IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract

dokumen-dokumen yang mirip
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

JURNAL KAJIAN TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI (Studi : Pengadilan Negeri Klas IA Padang)

KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI VERBALISANT DALAM SIDANG PERADILAN PIDANA. Abstrak

PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM BAP DI MUKA SIDANG PANGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat),

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI VERBALISANT DALAM SIDANG PERADILAN PIDANA

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

PELAKSANAAN PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI PUTUSAN NOMOR:

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

Abstrak. Kata Kunci: Pemalsuan Akta Autentik, Penuntut Umum, Ahli A de Charge, Putusan. Abstract

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

ANALISA YURIDIS PENARIKAN KEMBALI KETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PENYIDIKAN. Sering terjadi, seorang terdakwa di depan sidang

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BEBERAPA HAMBATAN YANG DIHADAPI HAKIM DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI JAMBI

commit to user BAB I PENDAHULUAN

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

I. PENDAHULUAN. penyidik maupun pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam

KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE PADA PROSES PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL ILMIAH

TUGAS MATA KULIAH ANALISIS KASUS DAN PRAKTEK BERACARA

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

BAB I PENDAHULUAN. ayat (3) Undang Undang Dasar Sebagai konsekuensi logis peraturan

PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) DALAM PRA PENUNTUTAN

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

Bastianto Nugroho: Peranan Alat Bukti 17. Article history: Submitted 10 November 2016; Accepted 12 January 2017; Available online 31 January 2017

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

BAB III PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

BAB III IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dian Dewi Pulungsari, Diyas Mareti Riswindani

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI ANAK TANPA SUMPAH MENURUT KUHAP

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

147 IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram Abstract Authentication is very important in the process of resolving criminal cases, because passing verification with valid evidence appliances, defendant can be convicted of the alleged criminal acts to his. One of the evidence contained in the Act is the defendant's testimony evidences, including defendant's (the suspect) testimony given in front of investigators. Defendant s testimony given in front of investigators as one of the evidence appliances often revoked by defendant with various reasons. With the repeal, implicate to the strength of verification. If the revocation of defendant's testimony can be accepted by the judge, then it means that the defendant had given the untrue testimony in front of the investigator. As a result, defendant's testimony cannot be used as evidence and has no value or strength of evidence to prove the guilt of the defendant, so the defendant should be freed. Conversely, if the revocation of the defendant testimony cannot be accepted by the judge, it means the spoken testimonies of the defendants in front of the investigator was correct information and have evidentiary value, which consequently the defendant testimony can be used as evidence to prove the guilt of the defendant so the defendant should be sentenced.

148 I. PENDAHULUAN Dalam PP No.27 Th. 1983 menjelaskan bahwa, tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan benar dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum. Tujuan dimaksud akan dapat dicapai dengan cara melakukan pembuktian terhadap pelaku sesuai dengan proses dan prosedur yang sudah ditentukan dalam Undang-undang (KUHAP). Pembuktian melalui sarana alat-alat bukti memegang peranan yang sangat penting dalam proses penyelesaian perkara di sidang pengadilan, karena dengan pembuktian nasib terdakwa dapat dinyatakan bersalah atau tidak. Apabila dengan pembuktian tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa, maka terdakwa harus dibebaskan dari pidana, dan sebaliknya apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. Pembuktian juga merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa dan sekaligus juga mengatur alat-alat bukti yang diatur undang-undang untuk dipergunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa (Yahya Harahap, 1993, 237). Oleh karena itu hakim harus hati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian serta dapat meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian (bewijskracht) dari setiap alat bukti yang sah menurut undang-undang. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti adalah (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, (5) keterangan terdakwa. Maksud penyebutan alat-alat bukti dengan urutan pertama pada keterangan saksi dan keterangan terdakwa pada urutan terakhir, menunjukkan bahwa pembuktian (bewijsvoering) dalam hukum acara pidana diutamakan

