PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan Narkotika sebagai suatu tindak pidana telah memunculkan

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

OLEH : Ni Ketut Arie Setiawati. A.A Gde Oka Parwata. Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

I. PENDAHULUAN. cara untuk memenuhi kebutuhannya. Tentu tidak semua cara untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang kompleks dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

BAB I PENDAHULUAN. terbendung lagi, maka ancaman dahsyat semakin mendekat 1. Peredaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

SKRIPSI. UPAYA REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA OLEH BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNNK/KOTA) PADANG (Studi Kasus di BNNK/Kota Padang)

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

JURNAL TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMIDANAAN TERHADAP PECANDU NARKOTIKA

BAB 1 PENDAHULUAN. dirasakan semakin menunjukkan peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari

TESIS PUTUSAN REHABILITASI DALAM KONSEP PEMIDANAAN DI INDONESIA

PIDANA DAN TINDAKAN TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. oleh

REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

I. PENDAHULUAN. kita mengetahui yang banyak menggunakan narkoba adalah kalangan generasi muda

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA REHABILITASI SEBAGAI IMPLEMENTASI PEMBAHARUAN PIDANA BAGI PENGGUNA NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kepolisian

I. PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia sekarang ini melaksanakan pembaharuan hukum pidana.

I. PENDAHULUAN. 1998, dimana banyak terjadi peristiwa penggunaan atau pemakaian barang-barang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang

BAB V PENUTUP. Penyalahguna magic mushroom dapat dikualifikasikan sebagai. golongan I sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan dengan upaya secara terus

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. sosial dimana mereka tinggal.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemidanaan terhadap Pecandu Narkotika merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan dapat menangkal. tersebut. Kejahatan narkotika (the drug trafficking

I. PENDAHULUAN. peredaran gelap narkoba menyebabkan penyalahgunaan yang makin meluas dan. merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. bius (Chloric Ether atau Chloroform), yang dipergunakan hingga sekarang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMBERIKAN PUTUSAN BERSYARAT TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A PADANG

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan secara terus menerus usaha usaha dibidang pengobatan dan

TESIS EFEKTIVITAS REHABILITASI SEBAGAI HUKUMAN BAGI PENGGUNA NARKOTIKA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN PEREDARAN NARKOTIKA. O l e h :

JURNAL REHABILITASI SOSIAL TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PELAKSANAAN TUGAS INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR DI PUSKESMAS PERKOTAAN RASIMAH AHMAD BUKITTINGGI

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BAGI PENGEDAR DAN PENYALAH GUNA MAGIC MUSHROOM. 3.1 Pertanggungjawaban Hukum Bagi Pengedar Magic Mushroom

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah adalah mahluk sosial yang dianugrahkan suatu kebebasan

KEBIJAKAN NARKOTIKA, PECANDU DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1. adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan

persepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang 2

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan

BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BNN DAN REHABILITASI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PENANGGULANGANNYA

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan

BAB VI PENUTUP. penulis membuat kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah.

NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN BANYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

TESIS. Disusun Dalam Rangka Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister (Strata Dua) Program Magister Ilmu Hukum.

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN Oleh: Oktaphiyani Agustina Nongka 2

No II. anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, perlu diberi landasan hukum ya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

1 PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK Penyalahgunaan narkoba sebagai kejahatan dimulai dari penempatan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika sebagai kejahatan di dalam undangundang, yang lazim disebut sebagai kriminalisasi.tindak pidana penyalahgunaan narkotika dikriminalisasi melalui perangkat hukum yang mengatur tentang narkotika yakni Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Berdasarkan hasil penelitian sistem pemidanaan menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika bahwa melalui rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika, tidak dapat dilepas dari ide yang mendasari perlindungan hukum terhadap korban penyalahguna narkotika. Bahwa dengan diterapkannya ketentuan pasal 54, 56, 103 serta dikaitkan dengan pasal 127 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 oleh hakim dimana didalam ketentuan pasal tersebut mengatur penjatuhan tindakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial terhadap korban penyalahgunaan narkotika. Kata Kunci : Narkotika, Pemidanaan, Rehabilitasi ABSTRACT Drug abuse as a crime starts from the placement and psychotropic drug abuse as a crime in the legislation, which is commonly known as the criminalization of drug abuse criminal. Criminalized through legal instruments governing narcotics that Law No. 35 of 2009 on Narcotics. Based on the research results of criminal system according to Law No. 35 of 2009 on narcotics that through the rehabilitation of victims of drug abuse, can not be removed from the idea underlying the legal protection of victims of drug abusers. That with the implementation of the provisions of Article 54, 56, 103 and is associated with article 127 of Law No. 35 of 2009 by the judge where in the

