(RTRW) PUBLIKASI ILMIAH

dokumen-dokumen yang mirip
TENTANG KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati

KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DI KECAMATAN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

Kajian Struktur Ruang Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi Kabupaten Sleman

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN SLEMAN BERDASARKAN ANALISIS RISIKO BENCANA GUNUNG MERAPI SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan melalui

Pemetaan Daerah Risiko Banjir Lahar Berbasis SIG Untuk Menunjang Kegiatan Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Gunung Semeru, Kab.

BAB I PENDAHULUAN. dengan lebih dari pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Rapid Assessment Terhadap Kerusakan Bangunan Akibat Erupsi Merapi Tahun 2010

Analisis Risiko Bencana-... (Akhmad Ganang H.)

BAB IV DATA DAN INFORMASI PEMBANGUNAN. Buku Profil BPBD Kabupaten Sleman Tahun

BAB I PENDAHULUAN. termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan Gunung berapi Pasifik), juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and

Devie Anika Banu Armaya Dyah Rahmawati Hizbaron

I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang masih ada hingga sampai saat ini. Kerugian material yang ditimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Ancaman Bencana Gunung Api Di Indonesia (Sumber : BNPB dalam Website, 2011)

Empowerment in disaster risk reduction

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Cindy P. Welang¹, Windy Mononimbar², Hanny Poli³

DAMPAK ABU VULKANIK ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 TERHADAP PRODUKSI PADI DI KABUPATEN SLEMAN. Yusuf Amri

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB III LANDASAN TEORI

KERENTANAN (VULNERABILITY)

BAB III TINJAUAN KAWASAN

KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DI KECAMATAN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

BAB I PENDAHULUAN. harta benda, dan dampak psikologis. Penanggulangan bencana merupakan suatu

SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG API GAMALAMA DI PERMUKIMAN KAMPUNG TUBO KOTA TERNATE

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

Arahan Adaptasi Kawasan Rawan Tanah Longsor Dalam Mengurangi Tingkat Kerentanan Masyarakat Di KSN. Gunung Merapi Kabupaten Sleman

BAB I PENDAHULUAN. untuk dijadikan permukiman sehingga muncul larangan bermukim. Merapi terletak antara dua provinsi yakni Daerah Istimewa

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan. Menurut Bakosurtanal, pulau di

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara

BAB I PENDAHULUAN. imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas,

Jenis Bahaya Geologi

ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT BANJIR LAHAR PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 DI SUB DAS KALI PUTIH JURNAL PUBLIKASI ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis,

ANALISIS SPASIAL UNTUK MENENTUKAN ZONA RISIKO BANJIR BANDANG (STUDI KASUS KABUPATEN SINJAI)

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Geo Image (Spatial-Ecological-Regional)

besar dan daerahnya rutin terkena banjir setiap masuk hujan. Padahal kecamatan ini memiliki luas yang sempit.hal tersebut menjadikan kecamatan ini men

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Analisis Spasial untuk Menentukan Zona Risiko Banjir Bandang (Studi Kasus: Kabupaten Sinjai)

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

Contents BAB I... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pokok Permasalahan Lingkup Pembahasan Maksud Dan Tujuan...

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

BAB I PENDAHULUAN 1. Pengantar 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 merupakan bencana alam besar yang melanda Indonesia dan

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.2

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yaitu dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14]

MITIGASI BENCANA BENCANA :

KELAYAKAN SISTEM EVAKUASI KAWASAN RAWAN BENCANA LETUSAN GUNUNG MERAPI DI KABUPATEN SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang,

Imam A. Sadisun Pusat Mitigasi Bencana - Institut Teknologi Bandung (PMB ITB) KK Geologi Terapan - Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - ITB

BAB I PENDAHULUAN. Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada, dan selanjutnya di tingkatkan

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta merupakan gunung paling aktif di dunia. Gunung Merapi

BAB I PENDAHULUAN. samudra Hindia, dan Samudra Pasifik. Pada bagian selatan dan timur

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN

MITIGASI BENCANA LAHAR HUJAN GUNUNGAPI MERAPI BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JAUH DI SUB DAS KALI PUTIH KABUPATEN MAGELANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

EVALUASI RENCANA TATAA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN SLEMAN BERDASARKAN ANALISIS RISIKO BENCANA GUNUNG MERAPI PUBLIKASI ILMIAH Disusun Oleh : TERESITA OKTAVIA ROSARI NIM : E100130079 FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

EVALUASI RENCANA TATAA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN SLEMAN BERDASARKAN ANALISIS RISIKO BENCANA GUNUNG MERAPI PUBLIKASI ILMIAH Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Disusun Oleh : TERESITA OKTAVIA ROSARI NIM : E100130079 FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

i

ii

EVALUATION OF SLEMAN DISTRICT SPATIAL PLAN BASED RISK DISASTER MERAPI VOLCANO ANALYSIS Teresita Oktavia Rosari 1, Kuswaji Dwi Priyono 2, Jumadi 3 1 Student Faculty of Geography Muhammadiyah Surakarta University 2,3 Lecture Faculty of Geography Muhammadiyah Surakarta University teresitaoktaviarosari@yahoo.co.id E 100130079 ABSTRACT Research entitled Evaluation of Sleman District Spatial Plan Based Risk Disaster Merapi Volcano Analysis aims to : (1) determine the distribution of disaster risk level of Mount Merapi in Sleman; (2) evaluate Regional Spatial Layout Plan Sleman district by planning based disaster area; and (3) determine the application of spatial planning aspects of the disaster in Sleman. Method used in this research is the overlay method to determine the distribution of rate risk Merapi disaster in Sleman. The distribution map of the level of risk of Merapi disaster in Sleman generated from the overlay of two components, namely the components of hazard and vulnerabilities. Merapi disaster risk maps in Sleman is a reference to evaluate the spatial plan Sleman District. Evaluation regional spatial planning in this research focused on the planning of cultivated area. Cultivated area is an area used by residents to perform activities of daily socioeconomic so the plans must be based on disaster region, hence evaluation is needed to determine appropriateness of the information about each cultivated area. Information regarding to the conformance cultivation planning area overlay map obtained by the method of Merapi disaster level of risk maps, Sleman Regency, Sleman district plans cultivated area. The results of the conformity map plan overlay produces cultivated area. Based on the analysis, planning mostly cultivated area in Sleman district is in conformity with the area-based planning for disaster, as is evident by the cultivation area, mostly built in the area of very low disaster risk level. Regions that does not fit with area-based planning for disaster is holticulture and settlements area located in areas of high levels disaster risk. Settlements that does not fit are the Glagaharjo village, Kepuharjo, and the northern Umbulharjo village. Keywords: Regional Spatial Plan, Cultivation Area Plan, Disaster Risk. iii

EVALUASI RENCANA TATA RUANG KABUPATEN SLEMAN BERDASARKAN ANALISIS RISIKO BENCANA GUNUNG MERAPI Teresita Oktavia Rosari 1, Kuswaji Dwi Priyono 2, Jumadi 3 1 Mahasiswa Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta 2,3 Dosen Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta teresitaoktaviarosari@yahoo.co.id E 100130079 ABSTRAK Penelitian berjudul Evaluasi Rencana Tata Ruang Kabupaten Sleman Berdasarkan Analisis Risiko Bencana Merapi ini bertujuan untuk : (1) mengetahui sebaran tingkat risiko bencana Gunung Merapi di Kabupaten Sleman; (2) mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman berdasarkan perencanaan kawasan berbasis kebencanaan; dan (3) mengetahui penerapan aspek kebencanaan dalam penataan ruang di Kabupaten Sleman. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode overlay untuk mengetahui sebaran tingkat risiko bencana Merapi di Kabupaten Sleman. Peta sebaran tingkat risiko bencana Merapi di Kabupaten Sleman dihasilkan dari overlay dua komponen bencana yaitu komponen ancaman dan kerentanan. Peta tingkat risiko bencana Merapi di Kabupaten Sleman merupakan acuan untuk mengevaluasi rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sleman. Evaluasi rencana tata ruang wilayah dalam penelitian ini difokuskan pada perencanaan kawasan budidaya. Kawasan budidaya merupakan kawasan yang digunakan oleh penduduk untuk melakukan aktivitas sosial ekonominya sehari-hari sehingga perencanaan kawasannya harus berbasis kebencanaan, oleh karena itu dibutuhkan evaluasi untuk mengetahui informasi mengenai kesesuaian masing-masing kawasan budidaya. Informasi mengenai kesesuaian kawasan perencanaan budidaya diperoleh melalui metode overlay peta tingkat risiko bencana Merapi Kabupaten Sleman dengan peta rencana kawasan budidaya Kabupaten Sleman. Hasil overlay menghasilkan peta kesesuaian rencana kawasan budidaya. Berdasarkan hasil analisis, sebagian besar perencanaan kawasan budidaya di Kabupaten Sleman sudah sesuai dengan perencanaan kawasan berbasis kebencanaan, ini terbukti dengan kawasan budidaya yang sebagian besar dibangun pada kawasan tingkat risiko bencana sangat rendah. Kawasan yang tidak sesuai dengan perencanaan kawasan berbasis kebencanaan adalah kawasan pertanian holtikultura dan permukiman yang berada pada kawasan risiko bencana tingkat tinggi. Kawasan permukiman yang tidak sesuai yaitu permukiman di Desa Glagaharjo, Kepuharjo, dan bagian utara Desa Umbulharjo. Kata kunci : Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Kawasan Budidaya, Risiko Bencana. iv

1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Fungsi rencana tata ruang pada daerah rawan bencana sejatinya adalah sebagai instrumen pengurangan risiko bencana, karena perencanaan tata ruang dilakukan pada saat bencana tidak/belum terjadi. Menurut Brody, 2004 dalam Sagala dan Bisri, 2011, keputusan dalam bentuk kebijakan pembangunan dapat diarahkan untuk mengurangi komponen pembentuk risiko, baik menghindari lokasi bahaya, mengeliminasi kerentanan, dan memperkuat kapasitas. Tujuan perencanaan ruang pada daerah rawan bencana adalah untuk mengendalikan pengembangan dan pembangunan di daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya bencana. Dampak positif dari pembatasan pembangunan pada daerah yang rawan terhadap bencana akan meminimasi potensi paparan (exposure) dan mengurangi kemungkinan terjadinya kerugian jiwa serta kerusakan harta benda di daerah-daerah rawan bencana. Pembangunan yang tidak mengindahkan aspek kebencanaan dapat berakibat pada besarnya risiko bencana yang timbul (Sagala dan Bisri, 2011). Tujuan penataan ruang Kabupaten Sleman adalah mewujudkan ruang kabupaten yang tanggap terhadap bencana dan berwawasan lingkungan dalam rangka menciptakan masyarakat yang sejahtera, demokratis, dan berdaya saing. Sedangkan permasalahan penting yang sedang dihadapi oleh Kabupaten Sleman yang dimasukkan dalam agenda riset daerah tahun 2011-2015 pada point 14 tentang kebencanaan dan masalah lingkungan adalah kegiatan penanggulangan bencana masih pada tahapan tanggap darurat dan rehabilitasi rekonstruksi sehingga belum menjadikan kegiatan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas. Konsep tujuan penataan ruang tersebut apabila diintegrasikan dengan permasalahan kebencanaan tentang rendahnya kegiatan pengurangan risiko bencana maka permasalahan baru yang muncul adalah RTRW Kabupaten Sleman yang belum mampu mewujudkan tujuan utamanya yaitu untuk mewujudkan ruang kabupaten yang tanggap terhadap bencana. Untuk mencapai tujuan penataan ruang Kabupaten Sleman yaitu ruang kabupaten yang tanggap bencana dapat diwujudkan melalui penataan kawasan, khususnya penataan kawasan budidaya karena kawasan budidaya merupakan kawasan pembangunan dan ruang bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas 1

sosial ekonominya sehari-hari. Selain itu upaya yang dapat dilakukan adalah pembatasan pembangunan di kawasan budidaya. Penataan kawasan budidaya dapat dilakukan dengan mengevaluasi RTRW Kabupaten Sleman. Hasil evaluasi RTRW dapat menghasilkan informasi terkait tingkat risiko pada masing-masing kawasan budidaya sehingga dapat dilakukan pembatasan pembangunan ataupun relokasi pada daerah yang memiliki risiko tinggi. Hasil evaluasi RTRW juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun rencana tata ruang yang baru sebagai upaya pengurangan risiko bencana, karena pengurangan risiko bencana dapat dilakukan salah satunya melalui rencana tata ruang wilayah. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Evaluasi RTRW Kabupaten Sleman Berdasarkan Analisis Risiko Bencana Gunung Merapi. 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui sebaran tingkat risiko bencana Merapi di Kabupaten Sleman; (2) mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) peruntukan kawasan budidaya di Kabupaten Sleman agar diketahui daerah-daerah kawasan perencanaan yang sesuai dan tidak sesuai dengan perencanaan kawasan berbasis kebencanaan; dan (3) mengetahui penerapan aspek kebencanaan dalam penataan ruang di Kabupaten Sleman. 2. Dasar Teori a. Tata Ruang Berbasis Bencana Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 pengertian penataan ruang tidak hanya berdimensi perencanaan pemanfaatan ruang, tetapi juga termasuk dimensi pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tata ruang diharapkan dapat membantu mengurangi dampak dari suatu risiko bencana alam, seperti gempa, tsunami, banjir, letusan gunungapi dan bencana alam lainnya. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang wilayah dan kota atau kawasan semestinya harus mempertimbangkan faktor bencana alam, khususnya pada kota dan kawasan yang berlokasi pada wilayah rawan bencana alam, hal ini bertujuan agar dampak negatif akibat bencana dapat diminimalkan. Hyogo Framework for Action (HFA Kerangka Aksi Hyogo) dan UNISDR tahun 2005, dalam Sagala dan Bisri, 2011, juga mengamanatkan peran 2

tata ruang (land use planning) dalam pengurangan risiko bencana termasuk melakukan pembatasan pembangunan di kawasan rawan bencana. b. Kawasan Rawan Bencana dan Risiko Bencana Kawasan rawan bencana bukan sebuah kawasan yang steril dan bersih dari berbagai macam kegiatan manusia termasuk peruntukannya. Banyak dijumpai kasus, areal yang ditetapkan sebagai kawasan rawan banjir, namun dipergunakan untuk permukiman, industri dan pertanian. Kawasan rawan bencana gunungapi dimanfaatkan untuk pertanian dan permukiman serta pariwisata, bahkan di zona patahan aktif berkonsterasi penduduk dan perkotaan. Terkait dengan prediksi tingkat risiko bencana di masing-masing kawasan rawan bencana jika peruntukan ruang (khususnya kawasan budidaya) untuk kegiatan lain, maka dapat dikelompokkan beberapa tipe risiko yang akan dihadapi yaitu : 1. Risiko tinggi, diprediksi terjadi pada kawasan rawan bencana yang alokasi peruntukan ruangnya untuk kegiatan-kegiatan industri, permukiman, pariwisata, dan perdagangan jasa. Pada lokasi tersebut terdapat konsentrasi elemen terdampak bencana seperti penduduk, aset masyarakat, infrastruktur, dan lain-lain. Lokasi ini memiliki tingkat kerentanan tinggi; 2. Risiko sedang, diprediksi terjadi pada kawasan rawan bencana yang alokasi peruntukan ruangnya untuk kegiatan-kegiatan pertanian, seperti pertanian lahan basah, perkebunan, perikanan, peternakan dan pertambangan. Lokasi tersebut dicirikan dengan kepadatan penduduk yang sedang dan jumlah aset serta infrastruktur yang lebih rendah dibandingkan dengan peruntukan permukiman, industri dan perdagangan jasa. Lokasi ini memiliki tingkat kerentanan bencana yang relatif menengah (sedang); 3. Risiko rendah, diprediksi terjadi pada kawasan rawan bencana yang alokasi peruntukan ruangnya untuk kegiatan pertanian, khusunya pertanian lahan kering yang umumnya dicirikan dengan kepadatan rendah dan produktivitas lahan yang rendah pula, sehingga tingkat kerentanan bahaya juga rendah. Pada wilayah tipe ini tingkat ancaman yang paling tinggi adalah bahaya kekeringan; 4. Risiko sangat rendah, diprediksi terjadi pada kawasan rawan bencana yang alokasi perutukan ruangnya 3

untuk kegiatan hutan produksi, dimana pada areal hutan umumnya tidak berpenghuni atau sangat rendah jumlah penduduk didalamnya. Jika terdapat penduduk umumnya di areal sekitar hutan yang jumlahnya sedikit dan terpencar. Selain itu aset produksi hutan tidak rusak akibat bencana atau masih dapat dimanfaatkan, kecuali jika yang terjadi adalah bencana kebakaran hutan. Dengan kata lain di luar bencana kebakaran hutan, tingkat risiko bencana (lainnya) pada lokasi ini dapat digolongkan tingkat sangat rendah. c. Analisis Risiko Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, ancaman, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Muta ali, 2014). Risiko dapat dinilai secara kuantitatif dan merupakan probabilitas dari dampak atau konsekuensi suatu bahaya. Indikator risiko merupakan komposit (gabungan) dari indikator ancaman, kerentanan, dam kapasitas sesuai dengan formula risiko bencana. International Strategy for Disaster Reduction (ISDR) memberikan pengertian analisis risiko bencana sebagai metodologi dalam menentukan risiko melalui suatu analisis ancaman bencana dan evaluasi terhadap kondisi eksisting. Langkah awal dalam analisis risiko adalah menetapkan konsep dan formula risiko yang digunakan. Terdapat banyak formula perhitungan risiko bencana, namun dalam bagian ini konsep risiko yang ditulis adalah konsep risiko yang digunakan dalam Peraturan Kepala BNBP Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Mitigasi Risiko Bencana dalam Muta ali, 2014, yaitu : R = H x V / C Keterangan : R = Risk (Risiko) H = Hazard Threat (Ancaman) V = Vulnerability (Kerentanan) C = Capacity (Kapasitas) 3. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif berjenjang dengan teknik pengharkatan/skoring. Pengharkatan/skoring dilakukan pada setiap indikator pada tiap komponen yang mempengaruhi tingkat risiko bencana. Proses yang digunakan untuk memperoleh peta tingkat risiko bencana Merapi adalah dengan proses analisis data sekunder berupa overlay atau penggabungan peta-peta tematik 4

yang menjadi komponen dalam penentuan tingkat risiko bencana, yaitu peta kerentanan dan peta ancaman. Peta tingkat risiko bencana yang menyajikan informasi mengenai sebaran tingkat risiko bencana Merapi di Kabupaten Sleman digunakan sebagai pertimbangan untuk mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman. Semua proses dilakukan dengan bantuan software berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu ArcGIS 9.3. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Analisis Sebaran Ancaman Bencana Merapi di Kabupaten Sleman Tingkat ancaman bencana Merapi didasarkan pada peta kawasan rawan bencana Merapi di Kabupaten Sleman yang diterbitkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Kawasan rawan bencana zone I adalah kawasan rawan bencana yang memiliki tingkat ancaman bencana rendah. Potensi bahaya pada kawasan rawan bencana zone I adalah lahar/ banjir dan kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas dan aliran lava. Endapan material hasil erupsi tersebut berpotensi menjadi lahar apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi di kawasan puncak Gunung Merapi. Lahar tersebut kemudian akan terbawa air dan dialirkan ke sungai-sungai besar yang berhulu di puncak Gunung Merapi, diantaranya pada sungai-sungai besar yang melintas di Kabupaten Sleman yaitu Sungai Opak, Sungai Krasak, Sungai Kuning, dan Sungai Boyong. Bahaya yang ditimbulkan akibat lahar dapat berupa meluapnya lahar dari tanggul sungai yang dapat meluas sampai ke kawasan pertanian dan permukiman penduduk. Ancaman bencana Merapi tingkat rendah tersebar di beberapa desa di beberapa kecamatan Kabupaten Sleman yang berada dalam kawasan rawan bencana zone I dan berlokasi di daerah sekitar bantaran sungai yang dilalui oleh Sungai Opak, Sungai Krasak, Sungai Kuning, dan Sungai Boyong. Batas kawasan rawan bencana zone II yang juga terklasifikasi dalam area yang termasuk dalam kategori tingkat ancaman sedang, untuk ancaman aliran awan panas adalah sejauh 17km atau lebih dari puncak Merapi. Ancaman bencana Merapi tingkat tinggi terdapat pada beberapa desa yang termasuk dalam kawasan rawan bencana Merapi zone III. Desa-desa yang memiliki tingkat ancaman tinggi adalah desa-desa yang berlokasi di 5

wilayah lereng Merapi atas dan berada sangat dekat dengan puncak Gunung Merapi. Gambar 4.1. Peta Sebaran Tingkat Risiko 4.2. Analisis Sebaran Kerentanan Sosial Bencana Merapi di Kabupaten Sleman Kerentanan sosial menurut Birkmann & Wisner, 2006; Ebert, et al., 2007 dalam Hizbaron dkk, 2010, menunjukkan potensi kehilangan pada elemen risiko khusus yang merujuk pada keadaan manusia, disertai kondisi yang menyertainya seperti usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang ekonomi atau faktor lain yang dapat menyebabkan mereka berada dalam kondisi rentan. Penggunaan indikator kerentanan sosial untuk menghitung tingkat risiko didasarkan atas kepentingan penelitian yaitu difokuskan untuk mengurangi risiko jatuhnya korban jiwa. Informasi kerentanan bencana sangat dibutuhkan pada daerah-daerah yang memiliki potensi ancaman bencana seperti Kabupaten Sleman. Informasi mengenai kerentanan bencana dapat membantu dalam usaha pengurangan risiko bencana dengan mengidentifikasi masing-masing tingkat kerentanan bencana di suatu wilayah. Tingkat kerentanan bencana di Kabupaten Sleman terbagi menjadi tiga klasifikasi yaitu, kerentanan rendah, kerentanan sedang, dan kerentanan tinggi. Kabupaten Sleman bagian utara didominasi daerah dengan tingkat kerentanan bencana rendah, karena Sleman bagian utara adalah kawasan perdesaan yang cenderung memiliki jumlah penduduk yang sedikit sehingga kepadatan penduduknya jarang dan jumlah penduduk usia rentan juga sedikit. Walaupun memiliki tingkat kerentanan sosial rendah, daerah di Kabupaten Sleman bagian utara merupakan wilayah yang memiliki ancaman bencana Merapi tinggi, khususnya desa-desa yang berada pada kawasan lereng atas Merapi karena kawasan tersebut sangat dekat dengan sumber bahaya bencana Merapi yaitu puncak Gunung Merapi. Wilayah yang memiliki tingkat kerentanan rendah tetapi memiliki ancaman bencana gunung berapi tinggi sebenarnya memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena pada bencana tertentu, khususnya bencana 6

letusan gunung berapi, terdapat ancaman yang menyebabkan semua penduduk yang berada di daerah tersebut dimungkinkan tidak dapat menyelamatkan dirinya saat bencana tiba-tiba terjadi. Ancaman bencana tersebut terdapat pada kawasan rawan bencana Gunung Merapi zone II dan III yaitu berupa ancaman awan panas dan lontaran abu vulkanik. Wilayah yang secara kerentanan sosial dianggap memiliki kerentanan rendah akan tetapi sebenarnya memiliki kerentanan tinggi terhadap bencana Merapi karena memiliki ancaman bencana tinggi akibat letaknya yang termasuk dalam kawasan rawan bencana Merapi zone II dan III adalah desa-desa yang berada di lereng atas Gunung Merapi. Wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi adalah wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta, yaitu Kecamatan Depok, Kecamatan Gamping, Kecamatan Mlati, dan Kecamatan Ngaglik. Wilayahwilayah tersebut merupakan wilayah yang memiliki kerentanan sosial tinggi karena jumlah penduduknya tinggi sehingga tingkat kepadatan penduduk tinggi. Walaupun memiliki tingkat kerentanan tinggi tetapi wilayah tersebut tidak terlalu berisiko terhadap bencana Merapi karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang berada pada kawasan non rawan bencana yang tidak memiliki ancaman bencana Merapi. Gambar 4.2. Peta Sebaran Tingkat Kerentanan 4.3. Analisis Sebaran Risiko Bencana Merapi di Kabupaten Sleman Risiko adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Muta ali, 2014). Tingkat risiko bencana Merapi pada penelitian ini dinilai melalui dua elemen bencana yaitu ancaman dan kerentanan. Risiko bencana dituangkan dalam formulasi sederhana seperti berikut (ISDR, 2004 dalam Hizbaron dkk, 2010). R = H x V Keterangan : R = Tingkat Risiko H= Tingkat Ancaman/Bahaya (Hazard) 7

V = Tingkat Kerentanan (Vulnerability) Formulasi ini digunakan untuk mempermudah logika perhitungan risiko, dimana jika dijumpai ancaman/bahaya dan kerentanan maka akan menimbulkan risiko. Tingkat risiko bencana Merapi di Kabupaten Sleman dibagi dalam empat tingkatan kelas risiko yaitu risiko sangat rendah, rendah, risiko sedang, dan risiko tinggi. Wilayah di Kabupaten Sleman didominasi oleh tingkat risiko bencana Merapi sangat rendah. Wilayah risiko sangat rendah adalah wilayah yang memiliki kerentanan tinggi tetapi ancaman/bahaya bencananya sangat rendah. Daerah yang memiliki kerentanan tinggi apabila tidak terdapat ancaman di daerah tersebut maka daerah tersebut akan memiliki risiko sangat rendah terhadap bencana, karena tidak ada bahaya yang dapat menyebabkan risiko di daerah tersebut. Adapun ancaman pada wilayah tingkat risiko sangat rendah yaitu hujan abu vulkanik tipis. Perencanaan kawasan budidaya peruntukan lahan jenis apapun aman untuk dikembangkan pada daerah ini, karena memiliki risiko bahaya bencana yang sangat rendah sehingga daerah ini sangat direkomendasikan untuk pembangunan dan pengembangan kawasan budidaya apapun khususnya peruntukan permukiman dan industri. Wilayah risiko rendah adalah wilayah yang memiliki kerentanan rendah sampai sedang dan memiliki tingkat ancaman bencana rendah. Wilayah dengan tingkat risiko bencana rendah tersebar di beberapa daerah di Kabupaten Sleman yang berada pada kawasan bantaran sungai-sungai besar yang berhulu di puncak Merapi dan berpotensi dilalui aliran banjir lahar. Daerah yang memiliki tingkat risiko rendah adalah kawasan bantaran sungai di desa-desa yang berada di sepanjang jalur Sungai Boyong di Kecamatan Tempel, kawasan bantaran sungai di desa-desa yang berada di sepanjang jalur Sungai Kuning di Kecamatan Pakem, kawasan bantaran sungai di desa-desa yang berada di sepanjang jalur Sungai Krasak di Kecamatan Ngemplak, dan kawasan bantaran sungai di desa-desa yang berada di sepanjang jalur Sungai Opak di Kecamatan Kalasan dan Prambanan. Wilayah risiko bencana sedang adalah wilayah yang memiliki kerentanan tinggi dan ancaman rendah; dan wilayah yang memiliki kerentanan rendah dan ancaman sedang. Tingkat risiko bencana sedang tersebar di bagian utara Kabupaten Sleman pada bagian lereng bawah Merapi dan pada 8

beberapa daerah di Kabupaten Sleman bagian selatan yang berada pada pada kawasan tingkat ancaman rendah, yaitu di daerah sekitar bantaran Sungai Krasak dan Sungai Kuning. Wilayah yang masuk dalam klasifikasi tingkat risiko bencana sedang sebaiknya tidak dikembangkan untuk menjadi lahan permukiman ataupun industri, jika dibangun untuk lahan permukiman ataupun industri maka dibutuhkan persyaratan tertentu yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana agar dapat menjamin keberlangsungan kegiatan dan aktivitas di daerah tersebut. Wilayah dengan tingkat risiko bencana sedang sangat sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya peruntukan lahan pertanian tanaman pangan, holtikultura dan hutan rakyat. Wilayah risiko tinggi adalah wilayah yang memiliki kerentanan rendah dan ancaman tinggi; dan wilayah yang memiliki kerentanan tinggi tetapi memiliki ancaman rendah. Dalam konteks bencana secara umum, risiko bencana akan meningkat apabila tingkat kerentanan dan ancaman tinggi terjadi di suatu daerah rawan bencana. Tetapi dalam penelitian ini jika salah satu elemen tinggi walaupun elemen lainnya rendah maka daerah tersebut akan dikategorikan sebagai daerah dengan risiko tinggi. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini penilaian tingkat risiko didasarkan pada pengharkatan. Tingkat risiko tinggi tersebar dibeberapa wilayah yaitu di Sleman bagian utara yaitu daerah lereng atas Merapi yang sangat dekat dengan puncak Merapi dan Kabupaten Sleman bagian selatan yaitu pada daerah yang berada di sekitar bantaran sungaisungai besar yang berpotensi dilanda banjir lahar. Wilayah yang termasuk dalam klasifikasi risiko bencana tingkat tinggi sebaiknya dihindari untuk dikembangkan sebagai lahan permukiman dan industri, karena wilayah ini memiliki risiko tinggi. Wilayah ini sebaiknya hanya diperuntukkan sebagai kawasan lindung ataupun kawasan budidaya terbatas dan dikembangkan sebagai lahan kehutanan ataupun kawasan pariwisata dengan jenis wisata geofisik (pada kawasan puncak Gunung Merapi). Gambar 4.3. Peta Sebaran Tingkat Risiko 9

4.4. Analisis Kesesuaian Perencanaan Kawasan Budidaya di Kabupaten Sleman Kawasan permukiman di Kabupaten Sleman terbagi menjadi dua yaitu, permukiman perkotaan dan permukiman perdesaan. Sebagian besar kawasan permukiman di Kabupaten Sleman sudah sesuai dengan perencanaan kawasan berbasis kebencanaan karena berada pada wilayah kawasan tingkat risiko sangat rendah yang memiliki ancaman bencana sangat rendah, namun terdapat beberapa permukiman penduduk yang belum/tidak sesuai yaitu permukiman yang berada pada sekitar kawasan yang memiliki ancaman bencana. Kawasan industri di Kabupatan Sleman tersebar di beberapa tempat yaitu, di Desa Balecatur, Kecamatan Gamping; Desa Madurejo, Kecamatan Prambanan; Desa Kalitirto, Kecamatan Berbah; dan Desa Purwomartani dan Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan. Kawasan industri di Kabupaten Sleman sebagaimana yang telah diatur dalam peta rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sleman sudah sesuai dengan perencanaan kawasan berbasis kebencanaan, karena kawasan industri ditempatkan pada kawasan risiko sangar rendah yang memiliki ancaman bencana sangat rendah. Kawasan pertanian di Kabupaten Sleman dominan berada pada wilayah perencanaan yang sesuai untuk kawasan pertanian. Wilayah perencanaan yang sesuai adalah wilayah yang dalam perencanaan kawasannya memperhitungkan aspek kebencanaan, yaitu yang berada pada kawasan ancaman bencana sangat rendah, rendah dan sedang, walaupun ada kawasan pertanian yang masih berada pada area ancaman bencana tingkat tinggi yang seharusnya pada area tersebut tidak diperbolehkan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian yaitu kawasan pertanian holtikultura di kawasan risiko tinggi. Kawasan pertahanan dan keamanan di Kabupaten Sleman berdasarkan peta rencana tata ruang wilayahnya tersebar di tiga daerah yaitu, di Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping; di Desa Condongcatur dan Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok. Tiga daerah tersebut berada pada kawasan ancaman bencana sangat rendah. Kawasan pertahanan dan keamanan di Kabupaten Sleman sudah sesuai dengan perencanaan kawasan berbasis kebencanaan karena berada pada kawasan risiko sangat rendah yang memiliki ancaman bencana sangat rendah. 10

Hutan rakyat adalah kawasan hutan yang dapat dibudidayakan oleh masyarakat sekitarnya dengan mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah setempat (Muta ali, 2014). Kawasan hutan rakyat di Kabupaten Sleman berdasarkan peta rencana tata ruang wilayahnya tersebar di dua daerah yaitu di Kecamatan Prambanan dan di Kecamatan Cangkringan. Kawasan hutan rakyat yang berada di Kecamatan Prambanan termasuk dalam kawasan dengan ancaman bencana sangat rendah, sedangkan hutan rakyat yang berada di Kecamatan Cangkringan termasuk dalam kawasan dengan ancaman bencana tingkat tinggi. Kawasan peruntukan hutan rakyat aman untuk dikembangkan di kawasan dengan tingkat ancaman apapun, baik itu pada kawasan ancaman bencana tingkat sangat rendah, rendah, sedang ataupun tinggi, karena hutan rakyat merupakan kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan hutan sehingga tidak terdapat aktivitas penduduk pada kawasan ini. Kawasan yang tidak memiliki aktivitas penduduk secara otomatis tidak memiliki risiko bencana bencana yang tinggi, karena tidak terdapat penduduk ataupun bangunan di kawasan tersebut. Oleh karena itu hutan rakyat yang berada pada kawasan risiko tingkat tinggi tidak dipermasalahkan keberadaannya. 4.5. Evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (Kawasan Budidaya) di Kabupaten Sleman Hasil evaluasi RTRW peruntukan kawasan budidaya di Kabupaten Sleman dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini. Tabel 4.1 Hasil Evaluasi Rencana Tata Ruang (RTRW) Peruntukan Kawasan Budidaya Di Kabupaten Sleman Kawasan Rencana Budidaya Permukiman Industri Pertanian Tanaman Pangan Holtikultura Pertahanan dan Keamanan Hutan Rakyat Tidak Sesuai Kesesuaian Kawasan Kurang Sesuai Sesuai Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa kawasan budidaya di Kabupaten Sleman secara keseluruan sudah sesuai dengan perencanaan kawasan berbasis kebencanaan, namun ada dua kawasan yang masih berada pada wilayah yang kurang sesuai dan tidak sesuai yaitu kawasan permukiman dan pertanian holtikultura. 5. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan 1. Tingkat risiko bencana Merapi di Kabupaten Sleman dibagi menjadi empat kelas yaitu, tingkat risiko 11

bencana sangat rendah, risiko bencana rendah, tingkat risiko bencana sedang, dan tingkat risiko bencana tinggi. Tingkat risiko bencana sangat rendah tersebar di semua daerah yang masuk dalam kawasan non rawan bencana. Daerah yang memiliki tingkat risiko rendah adalah daerah bantaran sungai di sepanjang jalur Sungai Boyong di Kecamatan Tempel, sepanjang jalur Sungai Kuning di Kecamatan Pakem, sepanjang jalur Sungai Krasak di Kecamatan Ngemplak, dan sepanjang jalur Sungai Opak di Kecamatan Kalasan dan Prambanan. Wilayah yang memiliki tingkat risiko sedang adalah desa-desa di lereng Merapi bawah dan beberapa daerah di sekitar tepi sungai yang dialiri oleh Sungai Krasak dan Sungai Kuning yang berada di Kecamatan Kalasan dan Berbah. Tingkat risiko bencana tinggi tersebar di daerah lereng Merapi atas dan beberapa daerah di sekitar tepi Sungai Kuning yang berada di Kecamatan Ngaglik dan Depok. 2. Berdasarkan hasil evaluasi, kawasan budidaya di Kabupaten Sleman sesuai dengan perencanaan kawasan berbasis kebencanaan karena dominan berada pada kawasan dengan tingkat ancaman bencana sangat rendah yang risikonya sangat rendah, tetapi ada dua kawasan yang tidak sesuai yaitu kawasan permukiman dan holtikultura di wilayah ancaman tingkat tinggi. 3. Disimpulkan penerapan aspek kebencanaan dalam tata ruang wilayah Kabupaten Sleman dilaksanakan dengan baik karena sudah mempertimbangkan aspek risiko bencana dalam penempatan kawasan budidaya, terbukti dengan penataan kawasan budidaya yang sebagian besar ditempatkan pada kawasan risiko bencana sangat rendah yang memiliki ancaman/bahaya bencana sangat rendah. 5.2. Saran 1. Kawasan dengan ancaman bencana tingkat tinggi sebaiknya hanya diperuntukkan untuk kawasan budidaya terbatas, dan sangat tidak direkomendasikan untuk kawasan permukiman. 2. Pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan kawasan budidaya harus benar-benar memhatikan aspek kebencanaan, khususnya untuk kawasan permukiman dan industri. 12

6. Daftar Pustaka Hizbaron. D. R. et al. 2010. Tinjauan Kerentanan, Risiko, Dan Zonasi Bahaya Rockfall di Kulonprogo Yogyakarta. Jurnal Forum Geografi. 24 (2): 119-136. http://publikasiilmiah.ums.a c.id/bitstream/handle/12345 6789/1212/fg-24-02-3- hizbaron.pdf. diakses 23 Oktober 2014. Keputusan Bupati. 2011. Keputusan Bupati Sleman Nomor 400/Kep.KDH/A/2011 tentang Agenda Riset Tahun 2011-2015. Yogyakarta. Muta ali, Lutfi. 2014. Perencanaan Pengembangan Wilayah Berbasis Pengurangan Risiko Bencana. Yogyakarta: BPFG UGM. Pemerintah Kabupaten Sleman. 2012. Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011-2031. Yogyakarta. Republik Indonesia. 2007. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sekretariat Negara. Jakarta. Sagala, S. dan Bisri, M. 2011. Perencanaan Tata Ruang Berbasis Kebencanaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 13