I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan menurut fungsi pokoknya dibagi menjadi tiga yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Dephut, 2009). Hutan konservasi sendiri didefinisikan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan ini dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Taman Buru (TB). KSA sendiri terdiri dari: Suaka Margasatwa (SM), Cagar Alam (CA), sedangkan KPA terdiri dari Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (THR) dan Taman Wisata Alam (TWA). Di Propinsi Kalimantan Tengah terdapat 7 hutan konservasi yang berada di bawah wewenang dari Kementerian Kehutanan yang terdiri dari: 1) Cagar Alam (CA)/Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Tangkiling ; 2) Cagar Alam (CA) Pararawen I & II; 3) Cagar Alam Bukit (CA) Sapat Hawung; 4) Suaka Margasatwa (SM) Sungai Lamandau; 5) Taman Wisata Alam (TWA) Tanjung Keluang; 6) Taman Nasional (TN) Tanjung Puting; 7) dan Taman Nasional (TN) Sebangau. Untuk pengelolaan masing-masing Taman Nasional berada dibawah satu unit kelola yaitu Balai Taman Nasional Tanjung Puting dan Balai Taman Nasional Sebangau, sedangkan kawasan konservasi lainnya yakni CA/TWA Bukit Tangkiling, CA Pararawen I&II, CA Sapat Hawung, SM Sungai Lamandau dan TWA Tanjung Keluang berada dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah. Pada praktiknya, pengelolaan kawasan konservasi menghadapi berbagai macam tantangan, tidak hanya yang bersifat eksternal berupa perebutan ruang dan aset ekonomi, perambahan, illegal logging, perburuan satwa liar, kebakaran hutan, tetapi juga yang bersifat internal dalam pengelolalaan kawasannya seperti: sistem perencanaan, tata batas dan pemangkuan kawasan, leadership dan manajemen. (BKSDA Kalteng, 2010). Adanya berbagai macam tantangan dalam pengelolaan 1
baik bersifat eksternal maupun internal, ditambah dengan pengelolaan yang tidak dibawah satu unit manajemen khusus seperti Taman Nasional mengakibatkan pengelolaan KSA dan TWA tertinggal dibandingkan dengan pengelolaan Taman Nasional. Pembentukan unit pengelola yang khusus mengelola KSA dan TWA, tentu akan sangat mahal dan membebani anggaran negara, karena hampir seluruh fasilitas, SDM dan aktifitas kegiatan akan dibiayai oleh APBN. 1.2. Permasalahan KSA dan TWA di Kalimantan Tengah Upaya masyarakat untuk mendapatkan akses masuk ke dalam kawasan konservasi terjadi di CA/TWA Bukit Tangkiling. Dengan keberadaan bukit batu di CA/TWA Bukit Tangkiling yang tidak hanya unik sebagai objek wisata yang ada di Kalimantan Tengah tapi sekaligus potensial dan bernilai ekonomi tinggi untuk dieksploitasi sebagai bahan bangunan (material) baik pemukiman maupun pembuatan jalan, mengingat lokasinya terletak tidak jauh dari Ibukota Palangka Raya (± 34 km). Walaupun CA/TWA Tangkiling telah ditunjuk sebagai kawasan konservasi pada tahun 1977, aktivitas penambangan batu (Galian tipe C) telah berlangsung cukup lama. Akses masyarakat untuk masuk ke TWA Tanjung Keluang untuk menambang pasir puya (zircon), sedangkan upaya masyarakat mendapatkan akses masuk ke CA Sapat Hawung adalah untuk mengambil sarang burung walet alam. Selain masuknya masyarakat ke CA/TWA Bukit Tangkiling, TWA Tanjung Keluang dan CA Sapat Hawung, fakta empiris yang terjadi di SM Sungai Lamandau, saat ini ada sekitar 66 pemantung (penyadap getah pohon jelutung) dan 23 pengikan (nelayan sungai) yang mengakses SM Sungai Lamandau (BKSDA Kalteng, 2011). Meskipun saat ini di SM Sungai Lamandau sudah didirikan 8 pos jaga dan 6 camp pelepasliaran orangutan, tetapi tetap saja masih ada pihak lain (masyarakat) yang masuk ke dalam kawasan baik legal maupun tidak legal. Bentuk pemanfaatan berlebihan adalah kegiatan wisata alam. Para pelaku bisnis wisata dan juga pemerintah akan terus mendorong agar kegiatan wisata alam terus meningkat. Pengunjung yang berlebihan justru akan mengganggu 2
habitat tumbuhan dan satwa liar. Berlebihnya jumlah pengunjung yang memasuki kawasan, dikhawatirkan akan mengganggu proses pelepasliaran orangutan (Pongo pygmaeus) di SM Sungai Lamandau, begitupula dengan aktivitas bertelur penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) di TWA Tanjung Keluang. Permasalahan perambahan oleh masyarakat terjadi di SM Sungai Lamandau (kebun karet dan perladangan), Cagar Alam Pararawen I & II (kebun karet), TWA Tanjung Keluang (perumahan penduduk), sedangkan permasalahan pembalakan liar masih terjadi hampir diseluruh kawasan konservasi di Propinsi Kalimantan Tengah. Untuk itu apabila tidak dilakukan pengelolaan dengan baik, dapat terjadi open access sebagaimana public goods, dan apabila kelembagaan pengelola sumberdaya tersebut tidak dapat mengatasi para pencari kesempatan atau penumpang gratis (free riders), banyak kasus dimana kegiatan-kegiatan melawan hukum di dalam kawasan konservasi tidak bisa diatasi, sehingga kawasan konservasi seolah-olah menjadi open access sebagaimana public goods. Selain faktor eksternal berupa perambahan dan pembalakan, masalah eksternal lainnya berupa terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan angka tahunan hotspot dari tahun 2005-2009, rata-rata jumlah hotspot di Propinsi Kalimantan Tengah untuk tahun 2005-2009 adalah 10.928 titik. Hotspot terdeteksi sebagian besar berada pada lahan di luar kawasan hutan (BKSDA Kalteng, 2010). Untuk mengurangi gangguan terhadap kelestarian kawasan konservasi diperlukan biaya yang sangat besar untuk menghambat orang mengakses sumberdaya. Faktanya komponen patroli, penjagaan pos, sosialisasi, penegakan hukum, pemeliharaan batas, pembinaan habitat adalah komponen-komponen inti dalam pengelolaan kawasan di setiap konservasi, termasuk di SM Sungai Lamandau. Pada tahun 2009 mengacu pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BKSDA Kalimantan Tengah, anggaran yang dialokasikan untuk pengamanan kawasan hutan sebesar Rp. 2.193.426.000, sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh Proyek Kemitraan Orangutan Foundation-Yayorin pada tahun 2010 untuk patroli dan penjagaan tujuh pos di SM Sungai Lamandau yang harus 3
dikeluarkan oleh Proyek Kemitraan Orangutan Foundation-Yayorin pada tahun 2010 mencapai ±Rp. 525.000.000,00 (Anonim, 2010). 1.3. Perumusan Masalah Dengan ditunjuknya Kalimantan Tengah sebagai propinsi percontohan REDD+ oleh Presiden Repulik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 23 Desember 2010 (Priyambodo, 2010), tidak menutup kemungkinan bahwa kedepannya kawasan konservasi di Kalimantan Tengah dapat dijadikan sebagai lokasi implementasi REDD+ mengingat lokasi REDD dapat dilaksanakan di hutan konservasi. Untuk mendukung kesuksesan mitigasi perubahan iklim melalui skema REDD+ di kawasan konservasi memerlukan forest governance yang efektif. Salah satu kriteria dari good forest governance yang dikeluarkan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM adalah Efficiency and Effectiviness. Efficiency and Effectiviness mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). Terkait dengan permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya dan untuk mendukung mitigasi perubahan iklim melalui skema REDD+, maka diperlukan adanya pengelolaan yang efektif dan efisien yang dilakukan oleh pihak BKSDA Kalimantan Tengah. Dalam upaya meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi dan peredaran tumbuhan dan satwa liar, BKSDA Kalimantan Tengah pada awal tahun 2010 telah membentuk 5 (lima) resort, dimana masing-masing resort dikepalai oleh kepala resort. Tujuan dari pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort adalah untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan unit terkecil (resort) sebagai salah satu upaya pembenahan kedalam terhadap suatu pengelolaan kawasan konservasi. Berikut ini adalah pembagian resort di BKSDA Kalimantan Tengah : 1) Resort Bandara Tjilik Riwut di Palangka Raya 2) Resort CA/TWA Bukit Tangkiling di Palangka Raya 3) Resort SM Sungai Lamandau di Kotawaringin Barat 4) Resort TWA Tanjung Keluang di Kotawaringin Barat 4
5) Resort CA Pararawen di Barito Utara Terkait dengan permasalahan-permasalahan dan upaya pengelolaan yang telah disebutkan sebelumnya, maka diperlukan adanya evaluasi efektivitas pengelolaan yang telah dilakukan oleh pihak BKSDA Kalimantan Tengah, yang pada akhirnya hasil dari evaluasi ini dapat memberikan rekomendasi strategi yang efektif dalam pengelolaan kawasan konservasi. Sehingga dapat diketahui bagaimana kinerja suatu institusi/kelembagaan didesain dan diharapkan kedepannya mampu mengola kawasan konservasi menjadi lebih baik. 1.4. Tujuan Penelitian 1) Mengkaji efektivitas pengelolaan kawasan konservasi yang dikelola BKSDA Kalimantan Tengah pada setiap siklus pengelolaan yaitu perencanaan, masukan, proses dan keluaran. 2) Memberikan rekomendasi strategis yang efektif untuk kawasan konservasi yang dikelola oleh BKSDA Kalimantan Tengah. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini akan memberikan hasil kinerja pengelolaan kawasan konservasi yang dikelola BKSDA Kalimantan Tengah dan membantu dalam melakukan evaluasi secara efektif terhadap pengelolaan sekaligus memberikan masukan dalam perumusan kebijakan pengelolaan efektif kawasan konservasi 5