149 pada kesaksian. Meskipun demikian, perihal nilai alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam dalam pasal 184 KUHAP tetap mempunyai kekuatan pembuktian (bewijskracht) yang sama penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa. Oleh karena itu walaupun pembuktian dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian, namun hakim tetap harus hati-hati, dan cermat dalam menilai alat-alat bukti lainnya. Dari beberapa alat bukti tersebut kajian hanya akan dipokuskan pada alat bukti keterangan terdakwa, karena alat bukti ini dalam penerapannya masih sering menimbulkan permasalahan, baik mengenai eksistensinya sebagai alat bukti yang sah, masalah kekuatan nilai pembuktian dan penerapannya di persidangan, maupun kedudukannya sebagai alat bukti (terakhir) di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Mengingat bahwa keterangan terdakwa yang memuat informasi tentang kejadian peristiwa pidana bersumber dari terdakwa, maka hakim dalam melakukan penilaian terhadap isi keterangan terdakwa haruslah cermat dan sadar bahwa ada kemungkinan terjadinya kebohongan atau keterangan palsu yang dibuat oleh terdakwa mengenai hal ikhwal kejadian atau peristiwa pidana yang terjadi. Dalam persidangan seringkali terjadi bahwa terdakwa mencabut keterangan yang diberikannya kepada penyidik dalam pemeriksaan penyidikan yang dimuat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP). Keterangan yang dicabut terdakwa tersebut pada umumnya berisi pengakuan terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Suatu hal yang ironi apabila seorang tersangka memberikan keterangan (pengakuan) di depan penyidik sedemikian rupa jelasnya, mengutarakan dan menggambarkan jalannya perbuatan tindak pidana yang disangkakan. Akan tetapi bagaimanapun gamblangnya pengakuan yang tercatat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP), akan selalu dicabut kembali dalam pemeriksaan di pengadilan.

150 Secara yuridis pencabutan keterangan terdakwa sebenarnya dibolehkan dengan syarat pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung sera disertai alasan yang mendasar dan logis. Akan tetapi, pada kenyataannya tidaklah demikian karena dalam praktek persidangan pencabutan akan banyak menimbulkan permasalahan. Masalah pencabutan keterangan terdakwa juga akan membawa permasalahan lain, yaitu berkaitan dengan implikasi pencabutan tersebut terhadap kekuatan pembuktian alat bukti, serta pengaruhnya terhadap alat-alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan pemaparan tersebut, yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah Apakah implikasi yuridis pencabutan keteranagan terdakwa yang telah diberikan terdakwa di depan penyidik terhadap kekuatan pembuktian. II. PEMBAHASAN A. Hakekat dan Prinsip-Prinsip Pembuktian Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang sangat penting dalam proses penyelesaian perkara pidana. Pembuktian adalah usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pembuktian adalah kebenaran suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggung-jawabkannya. Dalam hukum acara pidana dikenal beberapa prinsip pembuktian, yaitu: 1. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan, atau disebut dengan istilah fakta notoir (notoire feiten). Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu: a. Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.

151 b. Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. 2. Menjadi saksi adalah kewajiban Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur dalam penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan, bahwa orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi menolak kewajiban itu, ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Ketentuan ini berlaku pula terhadap seorang yang dipanggil sebagai ahli. 3. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis) Prinsip ini terdapat dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP, bahwa dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. Ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat. 4. Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa Prinsip ini merupakan penegasan, bahwa hukum acara pidana Indonesia sebagai pedoman dalam penyelesaian perkara tindak pidana umum tidak mengenal prinsip pembuktian terbalik. Menurut ketentuan Pasal 189 ayat (4) KUHAP bahwa, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. 5. Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri Prinsip ini diatur dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Ini

152 berarti apa yang diterangkan terdakwa di dalam persidangan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri dan bukan terhadap saksi yang lain. Berdasarkan ketentuan ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri, dan bukan terhadap terdakwa yang lain. Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal 189 KUHAP, sebagai berikut: a. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. b. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. c. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. d. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP tersebut, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Oleh karena itu keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa "nyatakan" atau "jelaskan" di sidang pengadilan. Hal ini berarti, bahwa keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan atau dijelaskan tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa (Yahya Harahap, 2003, 319).

153 B. Alat Bukti Keterangan Terdakwa 1. Pengertian Alat Bukti Keterangan Terdakwa Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas dalam Pasal 189 KUHAP, sebagai berikut: a. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. b. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. c. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. d. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP tersebut, keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Secara garis besar keterangan terdakwa adalah: 1) apa yang terdakwa "nyatakan" atau "jelaskan" di sidang pengadilan, dan 2) apa yang dinyatakan atau dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat dijelaskan bahwa syarat sahnya keterangan terdakwa harus meliputi: a. Apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan. b. Pernyataan terdakwa meliputi : (1) Yang terdakwa lakukan sendiri,

154 (2) Yang terdakwa ketahui sendiri, (3) Yang terdakwa alami sendiri. Pasal 184 ayat (1) KUHAP mencantumkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang kelima atau terakhir setelah alat bukti petunjuk. Hal ini berbeda dengan HIR yang menempatkan keterangan terdakwa pada urutan ketiga di atas petunjuk, hanya saja dalam HIR "keterangan terdakwa" seperti dimuat pada Pasal 184 ayat (1) c KUHAP, menurut Pasal 295 butir 3 HIR disebut "pengakuan tertuduh". Perbedaan kedua istilah ini bila ditinjau dari segi yuridis, terletak pada pengertian "keterangan terdakwa" yang sedikit lebih luas dari istilah "pengakuan tertuduh", karena pada istilah "keterangan terdakwa" sekaligus meliputi "pengakuan" dan "pengingkaran atau penyangkalan", sedangkan dalam istilah "pengakuan tertuduh", hanya terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran atau penyangkalan (Yahya Harahap, 2003, 318). Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Sebagai alasan ditempatkannya keterangan terdakwa pada urutan ketiga diatas petunjuk dalam HIR, karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa, maka dalam hal yang demikian petunjuk hanya bisa diperoleh setelah lebih dahulu memeriksa terdakwa (Adnan Paslydjaya, 1997, 67). 2. Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan Terdakwa a. Keterangan terdakwa (Pasal 184 huruf e - 189 KUHAP) Dalam ketentuan pasal 184 KUHAP, secara jelas mencantumkan bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa tidak sama dengan pengakuan, semua keterangan terdakwa hendaknya

155 didengar apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti lebih luas pengertiannya dari pengakuan terdakwa, yaitu dapat berupa pengakuan atau penyangkalan. Suatu hal yang jelas berbeda antara keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus pada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti. Berdasarkan pasal 189 ayat (1) KUHAP, keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Ini berarti bahwa, pada prinsipnya keterangan terdakwa adalah apa yang disampaikan terdakwa di sidang pengadilan. Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 189 ayat (2) ketentuan tersebut ternyata tidak bersifat mutlak, karena keterangan terdakwa yang diberikannya kepada penyidik dapat pula digunakan untuk membantu menemukan bukti di persidangan, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) KUHAP). Selain itu terdakwa juga masih dimungkinkan untuk memberikan keterangan dalam persidangan secara langsung. Apabila dalam dakwaan terdapat hal-hal yang tidak benar, maka terdakwa dapat menyangkalnya dengan dasar dan alasan yang tepat tanpa harus melalui perantaraan penasehat hukumnya. Keterangan terdakwa tidak selamanya menjadi alat bukti inti bilamana keterangan terdakwa berupa penyangkalan atau pembenaran terhadap isi dakwaan. Dalam setiap kasus, terdakwa pasti mencari celah untuk membuktikan terbalik dengan tujuan keringanan hukuman atau bahkan putusan bebas. Maka dari itu hakim harus melihat segala celahcelah ini agar putusan yang diberikan adalah putusan yang adil. b. Pemeriksaan terdakwa

156 Menurut ketentuan pasal 175 KUHAP, jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan. Pasal 176 KUHAP menegaskan bahwa : 1) Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak di indahkan ia memerintahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu itu dilanjutkan tampa hadirnya terdakwa. 2) Dalam hal terdakwa secara terus menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa. 3. Asas Penilaian Keterangan Terdakwa Tidak semua keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk menentukan keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan, antara lain: a. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan Keterangan yang diberikan di persidangan adalah pernyataan berupa penjelasan yang diutarakan sendiri oleh terdakwa dan pernyataan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas pertanyaan dari ketua sidang, hakim anggota, dan penuntut umum atau penasihat hukum. b. Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan, ketahui, atau alami sendiri Pernyataan terdakwa meliputi: 1) Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan sendiri Terdakwa sendirilah yang melakukan perbuatan itu, dan bukan orang lain selain terdakwa.

