TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu. Pengumpulan Data

BAHAN AJAR : PERHITUNGAN KEBUTUHAN TANAMAN

I. PENDAHULUAN. jagung adalah kedelai. Kedelai juga merupakan tanaman palawija yang memiliki

BAB II DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Hidrologi Curah hujan rata-rata DAS

ESTIMASI NERACA AIR DENGAN MENGGUNAKAN METODE THORNTHWAITE MATTER. RAHARDYAN NUGROHO ADI BPTKPDAS

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Air Tanaman 1. Topografi 2. Hidrologi 3. Klimatologi 4. Tekstur Tanah

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013 di

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Matakuliah : S0462/IRIGASI DAN BANGUNAN AIR Tahun : 2005 Versi : 1. Pertemuan 2

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

DAFTAR ISI. 1.2 RUMUSAN MASALAH Error Bookmark not defined. 2.1 UMUM Error Bookmark not defined.

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

ANALISA NERACA AIR LAHAN WILAYAH SENTRA PADI DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

NERACA AIR METEOROLOGIS DI KAWASAN HUTAN TANAMAN JATI DI CEPU. Oleh: Agung B. Supangat & Pamungkas B. Putra

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

Evapotranspirasi. 1. Batasan Evapotranspirasi 2. Konsep Evapotranspirasi Potensial 3. Perhitungan atau Pendugaan Evapotranspirasi

OPTIMASI FAKTOR PENYEDIAAN AIR RELATIF SEBAGAI SOLUSI KRISIS AIR PADA BENDUNG PESUCEN

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Daerah Aliran Sungai

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

OPTIMASI PEMANFAATAN AIR BAKU DENGAN MENGGUNAKAN LINEAR PROGRAMMING (LP) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU, BANTEN. OLEH : MIADAH F

AIALISIS PEMANFAATAN AIR IIUGASI II DlVISI PENGAIRAN TENSAH KARAWANG PERUM OTOIUTA JATlLUHUR

ABSTRAK. Kata kunci : Saluran irigasi DI. Kotapala, Kebutuhan air Irigasi, Efisiensi. Pengaliran.

ABSTRAK. Kata kunci: Waduk Muara Nusa Dua, Pola Operasi, Debit Andalan, Kebutuhan air baku, Simulasi

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SIKLUS HIDROLOGI 2.2 DAERAH ALIRAN SUNGAI

STUDI POLA LENGKUNG KEBUTUHAN AIR UNTUK IRIGASI PADA DAERAH IRIGASI TILONG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab III TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS KELOMPOK REKAYASA IRIGASI I ARTIKEL/MAKALAH /JURNAL TENTANG KEBUTUHAN AIR IRIGASI, KETERSEDIAAN AIR IRIGASI, DAN POLA TANAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det

Dr. Ir. Robert J. Kodoatie, M. Eng 2012 BAB 3 PERHITUNGAN KEBUTUHAN AIR DAN KETERSEDIAAN AIR

PERENCANAAN KEBUTUHAN AIR PADA AREAL IRIGASI BENDUNG WALAHAR. Universitas Gunadarma, Jakarta

Pengelolaan Air Tanaman Jagung

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

DAFTAR ISI. Halaman JUDUL PENGESAHAN PERSEMBAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR

TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran Umum Daerah Irigasi Ular Kabupaten Serdang Bedagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira.

Studi Kasus Penggunaan Sumber Daya Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Ketibung Kabupaten Lampung Selatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mengairi sawah,ladang,perkebunan dan lain-lain usaha pertanian.usaha

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PADA DAERAH IRIGASI BLANG KARAM KECAMATAN DARUSSALAM KEBUPATEN ACEH BESAR

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Studi Optimasi Pola Tanam pada Daerah Irigasi Warujayeng Kertosono dengan Program Linier

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

OPTIMASI PEMANFAATAN AIR BAKU DENGAN MENGGUNAKAN LINEAR PROGRAMMING (LP) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU, BANTEN. OLEH : MIADAH F

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tebu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

ANALISIS PENENTUAN WAKTU TANAM PADA TANAMAN KACANG TANAH

ANALISIS KEBUTUHAN AIR IRIGASI PADA DAERAH IRIGASI BANGBAYANG UPTD SDAP LELES DINAS SUMBER DAYA AIR DAN PERTAMBANGAN KABUPATEN GARUT

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subak adalah organisasi tradisional dibidang tata guna air dan tata

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK. Kata Kunci : DAS Tukad Petanu, Neraca air, AWLR, Daerah Irigasi, Surplus

HUBUNGAN TANAH - AIR - TANAMAN

ANALISA KEBUTUHAN AIR DALAM KECAMATAN BANDA BARO KABUPATEN ACEH UTARA

DEFINISI IRIGASI TUJUAN IRIGASI 10/21/2013

BAB III LANDASAN TEORI

Dari data klimatologi yang diambil dari stasiun pengamatan Landasan Udara Abdul Rahman Saleh didapatkanlah rata-rata ETo nya adalah 3,77 mm/day.

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air.

A. Metode Pengambilan Data

ANALISIS KEBUTUHAN AIR IRIGASI PADA DAERAH IRIGASI BENDUNG MRICAN1

KAJIAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN ASPEK SUMBERDAYA AIR DI KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT LIBNA CHAIRA

NERACA AIR. Adalah perincian dari masukan (input) dan keluaran (output) air pada suatu permukaan bumi

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

The water balance in the distric X Koto Singkarak, distric Solok. By:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang dihasilkan dibawa oleh udara yang bergerak.dalam kondisi yang

KOMPARASI PEMBERIAN AIR IRIGASI DENGAN SISTIM CONTINOUS FLOW DAN INTERMITTEN FLOW. Abstrak

STUDI SIMULASI POLA OPERASI WADUK UNTUK AIR BAKU DAN AIR IRIGASI PADA WADUK DARMA KABUPATEN KUNINGAN JAWA BARAT (221A)

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam ekonomi Indonesia. Potensi

JURUSAN TEKNIK & MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

ANALISIS KAJIAN METEOROLOGIS KETERSEDIAAN DAN TINGKAT KEKRITISAN AIR DOMESTIK DESA GIRIMOYO, KECAMATAN KARANGPLOSO, KABUPATEN MALANG

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu. Menurut Doorenbos dan Pruitt (1977) dalam perhitungan neraca air, hujan satu titik dan hujan wilayah dapat menggunakan nilai rata-rata selama beberapa tahun pengamatan atau menggunakan peluang melampaui nilai tertentu. Setelah sampai di permukaan perjalanan air hujan akan ditentukan oleh karakteristik permukaan yang meliputi sifat fisik tanah, penutupan vegetasi dan karakteristik air permukaan pada badan air seperti sungai dan cekungan yang menyimpan air. Akhirnya, sebagai keluaran dalam perhitungan neraca air adalah limpasan dan evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah kombinasi antara evaporasi dan penguapan oleh vegetasi. Evapotranspirasi disebut juga pemakaian konsumtif air untuk menunjukkan jumlah air yang dikonsumsi oleh tanaman. Berdasarkan ketersediaan energi dan air, evapotranspirasi yang terjadi pada permukaan tanah terbagi atas evapotranspirasi potensial (PE) dan evapotranspirasi aktual (AE). Konsep neraca air dalam suatu DAS dirumuskan oleh Seyhan (1977) sebagai berikut : P = R + AE ± Δ St...(1) dimana ; P = curah hujan R = limpasan permukaan AE = evapotranspirasi aktual Δ St = perubahan simpanan Apabila neraca air tersebut diterapkan untuk periode rata-rata tahunan, maka Δ St dapat dianggap nol, sehingga surplus air yang tersedia adalah : R = P AE...(2) Jika tanah dalam keadaan cukup air dan vegetasi yang tumbuh di atasnya menutupi seluruh permukaan, maka evapotranspirasi yang terjadi disebut evapotranspirasi potensial (PE). Dalam keadaan demikian besarnya evapotranspirasi ditentukan oleh keadaan cuaca (atmosfer). Keadaan tanah yang makin kering menyebabkan kecepatan evapotranspirasi berada di bawah evapotranspirasi potensial dan disebut evapotranspirasi aktual (AE). Selanjutnya evapotranspirasi pada setiap tanaman dan fase pertumbuhan berbeda-beda akibat kekasaran aerodinamik dan proporsi penutupan tanah, maka dikenal istilah evapotranspirasi acuan (ET 0 ). 8

Metode Thornthwaite-Mather merupakan salah satu metode yang umum digunakan untuk mengetahui neraca air lahan pada suatu DAS. Metode ini memperhitungkan beberapa parameter neraca air dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabular. Dengan metode ini fluktuasi ketersediaan air tanah dari bulan ke bulan dapat diketahui. Nasir (1986, dalam Zulkarnaini, 1995) mengenalkan tiga model neraca air yang didasarkan pada tujuan penggunaannya sebagai berikut : (1) neraca air umum, disusun menurut konsep klimatologi dan bermanfaat untuk mengetahui berlangsungnya periode basah (surplus air) dan periode kering (kekurangan air) pada suatu wilayah secara umum; (2) neraca air lahan (pertanian), yaitu analisis dengan memperhatikan sifat dan perilaku tanah terhadap atmosfer, dan sebagai penunjangnya diperlukan data fisik tanah terutama kandungan air pada tingkat kapasitas lapang dan pada titik layu permanen; serta (3) neraca air lahan tanaman, ruang lingkup pemakaiannya lebih sempit, karena berlaku hanya untuk jenis tanaman tertentu selama periode pertumbuhannya. Selanjutnya disebutkan pula oleh Zulkarnaini (1995) bahwa hasil perhitungan neraca air yang memberikan informasi berupa kadar air tanah, surplus dan defisit air serta limpasan permukaan dapat dimanfaatkan untuk perencanaan sistem usaha tani, yaitu : (1) mempertimbangkan kesesuaian pertanian lahan kering, berdasarkan kandungan air tanahnya; (2) mengatur waktu tanam dan pola tanam; (3) merencanakan pemberian air berdasarkan kebutuhan air dan pertumbuhan serta perkembangan tanaman. Kekeringan dan Indeks Kekeringan Pengertian kekeringan menurut Bapennas (2003) adalah kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan air. Kekeringan merupakan suatu fenomena alam yang tidak bisa dielakkan yakni merupakan variasi normal dari cuaca yang perlu dipahami. Kekeringan menyangkut neraca air antara inflow dan ouflow atau antara presipitasi dan evapotranspirasi. Kekeringan tidak hanya dilihat sebagai fenomena fisik cuaca saja tetapi hendaknya juga dilihat sebagai fenomena alam yang terkait erat dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap air. Lebih jauh, Bappenas juga mengklasifikasikan kekeringan menjadi beberapa kriteria sebagai berikut : a. Kekeringan Meteorologis; berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan. 9

b. Kekeringan Hidrologis; berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. c. Kekeringan Pertanian; berhubungan dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologi. d. Kekeringan Sosial Ekonomi; berkaitan dengan kekeringan yang memberi dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi seperti rusaknya tanaman, peternakan, perikanan, berkurangnya tenaga listrik dari tenaga air, terganggunya kelancaran transportasi air, menurunnya pasokan air baku untuk industri domestik dan perkotaan. e. Kekeringan Hidrotopografi; berkaitan dengan perubahan tinggi muka air sungai antara musim hujan dan musim kering dan topografi lahan. Menurut Sudibyakto (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi kekeringan adalah ketidakmampuan tanah untuk menahan air yang berasal dari air hujan untuk jangka waktu tertentu. Kemampuan tanah menahan air menurut Thornthwaite-Mather (1957, dalam Sudibyakto, 1985) sangat ditentukan oleh jenis tanah (terutama tekstur) dan jenis vegetasinya. Vegetasi yang jenisnya sama apabila tumbuh pada jenis tanah yang berbeda, maka akan mempunyai kedalaman zona perakarannya yang berbeda, sehingga nilai Water Holding Capacity (WHC) atau kapasitas lengas tanahnya juga berbeda. Perbedaan faktor inilah yang dapat menimbulkan kekeringan. Menurut Thornthwaite-Mather (1957, dalam Sudibyakto, 1985) besarnya kekeringan di suatu daerah dirumuskan sebagai indeks kekeringan yang diperhitungkan berdasarkan besarnya curah hujan tahunan dengan besarnya evapotranspirasi potensial tahunan. ILACO (1981, dalam Sudibyakto et al, 1999) mengemukakan bahwa indeks kekeringan (aridity index) merupakan salah satu subvisi dari klasifikasi iklim Thornthwaite. Kebutuhan Air Tanaman dan Irigasi Tanaman membutuhkan air agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Air tersebut dapat berasal dari air hujan maupun air irigasi. Sosrodarsono dan Takeda (1987) mengatakan bahwa kebutuhan air tanaman memiliki pengertian yang sama dengan 10

konsumsi air oleh tanaman yang didefinisikan sebagai banyaknya air yang hilang dari area bervegetasi per satuan luas per satuan waktu yang digunakan untuk transpirasi atau pertumbuhan dan perkembangan serta evaporasi dari permukaan vegetasi dan tanah. Definisi lain kebutuhan air tanaman dikemukakan oleh Doorenbos dan Pruitt (1977), yaitu banyaknya air yang dibutuhkan untuk mengimbangi kehilangan air melalui evapotranspirasi dari tanaman yang tumbuh di lahan yang luas, pada kondisi air tanah dan kesuburan tidak dalam keadaan terbatas, serta dapat mencapai produksi potensial. Kebutuhan air tanaman atau evapotranspirasi tanaman (ETc) dirumuskan oleh Doorenbos dan Pruitt (1977) sebagai perkalian antara evapotranspirasi acuan (ET 0 ) dengan koefisien tanaman (Kc) yang besarnya tergantung dari jenis dan umur tanaman, atau : ETc =Kc x ET 0... (3) dimana ; ETc = evapotranspirasi tanaman (mm) Kc ET 0 = koefisien tanaman = evapotranspirasi acuan (mm) Menurut Brouwer dan Heibloem (1986, dalam Soehadi, 2005) nilai kebutuhan air tanaman yang tinggi akan ditemukan pada daerah yang suhunya tinggi, kelembaban udaranya rendah, berangin dan kondisi langit tidak berawan. Untuk nilai kebutuhan air tanaman yang rendah akan ditemukan pada daerah bersuhu rendah, kelembaban udaranya relatif tinggi, sedikit berangin dan kondisi langitnya berawan. Tabel 1. Indikasi Kebutuhan Air Tanaman Pada Berbagai Kondisi Iklim Faktor Iklim Kebutuhan Air Tanaman Tinggi Rendah Suhu Panas Dingin Kelembaban Udara Rendah (kering) Tinggi (basah) Kecepatan Angin Berangin Sedikit berangin Lama Penyinaran Terang (tidak berawan) Gelap (berawan) Sumber : Brouwer dan Heibloem (1986, dalam Soehadi, 2005) Air irigasi menurut Suroso (2006) adalah sejumlah air yang umumnya diambil dari sungai atau waduk dan dialirkan melalui sistem jaringan irigasi, guna menjaga keseimbangan jumlah air di sawah. Keseimbangan air yang masuk dan keluar dari suatu lahan dapat dilihat dalam Gambar 1. Menurut Gambar 1, sumber air pada suatu lahan pertanian dapat berasal dari air hujan (R) maupun air irigasi (IR), dimana air tersebut kemudian ada yang merembes ke dalam tanah melalui proses perkolasi (P) dan infiltrasi (I), terpakai untuk pengolahan tanah (Pd) dan juga untuk evapotranspirasi (ET). 11

Gambar 1. Keseimbangan air pada suatu lahan (Suroso, 2006) Berdasarkan Gambar 1, maka keseimbangan air pada suatu lahan pertanian dapat dirumuskan sebagai berikut : IR + R = ET + Pd + P&I... (4) atau, IR = (ET + Pd + P&I) - R...(5) dimana ; IR = air irigasi (mm) ET = evapotranspirasi (mm) Pd = kebutuhan air untuk pengolahan tanah (mm) P&I = perkolasi dan infiltrasi (mm) R = curah hujan (mm) Efisiensi penyaluran air irigasi (Ec) adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan besarnya prosentase air irigasi yang dapat digunakan secara efisien dengan sudah termasuk memperhitungkan kehilangan air selama penyaluran (seperti evaporasi, rembesan dan perkolasi). Menurut Schwab et al (1981, dalam Soehadi, 2005) nilai efisiensi penyaluran air irigasi dapat diperhitungkan sebagai berikut : Ec = (Wf / Wr) x 100%... (6) dimana ; Ec = efisiensi penyaluran air irigasi (%) Wf = jumlah air yang sampai di areal pertanian (m 3 ) Wr = jumlah air yang disalurkan (m 3 ) 12

Musim Tanam dan Penyediaan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur Dalam praktek pengelolaan jaringan irigasinya, PJT-II terbagi atas 3 divisi yaitu Divisi Barat, Utara dan Timur yang masing-masing bertanggungjawab atas jaringan irigasi pada Saluran Tarum Barat, Tarum Utara dan Tarum Timur. Daerah irigasi (DI) Jatiluhur seperti yang tergambar dalam peta pada Gambar 2, terbagi atas 5 golongan, yaitu dari golongan I sampai dengan V. Seluruh petak sawah dalam satu golongan mendapatkan jatah air yang sama sesuai dengan kegiatan produksi. Pembagian golongan tersebut diputuskan dalam rapat panitia irigasi yang terdiri dari pihak PJT-II, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan dan wakil petani, dengan mempertimbangkan faktor ketersediaan air, kapasitas saluran irigasi dan kebutuhan air irigasi. Gambar 2. Peta Daerah Irigasi Jatiluhur Hingga saat ini konfigurasi pembagian air menjadi 5 golongan merupakan pilihan terbaik, karena sebelumnya telah pernah dicoba juga dengan 3 golongan, 4 golongan, 6 golongan dan 7 golongan. Saat konfigurasi 3 golongan dan 4 golongan digunakan, ternyata banyak petani yang tidak dapat mengikuti jadwal tanam, sedangkan pada penggunaan 6 golongan dan 7 golongan terjadi banyak pemborosan air irigasi. Setelah melalui berbagai pendekatan kepada petani, sejak tahun 2006 Daerah irigasi Jatiluhur terbagi menjadi 5 golongan seperti saat ini. Pembagian ini juga dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan petani untuk memulai musim tanam dan ketersediaan air irigasi. Dengan 13

diberlakukannya sistem golongan maka semua petak pertanaman dalam satu golongan harus melakukan kegiatan produksi yang sama. Pembagian golongan menentukan perbedaan masa dimulainya pemberian air irigasi dengan selisih interval 15 hari dari satu golongan ke golongan yang selanjutnya. Sebagai contoh MT padi rendeng dimulai pada tanggal 1 Oktober untuk golongan I, tanggal 16 Oktober untuk golongan II, tanggal 1 November untuk golongan III, dan seterusnya. Begitu pula pada saat MT padi gadu. Dengan demikian, masa tanam maupun masa panen padi di daerah irigasi Jatiluhur tidak dilaksanakan secara serempak. Luas lahan pertanian pada tiap golongan tersebut adalah sebagai berikut : golongan I seluas 47.153,5 ha, golongan II seluas 58.113,5 ha, golongan III seluas 56.662,6 ha, golongan IV seluas 64.115,8 ha, dan golongan V seluas 37.574,0 ha. Dalam SK Direksi PJT-II Nomor:1/420/KPTS/2010 dijelaskan bahwa pemberian air irigasi untuk daerah irigasi Jatiluhur di wilayah Pantura Jawa Barat dijadwalkan untuk 3 kali musim tanam (MT) dalam setahun. Yang pertama adalah MT padi rendeng selama 4,5 bulan (awal Oktober sampai dengan pertengahan Pebruari), kemudian MT padi gadu selama 4 bulan (awal Maret sampai dengan akhir Juni) dan MT palawija selama 2 bulan (awal Juli sampai dengan akhir Agustus). Pemberian air akan dihentikan secara serempak pada hari terakhir bulan Agustus. Pengeringan jaringan irigasi ditetapkan selama bulan September dan pelaksanaannya diatur sesuai dengan kebutuhan dalam rangka pemeriksaan berkala, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi. 14