1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

EFEKTIFITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT (DPL-BM)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at:

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera. Lampung memiliki banyak keindahan, baik seni budaya maupun

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. negara yang memiliki kawasan pesisir yang sangat luas, karena Indonesia

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR SULAWESI BARAT

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI BANGKA TENGAH

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 4 TAHUN 2010

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : /KEPMEN-KP/2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

PENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI BANGKA TENGAH

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

I. PENDAHULUAN. Program pembangunan di Indonesia telah berlangsung kurang lebih

X. ANALISIS KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

PANDUAN PEMANTAUAN TERUMBU KARANG BERBASIS-MASYARAKAT DENGAN METODA MANTA TOW

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia,

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian sumberdaya alam dan kesehatan lingkungan. Berbagai dampak negatif yang diakibatkan oleh eksploitasi yang berlebihan ini apabila dibiarkan terus menerus akan menjadi ancaman bagi keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam itu sendiri dan lingkungan sekitarnya. Kondisi ini terjadi karena kurang adanya kontrol terhadap eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut. Dalam pemanfaatan sumberdaya alam tersebut, masyarakat menganggap bahwa sumberdaya pesisir dan laut merupakan sumberdaya akses terbuka (open access resources), sehingga setiap orang atau pengguna berlomba-lomba untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa ada satu aturan pun yang membatasinya. Hal ini dilakukan karena setiap orang atau pengguna mempunyai asumsi bahwa orang lain juga akan memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sumberdaya alam yang banyak dieksploitasi secara berlebihan diantaranya adalah sumberdaya perikanan, terumbu karang, mangrove dan padang lamun yang merupakan bagian terbesar sumberdaya alam pulau-pulau kecil. Sumberdaya alam ini merupakan sumberdaya alam pulih yang cukup besar dan tersebar luas di wilayah pesisir Kepulauan Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki wilayah laut sangat luas (dua pertiga wilayah Indonesia). Suharsono (1998), mengemukakan bahwa Indonesia memiliki terumbu karang tidak kurang dari 60 000 km 2 atau satu per delapan dari luas total terumbu karang yang terdapat di belahan dunia. Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Pada suatu hamparan ekosistem terumbu karang bisa hidup lebih dari 300 jenis karang dan lebih dari 200 jenis ikan serta berpuluh-puluh jenis moluska, crustacea, sponge, algae, lamun dan biota lainnya.

2 Menyadari betapa pentingnya sumberdaya pesisir dan laut bagi kelangsungan hidup manusia terutama bagi masyarakat pesisir, telah menumbuhkan kesadaran bagi segenap pemangku kepentingan (stakeholder) untuk melindungi sumberdaya tersebut. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga agar sumberdaya alam tersebut tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Pengalokasian suatu kawasan laut menjadi daerah yang terlindungi dari berbagai jenis kegiatan pemanfaatan tertentu merupakan wujud nyata dari upaya pengelolaan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) merupakan pendekatan yang umum diterapkan pada program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di dunia, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki ekosistem terumbu karang. Daerah perlindungan laut dapat dianggap sebagai manisfestasi dari keinginan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, seperti kebutuhan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara lestari, kebutuhan untuk menikmati keindahan alam dan kebutuhan untuk melindungi hak sebagai pemilik sumberdaya dari pengguna luar. Model DPL-BM telah banyak diimplementasikan oleh negara-negara yang memiliki hamparan ekosistem terumbu karang. Pengembangan DPL di Filipina dan Pasifik Selatan misalnya, telah terbukti secara efektif melindungi ekosistem terumbu karang, meningkatkan sumberdaya ikan di dalam daerah perlindungan dan meningkatkan produksi perikanan di sekitar DPL (Alcala 1988; Russ dan Alcala 1989). Daerah Perlindungan Laut juga efektif meningkatkan produksi perikanan dibandingkan dengan pengelolaan secara tradisional. Pengembangan DPL-BM merupakan pendekatan yang murah dan sederhana. Pengembagan DPL- BM adalah pendekatan yang tepat untuk konservasi terumbu karang. Parejo et al. (1999) mencatat 439 DPL di Filipina dari berbagai jenis, dimana mayoritas DPL ini berbentuk DPL skala kecil yang dikelola oleh masyarakat yang berukuran kurang dari 30 hektar. Daerah perlindungan laut berbasis masyarakat merupakan upaya masyarakat untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitas sumberdaya ekosistem terumbu karang dan sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya lainnya yang berasosiasi dengan terumbu karang. Secara

3 umum, tujuan dari daerah perlindungan laut adalah (1) memelihara fungsi ekologis dengan melindungi habitat tempat hidup, dan memijah biota-biota laut, dan (2) memelihara fungsi sosial ekonomi kawasan pesisir bagi masyarakat di sekitarnya, sehingga terjadi keberlanjutan dan produksi perikanan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan baik dari hasil produksi perikanan maupun dari sektor pariwisata bahari. Pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat di Indonesia pertama kali diinisiasi oleh Program Coastal Resources Management Project (CRMP) atau lebih populer disebut Proyek Pesisir pada tahun 1996 di Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Konsep DPL ini kemudian diadopsi oleh program yang sama di Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung pada tahun 2001. Saat ini DPL juga sudah mulai dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta yang dikenal dengan nama Area Perlindungan Laut (APL). Melihat perkembangan dari implementasi daerah perlindungan laut di Indonesia yang cukup baik, penulis tertarik untuk melihat dua aspek dari program ini, yaitu aspek efektifitas dan keberlanjutan ditinjau dari pendekatan sistem ekologi dan sosial ekonomi. Pendekatan ini pada prinsipnya menekankan bahwa efektifitas dan keberlanjutan dari pengelolaan daerah perlindungan laut ditinjau dari aspek ekologi dan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Diharapkan dengan kajian tersebut dapat dikembangkan Daerah Perlindungan Laut yang dapat mensejahterakan masyarakat pesisir dan melestarikan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. 1.2 Perumusan Masalah Pada saat program Coastal Resources Management Project (CRMP) atau Proyek Pesisir dirancang dan mulai dilaksanakan pada tahun 1996, salah satu harapan dari perancang dan pelaksana program ini adalah diadopsinya program ini oleh masyarakat Indonesia. Dalam artian, program yang telah berlangsung lama dengan pendanaan yang cukup besar, tidak berakhir seiring dengan berhentinya bantuan pendanaan dari penyandang dana. Harapan ini cukup beralasan, karena bila disimak betapa banyak program-program sejenis yang telah dilaksanakan di Indonesia, namun sebagian besar dari program tersebut berakhir seiring dengan

4 berhentinya bantuan dari penyandang dana. Padahal bila ditinjau dari lingkup kegiatan, program-program pengelolaan pesisir di Indonesia selama ini sudah cukup luas dan menyeluruh. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa suatu program pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut tidak berkelanjutan manakala bantuan dari penyandang dana berakhir?. Menurut Bengen et al. (2003) salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah program-program tersebut belum diadopsi secara formal oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Dengan pola pikir yang sama, pemerintah juga telah banyak menginisiasi program-program pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk di dalamnya sumberdaya pulau-pulau kecil. Program-program ini juga dirancang dengan konsep pengelolaan berbasis masyarakat. Artinya, pamerintah hanya menjadi inisiator program, sedangkan implementasi selanjutnya oleh masyarakat. Pengembangan daerah perlindungan laut di Indonesia diinisiasi oleh berbagai institusi, baik institusi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, ataupun lembaga internasional yang mengembangkan program konservasi di Indonesia. Daerah perlindungan laut Pulau Sebesi yang terletak di Teluk Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung dan daerah perlindungan laut Blongko, Desa Blongko, Kabupaten Minahasa Selatan-Provinsi Sulawesi Utara adalah program perlindungan laut khususnya sumberdaya terumbu karang yang diinisiasi oleh Proyek Pesisir pada tahun 1999 dan 2002. Program ini merupakan program pengelolaan sumberdaya alam yang mendapatkan bantuan pendanaan dari USAID. Sementara itu, area perlindungan laut (istilah DPL di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu) Pulau Panggang adalah program perlindungan sumberdaya laut yang diinisiasi oleh pemerintah melalui Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta. Meskipun inisiator dari DPL di atas berbeda, namun pada prinsipnya harapan dari inisiator tersebut adalah sama, yaitu agar program DPL tersebut tetap berlanjut meskipun bantuan dari inisiator berkurang atau berhenti. Dari uraian tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian Efektivitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) : Kasus DPL-BM Blongko, Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau

5 Sebesi, Lampung Selatan, dan APL Pulau Harapan Kepulauan Seribu, sebagai berikut: 1. Sejauh mana efektifitas dan peluang keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut yang terdapat di Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan? 2. Parameter apa saja yang menjadi faktor-faktor pendukung keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat di lokasi-lokasi tersebut di atas? 3. Strategi apa yang bisa dirumuskan untuk mendukung keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menilik-kaji prospek pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah: (1) Mendeterminasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. (2) Mengevaluasi efektifitas dan keberlanjutan pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. (3) Merumuskan strategi pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: (1) Tersedianya konsep atau model pengelolaan daerah perlindungan laut yang optimal yang dapat diterapkan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. (2) Masukan bagi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan daerah perlindungan laut. 1.4 Kerangka Pemikiran Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki tiga fungsi yaitu fungsi ekologi, fungsi sosial budaya, dan fungsi ekonomi. Fungsi ekologi adalah sebagai penyedia sumberdaya alam (bahan makanan), dan penyedia jasa-jasa lingkungan (nilai estetika lingkungan) (Gambar 1). Dalam kondisi ideal fungsi-fungsi

6 tersebut dapat dipertahankan kualitasnya dan berkesinambungan. Namun karena adanya pemanfaatan yang tidak berdasarkan atas asas-asas kelestarian, menyebabkan munculnya tekanan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tekanan tersebut menyebabkan berkurangnya atau menurunkan peran atau fungsi ekologis dari pesisir dan pulau-pulau kecil, menurunnya nilai-nilai estetika lingkungan (jasa lingkungan) dan berkurangnya potensi sumberdaya alam (sumberdaya ikan dan sejenisnya). Untuk menjamin ketiga fungsi tersebut di atas, diperlukan suatu upaya perlindungan dan pemanfaatan secara lestari yaitu pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu. Salah satu konsep yang dapat dikembangkan untuk menjaga fungsi-fungsi di atas adalah pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Daerah perlindungan laut ini memiliki fungsi untuk mempertahankan fungsi-fungsi ekologis, ekonomis dan sosial budaya dari ekosistem terumbu karang. Gambar 1. Kerangka pemikiran

7 Inisiasi pengembangan daerah perlindungan laut di Indonesia, ada yang berasal dari masyarakat dan ada pula dari pemerintah. Namun pada prinsipnya, tujuan dari pengembangan daerah perlindungan laut, baik yang diinisiasi oleh masyarakat maupun pemerintah adalah untuk mempertahankan fungsi-fungsi dari sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam perkembangannya, pengelolaan daerah perlindungan laut, baik yang diinisiasi oleh masyarakat maupun pemerintah, dapat dikelola dengan pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat. Dalam banyak contoh pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat memberikan hasil yang lebih baik dan mencapai tujuan yang diharapkan. Keberhasilan pengembangan daerah perlindungan dengan pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat, disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu (1) ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya laut cukup tinggi, sehingga masyarakat berupaya seoptimal mungkin menjaga sumberdaya tersebut; (2) masyarakat lebih memahami permasalahan sekitarnya, sehingga memudahkan pengelolaan sumberdaya tersebut; (3) pengelolaan berbasis masyarakat dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya laut, dan (4) pengawasan dan kontrol oleh masyarakat akan lebih efektif, karena masyarakat berada di sekitar sumberdaya itu berada. Pencapaian tujuan pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat seperti diuraikan sebelumnya, hanya akan terlaksana manakala dalam proses pengembangannya dilaksanakan secara efektif dan berkelanjutan. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi efektifitas dan keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut. Dalam penelitian ini terdapat 8 (delapan) faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pengembangan daerah perlindungan laut, yaitu (1) adanya dukungan dari pemerintah; (2) adanya dukungan dari masyarakat; (3) adanya dukungan dari perguruan tinggi atau lembaga penelitian; (4) adanya dukungan dari organisasi lain seperti lembaga swadaya masyarakat; (5) program yang dikembangkan memberikan dampak terhadap peningkatan ekonomi masyarakat; (6) program yang dikembangkan memberikan dampak terhadap perbaikan lingkungan dan sumberdaya alam; (7) program yang dilaksanakan diiringi dengan peningkatan kapasitas masyarakat; dan (8) program yang dikembangkan mendapat dukungan dari aspek hukum dan kelembagaan.

8 Apabila faktor-faktor tersebut di atas terpenuhi, maka fungsi-fungsi dari sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil tetap terpelihara. Dengan demikian tujuan dari konsep pengelolaan sumberdaya secara optimal dan lestari dapat dipenuhi, melalui pengembangan daerah perlindungan laut yang berkelanjutan. 1.5 Kebaharuan (Novelty) Efektifitas dan Keberlanjutan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM): Kasus DPL-BM Blongko, Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau Sebesi, Lampung Selatan, dan APL Pulau Harapan Kepulauan Seribu, merupakan penelitian yang menilai program pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dalam konteks keterpaduan. Pengelolaan pesisir terpadu adalah suatu proses yang dinamis dan kontinyu untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya dan pembangunan secara berkelanjutan, perlindungan sumberdaya dan wilayah pesisir dan laut (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Pengelolaan pesisir terpadu ini adalah sebuah proses yang memperhatikan karakteristik dari wilayah pesisir, karakteristik DPL yang mewakili Pulau Besar (DPL Blongko), Pulau Kecil (DPL P. Sebesi) dan Pulau- pulau sangat kecil (APL P. Harapan). Aspek keterpaduan dari pengelolaan pesisir terpadu adalah keterpaduan antar sektor, keterpaduan antar pemerintah (lokal-nasional), keterpaduan wilayah/spasial, keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen, dan keterpaduan internasional. Sampai saat ini penjabaran aspek-aspek keterpaduan tersebut belum dapat memenuhi parameter-parameter keberhasilan efektivitas dan keberlanjutan DPL-BM. Merujuk kepada penelitian efektifitas dan keberlanjutan program daerah perlindungan laut sebelumnya maka penelitian ini merumuskan kriteria penentu efektivitas dan keberlanjutan pengelolaan DPL-BM melalui evaluasi komprehensif dari parameter yang menentukan keberhasilan pengelolaan DPL- BM. Oleh karena itu kebaharuan dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi dalam proses penilaian DPL dalam sebuah evaluasi integral dengan menggunakan konsep keterpaduan dalam rangka pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat secara berkelanjutan.