasi

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

BAB II KAJIAN HUKUM TENTANG DELIK PENIPUAN

BAB III TINDAKAN PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK PADA JEJARING SOSIAL DI MEDIA INTERNET. Kemajuan teknologi sangat potensial terhadap munculnya berbagai

15 Februari apa isi rpm konten

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENUNJUK UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB III PENUTUP. Setelah melakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh. guna menjawab permasalahan yang diteliti, maka pada bab ini

SINERGI KAWAL INFORMASI UNTUK MENANGKAL BERITA HOAX

I. PENDAHULUAN. hukum tentang kejahatan yang berkaitan dengan komputer ( computer

I. PENDAHULUAN. Kemajuan iptek dan globalisasi membawa kemudahan dan kemanfaatan kepada

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Cyber Crime. Ade Sarah H., M.Kom

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

cybercrime Kriminalitas dunia maya ( cybercrime

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SEBAGAI TINDAK PIDANA NON KONVENSIONAL.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP CYBERBULLYING TAHUN 2016 TENTANG ITE

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI Universitas Mercu Buana Yogyakarta Program Studi : 1. Teknik Informatika

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG - UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

Rancangan Undang Undang Nomor Tahun Tentang Tindak Pidana Di Bidang Teknologi Informasi DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sadar bahwa mereka selalu mengandalkan komputer disetiap pekerjaan serta tugastugas

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEJAHATAN CYBER CRIME DI INDONESIA. Oleh : Dheny Wahyudi 1. Abstract

N. Tri Suswanto Saptadi. Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Informasi Universitas Atma Jaya Makassar. 3/30/2014 nts/epk/ti-uajm 2

Widaningsih 1 Abstrak

Lex Crimen Vol. III/No. 3/Mei-Jul/2014

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015

MATERI MUATAN REGULASI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UU no.11/2008 Inf Transaksi Elk Pertemuan ke-8

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

[ Cybercrime ] Presentasi Kelompok VI Mata Kuliah Etika Profesi STMIK El-Rahma Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

MAKALAH UU ITE DI REPUBLIK INDONESIA

Bab XXV : Perbuatan Curang

BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PENYADAPAN DATA PRIBADI PENGGUNA INTERNET MELALUI MONITORING AKTIVITAS KOMPUTER DIHUBUNGKAN DENGAN

PERANAN PEMERINTAH DALAM PENEGAKAN HUKUM PELANGGARAN INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DI INDONESIA

Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Dan Komputer PERBANAS. Cyber Law Drafting. Kuliah Sessi 4: Prosedural dan Kelembagaan

Oleh Prihatin Effendi ABSTRAK. a. PENDAHULUAN

PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN BERITA PALSU (HOAX) MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Susianto 1

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA DALAM HUKUM PIDANA POSITIP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya.

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

HUKUM TELEMATIKA (CYBER CRIME LAW) RUSSEL BUTARBUTAR, SH.,ST.,MH.,MM

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tempat Terjadinya Tindak Pidana ( Locus Delicti )

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi informasi memegang peran yang penting baik di masa kini,

Ancaman UU ITE terhadap Pengguna Media Sosial

JURNAL ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh Sidang Ujian Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN CYBERCRIME (CRIMINAL LAW POLICY IN PREVENTING CYBERCRIME)

POIN PENTING DALAM UU ITE

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya internet yang dapat

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

N. Tri Suswanto Saptadi. Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Informasi Universitas Atma Jaya Makassar. 4/7/2014 nts/epk/ti-uajm 2

Pelanggaran Kode Etik Dalam Dunia Informatika Universitas Mercubuana Yogyakarta

MODEL PENGATURAN INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

PERSEPSI MAHASISWA FKIP UNIVERSITAS SYIAH KUALA TERHADAP PELAKSANAAN UU NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRAKSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

Transkripsi:

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA CYBERCRIME A. Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime. Dunia maya (cyberspace) adalah media yang tidak mengenal batas, baik batas-batas wilayah maupun batas kenegaraan. Kejahatan dalam dunia maya (cybercrime) dapat diartikan sebagai jenis kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan media internet sebagai alat untuk menjalankan aksinya, kejahatan ini (cybercrime) bisa dikatakan dilakukan tanpa ada kekerasan dan sedikit melibatkan kontak fisik dikarenakan memanfaatkan jaringan telematika (telekomunikasi, media dan informatika). 27 Oleh karena kejahatan duniamaya (cybercrime) menggunakan teknologi dan jaringan internet sebagai alat bantunya, jelas bahwa tindak kejahatan dunia maya tersebut dapat dilakukan dimana saja, kapan saja serta berdampak kemana saja yang seakan-akan tidak memiliki batas (borderless). Keadaan seperti itu mengakibatkan pelaku kejahatan, korban, tempat terjadinya perbuatan pidana (locus delicti) serta akibat yang ditimbulkannya dapat terjadi dimana saja bahkan hingga melintasi antar Negara. 28 Dalam mengantisipasi suatu tindak kejahatan sudah pasti harus melalui suatu penelitian yang akhirnya menghasilkan suatu peraturan dan selanjutnya harus dipatuhi oleh khalayak ramai, begitu pula dalam pembentukan tentang aturan Pidana dalam mengantisipasi suatu tindak kejahatan khususnya kejahatan 27 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op cit, hlm 20 28 Josua Sitompul, Op cit, hlm 136

dunia maya (Cybercrime). Oleh karena itu penulis mencoba mengidentifikasi bentuk-bentuk kejahatan yang berkaitan dengan teknologi dan jaringan internet dengan perundang-undangan pidana yang ada kedalam delik-delik KUHP sebagai berikut: 1. Joycomputing, diartikan sebagai perbuatan seseorang yang mengunakan komputer secara tidak sah atau tanpa izin dan menggunakannya melampaui wewenang yang diberikan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian (pasal 362 KUHP) 2. Hacking, diartikan sebagai suatu perbuatan penyambungan dengan cara menambah terminal komputer baru pada sistem jaringan komputer tanpa izin (dengan melawan hukum) dari pemilik sah jaringan komputer tersebut. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbuatan tanpa wewenang masuk dengan memaksa kedalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan atau tanpa haknya berjalan diatas tanah milik orang lain (pasal 167 dan pasal 551 KUHP) 3. The Trojan Horse, diartikan sebagai suatu prosedur untuk menambah, mengurangi atau mengubah instruksi pada sebuah program, sehingga program tersebut selain menjalankan tugas yang sebenarnya juga akan melaksanakan tugas lain yang tidak sah. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan (pasal 372 dan pasal 374 KUHP). Apabila kerugian yang ditimbulkan menyangkut keuangan Negara, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi

4. Data Leakage, diartikan sebagai pembocoran data rahasia yang dilakukan dengan cara menulis data-data rahasia tersebut kedalam kode-kode tertentu sehingga data dapat dibawa keluar tanpa diketahui oleh pihak yang bertanggung jawab. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap keamanan Negara (pasal 112, pasal 113 dan pasal 114 KUHP) dan tindak pidana membuka rahasia perusahaan atau kewajiban menyimpan rahasia profesi atau jabatan (pasal 322 dan pasal 323 KUHP) 5. Data diddling, diartikan sebagai suatu perbutan yang mengubah data valid atau sah dengan cara yang tidak sah, yaitu dengan mengubah input data. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan surat pasal 236 KUHP) 6. Penyia-nyiaan data komputer, diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan suatu kesengajaan untuk merusak atau menghancurkan media penyimpanan sejenis lainnya yang berisikan data atau program komputer, sehingga akibat perbuatan tersebut data atau program yang dimaksud menjadi tidak berfungsi lagi dan pekerjaan-pekerjaan yang melalui program komputer tidak dapat dilaksanakan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perusakan barang (pasal 406 KUHP) 7. Pornografi di internet, diartikan sebagai perbuatan mempertontonkan, menyajikan (gambar atau video) dan menyebarluaskan melalui internet suatu aktifitas seksual atau tidak senonoh. Tindakan atau perbuatan tersebut dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesopanan (pasal 281 dan pasal 282 KUHP) atau jika dilakukan ditempat umum atau

diperlihatkan kepada anak yang masih dibawah umur dalam hal menyajikan bentuk-bentuk pornografi maka dikategorikan sebagai pelanggaran tentang kesopanan (pasal 533). 8. Penipuan melalui media internet, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara membuat suatu pemberitahuan palsu dan menyesatkan atau bertindak sebagai orang lain secara tidak sah dan melakukan penipuan melalui internet atau sms. Maka perbuatan itu masuk kedalam kategori tindak pidana penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP. Menurut buku I KUHP, yurisdiksi penerapan hukum pidana meliputi keberlakuan hukum pidana menurut waktu dan menurut tempat. Keberlakuan hukum pidana menurut waktu diatur dalam pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHP 29. Didalam Bab I KUHP tersebut ditemukan asas ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu yang terdiri atas asas mengenai berlakunya hukum pidana pada waktu delik terjadi atau dilakukan dan Pasal 1 ayat (1) dikenal dengan asas lex temporis delicti atau asas non-retroaktif, asas mengenai berlakunya hukum pidana pada waktu perubahan Undang-undang atau dalam masa transisi dimuat dalam Pasal 1 ayat (2) yang juga dikenal dengan asas retroaktif. 30 Berdasarkan pengategorian tindak kejahatan dunia maya (cybercrime) kedalam delik-delik KUHP diatas, secara substansi Pasal-pasal dalam KUHP 29 Pasal 1 ayat (1): Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam Undang-undang, yang terlebih dahulu dari perbuatan itu. Ayat (2): jikalau Undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. 30 Maskun, Kejahatan Siber, Cybercrime suatu pengantar, (Kencana, Makasar: 2013), hlm. 18-19

dapat saja diupayakan untuk mengakomodasikan modus kejahatan komputer, namun permasalahan yang sering kali muncul adalah relevansi Pasal-pasal tersebut dengan kejahatan yang berkembang sekarang khususnya kejahatan yang terjadi di dunia maya (cybercrime). Jika melihat kepada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap tindak pidana di dunia maya (cybercrime) yang bersifat Transnasional, 31 masih memiliki kekurangan dalam hal yurisdiksi 32 karena perkembangan yang cepat dibidang ilmu dan teknologi telah mengakibatkan semakin tingginya mobilitas manusia baik secara nasional maupun internasional. Berhubung hampir setiap manusia adalah Warganegara dari suatu Negara yang berdaulat, maka peningkatan mobilitas manusia tersebut banyak menimbulkan masalah berkaitan dengan yurisdiksi ekstrateritorial suatu Negara. Oleh sebab itu KUHP dikatakan masih memiliki kekurangan dikarenakan aturan berlakunya hanya sebatas territorial-nya saja atau tempat dimana berlakunya suatu aturan Pidana tersebut, karena berlakunya suatu Undang-undang pidana suatu Negara digantungkan kepada tempat di mana suatu perbuatan pidana dilakukan 33. Melihat kepada prinsip nasional aktif dan nasional pasif, maka suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku baik di luar negeri maupun di dalam negeri harus melihat kepada status kewarganegaraannya dalam hal ini pelaku agar dapat dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku kepadanya (prinsip nasional 31 Transnasional adalah suatu gebrakan sosial yang tumbuh dikarenakan meningkatnya interkonektifitas antar manusia diseluruh Dunia yang semakin memudarkan batas-batas antar Negara perkembangan telekomunikasi khususnya internet, migrasi penduduk dan terutama globalisasi yang menjadi pendorong perkembangan transnasionalisme ini. 32 Yurisdiksi adalah wilayah atau daerah tempat berlakunya suatu Undang-undang yang berdasarkan hukum. 33 P.A.F Lamintang, Op cit, hlm. 89

aktif). 34 Begitu juga kepada korban yang merasa dirugikan, menurut prinsip nasional pasif maka agar dapat diberikan perlindungan hukum kepada korban harus terlebih dahulu diketahui apakah status korban adalah warga Negara tempat terjadinya peristiwa pidana atau bukan. Setelah diketahui maka akan diberikan perlindungan hukum dan jika diketahui bahwa korban bukan merupakan warga Negara pada tempat peristiwa pidana yang terjadi kepadanya, maka korban harus kembali kepada Negara asalnya untuk meminta perlindungan hukum atas peristiwa pidana yang terjadi padanya (prinsip nasional pasif). 35 Keberlakuan Undang-undang Pidana yang tercantum pada KUHP didasarkan pada asas-asas yang berlaku secara internasional, antara lain asas territorial, asas nasional aktif dan asas nasional pasif. Dalam perkembangan penerapannya, asas teritorialitas ini memiliki keterbatasan untuk menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana diluar wilayah suatu Negara. Oleh karena itu, banyak Negara menambahkan asas lain agar perundang-undangan pidananya tetap berlaku dalam kondisi-kondisi yang tidak dapat dijangkau dengan asas teritorialitas, khususnya dalam kondisi dimana pelaku tidak dapat hadir dalam wilayah Negara yang bersangkutan. Asas ini dikenal dengan asas ekstrateritorial. Asas ekstrateritorial ini diwujudkan dalam Pasal 4 KUHP dan Pasal 5 KUHP. Pasal 4 KUHP memuat asas nasional pasif tentang pemberlakuan Undang-undang pidana Indonesia kepada setiap orang baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana diluar 34 P.A.F Lamintang, Op cit, hlm. 90 35 Ibid, hlm. 91

wilayah hukum Indonesia namun melanggar kepentingan Indonesia, Pasal 5 KUHP mengandung asas nasionalitas aktif yaitu perundang-undangan pidana Indonesia berlaku kepada setiap warga Negara Indonesia dimanapun ia berada. Namun begitu juga hukum pidana Indonesia telah mengalami perluasan dalam hal batas-batas keberlakuannya baik dalam negeri maupun luar negeri atau disebut ekstrateritorial dengan adanya dukungan dari Undang-undang yang mengatur tentang asas ekstrateritorial salah satunya yaitu Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Karena cyberspace adalah merupakan dunia virtual yang lokasinya sulit untuk ditemukan tetapi dapat dikunjungi oleh berjuta pengguna yang tersebar di seluruh dunia setiap saat. 36 B. Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Cybercrime yang Diatur Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi yang menyebabkan semakin beragamnya suatu tindak pidana khususnya di dunia maya atau lebih dikenal dengan sebutan cybercrime yang tidak sepenuhnya dapat dicegah dengan aturan pidana konvensional atau yang tertera pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maka, rancangan pengaturan hukum mengenai cybercrime mulai dibahas sejak tahun 2003 oleh Kementrian Negara Komunikasi dan Informatika dan pada tanggal 21 April 2008 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) secara resmi disahkan. 37 Dalam pemberlakuannya UU ITE 36 Josua sitompul, Op cit, hlm. 136 37 Ibid, hlm. 135

menganut asas ekstrateritorial yang dicantumkan dalam pasal 2 yang berbunyi Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. 38 Pasal tersebut diatas tidak hanya menjelaskan prinsip teritorialitas bahwa Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum dalam wilayah Indonesia, tetapi juga memperluas ruang lingkup pengaturan prinsip ekstrateritorial yang diatur dalam KUHP. Pasal 2 UU ITE memperluas cakupan asas ekstrateritorial nasionalitas dalam KUHP dengan menambahkan kepentingan-kepentingan Nasional baik asas nasionalitas pasif yang dijelaskan dalam pasal 4 KUHP maupun asas nasionalitas aktif yang dijelaskan dalam pasal 5 KUHP serta dilindungi berdasarkan UU ITE. Kepentingan Negara Indonesia yang diatur dalam Pasal 4 KUHP ialah sebagai berikut: Ke-1. Salah satu kejahatan tersebut pasal-pasal: 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127 dan 131 Ke-2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan olrh Pemerintah Indonesia 38 Undang-undang No. 11 Tahun 2008, Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Ke-3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu Daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut diatas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah tulen tidak dipalsukan Ke-4. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan pasal 446, tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. 39 Kepentingan nasional yang diperluas dalam UU ITE yaitu meliputi tetapi tidak terbatas pada perbuatan-perbuatan yang merugikan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan Negara, kedaulatan Negara, warga Negara, serta badan hukum Indonesia. Maksudnya adalah, perbuatan pidana yang diatur dalam UU ITE jika dilakukan oleh warga Negara asing diluar wilayah hukum Indonesia dan memiliki akibat hukum diluar wilayah hukum Indonesia tetap dapat dipidana berdasarkan aturan UU ITE sepanjang perbuatan tersebut melanggar kepentingan nasional yang diatur dalam Undang-undang ini. 39 R. Soesilo, Op cit., hlm. 32

Sebagai contoh seorang Warga Negara Amerika Serikat memiliki akun di blogspot, 40 dan ketika berada di negaranya, ia menuliskan dalam blog-nya informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Dalam kasus tersebut, Warga Negara Amerika Serikat dapat dipidana berdasarkan pasal 28 ayat (2) UU ITE karena meskipun perbuatan penulisannya dilakukan di Amerika Serikat, tetapi memiliki akibat hukum untuk Indonesia mengingat blog-nya dapat dibaca di Indonesia dan targetnya adalah warga Negara Indonesia. Dalam hal ini, tidak hanya Negara Indonesia yang memiliki kepentingan atas perbuatan atau akibat tindak pidana, dan atas pelaku, tetapi juga Negara lain yang terkait. Meskipun warga Negara Amerika Serikat yang melakukan tindak pidana cyber berdasarkan Undang-undang Indonesia dari negaranya, belum tentu isi blog yang dimaksud merupakan tindak pidana di Negara Amerika Serikat dan belum tentu Negara bersangkutan akan menyerahkan warga negaranya untuk diproses di Indonesia. Namun, bentuk lain penerapan dari akibat perbuatan hukum yang dilarang hadir di wilayah Indonesia terdapat dalam pasal 37 UU ITE. 41 Pasal ini ditujukan terhadap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 s.d. Pasal 36 diluar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Dengan 40 Blogspot adalah merupakan suatu wadah yang terdapat di dunia maya yang berfungsi sebagai catatan atau buku harian dan bisa saja digunakan untuk tempat berbisnis ( www.updatekeren.com/2012/12/pengertian-blog.html) diakses pada tanggal, 07-April-2014, jam, 01:09 wib 41 Pasal 37 UU ITE Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.

kata lain, yang menjadi objek tindak pidana dalam Pasal 27 s.d. Pasal 36 tersebut adalah Sistem Elektronik yang berada di Indonesia. Oleh karena itu, setiap orang yang melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 27 s.d. pasal 36 di luar Indonesia, sepanjang ditujukan kepada sistem elektronik Indonesia, dapat dipidana berdasarkan UU ITE. Hal tersebut merupakan maksud dari memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU ITE. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Warga Negara Amerika Serikat yang telah membuat rasa kebencian atau permusuhan antar individu atau kelompok masyarakat Indonesia melalui sistem elektronik, dapat dikenai aturan Pidana. Selain hal tersebut, unsur memiliki akibat hukum diwilayah hukum Indonesia juga dimaksudkan untuk memperluas asas nasionalitas aktif dan memperluas keberlakuan UU ITE. Berdasarkan pasal 2 UU ITE tersebut diatas ketentuan-ketentuan tindak Pidana dunia maya sebagaimana dimaksud dalam BAB VII tentang Perbuatan Yang Dilarang pasal 27 s/d pasal 37 UU ITE beserta ancaman-ancaman pidananya berlaku bagi: 42 1. Orang (yaitu orang perseorangan, baik warga Negara Indonesia, warga Negara asing, maupun badan hukum) dalam wilayah Negara Indonesia, atau 2. Orang (WNI, WNA, badan hukum) diluar wilayah hukum Indonesia dan perbuatan tersebut: a. Memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia, atau b. Memliki akibat hukum diluar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. 42 Josua Sitompul, Op cit, hlm 147

Perumusan keberlakuan UU ITE dalam pasal 2 juga mengakomodir teori-teori locus delicti yang berlaku di Indonesia. Secara umum, teori locus delicti dalam ilmu hukum pidana dan yurisprudensi yang ada ialah: a. Teori perbuatan materiil (leer van de lichamelijke daad) Menurut teori ini, yang menjadi locus delicti ialah tempat dimana pelaku melakukan perbuatan-perbuatan yang kemudian dapat menimbulkan tindak pidana yang bersangkutan. Dengan kata lain, locus deilcti ialah tempat dimana perbuatan yang perlu ada supaya tindak pidana dapat terjadi. Dengan demikian, waktu dan tempat delik ialah sama. Kelemahannya ialah teori ini tidak membawa penyelesaian dalam hal delik materil b. Teori alat yang dipergunakan (leer van het instrument) Menurut teori alat yang dipergunakan, tempat tindak pidana dilakukan ialah ditempat alat yang dipergunakan pelaku menyelesaikan tindak pidana. Alat tersebut dianggap sebagai perpanjangan tangan dari pelaku, sehingga dimana alat tersebut bekerja disitu pula pelaku dianggap berada c. Teori akibat (leer van het gevolgt) Menurut teori ini, lucos delicti ialah tempat akibat yang dilarang dari suatu tindak pidana muncul. Perluasan asas-asas ini dimaksudkan untuk mengantisipasi metode atau cara melakukan kejahatan dalam dunia maya yang memanfaatkan karakteristik ruang virtual, selain itu, pengaturan ini juga memberikan dasar hukum bagi Pemerintah Indonesia unruk memberikan bantuan hukum kepada Negara lain dalam

menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan tindak pidana cybercrime. Perbuatan pidana yang diatur dalam UU ITE BAB VII tentang perbuatan yang dilarang, perbuatan-perbuatan tersebut dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok sabagai berikut: 43 1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal, yaitu : a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten illegal, yang terdiri dari: Kesusilaan 44 Perjudian 45 Penghinaan atau pencemaran nama baik 46 Pemerasan atau pengancaman 47 Berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen 48 Menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA 49 Mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. 50 b. Dengan cara apapun melalui akses illegal 51 c. Intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan system elektronik. 52 2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu: 43 Ibid., hlm. 148 44 Pasal 27 ayat (1) UU ITE. 45 Pasal 27 ayat (2) UU ITE. 46 Pasal 27 ayat (3) UU ITE. 47 Pasal 27 ayat (4) UU ITE. 48 Pasal 28 ayat (1) UU ITE. 49 Pasal 28 ayat (2) UU ITE. 50 Pasal 29 UU ITE. 51 Pasal 30 UU ITE. 52 Pasal 31 UU ITE.

a. Gangguan terhadap informasi atau dokumen elektronik (data interference) 53 b. Gangguan terhadap system elektronik (system interference). 54 3. Tindak pidana memfasilitasiperbuatan yang dilarang 55 4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik 56 5. Tindak pidana tambahan (accesoir), 57 dan 6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana. Dengan luasnya dalam hal Undang-undang yang mengatur tentang peraturan pidana khususnya dibidang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat mengantisipasi dan mengurangi perkembangan kejahatan dunia maya (Cybercrime). 58 53 Pasal 32 UU ITE. 54 Pasal 33 UU ITE. 55 Pasal 34 UU ITE. 56 Pasal 35 UU ITE. 57 Pasal 36 UU ITE. 58 Pasal 52 UU ITE.