157 2) Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa Terdakwa sendirilah yang mengetahui kejadian itu. Mengetahui disini berarti ia tahu tentang cara melakukan perbuatan itu atau bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan. Bukan berarti mengetahui dalam arti keilmuan yang bersifat pendapat, tetapi semata-mata pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya. 3) Tentang apa yang dialami sendiri oleh terdakwa Terdakwa sendirilah yang mengalami kejadian itu, yaitu pengalaman dalam hubungannya dengan perbuatan yang didakwakan. Namun apabila terdakwa menyangkal mengalami kejadian itu, maka penyangkalan demikian tetap merupakan keterangan terdakwa. 4. Keterangan Terdakwa Hanya Menjadi Alat Bukti Terhadap Dirinya Sendiri Apa yang diterangkan oleh terdakwa dalam persidangan, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan terdakwa hanya mengikat kepada dirinya sendiri sehingga keterangan terdakwa yang satu tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya (Yahya Harahap, 2003, 320). 5. Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup Membuktikan Kesalahannya Asas ini ditegaskan dalam Pasal 189 ayat (4); bahwa, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Pada hakikatnya asas ini hanya merupakan penegasan kembali prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, bahwa untuk menjatuhkan hukuman pidana terhadap seorang terdakwa,

158 kesalahannya harus dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. 6. Keterangan Terdakwa di Luar Sidang (The Confession Outside the Court) Salah satu asas penilaian yang menentukan sah atau tidaknya keterangan terdakwa sebagai alat bukti adalah bahwa keterangan itu harus diberikan di sidang pengadilan. Dengan demikian keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti sah. Walaupun keterangan terdakwa di luar sidang pengadilan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti, namun berdasarkan Pasal 189 ayat (2) KUHAP, dapat dipergunakan untuk membantu menemukan alat bukti di sidang pengadilan, dengan syarat keterangan di luar sidang didukung oleh suatu alat bukti yang sah, dan sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai ketentuan Pasal 75 ayat (1) hurup a Jo ayat (3) KUHAP, bentuk keterangan yang dapat dikualifikasi sebagai keterangan terdakwa di luar sidang ialah: a. keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan, b. keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan, c. berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa. 7. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa Proses pembuktian harus dilakukan dengan memeriksa alat-alat bukti yang ada, salah satunya adalah keterangan terdakwa. Keterangan terdakwa yang harus dinilai sebagai alat bukti yang sah bukan hanya keterangan yang berisi pernyataan pengakuan, tetapi termasuk penyangkalan yang dikemukakannya. Secara umum undang-undang tidak dapat menilai keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat, dan menentukan. Meskipun demikian, keterangan

159 terdakwa tetap memiliki pengaruh terhadap proses pembuktian dipersidangan. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa, dan hakim bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau menolak/ menyingkirkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasan dan argumentasi secara proporsional. b. Harus memenuhi batas minimum pembuktian Sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (4) bahwa, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Dari ketentuan ini jelas adanya keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain, sehingga mempunyai nilai pembuktian yang cukup. c. Harus memenuhi asas keyakinan hakim Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas minimum pembuktian, tetapi masih perlu disertai dengan keyakinan hakim, bahwa memang terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP yaitu "pembuktian menurut undang-undang secara negatif". Artinya, di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah, juga harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. C. Alasan Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Proses Pembuktian

160 Pencabutan keterangan terdakwa merupakan suatu proses atau perbuatan menarik kembali keterangan terdakwa yang telah dinyatakan sebelumnya dalam penyidikan (BAP). Secara yuridis pencabutan keterangan terdakwa diperbolehkan, karena terdakwa mempunyai hak ingkar sebagaimana diatur dalam Pasal 52 KUHAP, dan juga karena keterangan terdakwa yang sebenarnya adalah keterangan yang diucapkan di muka sidang. Meskipun terdakwa diperbolehkan mencabut keterangannya, hakim di dalam persidangan harus mempertanyakan dan membuktikan apa yang menjadi dasar atau alasan dilakukannya pencabutan tersebut. Pada umumnya faktor-faktor yang menjadi dasar atau alasan pencabutan keterangan terdakwa antara lain : 1. terdakwa disiksa atau dipukuli pada saat penyidikan 2. terdakwa tidak didampingi penasihat hukum. 3. adanya ancaman/ tekanan psikologis yang berlebihan dalam penyidikan. Undang-undang tidak membatasi hak terdakwa untuk mencabut keterangan yang telah diberikannya di depan penyidik, asalkan pencabutan dilakukan selama dalam proses persidangan serta mempunyai alasan yang berdasar dan logis. Alasan tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya dan diperkuat oleh bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa alasan pencabutan tersebut benar serta dapat dibuktikan oleh hakim (Yahya Harahap, 2003, 325). Sepintas pencabutan keterangan terdakwa merupakan hal yang sederhana dan mudah dipahami, tetapi dalam peraktek di persidangan banyak menimbulkan permasalahan. Hal ini disebabkan karena hakim dalam persidangan tidak mudah menerima alasan pencabutan keterangan terdakwa. Apabila alasan pencabutan dapat diterima oleh hakim, maka pencabutan dapat dilakukan, dan sebaliknya apabila tidak dapat diterima maka pencabutan keterangan terdakwa tidak dapat dilakukan. Apabila pencabutan keterangan terdakwa dapat dibuktikan (pencabutan dibenarkan), maka pemeriksaan perkara tidak memenuhi ketentuan hukum, yang berarti proses penyidikannya cacat hukum dan surat dakwaannya batal

161 hukum. Akibatnya lebih jauh, proses pemeriksaan terhadap pokok perkara ditunda untuk dilakukan verifikasi terlebih dahulu. Hal ini juga dapat mengakibatkan terjadinya putusan bebas dan berkas perkara dikembalikan ke penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ulang. Mengingat bahwa keterangan terdakwa memuat informasi tentang kejadian peristiwa pidana yang bersumber dari terdakwa, maka hakim dalam melakukan penilaian terhadap isi keterangan terdakwa harus cermat, karena ada kemungkinan terjadi kebohongan atau keterangan palsu yang dibuat oleh terdakwa mengenai kejadian atau peristiwa pidana yang terjadi. Walaupun terdakwa dibolehkan untuk mencabut keterangan (pengakuan)nya di persidangan, namun kenyataannya pencabutan keterangan terdakwa di persidangan sulit diterima oleh Hakim. Ini disebabkan karena alasan pencabutan yang diajukan terdakwa harus dilakukan cross check dengan saksi verbalisan (penyidik) yang memeriksa terdakwa pada tingkat penyidikan. Apabila ternyata alasan terdakwa yang mendasari pencabutan tersebut tidak terbukti, maka pencabutan ditolak oleh hakim. Dari keterangan tersebut, diketahui bahwa setidaknya ada dua unsur yang dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam menolak pencabutan keterangan pengakuan terdakwa yaitu: 1. Unsur keterangan saksi verbalisan (penyidik), dan 2. Unsur peninjauan terhadap pembelaan terdakwa. 1. Keterangan Saksi Verbalisan (Penyidik) Pada umumnya pencabutan keterangan terdakwa selalu terkait dengan adanya pemaksaan maupun penyiksaan dalam penyidikan. Untuk memastikan semua itu, maka hakim harus memanggil saksi verbalisan (penyidik), guna melakukan cross check atau klarifikasi guna membuktikan kebenaran alasan dari pencabutan keterangan terdakwa. Dengan mengetahui secara langsung dari saksi verbalisan mengenai proses dan tata cara pemeriksaan yang dilakukan penyidik, maka hakim

162 akan mengetahui apakah telah terjadi pemaksaan atau ancaman terhadap diri terdakwa pada saat penyidikan. Apabila dari hasil klarifikasi diketahui bahwa benar telah terjadi pemaksaan, ancaman dan penyiksaan terhadap terdakwa, maka alasan pencabutan dapat diterima, sehingga keterangan dalam BAP dianggap tidak benar dan tidak dapat digunakan sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan. Sebaliknya, apabila dari klarifikasi ternyata tidak terjadi pemaksaan, ancaman dan penyiksaan terhadap terdakwa, maka alasan pencabutan tidak dibenarkan, sehingga keterangan pengakuan terdakwa yang tercantum dalam BAP tetap dianggap benar dan hakim dapat mempergunakannya untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan. Demikian besarnya pengaruh keterangan saksi verbalisan terhadap diterima atau tidaknya pencabutan keterangan terdakwa, membuat kedudukan keterangan saksi verbalisan menjadi sangat penting, terutama bagi hakim dalam menilai kekuatan pembuktian. Pada dasarnya seorang hakim tidak boleh langsung mempercayai keterangan saksi verbalisan, karena mungkin saja keterangan dari penyidik juga terdapat unsur kebohongan. Untuk menghindari hal tersebut hakim memiliki beberapa prinsip yang menjadi landasan dalam menilai kebenaran keterangan saksi verbalisan, antara lain yaitu: a. Dengan sumpah; Sumpah bertujuan agar saksi verbalisan (penyidik) dalam memberikan keterangannya tidak berdusta. Karena sumpah dilakukan atas nama Tuhan, maka diyakini bahwa setelah disumpah saksi verbalisan tidak akan memberikan keterangan bohong maupun keterangan palsu. Terlepas dari hal demikian, setidaknya sumpah mampu memberikan tambahan keyakinan bagi Hakim dalam menilai dan mempercayai kebenaran keterangan saksi verbalisan. b. Menghubungkan Keterangan Saksi Verbalisan dengan Alat-alat Bukti lainnya;

163 Dengan sekedar sumpah saja tidak cukup bagi hakim untuk mempercayai keterangan saksi verbalisan, melainkan harus didukung oleh alat-alat bukti lain yang berkaitan dengan kebenaran keterangan saksi verbalisan. Oleh karena itu penting bagi hakim untuk melakukan analisa dan mencari keterkaitan antara keterangan saksi verbalisan dengan keterangan alat-alat bukti lainnya, guna mendapatkan kebenaran dan keyakinan keterangan saksi verbalisan. 2. Unsur Peninjauan terhadap Pembelaan Terdakwa Selain keterangan saksi verbalisan yang menjadi dasar diterima atau ditolaknya pencabutan keterangan (pengakuan) terdakwa, ada juga unsur peninjauan terhadap pembelaan terdakwa yang menjadi dasar atau alasan hakim menolak atau menerima pencabutan tersebut. Apabila pembelaan terdakwa sendiri secara lisan tidak ada kesesuaian dengan pembelaan yang disampaikan oleh penasehat hukum terdakwa, maka hakim bisa menilai bahwa pencabutan keterangan tersebut tidak beralasan (error in personal). Dengan demikian hakim dapat membuktikan alasan pencabutan keterangan terdakwa dengan mencari petunjuk melalui klarifikasi antara saksi verbalisan dan peninjauan terhadap isi pembelaan terdakwa. Selain pertimbangan-pertimbangan di atas, terutama dalam hal hakim menolak pencabutan keterangan terdakwa, juga hakim harus mempertimbangkan secara seksama, teliti, arif dan bijaksana semua alatalat bukti, serta semua fakta dan keadaan yang terungkap dalam persidangan. Dengan melakukan penilaian dan mencari hubungan terhadap hal-hal tersebut di atas, maka hakim akan mendapat petunjuk dan gambaran yang jelas mengenai apa yang terjadi dalam penyidikan sehingga hakim yakin dan tidak ragu ketika menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. D. Implikasi Yuridis Pencabutan Keterangan Terdakwa Terhadap Kekuatan Pembuktian

164 Undang-undang tidak membatasi hak terdakwa untuk mencabut kembali keterangan yang telah diberikan di depan penyidik, asalkan dilakukan selama persidangan berlangsung dan disertai alasan yang mendasar dan logis. Suatu hal yang sangat penting, bahwa hakim tidak boleh begitu saja menolak atau menerima alasan pencabutan. Terlalu mudah menolak alasan pencabutan, berarti hakim dengan sengaja merugikan terdakwa dalam pembelaan dirinya. Sebaliknya terlalu mudah menerima alasan pencabutan, mengakibatkan terdakwa yang benar-benar bersalah akan dibebaskan, karena seringkali dijumpai kasus/ perkara yang tumpuan pembuktiannya tersimpul dalam pengakuan pada berita acara penyidikan. Artinya bahwa, kunci yang membukakan pintu pembuktian sering harus dimulai dari keterangan pengakuan yang diberikan terdakwa dalam berita acara penyidikan. Terlepas dari diterima atau tidaknya pencabutan keterangan terdakwa oleh hakim, dengan adanya pencabutan tersebut pasti akan mempengaruhi proses persidangan di pengadilan. Oleh karena itu perlu adanya sikap profesionalitas dari hakim dan jaksa, terutama dalam hal penguasaan selukbeluk pembuktian dan seni mengadili. Hal ini penting mengingat pengaruh pencabutan tersebut sangat luas, mulai dari penilaian pembuktian sampai pada putusan yang akan dijatuhkan. Implikasi dari adanya pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan pembuktian dapat diketahui setelah adanya penilaian hakim terhadap alasan pencabutan tersebut, apakah hakim menerima atau menolak alasan pencabutan dari terdakwa. Apabila hakim menerima alasan pencabutan, berarti keterangan yang terdapat dalam berita acara penyidikan dianggap tidak benar dan keterangan itu tidak dapat dipergunakan sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan. Sebaliknya, apabila alasan pencabutan tidak dapat dibenarkan maka keterangan pengakuan yang tercantum dalam berita acara penyidikan tetap dianggap benar dan dapat dipergunakan sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan (Yahya Harahap, 2003, 326).

