I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

I. PENDAHULUAN. Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum. dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

BAB I PENDAHULUAN. dibesarkan, dan berkembang bersama-sama rakyat Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara yang berdasarkan atas

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB V PENUTUP. saja yang melanggar pasal tersebut haruslah dihukum. Anggota militer. mempermudah tahanan meloloskan diri sepatutnya diterapkan secara

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

V. PENUTUP. polri studi putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL. Pertanggungjawaban atas

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

I. PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

PEMECATAN PRAJURIT TNI

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

I. PENDAHULUAN. Indonesia saat ini sedang melaksanakan pembangunan nasional yang dilaksanakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

I. PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

BAB IV PENUTUP. akhir penulisan hukum ini penulis akan menyampaikan simpulan dan saran.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN DESERSI

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan yang diatur di dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Disamping itu anggota TNI berkewajiban menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan oleh bangsa dan negara untuk melakukan usaha pembelaan negara sebagaimana yang termuat dalam Sumpah Prajurit yaitu: Demi Allah saya bersumpah/berjanji: 1. Bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan; 3. Bahwa saya akan taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan; 4. Bahwa saya akan menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggungjawab kepada Tentara dan Negara Republik Indonesia; 5. Bahwa saya akan memegang segala rahasia Tentara sekeras-kerasnya. Berdasarkan hal di atas bahwa para prajurit Tentara Nasional Indonesia harus mematuhi peraturan dan taat kepada atasannya. Selain itu, anggota Tentara

2 Nasional Indonesia wajib pula menegakkan kehormatan dan selalu menghindari perbuatan yang dapat menodai nama baik ketentaraan dan kesatuannya. Setiap anggota Tentara Nasional Indonesia yang telah dibina baik fisik dan mental harus mampu dan dapat diandalkan untuk melaksanakan tugas pokok Tentara Nasional Indonesia baik dalam tugas Operasi Militer untuk perang maupun tugas Operasi Militer Non perang, tentunya tugas berat tersebut haruslah di miliki oleh setiap anggota Tentara Nasional Indonesia untuk bekerja secara professional dan berbasis disiplin yang tinggi. Dilihat dari latar belakang sejarah perjuangan kemerdekaan, TNI lahir dari rakyat, berkembang dan membangun berasama-sama dengan rakyat serta berbakti untuk rakyat sehingga TNI disebut sebagai prajurit pejuang, dan secara umum bahwa setiap prajurit saat ini sama kedudukannya dalam hukum serta tidak lagi menjadi kelompok ekslusif. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap prajurit adalah rakyat yang dilatih secara khusus untuk memegang senjata untuk berperang. (Sjarif Amiroeddin, 1996:3) Sehingga, dalam menjalankan tugasnya seorang anggota TNI tidak tertutup kemungkinan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit, baik yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam kemiliteran, maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan setiap pelanggaran terhadap norma-norma tersebut seorang prajurit TNI tidak akan terlepas dari tanggungjawab kepada hukum. Pertanggungjawaban seorang prajurit TNI dalam pelanggaran norma yang berlaku di dalam masyarakat yang pada hal ini dalam suatu majelis hakim Peradilan Militer di Jakarta pada suatu perkaranya telah menjatuhkan putusan dengan nomor

3 : 215-K/PM II-08/AD/VII/2010 kepada seorang anggota militer yang berinisial BN yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan Pasal 281 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP) yang menentukan : Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan. Dakwaannya oditur menuntut terdakwa dengan tuntutan 5 bulan penjara dengan surat dakwaan nomor : Dak/130/VIII/2010, beserta melampirkan 1 (satu) alat bukti 1 (satu) lembar surat visum. Berbeda dengan dakwaan oditur, majelis hakim dalam putusannya telah menjatuhkan kepada terdakwa BN dengan sanksi pidana 3 bulan penjara. Kronologis kasus, bermula dari aduan korban pada bulan Januari 2008 yang berinisial DS, 19 tahun, 7 Mei 1988, pegawai rental kaset VCD. Bahwa pada bulan Juli 2006, Terdakwa dan Saksi DS tinggal bersama terdakwa di tempat Sdr. R kurang lebih 4 ( empat) bulan. Saksi DS tidur di kamar berdua dengan pembantunya Sdr.R dan 1 (satu) bulan kemudian pembantu Sdr. R pulang kampung dan tidak kembali lalu saksi DS tidur sendirian, ketika saksi DS tidur sendirian Terdakwa sering masuk ke kamar dan mengajak tidur satu tempat serta mengajak melakukan hubungan badan layaknya suami istri akan tetapi saksi DS selalu menolaknya dengan alasan karena dalam hubungan pacaran belum ada ikatan pernikahan. Bahwa pada bulan Oktober tahun 2006, korban dan terdakwa melakukan hubungan badan. Dimana bermula dari ajakan terdakwa untuk melakukan

4 hubungan suami istri kepada korban DS dengan janji akan bertanggungjawab menikahi korban. Bahwa setelah persetubuhan pertama kali, perbuatan tersebut terus dilakukan 3 (tiga) kali dalam seminggu hingga bulan September 2007. Setelah berulang kali melakukan persetubuhan, korban meminta terdakwa untuk bertanggungjawab. Namun, terdakwa tidak mau bertanggungjawab menikahi korban DS. Januari 2008, permasalahan tersebut pernah diselesaikan secara kekeluargaan namun tidak menemui kesepakatan damai. Akhirnya Januari 2008, korban DS melaporkan terdakwa BN ke Pomdam Jaya untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Asas legalitas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dengan tegas menjelaskan, tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa perbuatan dapat dikatakan suatu tindak pidana, jika perbuatan tersebut diketahui melanggar apa yang telah dirumuskan dalam perundang-undang, tetapi pada kenyataannya masih terdapat perbuatan yang dianggap salah tetapi tidak terumuskan dalam perundangundangan. Pelanggaran yang tidak terdapat atau terumuskan dalam perundang-undangan, pada konsepnya, jika kita mengacu pada Pasal 1 ayat (1) KUHP. Perbuatan itu tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana walau menurut masyarakat itu salah, perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan pelanggaran karena pada konsepnya tidak ada dalam rumusan perundang-undangan. Sehingga, untuk mengatur perbuatan tersebut, diperlukan perundang-undang tertulis yang merumuskannya.

5 Dimana para pembuat undang-undang yang berpikir hukum adalah formillegalistik akan menciptakan peraturan baru untuk mengaturnya, dan begitu seterusnya. Hukum dimana pada hukum modern sekarang ini menjelma kepada para penegak hukum, yang salah satunya adalah hakim yang khususnya adalah hakim Peradilan Militer. Diketahui bahwa wewenang hakim militer sama seperti hakim-hakim pada umumnya yang tidak lain adalah memvonis atau memutus terdapat atau tidak adanya tindak pidana, dengan tujuan memberikan putusan yang adil sebagaimana tujuan hukum itu sendiri, dimana bahwa adil itu sendiri dapat berubah dengan dipengaruhi kebiasaan yang diterima masyarakat umum.(van Apeldoorn, 2004:125) Dilihat pada kasus diatas dimana kesusilaan yang dimaksudkan adalah zina yang dilakukan oleh seorang anggota militer dan seorang warga sipil. Selain itu, bahwa perbuatan zina yang dilakukan suka sama suka dan terlepas dari ikatan perkawinan itu sendiri tidak diatur dalam hukum pidana umum,. Namun. di dalam putusannya, majelis hakim Peradilan Militer II-08 di Jakarta telah menjatuhkan sanksi pidana terhadap anggota militer yang melakukan perzinahan, dengan terbukti melakukan kesusilaan di depan umum. Dengan permasalahan tersebut, maka penulis tertarik menulis suatu penelitian dengan judul: pertanggungjawaban pidana anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor : 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010).

6 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang dibahas dalam proposal skripsi ini adalah : a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010)? b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim Peradilan Militer dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010)? 2. Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam proposal ini yang ditinjau dalam bidang hukum pidana umum dan hukum pidana militer adalah dalam menganalisis pertanggungjawaban pidana anggota militer dalam putusan Peradilan Militer II-08 di Jakarta dengan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010, serta dasar hakim Peradilan Militer tersebut dalam menjatuhkan putusan. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : a. Mengetahui pertanggungjawaban pidana anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010).

7 b. Mengetahui dasar pertimbangan hakim Peradilan Militer dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010). 2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis Secara teoritis untuk memahami dan mengembangkan kemampuan dalam berkarya ilmiah guna mengungkap secara objektif melalui pengkajian lebih dalam terhadap peraturan-peraturan yang ada, serta penerapan aparat penegak hukum. Sehingga mengetahui dengan jelas aspek-aspek yang menjadi dasar dalam memahami hukum. b. Kegunaan Praktis Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan atau sumber bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai dalam memahami hakim Peradilan Militer dalam menegakkan hukum serta dasar-dasar hakim Peradilan Militer memberikan putusan. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan

8 identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 127). Soerjono Soekanto menentukan, konsep pengaruh berarti sikap tindak atau perilaku yang berkaitan dengan suatu kaidah konsep hukum, yang isinya berupa larangan, suruhan, atau kebolehan, tanpa mempersoalkan apakah yang menjadi tujuan pembentuk hukum. Akan tetapi kenyataannya, terdapat konsep pengaruh positif atau efektifitas, yang tergantung pada tujuan dan makdsud suatu kaidah hukum (Soerjono Soekanto, 1986:7). Perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik/tindak pidana dalam undangundang belum tentu dapat dipidana, karena terlebih dahulu harus melihat kembali kepada orang/pelaku tindak pidana tersebut. Orang yang dapat dituntut dimuka pengadilan dan dijatuhi tindak pidana, haruslah melakukan tindak pidana dengan kesalahan, kesalahan ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: a. Kemampuan bertanggungjawab. b. Sengaja (dolos/opzet) dan lalai (culpa). Simons menyatakan, kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan phsychish sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya. (Tri Andrisman, 2009 :97) Kemampuan bertanggungjawab, pada Pasal 44 KUHP tidak memuat pengertian kemampuan bertanggungjawab. Namun memuat syarat-syarat kemampuan bertanggungjawab secara negatif. Pasal 44 KUHP menentukan:

9 Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan, sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya orang/pembuat, yaitu: 1. Alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh si pembuat lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. 2. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. Pertanggungjawaban pidana tidak lepas karena adanya kesalahan. Dalam hukum pidana dikenal apa yang disebut asas kesalahan, yaitu tiada pidana tanpa kesalahan. salah satu unsur dari kesalahan atau tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan suatu penilaian objektif terhadap perbuatan manusia, bukan terhadap si pembuat. Suatu perbuatan itu dikatakan bersifat melawan hukum, apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana telah dirumuskan dalam KUHP. Namun, bagaimana jika kesalahan yang tidak terumuskan dalam KUHP. Guna mengantisipasi timbulnya kejahatan jenis baru yang tidak dirumuskan dalam KUHP, maka KUHP telah menjelaskan dalam Pasal 103 KUHP, yang menentukan:

10 ketentuan-ketentuan dalam bab 1 sampai dengan bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundangundangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undangundang ditentukan lain. Berdasarkan pada pasal tersebut, dengan demikian dimungkinkan dibentuk undang-undang pidana di luar KUHP. Dengan ketentuan cara berlakunya mengacu pada Pasal 103 KUHP. Peraturan tersebut dapat dikatakan sebagai hukum pidana khusus. Pengertian Hukum Pidana Khusus itu sendiri adalah ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ditetapkan berlaku untuk orang tertentu atau yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan tertentu. Contohnya: KUHPM, Undang-Undang Peradilan Militer, dan sebagainya. Hukum Pidana Khusus, mengatur kekhususan terhadap pelaku/orangnya yang melakukan tindak pidana maupun perbuatan tertentu yang dilarang. Ketentuan penerapan Hukum Pidana Khusus itu sendiri berdasarkan asas, lex specialis derogat legi general, Artinya: Apabila ada dua ketentuan hukum/undang-undang yang kedudukannya setingkat dan mengatur materi yang sama, maka hukum/undang-undang yang khusus menyampingkan hukum/undang-undang yang umum. Sanksi pidana yang diberikan merupakan kewenangan hakim. Kewenangan yang diberikan kepada hakim untuk mengambil suatu kebijaksanaan dalam memutus perkara, diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang -Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan : Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

11 Menurut Sudikno Mertokusumo (Leden Marpaung 126:1995) dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan filosofis (keadilan). Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Demikian juga hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keadilan. Sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif dan individualistis. Dalam doktrin hukum pidana sesungguhnya ada yang dapat dijadikan pedoman hakim dalam memberi putusan untuk sementara waktu sebelum KUHP Nasional diberlakukan. Pedoman tersebut terdapat dalam konsep KUHP baru tahun 2011 Pasal 55 ayat (1), yaitu: a. Kesalahan pembuat tindak pidana; b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. Sikap batin pembuat tindak pidana; d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;

12 e. Cara melakukan tindak pidana; f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. Pemaafan dari korban atau keluarganya; k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 pada Pasal 25 ayat (1) serta menentukan salah satu tentang kewenangan hakim, yaitu, Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Seperti tindakan kejahatan lainnya, maka pada umumnya untuk dapat membuktikan pelaku di persidangan. Hakim tersebut memerlukan syarat-syarat tertentu, agar si pelaku dapat diadili sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yaitu seperti terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 183. 2. Konseptual Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah (Soejono Soekanto, 1986 : 2). Agar dapat memberikan kejelasan yang mudah untuk dipahami, maka akan dijabarkan beberapa pengertian mengenai istilah yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, yaitu:

13 a. Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. b. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 1987 : 54) c. Pertanggungjawaban pidana ialah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan pidana atau tindak pidana. (Roeslan Saleh, 1983 :75). d. Kesengajaan adalah menghendaki dan mengetahui (KUHP) e. Militer adalah orang yang dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur. (Sjarif Amiroeddin, 1996:3) f. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili (KUHAP Pasal 1 ayat (8)). E. Sistematika Penulisan Memudahkan memahami skripsi ini secara keseluruhan, maka sistematika penulisan disusun sebaga berikut : I. PENDAHULUAN Pendahuluan merupakan bagian yang memuat latar belakang masalah, kemudian permasalahan dan ruang lingkup, selanjutnya juga memuat tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual sebagai acuan dalam membahas skripsi ini, serta sistematika penulisan.

14 II. TINJAUAN PUSTAKA Bagian ini berisikan uraian tentang dasar teori yang mendukung dalam pembahasan yang terdiri dari pengertian Bagaimana pertanggungjawaban pidana anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010), dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim Peradilan Militer dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010). III. METODE PENELITIAN Bagian ini merupakan bagian yang menguraikan tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pendekatan masalah, sumber data, jenis data, cara pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bagian ini merupakan pembahasan terhadap permasalahan yang dirumuskan, yaitu Bagaimana pertanggungjawaban pidana anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215 -K/PM II- 08/AD/VIII/2010), dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim Peradilan Militer dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomo r: 215-K/PM II- 08/AD/VIII/2010). V. PENUTUP Penutup adalah bagian akhir dari skripsi ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran.