HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
UJI AKTIVITAS HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK AIR PEGAGAN (Centella asiatica) TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN YANG DIINDUKSI PARASETAMOL GPC SARAI SILABAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. senyawa kimia N-asetil-p-aminofenol yang termasuk dalam nonsteroid antiinflamatory

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2-5% dari berat badan pada orang dewasa normal yang terletak pada kwadran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. zat-zat asing (xenobiotic). Zat-zat ini dapat berasal dari alam (makanan, dibuang melalui urin atau asam empedu.

BAB I PENDAHULUAN. Parasetamol atau asetaminofen atau N-asetil-p-aminofenol merupakan

1 Universitas Kristen Maranatha

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2 Rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4

DiGregorio, 1990). Hal ini dapat terjadi ketika enzim hati yang mengkatalisis reaksi konjugasi normal mengalami kejenuhan dan menyebabkan senyawa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam proses memasak. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang meliputi persentase hepatosit normal, pembengkakan hepatosit, hidropik,

I. PENDAHULUAN. Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam memproduksi daging. Mampu tumbuh cepat sehingga dapat menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. untuk menelitinya lebih jauh adalah Coriolus versicolor.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dibuktikan manfaatnya (Sudewo, 2004; Tjokronegoro, 1992). zingiberaceae, yaitu Curcuma mangga (Temu Mangga). Senyawa fenolik pada

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran kortikosteroid mulai dikenal sekitar tahun 1950, dan preparat

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows.

Oleh : Tanti Azizah Sujono Hidayah Karuniawati Agustin Cahyaningrum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Ditinjau dari sistematika ternak,

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury; DILI) atau biasa dikenal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tikus putih yang memiliki nama ilmiah Ratus novergicus adalah hewan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diinduksi aloksan, dengan perlakuan pemberian ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. berbagai media massa (Rochmayani, 2008). Menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. imunologi sel. Sel hati (hepatosit) mempunyai kemampuan regenerasi yang cepat,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengamatan Histopatologi Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan dan Kondisi Fisik Hewan Coba

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil penimbangan berat badan dan pengukuran gula darah tikus model selama penelitian

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan

I. PENDAHULAN. memetabolisme dan mengekskresi zat kimia. Hati juga mendetoksifikasi zat

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini menggunakan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN. post test only control group design. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. salah satu penyebab utama kematian. Ada sekitar sepertiga penduduk dunia telah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS. goreng terbagi menjadi Minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acids)

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 033 tahun 2012 tentang Bahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merah kecoklatan yang memiliki berat sekitar 1,4 kg atau sekitar 2,5% dari massa

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini menggunakan tikus Wistar sebagai hewan coba. Mekanisme dasar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bertingkat dengan empat dosis tidak didapatkan kematian pada

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan bahan alam yang ada di bumi juga telah di jelaskan dalam. firman Allah SWT yang berbunyi sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari.

BAB I PENDAHULUAN. diperuntukkan sebagai makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia,

EFEK TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG SINTOK PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR* Intisari

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

EFEK TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG SINTOK PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR. Intisari

BAB I PENDAHULUAN. manusia dari semua kelompok usia dan ras. Jong (2005) berpendapat bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Kesehatan Jiwa, dan Patologi Anatomi. ini akan dilaksanakan dari bulan Februari-April tahun 2016.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian tomat (Solanum

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat dunia termasuk Indonesia (global epidemic). World

BAHAN DAN METODE. Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5.

Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi sasaran utama toksikasi (Diaz, 2006). Hati merupakan organ

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Global status report on alcohol and health 2014 (WHO, 2014),

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Oleh : Wiwik Yulia Tristiningrum M BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Histopatologi

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non

BAB IV METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi.

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan dasar yang sama dengan telepon tetap kabel, namun dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu 4 (LPPT 4) Universitas

BAB I PENDAHULUAN. berkhasiat obat ini adalah Kersen. Di beberapa daerah, seperti di Jakarta, buah ini

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

I. PENDAHULUAN. Rifampisin (RFP) dan isoniazid (INH) merupakan obat lini pertama untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan nyamuk. Dampak dari kondisi tersebut adalah tingginya prevalensi

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 11. Organisasi KehidupanLatihan Soal 11.1

BAB I PENDAHULUAN. hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan

PENGARUH Agen KIMIA Dan MEKANISME perubahan sel Serta penyakit Yang ditimbulkannya

BAB 1 PENDAHULUAN (Sari, 2007). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara termasuk

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

PENGANTAR FARMAKOLOGI

TOKSIKOPATOLOGI HATI MENCIT (Mus musculus) PADA PEMBERIAN PARASETAMOL HEIRMAYANI

BAB I PENDAHULUAN. obat ini dijual bebas di apotik maupun di kios-kios obat dengan berbagai merek

I. PENDAHULUAN. antara V/m. Demikian juga bumi secara alamiah bermedan. listrik V/m dan bermedan magnet 0,004-0,007 mt.

Transkripsi:

Pewarnaan HE diawali dengan deparafinisasi dalam xylol I selama 2 menit dan xylol II selama 2 menit. Tahapan berikutnya adalah rehidrasi dalam alkohol bertingkat dimulai dari alkohol absolut (2 menit), alkohol 95% (1 menit), dan alkohol 80% (1 menit). Setelah perendaman dalam alkohol dilanjutkan dengan pencucian mengunakan air kran selama 10 menit. Perendaman dalam hematoksilin dilakukan selama 8 menit dilanjutkan pencucian mengunakan air kran selama 30 detik. Setelah itu direndam dalam lithium karbonat selama 15-30 detik dan dicuci kembali dalam air kran selama 2 menit. Perendaman dalam eosin dilakukan selama 2-3 menit, dilanjutkan pencucian menggunakan air kran selama 30-60 menit. Tahap akhir adalah dehidrasi dalam alkohol bertingkat (95% hingga absolut) masing-masing 2 menit. Kemudian dilakukan penjernihan dalam xylol dua kali ulangan selama 2 menit. Preparat yang telah dijernihkan kemudian ditutup dengan gelas penutup yang direkatkan pada kaca objek menggunakan enthelan. 5 Penghitungan Sel pada Histopatologis Hati Penghitungan dilakukan menggunakan program software ImageJ pada gambar yang telah diperoleh melalui pengambilan gambar jaringan hati dengan mikroskop cahaya perbesaran 400 x. Gambar yang diambil sebanyak lima bidang pengamatan pada hepatosit di sekitar vena porta (VP) dan vena sentralis (VS). Sel yang dihitung adalah sel hati normal dan sel yang mengalami perubahan seperti degenerasi hidropis, degenerasi lemak serta nekrosa. Jumlah sel tersebut akan dijadikan dalam bentuk persentase kemudian dianalisis dengan uji Analysis of Variance (ANOVA) dan uji Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Data Aktivitas Enzim SGPT Hati merupakan organ aksesoris pada sistem digesti sekaligus kelenjar terbesar dalam tubuh (Akers dan Denbow 2008). Pada hewan tikus, hati terletak di bagian kanan pada region epigastrikus, tepat di belakang dari diafragma. Hati terdiri atas lobus-lobus dan setiap lobus terbagi menjadi lobulus-lobulus (Rogers dan Dintzis 2012). Setiap lobulus merupakan badan heksagonal dengan ukuran 0,7 x 2 mm yang terdiri atas sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel Kupffer, duktus empedu, buluh darah limfatik, dan saraf (Dancygier 2010). Hati berperan dalam hampir semua fungsi metabolisme tubuh termasuk pada proses metabolisme obat parasetamol (Sloane 2003). Parasetamol yang masuk ke dalam tubuh melalui sistem gastrointestinal kemudian akan diserap dan dibawa oleh vena porta ke hati agar dapat dimetabolisme oleh enzim-enzim mikrosomal hati. Proses metabolisme dilakukan dalam dua fase yaitu, fase I dan fase II. Pada fase I, parasetamol akan dioksidasi dengan bantuan enzim mikrosomal hati yaitu enzim sitokrom P450 monooksigenase menjadi N-acetyl-para-benzoquinone imine (NAPQI) yang

6 merupakan toksin sangat reaktif. Selanjutnya pada fase II, sebagian besar parasetamol akan dikonjugasikan dengan substrat endogen seperti asam glukuronat, sulfat, glutation, asetat, asam amino, dan gugus metil menjadi metabolit tidak berbahaya (Haschek dan Rousseaux 1998). Pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik (asam merkapturat dan sistein) oleh glutation dan segera dikeluarkan oleh ginjal melalui urin. Namun apabila mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi, glutation akan mengalami deplesi sekitar 90% sehingga konsentrasi metabolit toksik ini menjadi jenuh. NAPQI yang berada dalam keadaan bebas akan berikatan dengan makromolekul protein pada membran hepatosit sehingga menyebabkan kerusakan membran sel hati. Sel-sel hepatosit akan pecah sehingga enzim golongan aminotransferase seperti ALT atau SGPT dan AST atau SGOT yang terdapat dalam sel hepatosit akan keluar dan masuk aliran darah di sekitar vena sentralis sehingga terjadi kenaikan aktivitas enzim SGPT dan SGOT melebihi normal (Cooper 2010). Pada penelitian sebagai indikator kerusakan hati adalah kadar enzim SGPT. Enzim SGPT merupakan indikator yang sensitif dalam mengenali adanya penyakit pada hati yang bersifat akut. Hal ini disebabkan hepatosit yang rusak atau mati akan melepaskan enzim SGPT ke dalam aliran darah (Chopra 2001). Enzim SGPT merupakan enzim yang lebih dipercaya dibandingkan SGOT dalam menentukan kerusakan sel hati. Hal ini disebabkan SGPT banyak ditemukan terutama di hati sedangkan SGOT dapat ditemukan selain di hati, seperti di otot jantung, otot rangka, ginjal, pankreas, otak, sel darah merah, dan sel darah putih. Dengan demikian, jika hanya terjadi peningkatan SGOT maka dapat saja yang mengalami kerusakan adalah sel-sel organ lainnya yang mengandung SGOT (Sari et al. 2008). Data aktivitas enzim SGPT pada tikus jantan yang diberikan ekstrak air pegagan sebagai usaha hepatoproteksi dari penginduksian parasetamol dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Aktivitas Enzim SGPT Pada Tikus yang Diberi Ekstrak Air Pegagan Sebagai Usaha Hepatoproteksi dari Penginduksian Menggunakan Parasetamol Nilai SGPT (U/I) Kelompok II Kelompok III Kelompok Kelompok I (Setelah diinduksi (Setelah dilakukan (Sebelum diinduksi parasetamol 1000 pemberian ekstrak air parasetamol) mg/kg BB) pegagan selama 8 hari) K 4,95 ± 2,36 ab 8,47 ± 7,34 ab 8,01 ± 5,35 ab F 6 8,51± 5,99 ab 5,59 ± 3,61 ab 4,15 ± 3,13 ab F 10 8,22 ± 6,18 ab 4,05 ± 1,71 ab 8,52 ± 6,54 ab F12 6,98 ± 9,24 ab 4,64 ± 3,98 ab 10,58 ± 9,97 ab F 16 5,24 ± 3,53 ab 7,67 ± 8,91 ab 4,64 ± 2,86 ab Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Pengukuran nilai enzim SGPT pertama dilakukan sebelum pemberian parasetamol dan ekstrak air pegagan. Tujuannya adalah untuk mengetahui nilai

awal dari enzim SGPT yang terkandung dalam plasma darah tikus jantan sehingga nilai awal ini dapat dibandingkan dengan nilai enzim SGPT saat diberikan parasetamol dan ekstrak air pegagan. Nilai enzim SGPT yang didapatkan setiap kelompok berada di bawah nilai enzim SGPT normal pada tikus, yaitu 18-45 U/l (Giknis dan Clifford 2008). Perbedaan ini terjadi kemungkinan berhubungan dengan metode yang digunakan. Untuk memperoleh kadar enzim pada literatur, sampel diambil dari tikus yang teranestesi oleh anestesi inhalasi. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan, sampel diambil dari ekor tikus dalam keadaan hidup. Hal inilah yang dapat menyebabkan nilai SGPT berada di bawah nilai normal. Menurut Ganiswara (1995), anaestesi inhalasi seperti eter dapat menyebabkan gangguan fungsi hati ringan sehingga memungkinkan kenaikan nilai SGPT. Hal ini didukung dengan penelitian Collin et al. (1978) yang menyatakan bahwa eter dapat menaikkan level enzim SGPT tikus walaupun tidak terlihat abnormalitas pada histologi jaringan hati atau organ lainnya. Pengukuran nilai enzim SGPT kedua dilakukan setelah pemberian parasetamol dosis 1000 mg/kg BB yang bertujuan untuk menginduksi kerusakan hepatosit sehingga dapat dilihat perubahannya saat diberikan ekstrak air pegagan. Namun berdasarkan hasil pengamatan, kenaikan nilai SGPT hanya terlihat pada kelompok kontrol dan F 16. Sedangkan pada kelompok F 6, F 10, dan F12 yang terjadi adalah penurunan nilai SGPT. Hal ini menunjukkan induksi parasetamol dalam dosis 1000 mg/kg BB belum mampu merusak hepatosit sehingga tidak terjadi peningkatan nilai enzim SGPT. Sedangkan menurut penelitian Abraham (2004), pemberian parasetamol dengan dosis 1000 mg/kg BB sudah dapat memperlihatkan kerusakan hati yang ditandai dengan peningkatan kadar enzim SGPT. Dosis 1000 mg/kg BB termasuk dalam golongan dosis toksik dari parasetamol. Hal ini didukung penelitian Roy dan Das (2010) yang menggunakan parasetamol dosis 1000 mg/kg BB dengan pemberian per oral menunjukkan setelah 48 jam terjadi peningkatan level ALT, AST, ALP, dan serum bilirubin. Pada histopatologi hati terlihat adanya kongesti parah pada pembuluh darah, degenerasi hidropis ringan, dan nekrosis. International Agency for Research on Cancer (1999) juga menyatakan bahwa pemberian parasetamol dosis melebihi 300 mg/kg BB per hari pada tikus akan menyebabkan kerusakan hati, renal, dan testikularis. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kejadian ini adalah kurang pekanya tikus terhadap dosis parasetamol yang ditentukan dan kekurangmurniannya parasetamol yang digunakan. Oleh karena tidak terjadi peningkatan nilai enzim SGPT maka data yang diperoleh dari kelompok F 6, F 10, dan F12 tidak dapat digunakan untuk penelitian ini. Pengukuran nilai enzim SGPT ketiga dilakukan setelah pemberian parasetamol dosis 1000 mg/kg BB pada hari pertama dan dosis 500 mg/kg BB/hari pada hari kedua hingga hari ke sembilan. Dosis 500 mg/kg BB/hari merupakan dosis maintenance yang bertujuan untuk tetap menjaga kerusakan hati akibat induksi parasetamol dosis 1000 mg/kg BB. Setelah itu satu jam kemudian diberikan ekstrak air pegagan dengan dosis ekstrak 1500 mg/kg BB selama 8 hari (sediaan 200 mg/ml). Melalui hasil analisis statisik terlihat efek yang diberikan F 16 tidak terlalu signifikan (p>0,05) terhadap kontrol. Namun dapat dilihat kelompok F 16 menunjukkan penurunan nilai enzim SGPT akibat pemberian ekstrak air pegagan. Hal ini mengindikasikan zat aktif pegagan yang terkandung dalam F 16 seperti asiatikosida, madekasosida, dan brahminosida (glikosida 7

8 saponin) mampu memperbaiki kerusakan hati akibat parasetamol yang cukup baik (Brinkhaus et al. 2000). Asiatikosida yang merupakan kandungan utama dari pegagan mampu meningkatkan efek enzim antioksidan seperti superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase sehingga diduga mampu menghambat NAPQI untuk menetap dan merusak hepatosit (Antony et al. 2006). Madekasosida dan asam madekasat membantu persembuhan kerusakan hati karena aktifitas antiinflamatori dan imunomodulator yang dimilikinya (Vohra et al. 2011). Selain kandungan tersebut, total glukosida dari pegagan turut membantu memperbaiki fungsi hati yang rusak sehingga terjadi penurunan nilai enzim SGPT (Ming et al. 2004). Histopatologi Organ Hati Pengamatan histolopatologi hati dilakukan untuk memberikan informasi mengenai perubahan mikroskopis hati yang ditimbulkan akibat pemberian ekstrak air pegagan terhadap hati yang diinduksi parasetamol. NAPQI yang dihasilkan dari biotransformasi parasetamol dengan sistem enzim sitokrom P450 akan bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hepatosit sehingga menyebabkan kerusakan hati. Perubahan mikroskopis dapat meliputi perubahan inti sel, sitoplasma, dan sel secara keseluruhan. Berdasarkan pengamatan histopatologi pada kelompok kontrol dan F 16 ditemukan adanya sel normal dan sel yang mengalami perubahan sublethal serta lethal pada hepatosit. Perubahan ini diskoring menggunakan program software ImageJ dan dibandingkan antara vena porta dan vena sentralis untuk melihat efek hepatoprotektif dari ekstrak air pegagan. Skoring dilakukan terhadap lima bidang pengamatan pada hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis untuk menggambarkan derajat keparahan jaringan hati. Perubahan sublethal atau yang sering disebut perubahan degeneratif merupakan proses yang jika rangsangannya dihentikan, maka sel dapat kembali seperti semula. Sedangkan proses lethal merupakan suatu proses sel telah mencapai titik tidak dapat lagi mengkompensasi kerusakan dan telah terjadi kematian sel (nekrosa) (Price dan Wilson 2003). Perubahan sublethal yang terlihat pada bidang pengamatan adalah degenerasi hidropis dan degenerasi lemak. Degenerasi hidropis umumnya dimulai dari daerah porta yang meluas menuju sentralis karena daerah porta merupakan daerah yang pertama kali menerima suplai darah dari saluran pencernaan.darah yang mengandung toksin dibawa dari usus, masuk ke hati melewati vena porta kemudian melewati sinusoid menuju vena sentralis (Price dan Wilson 2003). Secara makroskopis, organ yang mengalami degenerasi hidropis terlihat lebih besar, warnanya opaque, konsistensinya lunak dan rapuh, serta kurang memiliki bentuk lagi. Sedangkan secara mikroskopis, ukuran sel meningkat disertai batas sel yang tidak jelas, sebagian organela sel akan berubah menjadi kantong air, sitoplasma terlihat seperti bervakuola, opaque, dan lebih granuler. Hal ini terjadi karena metabolit reaktif NAPQI merusak membran sel sehingga keseimbangan ion natrium dan kalium terganggu dan terjadilah peningkatan jumlah air ke dalam sel (Mugera 2000).

Sedangkan pada degenerasi lemak, secara makroskopis hati akan terlihat pucat atau coklat kekuningan, licin, dan biasanya perlemakan menyebar ke seluruh bagian. Sedangkan secara mikroskopis, tampak jaringan hati sudah tidak teratur, adanya lemak dalam bentuk droplet kecil atau besar yang mengisi ruang sitoplasma sel hati sehingga komponen dan inti sel hati akan terdesak ke tepi. Hal ini terjadi karena metabolit reaktif NAPQI mengganggu sintesis dan pematangan protein di ribosom pada retikulum endoplasma kasar sehingga tidak terbentuknya apoprotein dan lipoprotein yang akan membawa trigliserida keluar ke plasma untuk dimetabolisme. Hal inilah yang menyebabkan asam lemak tidak dapat disekresikan sehingga menjadi terakumulasi dalam sel hati (Cheville 2006). Pada jaringan histopatologi, degenerasi lemak terlihat seperti ruang kosong di sitoplasma karena saat proses dehidrasi dalam alkohol, droplet lemak akan menghilang meninggalkan bentuk vakuola pada sitoplasma (Mugera 2000). Perubahan lethal yang terlihat pada bidang pengamatan adalah nekrosa. Perubahan nekrosa meliputi perubahan nukleus yaitu piknosis, karioreksis, kariolisis, dan sel yang hilang (Haschek dan Rousseaux 1998). Nekrosa yang terjadi akibat parasetamol adalah nekrosa sentrilobular yang ditandai kerusakan terutama di hepatosit sekitar daerah vena sentralis. Hal ini dikaitkan dengan terbentuknya metabolit sangat reaktif setelah parasetamol dimetabolisme di hati (Cooper 2010). Persentase berbagai perubahan sel hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Persentase Perubahan Keadaan Hepatosit di Sekitar Vena Porta dan Vena Sentralis pada Tikus Putih Jantan Kelompok Kontrol dan yang Diberi Ekstrak Air Pegagan Selama 8 Hari Sebagai Usaha Hepatoproteksi terhadap Efek Toksik Parasetamol 9 Kelompok Lokasi Normal (%) Degenerasi hidropis (%) Degenerasi lemak (%) Nekrosa (%) K F 16 VP 29,3 ± 14,6 ab 38,5 ± 8,9 ab 5,4 ± 2,6 ab 26,8 ±19,5 ab VS 24,7 ±11,8 ab 40,6 ± 5,7 ab 9,2 ± 2,0 ab 25,6 ±15,0 ab VP 36,1 ± 8,0 ab 39,2 ± 6,2 ab 5,3 ± 2,0 ab 19,4 ± 5,0 ab VS 30,4 ± 9,0 ab 46,1 ± 2,3 ab 7,1 ± 4,7 ab 16,3 ± 4,8 ab Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Pada vena porta, sel hepatosit normal pada kelompok F 16 memperlihatkan persentase sel normal yang lebih tinggi disertai degenerasi lemak dan nekrosa yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan nilai persentase degenerasi hidropis lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini menandakan formula ekstrak air pegagan kelompok F 16 berperan dalam mencegah kerusakan sel hati sehingga persentase nekrosa lebih rendah apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kandungan seperti asiatikosida, madekasosida, dan braminosida merupakan zat yang memiliki sifat hepatoprotektif (Brinkhaus et al. 2000;Antony et al. 2006;Vohra et al. 2011). Nilai degenerasi hidropis yang lebih tinggi dapat diartikan sebagai kerusakan awal yang bersifat sementara dan dapat kembali menjadi normal apabila penyebab

10 kerusakan dihentikan (Price dan Wilson 2003). Namun persentase hepatosit normal, hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosa pada seluruh kelompok perlakuan di vena porta tidak berbeda nyata (p>0,05). Hal ini kemungkinan disebabkan proses metabolisme parasetamol saat masuk ke dalam vena porta belum sepenuhnya menghasilkan metabolit toksik NAPQI. Parasetamol yang terkandung dalam aliran darah dari saluran gastroinstestinal saat masuk ke hati melalui vena porta baru akan dimetabolisme hingga fase II (Haschek dan Rousseaux 1998). Gambaran histopatologi hati di sekitar vena porta disajikan pada Gambar 1. VP F 16 VP K 20 µm 20 µm Gambar 1 Perbandingan gambaran histopatologi jaringan hati di sekitar vena porta pada kelompok F 16 dan kontrol. Lesio hepatosit berupa degenerasi hidropis (panah biru), degenerasi lemak (panah hijau), nekrosa (panah hitam), dan sel normal (panah merah). Pewarnaan HE, Perbesaran 400 x. Pada vena sentralis, persentasi hepatosit normal pada kelompok F 16 juga lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini diikuti dengan persentasi degenerasi lemak dan nekrosa pada kelompok F 16 yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan nilai persentase degenerasi hidropis lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol walaupun tidak terjadi perbedaan yang nyata pada seluruh perlakuan (p>0,05). Hal ini semakin membuktikan F 16 memiliki kemampuan meningkatkan daya tahan sel dan menjaga kelangsungan sel normal serta memulihkan sel yang mengalami perubahan degenerasi bersifat sementara akibat metabolit reaktif parasetamol menjadi sel normal kembali. Hal ini disebabkan oleh asiatikosida yang merupakan kandungan utama dari pegagan mampu meningkatkan efek enzim antioksidan sehingga mampu menghambat radikal bebas NAPQI (metabolit reaktif) untuk menetap dan merusak membran sel hepatosit (Antony et al. 2006). Total glukosida dari ekstrak juga efektif untuk menghambat perubahan degenerasi lemak pada hepatosit. Persembuhan juga semakin cepat terjadi karena kandungan triterpenoid saponin seperti madekasosida dan asam madekasat yang memiliki aktifitas antiinflamasi dan imunomodulator (Vohra et al. 2011). Gambaran histopatologi hati disekitar vena sentralis disajikan pada Gambar 2.

11 VS F 16 VS K 20 µm 20 µm Gambar 2 Perbandingan gambaran histopatologi jaringan hati di sekitar vena sentralis pada kelompok F 16 dan kontrol. Lesio hepatosit berupa degenerasi hidropis (panah biru), degenerasi lemak (panah hijau), nekrosa (panah hitam), dan sel normal (panah merah). Pewarnaan HE, Perbesaran 400 x. Hasil skoring pada histopatologi hati ini selaras dengan hasil pengukuran kadar enzim SGPT. Hal ini ditunjukkan melalui penurunan jumlah sel nekrosa pada hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis pada kelompok F 16 dibandingkan kelompok kontrol. Penurunan jumlah sel nekrosa pada kelompok F 16 akibat perlindungan dari ekstrak air pegagan menyebabkan penurunan pelepasan enzim SGPT ke dalam aliran darah sehingga kadar enzim SGPT yang terukur pun menurun dibandingkan kelompok kontrol. Beberapa herbal lain yang dapat dijadikan sebagai perbandingan terhadap efek hepatoprotektif dari pegagan adalah Psidium guajava, Pleurotus florida, dan Plumbago zeylanica. Psidium guajava memiliki kandungan antioksidan yang cukup baik sehingga mampu mengeliminasi radikal bebas yang dihasilkan oleh metabolit parasetamol (Roy dan Das 2010). Sedangkan Pleurotus florida, walaupun belum diketahui komponen yang bertanggung jawab terhadap efek hepatoprotektif, namun terbukti berperan dalam menurunkan level serum bilirubin dan menjaga jaringan hati dengan mengeleminasi radikal bebas hasil metabolit parasetamol (Sumy et al. 2011). Plumbago zeylanica juga menunjukkan aktifitas hepatoprotektif yang baik. Kandungan triterpenoid dan steroid yang dimiliki tumbuhan ini mampu menurunkan level serum penanda kerusakan hati (Kanchana dan Sadiq 2011). SIMPULAN Formula ekstrak air pegagan pada F 16 memiliki kemampuan yang baik dalam menjaga kelangsungan hepatosit normal dan memulihkan hepatosit yang mengalami kerusakan sementara untuk pulih kembali sehingga terjadi penurunan nilai enzim SGPT setelah diinduksi parasetamol walaupun efek yang diberikan tidak terlalu signifikan dibandingkan kelompok kontrol.