2 provisions of that article regulate the imposition of measures of medical rehabilitation and social rehabilitation of the victims of drug abuse. Keywords : Narcotics, Criminalization, Rehabilitation A. LATAR BELAKANG Narkotika mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, baik dari sudut medik, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial. Pengguna narkotika dapat merusak tatanan kehidupan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolahnya, bahkan langsung atau tidak langsung merupakan ancaman bagi kelangsungan pembangunan serta masa depan bangsa dan negara Indonesia. Menghadapi permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika mengharuskan pemerintah memikirkan bagaimana cara menanggulangi masalah tersebut, akhirnya pemerintah mengeluarkan Undangundang. Penyalahgunaan narkotika mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, baik dari sudut medik, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial. Penentuan penyalahgunaan Narkoba sebagai kejahatan dimulai dari penempatan penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika sebagai kejahatan di dalam undang-undang, yang lazim disebut sebagai kriminalisasi.tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dikriminalisasi melalui perangkat hukum yang mengatur tentang Narkotika yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dalam putusan Nomor 182/Pid.B/2012/PN.BLK.. Undang-undang ini secara tegas mensyaratkan

3 beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyalahgunaan Narkoba. Beberapa pasal di dalam undang-undang tentang Narkotika yang dikriminalisasi dijadikan sebagai ketentuan hukum tentang perbuatan yang dilarang dan disertai dengan ancaman pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Pelanggaran atas ketentuan hukum pidana biasa disebut sebagai tindak pidana, perbuatan pidana, delik, peristiwa pidana dan banyak istilah lainnya. Terhadap pelakunya dapat diancam sanksi sebagaimana sudah ditetapkan dalam undang-undang. Penerapan sanksi hukum berupa rehabilitasi bagi pecandu dan pemakai sebagai pelaku penyalahgunaan Narkoba akan mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan di samping dapat mengurangi peredaran gelap Narkoba, untuk itu kerangka yurudis yang telah ada di dalam Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 seharusnya digunakan oleh hakim dalam memutus pecandu dan pemakai Narkoba yakni Pasal 54 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 54 Undang-undang Narkotika menyebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalagunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pengguna narkotika dapat merusak tatanan kehidupan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolahnya, bahkan langsung atau tidak langsung merupakan ancaman bagi kelangsungan pembangunan serta masa depan bangsa dan negara Indonesia. Menghadapi permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba mengharuskan pemerintah

4 memikirkan bagaimana cara menanggulangi masalah tersebut, akhirnya pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dengan demikian undang-undang ini diharapkan dapat menekan sekecil-kecilnya tindak kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia, karena itulah di dalam ketentuan peraturan perundangundangan tersebut sanksi pidana sangat berat dibandingkan dengan sanksi dalam undang- undang tindak pidana lainnya. Mencermati perkembangan peredaran dan pemakaian narkotika di kalangan remaja sungguh sangat mengkhawatirkan, karena narkoba jelas mengancam langsung masa depan anak-anak bangsa. Untuk itu, diperlukan suatu kesadaran sosial dalam memerangi peredaran narkoba dengan melibatkan seluruh potensi yang ada mulai dari unsur aparat penegak hukum, birokrasi serta anggota masyarakat bahu membahu dalam sinergi yang berkesinambungan, sehingga generasi muda dapat terhindar dari bujuk rayu untuk mengkonsumsi narkotika. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan Bagaimana pelaksanaan sistem pemidanaan menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika?

5 C. PEMBAHASAN Sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundangundangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan.1 Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan 1. Penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa dalam suatu kasus oleh hakim didasarkan pada berbagai pertimbangan-pertimbangan yang diharapkan dapat memenuhi unsur-unsur yuridis (kepastian hokuma), nilai sosiologis (kemanfaatan), fisiologis (keadilan). Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur diatas secara teoritis harus mendapatkan perhatian secara proposional dan seimbang. Meskipun dalam prakteknya tidak selalu mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap unsur-unsur tersebut. Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi putusan hakim terhadap suatu perkara, dengan apa yang diinginkan masyarakat, biasanya berkisar sejauhmana pertimbangan 1 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: CitraAditya Bhakti, 2002), Hlm. 123

6 unsur yuridis (kepastian hukum) dengan unsur filosofis (keadilan) ditampung didalamnya. Pada dasarnya masalah penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas dua teori. Teori ini biasa disebut teori pemidanaan. Dua teori yang biasa dipakai sebagai bahan rujukan mengenai tujuan pemidanaan, adalah 2 : 1. Teori Retribution atau teori pambalasan; dan 2. Teori Utilitarian atau teori tujuan Pasal 54 Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa Pecandu Narkotika dan korban Penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosia. Sehingga fasilitas rehabilitasi guna keperluan pengobatan dan/atau perawatan bagi pemakai narkotika dilakukan dirumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. Akan tetapi. Hingga sekaran ini di Kabupaten Bulukumba ketentuan tersebut belum ada sehingga hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan hakim untuk tidak memutuskan pemakai narkotika untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan di Rumah Sakit atau panti rehabilitasi tertentu, sebab tanpa adanya peraturan yang menetapkan rumah sakit atau panti rehabilitasi khusus untuk terpidana pemakai narkotika akan membuat jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan tidak mempunyai dasar hukum yang kuat untuk menempatkan terpidana ke dalam rumah sakit atau 2 Hamzah, Andi, 1997, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta :PT. Pradnya Paramita.

7 panti rehabilitasi karena tidak jelas rumah sakit atau panti rehabilitasi mana yang ditunjuk oleh pemerintah. Rehabilitasi adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. 3 Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan 4 Meningkatnya penyalahgunaan narkotika, maka pemerintah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diharapkan gencar mengupayakan rehabilitasi bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika. Apabila dikatakan sebagai korban, maka sudah jelas bahwa seseorang penyalahguna dan pecandu haruslah dijauhkan dari stigma pidana, tetapi harus diberikan perawatan. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ketentuan hukum yang mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur dalam pasal 54, 56,103, dan dikaitkan dengan pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal yang menarik dalam Undang-undang 35 Tahun 2009 tentang narkotika terdapat dalam pasal 103 dimana kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis/ sanksi 3 Pasal 1 angka (17) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 4 Penjelasan Pasal 56 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

8 bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk menjalani rehabilitasi. Pasal 103 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat melakukan dua hal. Pertama, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Kedua, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Secara tersirat kewenangan ini, mengakui bahwa pecandu narkotika, selain sebagai pelaku tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut viktimologi kerap disebut dengan Self Victimization atau Victimless Crime. Sarana dan prasarana untuk rehabilitasi khusus terpidana pemakai narkotika itu harus dibuat terlebih dahulu. Sarana dan prasarana itu harus didukung oleh peraturan yang jelas mengenai anggaran biaya bagi pengobatan dan/atau perawatan terhadap terpidana, standar pengobatan yang diterapkan serta peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan yang secara jelas dan tegas mengatur. Setelah semua itu terbentuk baru hakim dapat memutuskan terpidana pemakai narkotika untuk menjalani rehabilitasi. D. KESIMPULAN

9 Sistem pemidanaan menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika bahwa melalui rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika, tidak dapat dilepas dari ide yang mendasari perlindungan hukum terhadap korban penyalahguna narkotika. Bahwa dengan diterapkannya ketentuan pasal 54, 56, 103 serta dikaitkan dengan pasal 127 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 oleh hakim dimana didalam ketentuan pasal tersebut mengatur penjatuhan tindakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial terhadap korban penyalahgunaan narkotika. Penggunaan sistem pidana minimal dalam UU No. 35 tahun 2009 memperkuat asumsi bahwa UU tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung. DAFTAR PUSTAKA Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: CitraAditya Bhakti. Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2004, Komunikasi Penyuluhan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, Jakarta.

10 Hamzah Andi, 1997, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta :PT. Pradnya Paramita. Undang-Undang Undang-undang No. 35 tahun 2009, tentang Narkotika