18 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber Daya Organisasi adalah salah satu komponen penting dalam penyelenggaraan suatu organisasi. Komponen tersebut mencakup sumber daya manusia, peralatan atau fasilitas yang digunakan, prosedur kerja atau standard operation procedure dan sumber dana. Kebutuhan sumber daya organisasi tersebut dinilai penting demi terlaksananya seluruh fungsi dan tujuan suatu organisasi baik organisasi pemerintah maupun organisasi swasta atau berbagai jenis kelembagaan lainnya. Komponen sumber daya manusia meliputi ketersediaan tenaga dari aspek kuantitas maupun aspek kualitas melalui perencanaan kebutuhan tenaga, peningkatan pengetahuan, keterampilan, distribusi serta pendayagunaan tenaga. Komponen prosedur dan peralatan mencakup ketersediaan sarana dan fasilitas serta kejelasan tatalaksana kerja dan komponen dana adalah keseluruhan dana yang dibutuhkan dan dikeluarkan untuk penyelenggaraan peran dan fungsi organisasi guna mencapai tujuan organisasi secara komprehensif (Malayu, 2004). Salah satu organisasi pemerintahan yang melibatkan keseluruhan komponen sumber daya organisasi adalah dinas kesehatan. Dinas kesehatan atau yang disebut Satuan Kerja Perangkat Daerah secara organisatoris merupakan fungsionaris dari kelembagaan pemerintahan suatu daerah dalam menjalankan tugas pokok dan 1
19 fungsinya dalam mengupayakan pembangunan kesehatan disuatu daerah melalui berbagai program dan kegiatan yang termasuk dalam penyelenggaraan fungsi dinas kesehatan. Konsekuensi dari keutuhan sumber daya organisasi adalah kinerja dinas kesehatan secara keseluruhan karena, jika salah satu dari komponen sumber daya organisasi tidak terpenuhi maka keberlangsungan proses penyelenggaraan program atau pelayanan kesehatan tidak dapat terlaksana secara efesien dan efektif serta tidak tercapainya visi, misi maupun target yang diharapkan. Menurut Ilyas (2001) yang mengutip pendapat Gibson (1987), kinerja suatu organisasi dipengaruhi oleh (1) faktor organisasi meliputi sumber daya, kepemimpinan dan imbalan, serta desain pekerjaan, (2) faktor individu meliputi kompetensi (pengetahuan dan keterampilan) serta sosiodemografis dan faktor psikologis meliputi persepsi, motivasi, sikap dan kepribadian. Hal ini jika dikaitkan dengan pendapat Aditama (2003), maka unsur sumber daya organisasi mencakup faktor individu, dan organisasi. Menurut Lembaga Administrasi Negara (2003) indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan yang telah ditetapkan, yang meliputi sumber daya manusia, proses, dana dan waktu guna mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Salah satu program penting yang menjadi indikator keberhasilan penyelenggaran fungsi dinas kesehatan adalah program surveilans epidemiologi. Surveilans epidemiologi adalah suatu kegiatan yang sistematis yang diawali dari
20 proses perencanaan, pengumpulan data, analisis data dan penyajian data menjadi informasi dan intervensi terhadap masalah kesehatan yang ditemukan (Murti, 2003). Masalah kesehatan yang dimaksud adalah masalah kesehatan yang berhubungan dengan epidemiologi penyakit menular dan tidak menular serta terintegrasi dengan kesehatan ibu dan anak (KIA). Indikator pelaksanaan surveilans epidemiologi adalah tersedianya tenaga epidemiologi minimal satu orang, tersedianya data terkini, kelengkapan pelaporan secara menyeluruh dari jenis pelaporan seperti pelaporan program kesehatan ibu dan anak, pelaporan Kejadian Luar Biasa, pelaporan penemuan kasus-kasus baru dari penyakit menular dan berbagai jenis pelaporan lainnya yang terakomodir dalam sistem pencatatan dan pelaporan terpadu serta ketepatan waktu pelaporan (Depkes RI, 2004). Selama desentralisasi, fungsi surveilans epidemiologi KIA sangat penting mendukung upaya strategis deteksi dini terjadinya masalah KIA di suatu daerah. Unit yang sangat berperan terhadap surveilans KIA adalah puskesmas, mengingat puskesmas adalah ujung tombak pelayanan kesehatan dasar dan merupakan fungsionaris dari dinas kesehatan suatu daerah. Pada pelaksanaanya petugas puskesmas harus mengacu pada prosedur tetap yang telah ditentukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan dapat dikolaborasikan dengan kebutuhan suatu daerah. Tujuan umum Program Kesehatan Ibu dan Anak adalah menurunkan kematian (Mortality) dan kejadian sakit (Morbility) di kalangan ibu. Kegiatan program ini
21 ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu selama kehamilan, pada saat bersalin dan saat ibu menyusui serta meningkatkan derajat kesehatan anak. Masalah kematian dan kesakitan ibu di Indonesia masih merupakan masalah besar. Berdasarkan survey SDKI 2002/2003, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada angka 307 / 100.000 kelahiran hidup. Angka ini 3 6 kali lebih besar dari negara di wilayah ASEAN dan lebih dari 50 kali dari angka di negara maju. Demikian pula Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia, menurut hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia 1997 adalah 52 / 1000 kelahiran hidup, pada tahun 2002/2003 masih berada pada kisaran 35 / 1000 kelahiran hidup. Dibandingkan negara ASEAN lainnya, AKB Indonesia 2-5 kali lebih. Keberhasilan pelaksanaan surveilans epidemiologi menjadi indikator kinerja puskesmas dan kinerja dinas kesehatan secara keseluruhan. Kinerja surveilans epidemiologi dilihat dari beberapa indikator khususnya pada indikator proses yaitu (1) kelengkapan laporan unit pelaporan dan sumber data awal 80 %, (2) ketepatan laporan unit pelapor dan sumber data awal 80 %, (3) penerbitan buletin kajian epidemiologi sebesar 4 kali atau lebih setahun, dan (4) adanya umpan balik sebesar 80 % atau lebih terhadap permasalahan yang dihadapi. Permasalahan KIA yang dilakukan surveilans mencakup pemantauan wilayah setempat masalah KIA yaitu kematian ibu, kematian bayi dan balita, kunjungan ibu hamil, pertolongan persalinan, serta penangangan ibu hamil risiko tinggi (Depkes RI, 2004). Cakupan surveilans epidemiologi KIA secara nasional masih rendah yang terlihat dari minimnya kelengkapan data KIA, belum efesiennya waktu pelaporan,
22 serta belum terakomidirnya secara komprehensif penanggulangan masalah KIA. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia (2008), kelengkapan data kunjungan ibu hamil hanya 52,9%, deteksi ibu hamil risiko tinggi hanya 46,2%, dan berdasarkan jumlah data yang masuk dari provinsi di seluruh Indonesia, masih ada yang belum mengirim data yang lengkap untuk dijadikan profil kesehatan sebagai medis informasi dan gambaran pembangunan kesehatan di Indonesia. Hal ini memberikan suatu gambaran sederhana bahwa surveilans epidemiologi masih menjadi masalah utama dalam percepatan penyelengaraan pelayanan kesehatan, sehingga secara terus menerus menjadi program prioritas dari seluruh program kesehatan di Indonesia. Kondisi ini didukung oleh minimnya tenaga pelaksana surveilans epidemiologi. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia (2008), tenaga epidemiologi di seluruh kabupaten/kota di Indonesia belum merata. Hal ini terlihat dari rendahnya rasio tenaga epidemiologi terhadap jumlah puskesmas yaitu hanya 0,5 per 1000 puskesmas dari 8.234 unit puskesmas Indonesia. Permasalahan surveilans epidemiologi tersebut juga terjadi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan Rencana Strategis Provinsi NAD (2006-2010), bahwa permasalahan utama dalam perencanaan kesehatan adalah masih lemahnya sistem informasi kesehatan di daerah yang terlihat dari belum adekuatnya sistem pelaporan, dan pemanfaatan data dan informasi oleh pengambil keputusan, pelaporan masih tidak tepat waktu, tidak teratur, tidak terpadu, serta minimnya analisis data menjadi informasi di kabupaten/kota.
23 Data Dinas Kesehatan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam menunjukkan bahwa AKI Provinsi NAD tahun 2005 adalah 354/100.000 kelahiran hidup, AKB sebesar 39/1000 kelahiran hidup, sedangkan secara nasional 2005 AKI adalah 262/100.000 dan AKB 32/1000 (Dinkes Prov. NAD, 2006). Salah satu kabupaten di provinsi NAD yang juga mengalami permasalahan surveilans epidemilogi adalah Kabupaten Bireuen. Berdasarkan profil Kesehatan Kabupaten Bireuen (2008), diketahui angka kematian ibu di Kabupaten Bireuen pada tahun 2008 yaitu 201/100.000 kelahiran hidup atau dengan jumlah kematian ibu 14 orang. Angka tersebut menunjukkan tertinggi nomor urut ke empat setelah Kabupaten Aceh Utara, Pidie dan Aceh Tamiang, jumlah tenaga epidemiologi masih kurang, yaitu hanya 5 orang, sementara jumlah puskesmas sebanyak 17 unit, sehingga tenaga yang ditugaskan terhadap pelaksanaan surveilans epidemiologi dilakukan oleh tenaga medis lainnya seperti perawat dan bidan. Selain itu kelengkapan laporan hanya 45,9% pada evaluasi tahun 2008, dan sering tidak tepat waktu. Kondisi ini sangat berdampak terhadap perencanaan penanganan masalah kesehatan khususnya masalah KIA, dan penanganan kasus-kasus ibu hamil risiko tinggi, kejadian bayi lahir rendah dan berbagai indikator KIA lainnya. Fenomena ini terjadi akibat dari minimnya tenaga, dan rendahnya kemampuan tenaga pelaksana surveilans epidemiologi KIA puskesmas akibat minimnya pendidikan dan pelatihan tentang surveilans epidemiologi KIA. Berdasarkan laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) tahun 2008, dinas kesehatan hanya melakukan 1 kali pelatihan surveilans epidemiologi, dan pada minilokakarya
24 cenderung lebih banyak mendiskusikan masalah perkembangan kunjungan, sehingga berdampak terhadap kinerja petugas surveilans puskesmas yang dilihat dari indikatorindikator surveilans KIA. Beberapa penelitian menunjukkan fenomena kinerja petugas surveilans cenderung terjadi diberbagai daerah. Penelitian Kartono (2006) di Surabaya, menemukan ketepatan waktu pelaporan program puskesmas hanya 36,36% dari sejumlah Tim Epidemiologi Puskesmas, akurasi data juga masih belum baik, yang diindikasikan dari sistem pengolahan data yang masih manual dan tidak terprogram dengan sistem komputerisasi. Penelitian Surbagus dan Handono (2007) menemukan terdapat hubungan pengetahuan dengan kinerja petugas dinas kesehatan dan secara proporsi menunjukkan 89,2% petugas yang berpengetahuan baik mempunyai kinerja petugas baik. Menurut Ridwan (2004) yang mengutip pendapat Keith dan Davis bahwa kinerja pegawai atau petugas diberbagai instansi sangat dipengaruhi oleh sumber daya organisasi khususnya kompetensi (kemampuan dan ketrampilan). Hal ini senada dengan penelitian Kristiani dan Mukhlis (2007) di Kabupaten Aceh Timur, bahwa kinerja petugas puskesmas dipengaruhi oleh faktor organisasi seperti supervisi dan sarana, 78,2% petugas yang tidak mendapatkan sarana mempunyai kinerja yang buruk yang ditunjukkan oleh minimnya kedisiplinan petugas, dan rendahnya cakupan pencatatan dan pelaporan form-form analisis situasi kesehatan di wilayah kerjanya.
25 Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh sumber daya organisasi puskesmas terhadap kinerja petugas surveilans epidemiologi dalam pelaporan KIA di Kabupaten Bireuen. 1.2 Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh sumber daya organisasi puskesmas (umur, masa kerja, pengetahuan, keterampilan, motivasi, sarana, dana dan prosedur kerja) terhadap kinerja petugas surveilans epidemiologi dalam pelaporan KIA di Kabupaten Bireuen. 1.3 Tujuan Penelitian Menganalisis pengaruh sumber daya organisasi puskesmas (umur, pendidikan, masa kerja, pengetahuan, keterampilan, motivasi, sarana, dana dan prosedur kerja) terhadap kinerja petugas surveilans epidemiologi dalam pelaporan KIA di Kabupaten Bireuen. 1.4 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah 1. Ada pengaruh umur terhadap kinerja petugas surveilans epidemiologi dalam 2. Ada pengaruh pendidikan terhadap kinerja petugas surveilans epidemiologi dalam
26 3. Ada pengaruh masa kerja terhadap kinerja petugas surveilans epidemiologi dalam 4. Ada pengaruh pengetahuan terhadap kinerja petugas surveilans epidemiologi dalam 5. Ada pengaruh keterampilan terhadap kinerja petugas surveilans epidemiologi dalam 6. Ada pengaruh motivasi terhadap kinerja petugas surveilans epidemiologi dalam 7. Ada pengaruh sarana terhadap kinerja petugas surveilans epidemiologi dalam 8. Ada pengaruh dana terhadap kinerja petugas surveilans epidemiologi dalam 9. Ada pengaruh prosedur kerja terhadap kinerja petugas surveilans epidemiologi dalam 1.5 Manfaat Penelitian 1. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dalam peningkatan dan penguatan surveilans epidemiologi KIA di wilayah kerjanya, melalui peningkatan pengetahuan dan supervisi ke puskesmas. 2. Memberikan masukan kepada kepala Puskesmas se- Kabupaten Bireuen untuk memonitoring secara terpadu terhadap pelaksanaan surveilans epidemiologi KIA. 3. Menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.