165 Apabila pencabutan keterangan tidak berdasar dan tidak logis, maka pencabutan akan ditolak sehingga membawa dampak bagi kekuatan pembuktian keterangan terdakwa itu sendiri, yaitu hakim akan menilai bahwa keterangan terdakwa (tersangka) di depan penyidiklah yang mengandung unsur kebenaran dan mempunyai nilai pembuktian, sedangkan keterangan terdakwa di persidangan yang menyangkal semua isi BAP dinilai tidak benar dan tidak ada nilainya sama sekali dalam pembuktian. Atas penilaian ini, hakim kemudian menganggap keterangan terdakwa (tersangka) di depan penyidik (BAP) dapat digunakan sebagai petunjuk untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dengan ditolaknya pencabutan tersebut berarti pengakuan-pengakuan terdakwa yang tertulis dalam BAP diterima sebagai suatu kebenaran yang sangat membantu hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Ditolaknya pencabutan keterangan yang ada dalam BAP, maka terhadap keterangan yang tertulis dalam BAP tersebut, oleh hakim kemudian dijadikan petunjuk dalam menetapkan kesalahan terdakwa. Yang menjadi pertimbangan hakim menggunakan keterangan dalam BAP sebagai petunjuk, karena keterangan tersebut secara utuh menggambarkan kejadian peristiwa pidana yang didakwakan. Keutuhan ini mampu melengkapi dan menegaskan alat bukti yang ditemukan dalam persidangan. Artinya bahwa, kedudukan keterangan pengakuan yang diberikan terdakwa di depan penyidikan tidak bisa berdiri sendiri, tetapi hanya sebagai petunjuk untuk menyempurnakan pembuktian alat bukti lain. Penyangkalan terdakwa melalui alat bukti lain yang dapat dibuktikan sebagai kebohongan dapat di terima sebagai alat bukti petunjuk. Namun demikian, dengan tidak adanya alat bukti yang mendukung pencabutan keterangan oleh terdakwa, maka dapat dijadikan petunjuk bagi hakim dalam menilai atau membuktikan kesalahan terdakwa (Adnan Paslyadja dalam Yahya Harahap, 2003, 326). Implikasi dari ditolaknya pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan alat bukti keterangan terdakwa adalah hakim akan menilai keterangan

166 terdakwa di sidang pengadilan sebagai suatu keterangan yang tidak mengandung unsur kebenaran dan tidak ada nilainya sama sekali dalam pembuktian (tidak dapat digunakan sebagai alat bukti). Sebaliknya apabila pencabutan keterangan terdakwa diterima oleh hakim, maka hakim akan menilai bahwa keterangan terdakwa dipersidanganlah yang mempunyai nilai kebenaran dan dapat digunakan dalam pembuktian, sedangkan terhadap keterangan terdakwa (tersangka) di depan penyidik (BAP) dinyatakan tidak benar dan tidak ada nilainya sama sekali dalam pembuktian. III. Simpulan Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan pembuktian adalah, bahwa apabila pencabutan keterangan terdakwa diterima oleh hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan dapat digunakan sebagai alat bukti dan keterangan terdakwa di tingkat penyidikan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dengan diterimanya pencabutan keterangan terdakwa, berarti hasil penyidikannya juga tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan penuntutan, sehingga terdakwa harus dibebaskan. Sebaliknya, apabila pencabutan keterangan terdakwa ditolak oleh hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, yang berarti keterangan tersangka dalam penyidikan mengandung unsur kebenaran sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan penuntutan guna membuktikan kesalahan terdakwa.

167 DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, 2005, Sinar Grafika, Jakarta Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Peraktek, 1998, Jambatan, Jakarta M. Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, 2004, Jakarta Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan KUHAP, Pemeriksaan Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, 2003, Sinar Grafika, Jakarta ----------------- Pembahasan Permasalahan KUHAP, 2006, Sinar Grafika, Jakarta Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, 2003, Mandar Maju, Bandung Adnan Paslyadja, Hukum Pembuktian, 1997, Pusdiklat Kejaksaan Agung RI, Jakarta Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP Undang-undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia Undang-undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman