Perilaku mikrofilaria Brugia malayi pada subjek Filariasis di Desa Polewali Kecamatan Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara Sulawesi Barat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Proses Penularan Penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 8 No. 2, 2014 : 61-66

PERIODISITAS NON PERIODIK Brugia Malayi DI KABUPATEN TABALONG

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

GAMBARAN PENULARAN FILARIASIS DI PROVINSI SULAWESI BARAT DESCRIPTION OF TRANSMISSION OF FILARIASIS IN WEST SULAWESI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

STUDI ENDEMISITAS FILARIASIS DI WILAYAH KECAMATAN PEMAYUNG, KABUPATEN BATANGHARI PASCA PENGOBATAN MASSAL TAHAP III. Yahya * dan Santoso

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

Analisis Nyamuk Vektor Filariasis Di Tiga Kecamatan Kabupaten Pidie Nanggroe Aceh Darussalam

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP FILARIASIS DI KABUPATEN MAMUJU UTARA, SULAWESI BARAT. Ni Nyoman Veridiana*, Sitti Chadijah, Ningsi

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

EPIDEMIOLOGI FILARIASIS DI DESA SUNGAI RENGIT KECAMATAN TALANG KELAPA KABUPATEN BANYUASIN TAHUN 2006

PEMERIKSAAN MIKROFILARIA DI DUSUN CIJAMBAN KECAMATAN PANUMBANGAN KABUPATEN CIAMIS. Mei Widiati*, Ary Nurmalasari, Septi Nurizki ABSTRACT

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Gambar 3.2 Waktu Penelitian 3.3 Metode Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB I PENDAHULUAN. 1

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik.

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

Filariasis Limfatik di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

Kajian Epidemiologi Limfatikfilariasis Di Kabupaten Sumba Barat (Desa Gaura) dan Sumba Tengah (Desa Ole Ate) Tahun Hanani M.

BAB 4 HASIL PENELITIAN

SURVEI DARAH JARI FILARIASIS DI DESA BATUMARTA X KEC. MADANG SUKU III KABUPATEN OGAN KOMERING ULU (OKU) TIMUR, SUMATERA SELATAN TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Gondanglegi Kulon kecamatan

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PENDIDIKAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS YANG DITENTUKAN BERDASARKAN DISTRIBUSI IGG4 ANTIFILARIA. Biyan Maulana*, Heri Wibowo**

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Risk factor of malaria in Central Sulawesi (analysis of Riskesdas 2007 data)

SOP POMP FILARIASIS. Diposting pada Oktober 7th 2014 pukul oleh kesehatan

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN PEMBERIAN OBAT MASAL PENCEGAHAN KAKI GAJAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WELAMOSA KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE TAHUN ABSTRAK

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT DI RW 1 DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT TENTANG FILARIASIS TAHUN

UPAYA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PRIMER FILARIASIS DI DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG

ANALISIS SITUASI FILARIASIS LIMFATIK DI KELURAHAN SIMBANG KULON, KECAMATAN BUARAN, KABUPATEN PEKALONGAN Tri Wijayanti* ABSTRACT

Yahya* *Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Baturaja Jl. A.Yani KM. 7 Kemelak Baturaja Sumatera Selatan 32111

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

Prevalensi pre_treatment

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

SITUASI FILARIASIS SETELAH PENGOBATAN MASSAL DI KABUPATEN MUARO JAMBI, JAMBI Santoso 1, Yulian Taviv 1

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

Gambaran Diagnosis Malaria pada Dua Laboratorium Swasta di Kota Padang Periode Desember 2013 Februari 2014

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

3 BAHAN DAN METODE. Kecamatan Batulayar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

DI DAERAH ENDEMIS FILARIASIS KECAMATAN PONDOK GEDE, KABUPATEN BEKASI, JAWA BARAT

The occurrence Factor of Filariasis Transmission In Lasung Health Centers Kusan Hulu Subdistrict, Tanah Bumbu Kalimantan Selatan

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Filariasis Pada Masyarakat di Indonesia. Santoso*, Aprioza Yenni*, Rika Mayasari*

Identification of vector and filariasis potential vector in Tanta Subdistrict, Tabalong District

Juli Desember Abstract

Identifikasi Vektor Malaria di Daerah Sekitar PLTU Teluk Sirih Kecamatan Bungus Kota Padang Pada Tahun 2011

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN

Kondisi Filariasis Pasca Pengobatan Massal di Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

Gambaran Angka Prevalensi Mikrofilaria di Kabupaten Banyuasin Pasca Pengobatan Massal Tahap III

CAKUPAN PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2011 FILARIASIS MASS TREATMENT COVERAGE IN DISTRICT SOUTHWEST SUMBA 2011

Study of Society's Knowledge, Attitude andpractic (KAP) about Lymphatic Filariasis in Pabean Village, Pekalongan Utara Sub District, Pekalongan City

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

KEPATUHAN MASYARAKAT TERHADAP PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN BELITUNG TIMUR TAHUN 2008

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa,

Epidemiology of filariasis in Nunukan. Epidemiologi filariasis di Kabupaten Nunukan. Penelitian. Vol. 4, No. 4, Desember 2013

Transkripsi:

ASPIRATOR, 7(2), 2015, pp. 42-47 Hak cipta 2015 - Loka Litbang P2B2 Ciamis Perilaku mikrofilaria Brugia malayi pada subjek Filariasis di Desa Polewali Kecamatan Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara Sulawesi Barat Behavior of Brugia malayi on Filariasis subject in Polewali village Bambalamotu subdistrict North Mamuju West Sulawesi Sitti Chadijah, Rosmini, Yuyun Srikandi Balai Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Donggala, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jl. Masitudju No. 58, Labuan Panimba, Labuan, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia Abstract. Brugia malayi is filarial worm species that is widespread in Indonesia. It is also found in West Sulawesi, particularly in North Mamuju Region. The aim of this research was to describe the microfilarial periodicity of Brugia malayi. This study was conducted in Polewali Village, Bambalamotu District, North Mamuju Region, West Sulawesi Province in 2011. The periodicity study was conducted on the people whom microfilariae positive in their blood. The blood examination was conducted every hour in 24 hours. Night blood survey was collected at from 09.00 until 20.00 local time. Data were analysed using Aikat and Das formula. There were five positive Brugia malayi, with density peak of microfilariae (K) from 23.00 00 until 01.27.00, the variety of microfilariae density (F) showed those cases have the circadian or harmonic, and the periodicity index (D) was more than 100%. The behaviour of Brugia malayi in Polewali Village, Bambalamotu Sub-district, North Mamuju Regency was nocturnal periodic. Keywords: microfilariae periodicity, Brugia malayi, periodic nocturnal Abstrak. Brugia malayi merupakan spesies cacing filaria yang tersebar luas di Indonesia. Di Sulawesi Barat, khususnya di Kabupaten Mamuju Utara ditemukan spesies Brugia malayi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perilaku mikrofilaria B. malayi. Penelitian dilakukan di Desa Polewali, Kecamatan Bambalamotu, Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011. Studi periodisitas dilakukan terhadap orang yang di dalam darahnya positif ditemukan mikrofilaria. Pengambilan dan pemeriksaan darah dilakukan setiap jam selama 24 jam. Pengambilan darah jari dilakukan mulai pukul 09.00 sampai pukul 08.00 waktu setempat. Analisis statistik yang dipergunakan dalam menentukan periodisitas cacing filaria adalah formula Aikat dan Das. Ditemukan lima subjek positif B. malayi dengan puncak kepadatan mikrofilaria (K) dimulai pukul 23.00 00 sampai 01.27 00, variasi kepadatan mikrofilaria (F) menunjukkan bahwa kasus-kasus tersebut memiliki gelombang yang harmonik atau sirkardian, dan indeks periodisitas (D) lebih dari 100%. Perilaku mikrofilaria B. malayi di Desa Polewali, Kecamatan Bambalamotu, Kabupaten Mamuju Utara yaitu periodik nokturna. Kata Kunci: periodisitas mikrofilaria, Brugia malayi, periodik nokturna. Naskah masuk: 28 Mei 2015 Revisi: 2 November 2015 Layak terbit: 3 Desember 2015 Korespondensi: sittichadijah71@gmail.com Telp/Faks: +62(0)82191382613 42

Perilaku B. malayi pada subjek filariasis (Chadijah et al) LATAR BELAKANG Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan saluran kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara dan alat kelamin. 1 Saat ini, lebih dari 1,3 miliar orang di 72 negara berisiko terkena penyakit ini. Sekitar 65% dari mereka yang berisiko terinfeksi tinggal di wilayah Asia Tenggara, dan 30% di Wilayah Afrika, dan sisanya di daerah tropis lainnya. Lebih dari 120 juta orang saat ini telah terinfeksi, dan sekitar 40 juta orang mengalami kecacatan dan lumpuh oleh penyakit ini. 2 Malayan filariasis atau filariasis malayi merupakan sebutan untuk filariasis yang disebabkan oleh infeksi Brugia malayi. B. malayi dapat dibagi dalam 2 varian yaitu yang hidup pada manusia, dan yang hidup pada manusia dan hewan, misalnya kera, kucing, dan lain-lain. 3 Di Sulawesi Barat, khususnya di Kabupaten Mamuju Utara ditemukan spesies B. malayi. 4 B. malayi bersifat zoonosis karena selain ditularkan melalui nyamuk dari manusia ke menusia juga dapat dari hewan (kucing dan primata) ke manusia. 5 Kepadatan mikrofilaria dalam pembuluh darah perifer pada manusia dan hewan menunjukkan perilaku mikrofilaria yang berbeda pada tiga jenis mikrofilaria yaitu W. bancrofti, B. malayi dan B. timori. Perilaku mikrofilaria yang berbeda disebut periodisitas mikrofilaria 6 terdiri dari periodik nokturna, subperiodik nokturna dan non periodik. 3 Periodik nokturna yaitu bila kepadatan mikrofilaria ditemukan tinggi pada malam hari dan hampir tidak ada pada siang hari, sedangkan subperiodik nokturna, apabila mikrofilaria ditemukan sepanjang hari, yang kepadatan mikrofilarianya lebih banyak pada malam hari dibandingkan siang hari. Adapun nonperiodik yaitu mikrofilaria ditemukan sepanjang hari, baik pada siang hari maupun pada malam hari dengan volume yang hampir sama. 6 Perilaku mikrofilaria dalam darah perifer berbeda-beda, hal ini disebabkan karena adanya kadar zat asam dan zat lemas di dalam darah, aktivitas hospes, irama sirkardian, jenis hospes dan jenis parasit, tetapi mekanisme periodisitas mikrofilaria tersebut belum diketahui. 3 Sampai saat belum diketahui perilaku B. malayi di Sulawesi Barat, oleh sebab itu dilakukan penelitian ini untuk menentukan perilaku mikrofilaria B. malayi. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu upaya pencegahan filariasis di Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat. BAHAN DAN METODE Penelitian ini telah memperoleh persetujuan etik Nomor: KE.01.02/EC/063/2011 pada tanggal 23 Februari 2011 oleh Komisi Etik Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan R.I. Penelitian dilakukan di Desa Polewali, Kecamatan Bambalamotu, Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011. Studi periodisitas mikrofilaria dilakukan pada orang yang positif terinfeksi B. malayi yang bersedia dan memenuhi persyaratan penelitian ini, yaitu bersedia diambil darah jari kaki atau tangannya setiap jam selama 24 jam (pukul 09.00 sampai pukul 08.00). Hal ini dilakukan untuk menentukan periodisitas berdasarkan fluktuasi kepadatan mikrofilaria pada subjek filariasis. Darah diambil dengan tusukan jarum lanset dari ujung jari yang telah dibersihkan dengan kapas alkohol 70%. Tetesan darah pertama yang keluar dihapus dengan kapas kering, kemudian darah berikutnya dihisap dengan tabung kapiler tanpa heparin, diambil darah sebanyak 20 µl, lalu darah ditiupkan ke atas kaca benda yang bersih dan bebas lemak, dilebarkan sehingga membentuk sediaan darah tebal dengan diameter sekitar 2 cm. Setelah kering diwarnai dengan Giemsa yang telah dilarutkan di dalam cairan buffer ph 7,2 dengan perbandingan 1:14 selama 15 menit. Kemudian dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. 7 Sediaan darah diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran rendah (5x10) untuk menentukan jumlah mikrofilaria atau dengan pembesaran menengah (5x40) untuk menentukan speciesnya. Identifikasi species cacing filaria dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi menurut P2M & PL. 8 Dalam menentukan periodisitas cacing filaria, analisis statistik yang digunakan adalah formula Aikat dan Das (1976). Formula ini merupakan cara matematis kuantitatif sederhana yang dapat memberikan gambaran tentang variasi kepadatan mikrofilaria dalam darah tepi subjek atau hospesnya pada waktu-waktu pengambilan darah yang berbeda. 5 Formula Aikat dan Das dengan persamaan: 5,9 Y = m + b cos 15 h + c sin 15 h Persamaan di atas menunjukkan hubungan antara kepadatan/jumlah mikrofilaria (Y) dengan waktu pengambilan darah dimana: m = y/n ; b = 2 y cos 15 h/n ; c = 2 y sin 15 h/n. Indeks periodisitas (D) dihitung dengan persamaan: D = a/m, dengan a = 43

ASPIRATOR, 7(2), 2015, pp. 42-47 Hak cipta 2015 - Loka Litbang P2B2 Ciamis Jika nilai D > 50 maka menunjukkan sifat gelombang harmonik yang periodik, sedangkan bila lebih kecil menunjukkan subperiodik. Puncak kepadatan mikrofilaria (K) dihitung dengan persamaan: tan 15 k = c/b Untuk mengetahui kasus yang diperoleh sirkadian (F) atau tidak, maka gunakan persamaan: Apabila nilai F lebih besar dari 5% harga F teoritis (F=4,26 dengan 2 dan (n-3) derajat kebebasan, maka hasil periodisitas menunjukkan sifat sirkadian atau harmonik. HASIL Jumlah penduduk yang yang diperiksa darah jari sebanyak 284 orang dan hasil pemeriksaan mikroskopis menemukan delapan orang positif terinfeksi mikrofilaria B. malayi. Sebanyak lima dari delapan subjek filariasis yang mengikuti pemeriksaan periodisitas. Satu orang perempuan dan empat orang laki-laki dengan usia 30 49 tahun. Hasil pengamatan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah mikrofilaria (Y) terendah ditemukan pada penderita D (6 ekor) dan tertinggi pada penderita C (698 ekor). Mikrofilaria terbanyak ditemukan pada pukul 01.00 pada penderita C (123 ekor). Hasil pengamatan membuktikan bahwa mikrofilaria ditemukan di darah tepi mulai pukul 17.00 sampai pukul 09.00 waktu setempat. Adapun puncak kepadatan mikrofilaria ditemukan pada pukul 01.00. Pada saat pagi hari, yaitu pada pukul 05.00-08.00 waktu setempat, kepadatan mikrofilaria masih cukup tinggi, namun kemudian mengalami penurunan kepadatan pada pukul 09.00 waktu setempat (Grafik 1). Hasil perhitungan analisis statistik Aikat & Das di Desa Polewali pada Tabel 2 menunjukkan kepadatan mikrofilaria (m) berturut-turut 0,25 per 20mm 3, 1,04 per 20mm 3, 9,0 per 20mm 3, 14,38 per 20mm 3 dan 29,08 per 20mm 3. Puncak kepadatan mikrofilaria (K) dimulai pukul 23.00 00 sampai 01.27 00. Adapun ritme variasi kepadatan mikrofilaria (F) pada kelima subjek filariasis menunjukkan nilai periodisitas yang sirkadian, yaitu 5,09, 34,34, 50,61, 64,98 dan 71,47. Nilai-nilai ini lebih besar dari nilai F teoritis = 4,26 dengan 2 dan (n-3) derajat kebebasan. Tabel 1. Kepadatan mikrofilaria pada lima orang subjek filariasis (per 20 mm 3 darah) selama 24 jam Waktu pengambilan darah Kepadatan mikrofilaria (per 20mm 3 ) Subjek A B C D E 09.00 1 0 0 0 0 10.00 0 0 0 0 0 11.00 0 0 0 0 0 12.00 0 0 1 0 0 13.00 0 0 1 0 0 14.00 0 0 2 0 0 15.00 0 0 0 0 0 16.00 0 0 0 0 0 17.00 3 1 2 0 1 18.00 3 1 4 0 0 19.00 16 6 19 1 2 20.00 26 9 17 0 0 21.00 20 10 26 2 2 22.00 30 25 82 0 4 23.00 35 22 68 0 3 24.00 15 15 51 0 2 01.00 35 35 123 2 4 02.00 53 27 68 0 2 03.00 42 30 96 1 3 04.00 17 10 27 0 0 05.00 26 13 33 0 2 06.00 13 4 57 0 0 07.00 7 7 28 0 0 08.00 3 1 3 0 0 Jumlah 345 216 698 6 25 Gambar 1. Rerata kepadatan mikrofilaria (per 20 mm 3 ) pada lima subjek filariasis selama 24 jam 44

Perilaku B. malayi pada subjek filariasis (Chadijah et al) Tabel 2. Analisis statistik periodisitas menurut formula Das & Aikat pada kelima subjek filariasis Analisis statistik Subjek A Subjek B Subjek C Subjek D Subjek E Y 345 216 698 6 25 Y 2 10691 4742 49850 10 71 Y cos 15 h 225,91 155,22 471,57 4,31 18,26 Y sin 15 h 46,09 35,79587 168,02-1,15-1 m 14,38 9 29,08 0,25 1,04 b 18,83 12,9352 39,29 0,35 1,52 c 3,8 2,9 14-0,09-0,08 A 19,21 13,27 41,71 0,37 1,52 K 00.46 7 01.27 00 01.18 17 23.00 10 23.00 00 F 71,47 64,98 50,61 5,09 34,34 D 134 147 143 148 146 PEMBAHASAN C Hasil studi periodisitas pada lima penderita Di Desa Polewali, Kabupaten Mamuju Utara menunjukkan bahwa mikrofilaria B. malayi ditemukan pada semua subjek filariasis di darah perifer mulai pukul 19.00 sampai pukul 09.00 waktu setempat. Pada kelima subjek ditemukan B. malayi pada apusan pembuluh darah perifer yang mempunyai morfologi panjang kepala sama dengan dua kali lebar kepala, inti berkelompok, susunannya tidak teratur dan berkelompok dan pada ekornya terdapat dua buah inti tambahan, sarung mikrofilaria berwarna merah jambu dengan pewarnaan giemsa dan letak tubuhnya tajam dan patah-patah. 10 Harga F yang diperoleh pada lima penderita menunjukkan harga F lebih besar daripada harga F teoritis dengan derajat kebebasan 2 dan (n-3) yaitu 4,26, dengan nilai terendah 5,09 dan tertinggi pada nilai 71,47. Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa kasus-kasus tersebut memiliki gelombang yang harmonik atau sirkardian. Mikrofilaria dikatakan mempunyai irama sirkardian apabila nilai F lebih besar dari nilai F 5% teoritis dengan derajat kebebasan 2 dan (n-3) yaitu 4,26. 5 Dengan demikian mikrofilaria B. malayi yang ditemukan di Desa Polewali menunjukkan sifat periodik nokturna. Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah nilai K (waktu puncak kepadatan mikrofilaria). Nilai K ditemukan mulai pada tengah malam yaitu antara pukul 23.00 10 sampai yang tertinggi pada pukul 01.27 00. Pada kelima kasus tidak satupun ditemukan waktu puncak di siang hari. Harga K yang ditemukan di semua kasus, dapat dipastikan B. malayi bersifat nokturna karena waktu puncak kepadatan mikrofilaria berkisar tengah malam. Hasil ini hampir sama dengan kasus di Bireuen Aceh dan Bagian Timur Laut Brazil, yang menunjukkan puncak kepadatan mikrofilaria ditemukan pada sekitar tengah malam. 5,11 Ditemukannya mikrofilaria pada siang hari hanya pada kasus yang memiliki kepadatan mikrofilaria tertinggi (penderita C), itupun dengan jumlah mikrofilaria yng tidak terlalu banyak yaitu satu atau dua ekor mikrofilaria, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Kalimantan Barat. 12 Sifat periodik nokturna juga dapat dipertegas dengan nilai D (indeks periodisitas). Nilai D sangat tinggi pada semua kasus yang menunjukkan angka di atas 100%, yaitu berkisar antara 134 sampai 148. Nilai D mendekati atau lebih 100% menunjukkan bahwa mikrofilaria bersifat periodik nokturna sedangkan bila nilai D mendekati 0% menunjukkan bahwa mikrofilaria tersebut bersifat subperiodik. 13 Masing masing penyebab filaria memiliki periodisitas yang berbeda yang terkait dengan perilaku vektor, siklus sikardian inang serta wilayah kasus. 14 Periodisitas nokturna menunjukkan bahwa pada siang hari mikrofilaria berkumpul dalam darah kecil paru-paru sedangkan pada malam hari mikrofilaria dilepaskan ke pembuluh darah tepi. 15 Rangsangan yang menyebabkan terjadinya mikrofilaria pada waktuwaktu tertentu belum diketahui. Menurut Sudjadi, bentuk muda cacing filaria pada dasarnya lebih cocok berada dalam darah viseral daripada dalam darah tepi sebagai habitatnya, hal ini terkait dengan konsentrasi oksigen dalam darah tepi yang umumnya lebih tinggi. Tetapi, apabila mereka terus menerus berada dalam darah viseral, maka penularan tidak akan terjadi, yang menyebabkan siklus hidup parasit akan berhenti. 5 Cacing filaria B. malayi periodik nokturna efektif menular pada malam hari dan mikrofilaria lebih banyak ditemukan pada malam hari dibandingkan siang hari. 5 Hal sama dikemukakan oleh Garjito, et al di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah dan Sudjadi di Bireuen, Aceh. 12, 16, Siklus sikardian inang sangat terkait dengan aktivitas dari inang. Perubahan aktivitas inang juga akan mempengaruhi siklus sikardian dan periodisitas mikrofilaria. 14 Sifat periodik nokturna B. malayi menunjukkan bahwa penularan filariasis terjadi pada malam hari. Hal ini merupakan hasil adaptasi yang terjadi antara perilaku nyamuk vektor yang menggigit pada malam hari dengan perilaku mikrofilaria yang bersifat nokturna. 17 Vektor utama filariasis adalah nyamuk Culex dan Anopheles, dan Anopheles barbirostris merupakan salah satu vektor alaminya. 14,10 B. malayi yang hidup di manusia di tularkan oleh nyamuk Anopheles. 3 Di Desa Polewali, ditemukan An. barbirostris sebagai vektor filaria. Nyamuk ini mulai ditemukan menggigit pada pukul 19.00 pada umpan orang luar dan pada pukul 20.00 pada umpan orang dalam. Puncak kepadatan menggigit pada umpan orang luar pada pukul 45

ASPIRATOR, 7(2), 2015, pp. 42-47 Hak cipta 2015 - Loka Litbang P2B2 Ciamis 03.00, dan pada umpan orang dalam pada pukul 01.00-02.00. 4 Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Garjito et al. di Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi tengah yang menemukan vektor filariasis di daerah tersebut dengan mikrofilaria B. malayi periodik nokturna. 16 Bentuk periodik dan subperiodik nokturna yang telah dikenal sejak tahun 1957 dan terdapat diberbagai daerah di Indonesia menurut Turner LH dan Wilson T dalam Budi Mulyadi. 13 KESIMPULAN Perilaku mikrofilaria B. malayi di Desa Polewali, Kecamatan Bambalamotu, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat yaitu periodik nokturna. Perlunya dilakukan penyuluhan kepada masyarakat di daerah penelitian untuk menghindari kontak dengan nyamuk agar tidak terkena filariasis, mengingat periodisitas mikrofilaria B. malayi yang nokturna dan perilaku vektornya yang lebih sering menggigit pada malam hari, sehingga diharapkan tidak terjadi penularan terus menerus. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Barat, Pemda Kabupaten Mamuju Utara, Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sulawesi Barat, Dinkes Kabupaten Mamuju Utara, atas izin penelitian dan dukungan yang telah diberikan kepada kami. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Litbang P2B2 Donggala atas izin dan dukungannya, sehingga penelitian ini dapat dilakukan. Terima kasih yang tak terhingga juga kami ucapkan kepada teman-teman peneliti dan litkayasa atas bantuannya, serta masyarakat di daerah penelitian yang secara koperatif telah mendukung kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Chin J. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. (Kandun IN, ed.). Jakarta: CV. Infomedika; 2006. 2. WHO. Lymphatic filariasis. 2010. http://www.who.int/mediacentre/factsheet s/fs102/en/. Accessed March 9, 2012. 3. Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W. Parasitiologi Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia; 2003. 4. Chadijah S, Veridiana NN, Risti, Jastal. Gambaran penularan filaiasis di Provinsi Sulawesi Barat. Bul Penelit Kesehat. 2014;42(2):101-107. 5. Sudjadi FA. Varian Korea dan Indonesia B. malayi periodik nokturnal (nematoda: Filarioidea) penyebab filariasis. Berkala Ilmu Kedokteran. 2005;37(3):103-111. 6. WHO. Vector Biology and Profile in Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis.; 2013. 7. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Penentuan Daerah Endemis Penyakit Kaki Gajah (Filarisis), Buku 3. Jakarta: Direktorat Jendral PPM & PL. Depkes RI; 2002. 8. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasi Di Indonesia. Jakarta: Subdit Filariasis dan Schistosomiasis, Direktorat P2B2; 2010. 9. Sudjadi, F.A. TH. Perilaku mikrofilaria Brugia malayi dalam drah tepi penderita filariasis di daerah intergradasi Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Berkala Ilmu Kedokteran. 2002;34(2):83-90. 10. Paily KP, Hoti SL, Das PK. A review of the complexity of biology of lympatic filarial parasites. J parasit Dis. 2009;33(1&2):3-12. 11. Fontes G, Rocha EMM, Brito AC, Fireman FAT. The Microfilarial periodicity of Wuchereria bancrofty in North-eastern Brazil. Ann Trop Med Parasitol. 2000;94(4):373-379. 12. Sudjadi FA. Analisis statistik periodisitas mikrofilaria pada Brugia malayi penyebab filariasis di beberapa daerah endemik di Kalimantan. Ber Kedokt Masy. 2001;XVII(1):25-36. 13. Mulyaningsi B, Sudjadi FA. Brugia malayi Non Periodik sebagai Penyebab Filariasis pada Penduduk Asli Dayak Benuak di Pedalaman Kalimantan Timur. Ber Kedokt Masy. 1999;XV(3). 14. Haryuningtyas S. D, Subekti DT. Dinamika filariasis di indonesia. Lokakarya Nas Penyakit Zoonosis. 2004:242-250. http://digilib.litbang.deptan.go.id/repositor y/index.php/repository/download/6099/5 969. 15. Natadisastra D, Agoes R. Parasitologi Kedokteran- Ditinjau Dari Organ Tubuh Yang Diserang. Penerbit EGC; 2009. 16. Garjito TA. Studi Filariasis Pada Masyarakat Pedesaan Di Kabupaten Banggai Dan Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Donggala; 2006. 46

Perilaku B. malayi pada subjek filariasis (Chadijah et al) 17. Sudjadi FA. Penularan siang hari filariasis yang disebabkan oleh B. malayi non periodik pada penduduk ali Dayak di Kalimantan Timur. Berkala Ilmu Kedokteran. 1997;29(4):157-162. 47