KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH, KOMUNIKASI DAN DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMP MELALUI STRATEGI MEAs

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR ISI Endang Wahyuningrum, 2015

LEMBAR PERSETUJUAN DISETUJUI UNTUK MELAKSANAKAN UJIAN TAHAP II. Prof.Dr. Utari Sumarmo Promotor. Prof. Jozua Sabandar, M.A., Ph.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

ENDANG MULYANA NIM :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMA

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN, PEMECAHAN MASALAH, DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMK TESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang Pendidikan Matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pengembangan kemampuan matematis peserta didik. Matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

PERBEDAAN PENGARUH MODEL JIGSAW

PENGARUH PENDEKATAN MODEL-ELICITING ACTIVITIES

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Skripsi. Oleh: Gilang Ramadhan K

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATERI PECAHAN DI SMP

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

PENERAPAN STRATEGI REACT DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA SISWA KELAS X SMAN 1 BATANG ANAI

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia sehari-hari. Beberapa diantaranya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

2014 PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN REPRESENTASI MATEMATIS MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN STRATEGI THINK TALK WRITE (TTW) DI SEKOLAH DASAR

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah AgusPrasetyo, 2015

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Kehidupan yang semakin meng-global ini memberikan tantangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah, menurut. Kurikulum 2004, adalah membantu siswa mengembangkan kemampuan

EKSPERIMEN MODEL BLENDED LEARNING DAN JOYFULL LEARNING SUB TEMA EKOSISTEM AIR TAWAR DITINJAU DARI AKTIVITAS SISWA KELAS VII SMPN 9 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. di sekolah. Mata pelajaran matematika memiliki tujuan umum yaitu memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa dibidang Matematika,

PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI) TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA MTs

PENGARUH PEMBELAJARAN DOUBLE LOOP PROBLEM SOLVING TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIKA SISWA SMP NEGERI 1 PURWOKERTO

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan tepat. Hal tersebut diperjelas dalam Undang - Undang No 2 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu ilmu yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan manusiamanusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bangsa yang ingin maju. Dengan keyakinan bahwa pendidikan yang berkualitas

EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM BASED LEARNING DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

TESIS. Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Derajat Magister Program Studi Teknologi Pendidikan. Oleh: Fatmawati Nur Hasanah S

A. LATAR BELAKANG MASALAH

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015

KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS MENYELESAIKAN SOAL OPEN-ENDED MENURUT TINGKAT KEMAMPUAN DASAR MATERI SEGIEMPAT DI SMP

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

P. S. PENGARUH PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KECEMASAN MATEMATIS SISWA KELAS VII

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Diajukan Oleh : DWI ROSITA AGUSYATI A

PENCAPAIAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN GENERATIF

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah sarana dan alat yang tepat dalam membentuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Penerapan Metode Inkuiri Untuk Meningkatkan Disposisi Matematis Siswa SMA

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MODEL PEMBELAJARAN OSBORN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB I PENDAHULUAN. Elly Susanti, Proses koneksi produktif dalam penyelesaian mmasalah matematika. (surabaya: pendidikan tinggi islam, 2013), hal 1 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diana Utami, 2014

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2016 KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses belajar sehingga mereka dapat mencapai tujuan pendidikan.

B A B I P E N D A H U L U A N

PENGARUH PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari,

ANALISIS KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS XI SMK MUHAMMADIYAH I PATUK PADA POKOK BAHASAN PELUANG JURNAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Melihat pentingnya matematika dan peranannya dalam menghadapi

PENERAPAN METODE PENEMUAN TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS PADA MATERI TRIGONOMETRI

Diajukan Oleh: Emi Yuniati A

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE THINK TALK WRITE (TTW) TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA DI SMP N 2 GAMPING SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup dalam. dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan

SKRIPSI. Oleh: July Trianita Widya Rahayu K

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (BSNP,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dan kreativitasnya melalui kegiatan belajar. Oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya menyelenggarakan pendidikan saja, tapi juga turut serta memberikan

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan ide-ide melalui lisan, tulisan,

Transkripsi:

41670.pdf KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH, KOMUNIKASI DAN DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMP MELALUI STRATEGI MEAs Disertasi Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pendidikan Matematika Endang Wahyuningrum NIM. 0809535 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2014

41670.pdf

41670.pdf Ilmu yang dipelajari seseorang menentukan kemulyaannya, karena salah satu sifat mulia Allah SWT adalah Al Alim (yang Maha Berilmu). (Said Hawwa) Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. (Al Mujadalah: 11 ) Persembahan Karya, bagi: Suamiku: Dedy Sumantri Ayah dan Ibuku: Soegiman Prawiroatmodjo (Alm) dan Soewarni (Almrh) Anandaku: Alya Naziihah, Ishmah Ariiqoh, Sariy Afiifah Terima kasih atas ketulusan kalian dalam memahamiku iii

41670.pdf

41670.pdf KATA PENGANTAR Subhanallah. Alhamdulillah. Allah yang Maha Berkuasa, Maha Berkehendak dan Maha Menetapkan, segala puja dan puji sejatinya hanya tertuju padanya Pemilik Kehidupan Seluruh Alam Semesta. Hanya karena kemudahan, rahmat dan hidayahnya penulisan disertasi dengan judul Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi dan Disposisi Matematik Siswa SMP melalui Strategi MEAs dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar doktor pendidikan matematika dari Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Penyelesaian penulisan disertasi ini terwujud atas bimbingan, bantuan, kritik, motivasi, nasihat, dan sumbang pemikiran dari berbagai pihak. Terima kasih dan penghargaan yang tulus peneliti sampaikan kepada pihak-pihak sebagai berikut. 1. Bapak Prof. Dr. Didi Suryadi, M.Ed. sebagai promotor. Terima kasih yang tulus penulis sampaikan atas bimbingan, pemikiran, nasihat, dan motivasi yang sangat berharga. Ilmu yang sangat berharga telah penulis terima dari beliau, baik yang terkait dengan keilmuan pendidikan matematika, maupun spirit untuk mendedikasikan ilmu secara profesional serta integritas dalam berkarya. 2. Ibu Prof. Dr. Utari Sumarmo sebagai ko-promotor. Penulis sampaikan terima kasih yang tulus atas bimbingan, pemikiran, nasihat, dan motivasi yang sangat berharga. Penulis telah belajar banyak dari beliau tentang integritas, spirit dan keyakinan untuk memberikan karya terbaik, serta ketulusan dan komitmen dalam mendedikasikan ilmu. 3. Bapak Prof. H. Yaya S. Kusumah, M.Sc., Ph.D. sebagai pembimbing. Dengan sangat tulus penulis sampaikan ucapan terima kasih atas bimbingan, pemikiran, nasihat, dan motivasi yang sangat berharga. Melalui beliau, penulis belajar tentang pentingnya spirit, komitmen, dan keteguhan dalam berkarya, serta konsistensi, efisiensi, efektivitas, ketegasan, kejernihan dan v

41670.pdf keutuhan dalam menuangkan ide ke suatu karya tulis. Penulis juga belajar betapa berharganya kesempatan dan waktu. 4. Prof. Dr. Budi Nurani Ruchjana, M.Si. sebagai penguji. Penulis sampaikan terima kasih atas sejumlah pertanyaan yang fokus, kritis dan cermat serta sangat membimbing, begitu pula dengan saran-saran beliau yang sangat berharga. Inspirasi dari beliau memotivasi penulis untuk terus belajar dengan sungguh-sungguh dan menyelesaikan setiap pekerjaan secara tuntas dan berkualitas. 5. Prof. Jozua Sabandar, M.A., Ph.D. sebagai penguji. Penulis sampaikan terima kasih atas sejumlah pertanyaan yang fokus, kritis dan cermat serta sangat membimbing, begitu pula dengan saran-saran beliau yang sangat berharga. Beliau memotivasi penulis untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas keilmuan matematika. 6. Bapak/Ibu dosen pada Program Studi S3 Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Terima kasih atas semua ilmu dan pengalaman berharga yang telah diberikan pada penulis, sehingga wawasan penulis menjadi lebih lengkap dan utuh. 7. Bapak Dedi Supardi S.Pd.; Kepala SMP Negeri 7 Depok dan Bapak Komar Suparman M.Pd.; Kepala SMP Negeri 15 Depok. Penulis menyampaikan terima kasih yang tulus atas izin dan fasilitas yang diberikan sehingga penelitian terlaksana sesuai rencana. 8. Bapak Wiji Sunarto, S.Pd.; Kepala SMP Enam-Enam Depok. Penulis menyampaikan terima kasih yang tulus atas izin dan fasilitas yang diberikan sehingga uji coba penelitian terlaksana sesuai rencana. 9. Ibu Atik Widarsih; Ibu Asima Sihite, S.Pd.; Bapak Frans Hendrik, B.Sc. S.Th., dan Bapak Nampartin, S.Pd. sebagai guru mitra. Penulis menyampaikan terima kasih yang tulus atas kesediaan bermitra dan berbagi pengalaman dengan peneliti. 10. Siswa kelas VIII-1, VIII-2 dan VIII-4 SMP Negeri 7 Depok; dan siswa kelas VIII-1 dan VIII-2 SMP Negeri 15 Depok; siswa kelas VIII SMP Enam-Enam Depok; dan siswa kelas IX-1 dan IX-5 SMP Negeri 10 Depok tahun ajaran vi

41670.pdf 2010-2011. Penulis menyampaikan terima kasih yang tulus atas kesediaan bekerja sama selama uji coba dan penelitian. 11. Teman mahasiswa S3 Prodi Pendidikan Matematika Angkatan 2008, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Penulis menyampaikan terima kasih yang tulus atas kesediaan berdiskusi dan berbagi pengalaman yang memperkaya wawasan penulis serta kesempatan bersama dalam suka dan duka. 12. Ibu Rektor dan Dekan FKIP Universitas Terbuka beserta jajarannya atas izin dan penugasan pada penulis untuk menempuh pendidikan di Universitas Terbuka, penulis sampaikan terima kasih. 13. Semua pihak baik secara individu maupun institusi yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dengan penulis sehingga penulis mendapatkan kesempatan dan kemudahan dalam proses uji coba dan penelitian. Penulis sampaikan terima kasih. Dengan penuh keyakinan atas Kasih dan SayangNYA, penulis berharap agar segala bantuan pemikiran, kesempatan dan kebaikan dari semua pihak menjadi amalan baik yang diridhoi oleh Allah SWT yang Maha Menghitung dan Membalas Kebaikan. Dengan segala kerendahan hati dan tidak tertutup kemungkinan adanya kekurangan dalam tulisan ini, penulis berharap semoga informasi yang menjadi temuan dalam penelitian ini dapat berkontribusi pada perkembangan pendidikan matematika khususnya pada aspek strategi pembelajaran matematika, upaya mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematik, kemampuan komunikasi matematik, dan disposisi matematik. Bandung, 14 Juni 2014 Penulis Endang Wahyuningrum NIM. 0809535 vii

41670.pdf ABSTRAK Endang Wahyuningrum. (2014). Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi dan Disposisi Matematik Siswa SMP melalui Strategi MEAs Penelitian ini mengkaji bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematik, kemampuan komunikasi matematik, dan disposisi matematik siswa setelah melalui proses pembelajaran dengan strategi Mathematical Eliciting Activities (MEAs). Penelitian kuasi dengan rancangan static group comparison ini melibatkan 122 siswa dari dua sekolah SMP Negeri di Depok yang berkategori atas dan menengah. Data penelitian ini dihimpun melalui instrumen-instrumen yang meliputi tes pengetahuan awal matematik, tes kemampuan pemecahan masalah matematik, tes kemampuan komunikasi matematik, dan skala disposisi matematik. Pelaksanaan penelitian dilakukan sejak bulan Oktober 2010 sampai dengan bulan April 2011. Analisis data menggunakan uji beda Rerata, uji Chi- Kuadrat, dan ANOVA dua jalur. Hasil penelitian, baik dari data gabungan maupun di sekolah level atas, menginformasikan bahwa siswa yang terlibat dalam pembelajaran dengan strategi MEAs memiliki kemampuan pemecahan masalah, komunikasi maupun disposisi matematik yang lebih baik daripada siswa yang terlibat dalam pembelajaran konvensional. Siswa yang mendapat pendidikan di sekolah dengan level menengah, menunjukkan bahwa pembelajaran MEAs maupun konvensional dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, komunikasi maupun disposisi matematik pada ketercapaian yang tidak berbeda secara signifikan. Di sekolah level menengah, ternyata kemampuan komunikasi matematik siswa dengan PAM rendah di kelas konvensional sedikit lebih tinggi (5,71 > 5,60) dari siswa yang mendapat pembelajaran MEAs. Hal ini menjelaskan bahwa pembelajaran MEAs kurang tepat dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematik jika diterapkan pada siswa dengan PAM rendah dari sekolah level menengah. Baik di sekolah level atas maupun menengah, pengaruh pembelajaran terhadap kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan disposisi matematik tidak dipengaruhi oleh level sekolah dan pengetahuan awal matematik siswa. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pengaruh interaksi yang signifikan antara level sekolah dengan kategori pembelajaran, antara kategori PAM dengan kategori pembelajaran terhadap kemampuan pemecahan masalah, komunikasi maupun disposisi matematik siswa. Pada kelas dengan pembelajaran MEAs terdapat keterkaitan antara kemampuan pemecahan masalah matematik dengan kemampuan komunikasi matematik, antara kemampuan pemecahan masalah matematik dengan disposisi matematik dan antara kemampuan komunikasi matematik dengan disposisi matematik. Kata Kunci: Asosiasi, disposisi matematik, interaksi, kemampuan pemecahan masalah matematik, kemampuan komunikasi matematik, pembelajaran konvensional, perbedaan rerata, MEAs. viii

41670.pdf ABSTRACT Endang Wahyuningrum. (2014). Mathematical Problem Solving Abilities, Mathematical Communication Abilities, and Mathematical Disposition Through Model Eliciting Activities This research examines mathematical problem-solving abilities, mathematical communication abilities, and mathematical disposition of students after going through the learning process with a strategy of a Mathematical Eliciting Activities (MEAs). This Quasi-static research with comparison group design involves 122 eight-grade students. The students are from secondary school of high and middle category. The data was collected through instruments that include the tests of the prior knowledge of mathematics, problem-solving abilities, mathematical communication abilities, and mathematical disposition scale. The research was conducted from October 2010 until February 2011. The data are analyzed by using average differential test, Chi-Square test, and two-ways ANOVA. The results, both for the combined data at a high and middle category of Secondary School, are mathematical problem-solving abilities, mathematical communication abilities, and mathematical dispotition of students engaged in learning with MEAs strategy are better than those of the students engaged in conventional learning. At the school with middle category, it turns out that mathematical communication abilities of students with the low score of mathematical prior knowledge in conventional class approximately higher than students in MEAs class (5,71 > 5,60). It is clear that MEAs strategy does not support in developing mathematical communication abilities for students in middle category school with the low score of mathematical prior knowledge. The effect of learning on mathematical problem-solving abilities, mathematical communication abilities, and mathematical disposition is not affected by school category and a prior knowledge of mathematics. This is indicated by no significant interaction effect between the school category with learning category, between a prior knowledge of mathematics and learning category. In class with MEAs strategy, there are associations between mathematical problem-solving abilities and mathematical communication abilities, between mathematical problem-solving abilities and mathematical disposition, and between mathematical communication abilities and mathematical disposition. Keywords: Association, average differentiation, interaction, conventional learning, MEAs, mathematical problem-solving abilities, mathematical communication abilities, and mathematical disposition. ix

41670.pdf DAFTAR ISI Hal Halaman Judul... i HALAMAN PENGESAHAN DISERTASI... ii MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iii PERNYATAAN... iv KATA PENGANTAR... v ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... vii viii ix xi xiv xv BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Identifikasi Masalah... 9 C. Rumusan Masalah... 10 D. Tujuan Penelitian... 11 E. Manfaat Penelitian... 12 F. Struktur Organisasi Disertasi... 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PENELITIAN DAN HIPOTESIS... 14 A. Pemecahan Masalah Matematik.. 15 B. Komunikasi Matematik... 28 C. Disposisi Matematik... 39 D. Pembelajaran MEAs (Model Eliciting Activities)... 41 E. Teori Belajar yang Mendasari... 56 F. Kerangka Teori Penelitian 61 G. Penelitian-penelitian yang Relevan. 63 H. Roadmap Penelitian.... 69 I. Hipotesis Penelitian 72 x

41670.pdf BAB III METODE PENELITIAN. 74 A. Desain Penelitian... 74 B. Populasi dan Sampel Penelitian... 74 C. Definisi Operasional... 78 D. Pengembangan Instrumen Penelitian... 79 1. Tes Pengetahuan Awal Matematik... 84 2. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik... 85 3. Tes Kemampuan Komunikasi Matematik... 87 4. Disposisi Matematik... 90 E. Pengembangan Perangkat Pembelajaran... 934 F. Teknik Analisis Data... 95 G. Prosedur dan Tahapan Penelitian... 99 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 102 A. Hasil Penelitian... 102 1. Pengetahuan Awal Matematik... 102 2. Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi dan Disposisi Matematik... 105 3. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik... 108 4. Kemampuan Komunikasi Matematik... 133 5. Disposisi Matematik... 155 6. Asosiasi antara Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi dan Disposisi Matematik... 174 B. Pembahasan... 188 BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 197 A. Simpulan... 197 B. Saran... 199 DAFTAR PUSTAKA... 200 LAMPIRAN-LAMPIRAN... 211 xi

41670.pdf DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik... Hal 28 Tabel 2.2 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Komunikasi Matematik 38 Tabel 3.1 Kriteria Kategori Pengetahuan Awal Matematik (PAM)... 76 Tabel 3.2 Rancangan Faktorial Keterkaitan antar Variabel Penelitian untuk Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematik... 77 Tabel 3.3 Kategori Koefisien Reliabilitas... 82 Tabel 3.4 Kriteria Indeks Kesukaran... 83 Tabel 3.5 Kriteria Daya Pembeda... 84 Tabel 3.6 Pedoman Penskoran Butir Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah... 56 Tabel 3.7 Uji Reliabilitas Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik... 86 Tabel 3.8 Uji Validitas Butir Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik... 86 Tabel 3.9 Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda Butir Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik... 87 Tabel 3.10 Pedoman Penskoran Butir Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis... 88 Tabel 3.11 Uji Reliabilitas Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematik... 88 Tabel 3.12 Uji Validitas Butir Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematik... 89 Tabel 3.13 Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda Butir Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematik... 89 Tabel 3.14 Distribusi Respon Siswa terhadap Skala Disposisi Matematik untuk Pernyataan Favorabel (+) dan Tidak Favorabel(-)... 91 xii

41670.pdf Tabel 3.15 Penghitungan pada Prosedur Penskoran Skala Disposisi Matematik untuk Pernyataan Favorabel Nomor 42... 92 Tabel 3.16 Penghitungan pada Prosedur Penskoran Skala Disposisi Matematik untuk Pernyataan Tidak Favorabel Nomor 36... 92 Tabel 3.17 Ukuran Statistik dan Reliabilitas Instrumen Disposisi Matematik... 93 Tabel 3.18 Keterkaitan antara Permasalahan, Hipotesis dan Kelompok Data... 96 Tabel 4.1 Ukuran Statistik Skor PAM berdasarkan Level Sekolah.. 103 Tabel 4.2 Kriteria Kategori PAM... 104 Tabel 4.3 Sebaran Data Banyaknya Siswa pada setiap Kategori Skor PAM. 105 Tabel 4.4 Rerata Skor Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi dan Disposisi Matematik.. 105 Tabel 4.5 Deskripsi Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik berdasarkan Kategori PAM, Strategi Pembelajaran dan Level Sekolah. 109 Tabel 4.6 Beda Rerata Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa PAM Tinggi..... 110 Tabel 4.7. Beda Rerata Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa PAM Sedang... 117 Tabel 4.8. Beda Rerata Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa PAM Rendah... 117 Tabel 4.9 Uji Kenormalan Data Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik 118 Tabel 4.10 Uji Kehomogenan Ragam Data Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik berdasarkan Level Sekolah 119 Tabel 4.11 Uji Beda Rerata Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik antar Pembelajaran di setiap Level Sekolah... 120 Tabel 4.12 Uji Kenormalan Data Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik berdasarkan Pembelajaran pada Sekolah Level xiii

41670.pdf Atas. 121 Tabel 4.13 Uji Kehomogenan Ragam Data Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik di Sekolah Level Atas 121 Tabel 4.14 Uji Beda Rerata Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik antar Pembelajaran di Sekolah Level Atas... 121 Tabel 4.15 Uji Kenormalan Data Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik berdasarkan Pembelajaran pada Siswa Gabungan 122 Tabel 4.16 Uji Beda Rerata Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik antar Pembelajaran pada Siswa Gabungan... 123 Tabel 4.17 Uji Kenormalan Data Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik antar Pembelajaran pada Siswa Gabungan. 124 Tabel 4.18 Uji Beda Rerata Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik antar Pembelajaran pada Siswa Gabungan..... 124 Tabel 4.19 Uji Kenormalan Data Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik setiap Level Sekolah.. 126 Tabel 4.20 Uji Kehomogenan Ragam Data Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik berdasarkan Interaksi Pembelajaran dan Level Sekolah... 126 Tabel 4.21 Hasil ANOVA Uji Interaksi Pembelajaran dan Level Sekolah terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik 127 Tabel 4.22 Uji Kenormalan Data Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik setiap Kategori PAM. 129 Tabel 4.23 Uji Kehomogenan Ragam Data Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik berdasarkan Interaksi Pembelajaran dan PAM..... 129 Tabel 4.24 Hasil ANOVA Uji Interaksi antara Pembelajaran dan PAM terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik.. 130 Tabel 4.25 Hasil Tes Post Hoc untuk PAM pada Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik 131 Tabel 4.26 Deskripsi Skor Kemampuan Komunikasi Matematik berdasarkan Kategori PAM, Strategi Pembelajaran dan Level xiv

41670.pdf Sekolah 134 Tabel 4.27 Beda Rerata Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa PAM Tinggi. 143 Tabel 4.28. Beda Rerata Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa PAM Sedang. 144 Tabel 4.29. Beda Rerata Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa PAM Rendah. 144 Tabel 4.30 Uji Kenormalan Data Skor Kemampuan Komunikasi Matematik.. 145 Tabel 4.31 Uji Beda Rerata Skor Kemampuan Komunikasi Matematik antar Pembelajaran di setiap Level Sekolah.. 146 Tabel 4.32 Uji Kenormalan Data Skor Kemampuan Komunikasi Matematik berdasarkan Pembelajaran pada Sekolah Level Atas... 147 Tabel 4.33 Uji Beda Rerata Skor Kemampuan Komunikasi Matematik antar Pembelajaran di Sekolah Level Atas... 147 Tabel 4.34 Uji Kenormalan Data Skor Kemampuan Komunikasi Matematik berdasarkan Pembelajaran pada Siswa Gabungan.. 148 Tabel 4.35 Uji Beda Rerata Skor Kemampuan Komunikasi Matematik antar Pembelajaran pada Siswa Gabungan... 149 Tabel 4.36 Uji Kenormalan Data Skor Kemampuan Komunikasi Matematik berdasarkan Pembelajaran pada Siswa Gabungan 150 Tabel 4.37 Uji Beda Rerata Skor Kemampuan Komunikasi Matematik berdasarkan Pembelajaran pada Siswa Gabungan.... 150 Tabel 4.38 Uji Kenormalan Data Skor Kemampuan Komunikasi Matematik setiap Kategori Level Sekolah..... 151 Tabel 4.39 Uji Kenormalan Data Skor Kemampuan Komunikasi Matematik setiap Kategori PAM... 153 Tabel 4.40 Deskripsi Skor Disposisi Matematik berdasarkan Kategori PAM, Strategi Pembelajaran dan Level Sekolah.. 156 Tabel 4.41. Uji Kenormalan Data Skor Disposisi Matematik xv

41670.pdf Per PAM.... 161 Tabel 4.42. Uji Kehomogenan Ragam Data Skor Disposisi Matematik Siswa berdasarkan Kelompok PAM.... 161 Tabel 4.43. Uji Beda Rerata Skor Disposisi Matematik Siswa antar Pembelajaran di Kelompok PAM Tinggi dan Rendah.... 161 Tabel 4.44. Uji Beda Rerata Skor Disposisi Matematik Siswa antar Pembelajaran di Kelompok PAM Sedang. 162 Tabel 4.45 Uji Kenormalan Data Skor Kemampuan Disposisi Matematik..... 163 Tabel 4.46 Uji Kehomogenan Ragam Data Skor Disposisi Matematik berdasarkan Level Sekolah... 163 Tabel 4.47 Uji Beda Rerata Skor Disposisi Matematik antar Pembelajaran di setiap Level Sekolah..... 164 Tabel 4.48 Uji Kenormalan Data Skor Disposisi Matematik berdasarkan Pembelajaran pada Sekolah Level Atas 165 Tabel 4.49 Uji Kehomogenan Ragam Data Skor Disposisi Matematik pada Level Sekolah Atas... 165 Tabel 4.50 Uji Beda Rerata Skor Disposisi Matematik antar Pembelajaran di Sekolah Level Atas.. 165 Tabel 4.51 Uji Kenormalan Data Skor Disposisi Matematik antar Pembelajaran pada Siswa Gabungan 166 Tabel 4.52 Uji Kehomogenan Ragam Data Skor Disposisi Matematik berdasarkan Pembelajaran pada Siswa Gabungan.... 167 Tabel 4.53 Uji Beda Rerata Skor Disposisi Matematik berdasarkan Pembelajaran pada Siswa Gabungan..... 167 Tabel 4.54 Uji Kenormalan Data Skor Disposisi Matematik Siswa Gabungan Berdasarkan Level Sekolah... 169 Tabel 4.55 Uji Kehomogenan Ragam Data Skor Disposisi Matematik berdasarkan Interaksi Pembelajaran dan Level Sekolah... 169 Tabel 4.56 Hasil ANOVA untuk Uji Interaksi antara Pembelajaran dan Level Sekolah terhadap Disposisi Matematik Siswa. 170 xvi

41670.pdf Tabel 4.57 Uji Kenormalan Data Skor Disposisi Matematik berdasarkan Kategori PAM.... 172 Tabel 4.58 Uji Kehomogenan Ragam Data Skor Disposisi Matematik berdasarkan Interaksi Pembelajaran dan PAM.. 173 Tabel 4.59 Hasil ANOVA untuk Uji Interaksi antara Pembelajaran dan PAM terhadap Disposisi Matematik Siswa... 175 Tabel 4.60 Konversi Pengkategorian Data Hasil Tes PAM... 175 Tabel 4.61 Konversi Pengkategorian Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik.... 175 Tabel 4.62 Konversi Pengkategorian Kemampuan Komunikasi Matematik 175 Tabel 4.63 Konversi Pengkategorian Disposisi Matematik...... 175 Tabel 4.64 Banyaknya Siswa dengan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Komunikasi Matematik... Tabel 4.65 Hasil Uji Asosiasi antara Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Komunikasi Matematik... 177 Tabel 4.66 Koefisien Kontingensi untuk Asosiasi antar Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Komunikasi Matematik... 177 Tabel 4.67 Banyaknya Siswa dengan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematik.. 178 Tabel 4.68 Uji Asosiasi antara Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematik. 179 Tabel 4.69 Koefisien Kontingensi untuk Asosiasi antar Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematik 179 Tabel 4.70 Banyaknya Siswa dengan Kemampuan Komunikasi dan Disposisi Matematik.. 180 Tabel 4.71 Uji Asosiasi antara Kemampuan Komunikasi dan Disposisi Matematik. 181 Tabel 4.72 Koefisien Kontingensi untuk Asosiasi antar Kemampuan 176 xvii

41670.pdf Komunikasi dan Disposisi Matematik. 181 Tabel 4.73 Banyaknya Siswa dengan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Komunikasi Matematik pada Pembelajaran MEAs.... 182 Tabel 4.74 Uji Asosiasi antara Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Komunikasi Matematik pada Siswa dengan Pembelajaran MEAs. 183 Tabel 4.75 Koefisien Kontingensi untuk Asosiasi antar Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Komunikasi Matematik pada Siswa dengan Pembelajaran MEAs.. 183 Tabel 4.76 Banyaknya Siswa dengan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematik pada Pembelajaran MEAs 184 Tabel 4.77 Uji Asosiasi antara Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematik pada Siswa dengan Pembelajaran MEAs 185 Tabel 4.78 Koefisien Kontingensi untuk Asosiasi antar Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematik pada Siswa dengan Pembelajaran MEAs... 185 Tabel 4.79 Banyaknya Siswa dengan Kemampuan Komunikasi dan Disposisi Matematik pada Pembelajaran MEAs.. 186 Tabel 4.80 Uji Asosiasi antara Kemampuan Komunikasi dan Disposisi Matematik pada Siswa dengan Pembelajaran MEAs 187 Tabel 4.81 Koefisien Kontingensi untuk Asosiasi antar Kemampuan Komunikasi dan Disposisi Matematik pada Siswa dengan Pembelajaran MEAs. 187 xviii

41670.pdf DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 2.1 Alur Proses Pemecahan Masalah.. 21 Gambar 2.2 Model Komunikasi... 30 Gambar 2.3 Model Standar Proses Pemodelan 46 Gambar 2.4 Ilustrasi Penuangan Air ke dalam Tangki. 48 Gambar 2.5 Kerangka Teori Penelitian 63 Gambar 2.6 Roadmap Penelitian. 70 Gambar 2.7 Skema Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi dan Disposisi Matematik dalam Penelitian.. 71 Gambar 3.1 Algoritma Analisis Statistik 98 Gambar 3.2 Tahapan Penelitian.. 101 Gambar 4.1 Pengetahuan Awal Matematik Siswa.. 103 Gambar 4.2 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik berdasarkan Pembelajaran..... 109 Gambar 4.3 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik berdasarkan Level Sekolah 110 Gambar 4.4 Interaksi antara Pembelajaran dengan Level Sekolah terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik.. 128 Gambar 4.5 Interaksi antara Pembelajaran dengan PAM terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik.... 132 Gambar 4.6 Kemampuan Komunikasi Matematik berdasarkan Pembelajaran. 134 Gambar 4.7 Kemampuan Komunikasi Masalah Matematik berdasarkan Level Sekolah... 135 Gambar 4.8 Interaksi antara Pembelajaran dengan Level Sekolah terhadap Kemampuan Komunikasi Matematik... 152 Gambar 4.9 Interaksi antara Pembelajaran dengan PAM terhadap Kemampuan Komunikasi Matematik... 154 Gambar 4.10 Disposisi Matematik berdasarkan Pembelajaran... 156 xix

41670.pdf Gambar 4.11 Disposisi Matematik berdasarkan Level Sekolah. 156 Gambar 4.12 Interaksi antara Pembelajaran dengan Level Sekolah terhadap Disposisi Matematik. 170 Gambar 4.13 Interaksi antara Pembelajaran dengan PAM terhadap Disposisi Matematik..... 173 xx

41670.pdf DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN A. INSTRUMEN PENELITIAN DAN PERANGKAT PEMBELAJARAN.. 212 Lampiran A.1.Instrumen Pengetahuan Awal Matematik... 212 Lampiran A.1.1 Kisi-Kisi Tes Pengetahuan Awal Matematik... 212 Lampiran A.1.2 Tes Pengetahuan Awal Matematik... 213 Lampiran A.2 Instrumen Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik... 220 Lampiran A.2.1 Kisi-Kisi Soal Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik.. 220 Lampiran A.2.2 Soal Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik... 221 Lampiran A.3 Instrumen Kemampuan Komunikasi Matematik... 224 Lampiran A.3.1 Kisi-kisi Soal Kemampuan Komunikasi Matematik.. 224 Lampiran A.3.2 Soal Kemampuan Komunikasi Matematik. 225 Lampiran A.4 Skala Disposisi Matematik... 228 Lampiran A.5 Lembar Observasi Kegiatan Pembelajaran 230 LAMPIRAN B. CONTOH BAHAN AJAR... 231 Lampiran B.1 Contoh Lembar Kerja Siswa... 231 Lampiran B.2 Contoh Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.. 244 LAMPIRAN C. FORMAT, HASIL PENILAIAN DAN ANALISIS VALIDASI ISI... 256 Lampiran C.1 Format Penilaian Validasi Isi... 256 Lampiran C.2 Analisis Validasi Isi..... 259 LAMPIRAN D. DATA DAN ANALISIS DATA HASIL UJI COBA PENELITIAN... Lampiran D.1. Data dan Analisisi Data Hasil Uji Coba Instrumen 269 Lampiran D.1.1 Data Uji Coba Instrumen Tes Pengetahuan Awal Matematik Lampiran D.1.2 Analisis Data Uji Coba Instrumen Tes Pengetahuan Awal Matematik Lampiran D.2. Data Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik... Hal 269 269 271 275 xxi

41670.pdf Lampiran D.2.1 Data Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Lampiran D.2.2 Analisis Data Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Lampiran D.3. Data Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Lampiran D.3.1 Data Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Lampiran D.3.2 Analisis Data Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Lampiran D. 4. Data Uji Coba Instrumen Disposisi Matematik... 281 Lampiran D.4.1 Data Uji Coba Instrumen Disposisi Matematik 281 Lampiran D.4.2 Analisis Data Uji Coba Instrumen Disposisi Matematik. LAMPIRAN E. DATA DAN ANALISIS HASIL 286 PENELITIAN. Lampiran E.1 Pengelompokan Sekolah SMP di Kota Depok berdasarkan Perolehan Akreditasi..... 286 Lampiran E.2. Analisis Kesetaraan Kelompok Eksperimen dan Kontrol di setiap Level Sekolah... 287 Lampiran E.3 Data Hasil Penelitian.... 293 Lampiran E.4 Proporsi Rerata Data Hasil Penelitian (per kelas, per level sekolah, per pembelajaran, gabungan) Lampiran E.5 Analisis Data Hasil Penelitian... 309 Lampiran E.5.1. Analisis Statistik Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik.... 309 Lampiran E.5.2. Analisis Statistik Data Kemampuan Komunikasi Matematik. 317 Lampiran E.5.3. Analisis Statistik Data Disposisi Matematik 321 Lampiran E.5.4. Analisis Data untuk Asosiasi Antar Variabel. 327 275 276 278 278 279 283 300 xxii

41670.pdf Lampiran E.6 Analisis Asosiasi...... 327 Lampiran E.6.1 Kriteria Pengkategorian Data untuk Analisis Asosiasi 327 Lampiran E.6.2 Data Hasil Pengkategorian 328 Lampiran E.6.3 Uji Asosiasi antara Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi dan Disposisi Matematik Siswa pada Pembelajaran MEAs.. 329 Lampiran E.6.4 Uji Asosiasi antara Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi dan Disposisi Matematik Siswa pada Pembelajaran MEAs.... 332 LAMPIRAN F. PERIJINAN DAN SURAT KETERANGAN... 335 xxiii

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PENELITIAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran matematika akan berdampak pada meningkatnya ilmu matematika dan kemampuan matematik jika siswa sedang pada kondisi berpikir matematik. Berpikir matematik adalah proses berpikir dalam kegiatan melaksanakan tugas-tugas matematik (Sumarmo, 2010) dan merupakan rekonseptualisasi berpikir yang disertai dengan belajar memunculkan karya kognitif terbaru. Berpikir matematik memungkinkan seseorang menjadi pemecah masalah (solver) yang baik. Menurut National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) kemampuan berpikir matematik akan menguat dalam atmosfir yang memuat: (i) tantangan (challenging) untuk membangun banyak konjektur, mencari berbagai argumen pembenaran atau penyalahan serta memeriksa, memodifikasi, dan membuat beragam alternatif, (ii) pertanyaan (questioning) untuk investigasi, mempertanyakan kebenaran (query) dan bernegosiasi dengan makna-makna dari istilah yang ada, serta (iii) refleksi (reflective) untuk mengkritisi argumen sendiri, memperkirakan dan menilai beragam pendekatan, mengangkat, merundingkan kembali, dan mengubah arah penyelesaian. Berpikir matematik (Wilson et al., 1993) memerlukan pengetahuan, strategi pemecahan masalah, penggunaan sumber daya secara efektif, perspektif matematik, dan keterlibatan aktif dalam kegiatan berpikir matematik. Polya (1973) berpendapat bahwa untuk memahami matematika siswa memerlukan pengalaman mengerjakan matematika secara konsisten sebagaimana matematikawan bekerja dengan matematika. Pembiasaan berfikir matematik melatih siswa bekerja dalam matematika dan memungkinkan siswa memperoleh berbagai kemampuan matematik. Standar Kompetensi Kurikulum yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 (BSNP, 2006) menetapkan kemampuan atau kemahiran matematik yang harus dicapai siswa SD/MI hingga SMA/MA dari belajar matematik yaitu dapat: (i) menunjukkan pemahaman

41670.pdf 15 konsep matematik yang dipelajari, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, (ii) memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas keadaan/masalah, (iii) menggunakan penalaran pada pola/sifat atau melakukan manipulasi matematik dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, serta menjelaskan gagasan/pernyataan matematik, (iv) menunjukkan kemampuan strategik dalam membuat (merumuskan), menafsirkan, dan menyelesaikan model matematik dalam pemecahan masalah, (v) memiliki sikap menghargai kegunaan matematik dalam kehidupan. NCTM (2000) menganggap penting bahwa penetapan tujuan pembelajaran matematika tidak lagi hanya menekankan pada peningkatan hasil belajar, namun juga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan: (i) penalaran matematik (mathematical reasoning); (ii) pemecahan masalah matematik (mathematical problem solving); (iii) komunikasi matematik (mathematical communication); (iv) mengaitkan ide-ide matematik (mathematical connections); dan (v) representasi matematik (mathematical representation). Tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan harus muncul pada diri siswa sebagai kompetensi hasil dari proses berpikir matematik. A. Pemecahan Masalah Matematik Ketika seseorang berinteraksi dengan kata matematik maka terbayang dalam benaknya suatu kegiatan memecahkan masalah matematik. Masyarakat yang melek matematik memahami bahwa matematik identik dengan diantaranya memecahkan masalah, mengembangkan pola dan model, membuktikan teorema, atau menginterpretasikan suatu representasi matematik. Terkait dengan kegiatan pemecahan masalah, Wilson et al. (1993) mengungkapkan bahwa kegiatan memecahkan masalah matematik potensial memunculkan motivasi intrinsik dalam diri siswa sebagai solver. Sangatlah penting bagi setiap individu memiliki motivasi dan kemampuan untuk

41670.pdf memecahkan suatu masalah, bahkan kemampuan pemecahan masalah merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki siswa (Kirkley, 2003). Kroll dan Miller (1993) dalam NCTM (2000) menguraikan pemahamannya terkait dengan pemecahan masalah yaitu adanya perbedaan penting antara berhasil dan tidaknya siswa menyelesaikan masalah yaitu terletak pada keyakinan siswa tentang kebenaran proses dan solusi pemecahan masalah hasil pekerjaannya, tentang kemampuan diri mereka sebagai solver, dan tentang cara-cara pendekatan pemecahan masalah. Kebanyakan siswa memiliki kepercayaan yang keliru yaitu beranggapan bahwa semua permasalahan matematik dapat diselesaikan dengan cepat dan langsung, disamping itu siswa percaya bahwa hanya ada satu cara yang "benar" untuk memecahkan setiap masalah matematik. Lambatnya siswa mengetahui tentang bagaimana memecahkan suatu masalah membuat siswa menyerah dan mendukung persepsi tentang diri sendiri sebagai solver yang tidak kompeten. Siswa menjadi tergantung pada guru atau kunci jawaban untuk memverifikasi solusi mereka dan mereka gagal menghargai semangat dan wawasan untuk mengenali dan menemukan cara yang berbeda dalam memecahkan masalah. Untuk mengatasinya, siswa diberi kesempatan merenungkan dan menganalisis masalah sebelum mencoba solusi dan kemudian sungguh-sungguh mencari solusi. Siswa harus mengkondisikan dirinya sebagai solver yang reflektif melalui diskusi secara terbuka dan kritis dalam proses pemecahan masalah, seperti memahami masalah dan "mencari kembali" untuk memikirkan proses dan solusi (Polya, 1973). Kebutuhan siswa untuk terampil memecahkan masalah menjadi tema yang mendominasi di dalam berbagai standar kurikulum pendidikan matematik. Pendidikan saat ini mengarah pada penyertaan pemecahan masalah sebagai komponen utama dalam kurikulum matematik. Mendukung hal tersebut, Kaur dan Har (2009) mengungkapkan bahwa mayoritas kurikulum pendidikan di dunia menyertakan pemecahan masalah matematik dalam kurikulum matematik. NCTM (1989) mengidentifikasi bahwa tujuan utama dari pendidikan matematik adalah untuk mengembangkan kekuatan matematik yang meliputi: kemampuan siswa dalam melakukan eksplorasi, konjektur, penalaran secara logis, dan kemampuan

41670.pdf 17 untuk menggunakan berbagai metode matematik secara efektif untuk menyelesaikan masalah tidak rutin. Pemecahan masalah (NCTM, 1989) merupakan suatu proses yang melingkupi seluruh bagian program pembelajaran matematika serta menyediakan keterampilan berbentuk konteks berkonsep (Polya, 1973) yang dapat dipelajari dalam upaya mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak segera dapat dicapai. Bersesuaian dengan Polya, Krulik & Rudnick (1989) dalam Yee (2012) juga menyatakan bahwa pemecahan masalah sebagai suatu upaya untuk menyelesaikan permasalahan baru dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman yang diperoleh sebelumnya. Melengkapi pernyataan Polya serta Krulik & Rudnick, Sumarmo (2008) menyatakan ada dua makna pemecahan masalah matematik yaitu sebagai suatu pendekatan dan sebagai suatu kegiatan. Pemecahan masalah sebagai kegiatan meliputi: (i) mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah, (ii) membuat model matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari, (iii) memilih dan menerapkan strategi untuk memecahkan masalah matematik dan atau di luar matematik, (iv) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban, dan (v) menerapkan matematik secara bermakna. Karakteristik pemecahan masalah (Sumarmo, 2010) yang bersifat tidak rutin serta menyertakan kegiatan matematik dengan penalaran dan berpikir tingkat tinggi menjadikannya tergolong pada kemampuan matematik tingkat tinggi. Pemecahan masalah tidak memuat prosedur penyelesaian yang otomatis dan mudah. NCTM (2000) mensyaratkan adanya kebaruan sebagai komponen yang diperlukan dalam pemecahan masalah. Relevan dengan yang diungkapkan NCTM, Schoenfeld (1992) lebih memilih istilah non-routine untuk menggantikan istilah baru dengan makna bahwa pemecahan masalah menyertakan soal dengan penyelesaian yang tidak biasa. Perspektif lama yang dipahami English, et al. (2008) menjelaskan bahwa pemecahan masalah sebagai pengembangan kemampuan melalui pembelajaran yang awalnya merupakan konsep dan prosedur yang diikuti dengan praktek

41670.pdf 18 terhadap penyelesaian "soal cerita" (dengan menggunakan berbagai strategi, misalnya: membuat tabel/diagram, atau memeriksa kebenaran pekerjaan), dan diakhirnya mengarah pada memperkaya pengalaman melalui penerapan kompetensi dalam memecahkan masalah yang "baru" atau "tidak rutin." Senada dengan yang diungkapkan English (2008), Garofalo & Lester (1985) dalam (Kirkley, 2003) menyatakan bahwa pemecahan masalah melibatkan keterampilan berfikir matematik tingkat tinggi seperti visualisasi, asosiasi, penalaran, manipulasi, abstraksi, analisis, sintesis, dan generalisasi. Kemampuan pemecahan masalah akan dimiliki siswa jika pengembangannya terintegrasi dalam semua aktifitas pembelajaran matematika. Pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika menstimulasi minat dan antusias siswa untuk semakin terampil memecahkan masalah dan memiliki pemahaman serta apresiasi terhadap matematika. Secara spesifik tujuan penyertaan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika (NCTM, 1989) adalah untuk: (i) meningkatkan motivasi siswa dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan ketekunan siswa ketika menyelesaikan masalah, (ii) meningkatkan kemandirian pemahaman konsep siswa yang menyebabkan timbulnya keyakinan siswa akan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah, (iii) membuat siswa menyadari strategi dalam menyelesaikan masalah, (iv) membuat siswa sadar bahwa masalah memiliki nilai melalui penyelesaian secara sistematis, (v) membuat siswa sadar bahwa banyak masalah yang dapat diselesaikan melalui berbagai cara, (vi) meningkatkan kemampuan siswa dalam memilih strategi penyelesaian yang tepat, (vii) meningkatkan kemampuan siswa dalam menerapkan strategi penyelesaian secara akurat, dan (viii) meningkatkan kemampuan siswa untuk memperoleh lebih banyak cara dengan jawaban yang benar dalam menyelesaikan suatu masalah. Proses pemecahan masalah melibatkan kegiatan mental dengan bermacam keterampilan dan kegiatan kognitif. Terkait dengan upaya pengembangan kemampuan pemecahan masalah matematik, pertimbangan psikologi kognitif (Mayer, 1982 dalam Yee, 2012) menjelaskan : (i) pertama, psikolog kognitif berpandangan bahwa belajar sebagai perolehan pengetahuan bukan akuisisi

41670.pdf 19 perilaku baru; (ii) kedua, psikolog kognitif berpandangan bahwa pemecahan masalah sebagai serangkaian operasi mental yang mengubah representasi pengetahuan bukan sekedar sebagai rangkaian perilaku belajar; (iii) ketiga, dan yang perlu diperhatikan oleh guru, psikolog kognitif meyakini bahwa instruksi harus fokus lebih pada proses daripada produk. English et al. (2008) menjelaskan interpretasinya terhadap ungkapan NCTM (2000) yang menyatakan bahwa kajian tentang pemecahan masalah setara dengan kajian pokok bahasan lain seperti: trigonometri, kalkulus dan sebagainya. Berdasarkan penjelasan NCTM, secara implisit English berasumsi bahwa kemampuan pemecahan masalah diperkirakan akan meningkat jika solver: (i) pertama, menguasai konsep yang relevan, (ii) kedua, menguasai heuristik masalah yang relevan terkait pemecahan, strategi, kepercayaan, disposisi, atau proses, dan (iii) ketiga, belajar menggunakan konsep-konsep dan proses secara bersama untuk memecahkan masalah. Asumsi tersebut, dengan disertai keyakinan bahwa siswa harus belajar konsep dan proses abstraksi terlebih dahulu sebelum menggunakan konsep dan proses bersamaan untuk memecahkan masalah "kehidupan nyata", cenderung berakhir pada kurangnya waktu untuk menerapkan pemecahan masalah (English, 2008; Wilson et al., 1993). Persepsi kurangnya waktu untuk menerapkan pemecahan masalah, tidak menyurutkan motivasi peneliti dan agen pembelajaran untuk terus mengkaji keunggulan pemecahan masalah. Paling tidak ada lima alasan positif penyertaan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika (Wilson et al., 1993). Pertama, sebagian besar kajian kemampuan matematik adalah kemampuan pemecahan masalah; kedua, matematika memiliki banyak penerapan dan seringkali penerapan merupakan masalah penting dalam matematika; ketiga, dalam pemecahan masalah matematik memuat motivasi intrinsik yaitu menstimulasi ketertarikan dan semangat siswa; keempat, sangat mungkin pemecahan masalah matematik menjadi kegiatan yang menyenangkan sebagai rekreasi siswa; dan terakhir, kurikulum matematika yang menyertakan pemecahan masalah memungkinkan siswa mengembangkan seni memecahkan masalah

41670.pdf 20 sehingga dapat memahami dan menghargai matematika sebagai tujuan akhir pembelajaran. Pemecahan masalah matematik memberi kesempatan pada siswa untuk belajar memperdalam pemahaman mereka tentang konsep-konsep matematika melalui masalah dan akan lebih bermakna jika menyertakan pengalaman keseharian siswa yaitu dengan memilih masalah yang memungkinkan penerapan matematika pada konteks lain. Menurut Polya ada dua macam masalah, yaitu masalah untuk menemukan (problem to find) dan untuk membuktikan (problem to prove). Dalam pemecahan masalah menemukan, siswa dapat menganalisis masalah untuk mengetahui: apakah yang dicari? Bagaimana data yang diketahui? Bagaimana syaratnya? Sedangkan untuk masalah membuktikan, analisis terhadap masalah dilakukan dengan menanyakan: bagaimana hipotesisnya? Dan, apa kesimpulannya? Persoalan matematik (Polya, 1973) akan menjadi suatu masalah bagi siswa, jika siswa tersebut: (i) mempunyai kemampuan untuk menyelesaikannya (ditinjau dari aspek kematangan mentalnya dan ilmunya), (ii) siswa belum mempunyai algoritma atau prosedur untuk menyelesaikannya, dan (iii) siswa berkeinginan untuk menyelesaikannya. Dengan demikian masalah bagi seorang siswa mungkin saja bukan masalah bagi siswa lain. Soal pertama tentang perkalian yaitu: 35,9 4,56 =..., bukanlah masalah bagi siswa kelas SMP kelas VIII, karena ada prosedur penyelesaian yang telah diketahui siswa. Sedangkan soal kedua (Haese, 1982) yaitu: 6 ekor sapi mampu memakan rumput di lapangan berumput selama 3 hari, sedangkan 3 ekor sapi dapat menghabiskan rumput di halaman yang sama dalam 7 hari, dan dengan pertanyaan berapa hari seekor sapi menghabiskan rumput di halaman yang sama tersebut? dapat merupakan masalah bagi siswa tertentu karena tidak ada prosedur khusus yang dimiliki siswa untuk menyelesaikannya. Diagram di bawah adalah alur proses pemecahan masalah dengan tahapan tidak linear namun bersiklus yang diperkenalkan Wilson et al. (1993).

41670.pdf 21 Gambar 2.1. Alur proses pemecahan masalah (Wilson et al., 1993) Setelah siswa diberi masalah, siswa akan mengalami proses pemecahan masalah dengan tahapan sebagaimana yang diperkenalkan oleh Polya (1973) yaitu (i) memahami masalah, (ii) merancang penyelesaian masalah, (iii) melaksanakan penyelesaian masalah, dan langkah terakhir (iv) melihat kembali apakah hasil penyelesaian sesuai dengan apa yang diketahui dan yang ditanyakan. Apabila siswa belum memperoleh penyelesaian yang benar maka siswa perlu melihat kembali permasalahan yang diberikan, kemudian menyelesaikannya kembali melalui ke 4 tahapan tersebut secara berurutan hingga penyelesaian yang diperoleh telah benar. Pemecahan masalah menjadi penting karena, dalam prosesnya, siswa mengerahkan semua kemampuan dan menerapkan beragam strategi termasuk mencari pola, mendaftar berbagai kemungkinan, mencoba kasus khusus, memperhatikan kembali kasus lama yang relevan, menebak dan memeriksa, serta mengkreasi masalah yang ekuivalen dan lebih simpel (NCTM, 2000). Siswa juga dapat menggunakan strategi lain dengan menemukan data yang dibutuhkan, mengabaikan data yang tidak dibutuhkan, menyusun data, membuat dan membaca diagram atau tabel, memodelkan permasalahan, menuliskan proses penyelesaian masalah secara bertahap, menggunakan penalaran logika, dan mengkombinasikan

41670.pdf 22 berbagai strategi. Siswa juga dapat menyederhanakan permasalahan utama dengan memecahnya menjadi permasalahan-permasalahan kecil, menggunakan strategi penyelesaian masalah yang telah digunakan sebelumnya, menggunakan intuisi untuk menemukan alternatif pemecahannya, mencoba menyelesaikan dengan berbagai cara, bekerja secara sistematis, dan mengecek hasilnya dengan mengulang kembali langkah-langkahnya. Volkema dalam Dux & Salim (2009) menjelaskan bahwa di awal pemecahan masalah seringkali siswa harus merumuskan masalah, bahkan perumusan masalah berpotensi besar mengarahkan proses pemecahan masalah pada hasil yang tepat. Jika masalah gagal dirumuskan dengan baik, proses pemecahan masalah tidak menghasilkan solusi yang tepat dan lengkap bahkan lebih buruk atau salah (Ogilvie & Niederhauser, 2008 dalam Dux & Salim, 2009). Sementara John Dewey (dalam Hall et al., 2008) merekomendasikan lima langkah metode memecahkan masalah yang berorientasi pada siswa yaitu mencakup: (i) menghadapi masalah yang perlu diselesaikan, (ii) memperjelas masalah dengan mengajukan pertanyaan agar pemahaman terhadap masalah tepat, (iii) mengumpulkan data mencakup apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan oleh masalah, (iv) membuat dugaan-dugaan sementara dan mempertimbangkan rencana penyelesaian dan bagaimana menyelesaikannya, (v) menyelesaikan masalah berdasarkan dugaan yang paling tepat. Dalam bukunya How to Solve It!, Polya (1973) merekomendasikan sebuah kerangka kerja untuk memecahkan masalah dengan prinsip-prinsip kerja secara umum sebagai berikut. (i) Pemahaman terhadap masalah Pada tahap ini siswa membaca soalnya dan meyakinkan diri bahwa sudah memahaminya secara benar; pada langkah ini siswa harus dapat menentukan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, salah satunya dengan mengajukan pertanyaan: apa yang tidak diketahui? Data apa yang ada pada soal? Apakah ada kekecualian? Sebagai ilustrasi digunakan langkah-langkah penyelesaian masalah untuk soal sapi makan rumput (Haese, 1982). Upaya siswa untuk memahami soal dilakukan dengan mengidentifikasi apa yang diketahui dan apa yang

41670.pdf 23 ditanyakan. Pada soal diketahui informasi bahwa 6 ekor sapi mampu memakan rumput dihalaman selama 3 hari, 3 ekor sapi dapat menghabiskan rumput dihalaman yang sama dalam 7 hari. Soal menanyakan banyaknya hari yang digunakan oleh seekor sapi untuk menghabiskan rumput di halaman yang sama tersebut. (ii) Membuat rencana pemecahan masalah Dalam upaya membuat rencana pemecahan masalah, siswa harus membuat model hubungan antara informasi yang diberikan dengan yang tidak diketahui yang memungkinkan untuk menghitung variabel yang tidak diketahui. Membuat satuan-satuan yang dapat dimisalkan untuk informasi yang diketahui. Ilustrasi berikut merupakan kelanjutan dari soal sapi makan rumput dengan membuat model persamaan untuk setiap informasi. Model dibuat untuk informasi: (i) 6 ekor sapi mampu memakan rumput dihalaman selama 3 hari, (ii) 3 ekor sapi dapat menghabiskan rumput dihalaman yang sama dalam 7 hari., (iii) 1 ekor sapi dapat menghabiskan rumput dihalaman yang sama dalam x hari. Siswa lebih mudah menyelesaikan masalah jika melakukan analisis terhadap masalah dengan memunculkan beberapa pertanyaan, misalnya: bagaimana cara menghubungkan hal yang diketahui untuk mencari hal yang tidak diketahui? Jika tidak terlihat hubungan secara langsung, dapat dengan membagi masalah ke sub masalah. Hubungkan masalah dengan masalah lain yang sebelumnya sudah dikenali yaitu dengan mengingat masalah yang mirip atau memiliki prinsip yang sama dan memikirkan analogi dari masalah tersebut. Beberapa masalah dapat dipecahkan dengan cara mengenali polanya. Kadang-kadang kita harus memecah sebuah masalah menjadi beberapa kasus dan menyelesaikan setiap kasus satu persatu. Ilustrasi berikut menggambarkan alternatif rancangan penyelesaian yang dapat dikembangkan solver untuk menyelesaikan masalah. Perancangan dapat diawali dengan pemodelan yaitu dengan terlebih dahulu mencari nilai-nilai dari satuan-satuan yang telah ditetapkan. Satuan-satuan dimisalkan untuk informasi yang diketahui pada masalah sapi makan rumput yaitu: (i) dimisalkan banyaknya rumput dihalaman adalah R unit, (ii) rata-rata

41670.pdf 24 petumbuhan rumput perharinya adalah r unit/hari, dan (iii) kecepatan memakan rumput tiap seekor sapi adalah s unit/hari. Model persamaan: 6 ekor sapi mampu memakan rumput dihalaman selama 3 hari adalah R + 3r 18s = 0 Model persamaan: 3 ekor sapi dapat menghabiskan rumput dihalaman yang sama dalam 7 hari adalah R + 7r 21s = 0 Model persamaan: 1 ekor sapi dapat menghabiskan rumput dihalaman yang sama dalam x hari adalah R + x r x s = 0 (iii) Melaksanakan rencana Dalam melaksanakan rencana yang dirancang pada langkah kedua, terlebih dahulu periksa tiap langkah dalam rencana dan menuliskannya secara detail untuk memastikan bahwa tiap langkah sudah benar. Ilustrasi berikut menggambarkan salah satu penyelesaian sebagai pelaksanaan terhadap rancangan yang telah direncanakan pada langkah kedua. Mencari nilai-nilai dari satuan-satuan. R + 3r 18s = 0 3r 18s = -R 7 R + 7r 21s = 0 7r 21s = -R (-3) 21r 126s = -7R -21r + 63s = 3R + -63 s = -4 R s = dan r = Jika satu ekor sapi memerlukan waktu sebanyak x hari, maka R + x r x s = 0 x s x r = R x (s r) = R x ( ) = R x = R

41670.pdf 25 x = 63 hari Pada langkah melaksanakan rencana, siswa terlatih selain mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah dan kemampuan melakukan koneksi matematik juga kemampuan komunikasi matematik seperti representasi matematik, terutama jika penyelesaian masalah dilakukan dalam diskusi kelompok. Siswa membutuhkan atau bahkan hingga menjadi terlatih memiliki kemampuan komunikasi matematik baik secara tertulis atau lisan. Sebagai fasilitator, guru dapat menggali kemampuan siswa melalui proses diskusi dengan mengajukan pertanyaan berikut. Apa yang kamu pikirkan tentang apa yang dikatakan temanmu? Apakah kamu setuju? Mengapa setuju atau mengapa tidak? Apakah ada yang memiliki jawaban yang sama untuk menjelaskan hal itu tapi dengan cara yang berbeda? Apakah kamu memahami apa yang dikatakan teman kamu? Dapatkah kamu meyakinkan siswa semua bahwa jawaban kamu yang masuk akal? (iv) Melihat kembali Langkah ke empat ini untuk mengkritisi hasilnya dan untuk melihat kemungkinan adanya kelemahan dari solusi yang didapatkan (seperti: ketidak konsistenan/ambiguitas atau langkah yang tidak benar). Untuk mengkritisi hasilnya dapat dilakukan dengan, salah satunya, memasukkan nilai yang diperoleh ke persamaan semula, yaitu memasukkan s =, r = dan nilai x = 63 hari ke persamaan R + x r x s = 0, sehingga diperoleh R + 63 ( ) 63 ( ) = 0 R + 3R 4R = 0 => benar Dalam proses pemecahan masalah matematik (NCTM, 2000) siswa mendapat tantangan untuk menganalisis dan menemukan jawaban-jawaban yang mungkin, karena siswa tidak dapat langsung tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Kolaborasi dan komunikasi siswa dengan siswa lain diperlukan untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah-masalah yang menantang. Hal ini menjelaskan bahwa dalam menyelesaikan masalah siswa

41670.pdf 26 perlu memiliki kemampuan berkomunikasi untuk mengekspresikan pemikiran matematiknya. Hasil penelitian Kroll dan Miller (1993) dalam NCTM (2000) menjelaskan perbedaan penting antara solver yang berhasil dan gagal adalah terletak pada keyakinan mereka tentang pemecahan masalah, tentang diri mereka sebagai solver, dan tentang cara-cara memecahkan masalah. Siswa kadang memiliki keyakinan yang salah bahwa semua masalah matematik dapat diselesaikan dengan cepat dan langsung, sehingga berdampak pada berkurangnya antusias siswa dalam menyelesaikan masalah. Ketidakantusiasan siswa terjadi terutama ketika siswa tidak segera tahu cara memecahkan masalah, siswa akan menyerah sehingga memperkuat penilaian terhadap diri mereka sendiri sebagai solver yang tidak kompeten. Seringkali siswa percaya bahwa hanya ada satu cara yang benar untuk memecahkan masalah matematik, sehingga verifikasi jawaban yang dilakukan siswa dependen, tergantung pada guru atau kunci jawaban. Karenanya peluang memperoleh pengayaan wawasan penyelesaian masalah secara berbeda menjadi berkurang. Untuk membangun kepercayaan diri siswa, guru dapat membantu siswa melalui pertanyaan misalnya: meminta penjelasan siswa, mengapa suatu jawaban benar? Bagaimana kamu bisa mencapai kesimpulan itu? Apakah argumen ini masuk akal? Dapatkah kamu membuat sebuah model? Guru dapat juga melakukan fungsi supervisi memeriksa kemajuan siswa dalam menyelesaikan masalah dengan mengajukan sejumlah pertanyaan. Dapatkah kamu jelaskan apa yang telah kamu lakukan sejauh ini? Apa lagi yang harus kamu lakukan? Mengapa kamu memutuskan untuk menggunakan metode ini? Dapatkah kamu memikirkan metode lain yang mungkin? Apakah ada strategi yang lebih efisien? Apa yang kamu perhatikan ketika...? Mengapa kamu memutuskan untuk menyelesaikan seperti itu? Apakah kamu pikir ini akan sesuai dengan angka lain? Apakah kamu memikirkan semua kemungkinan? Bagaimana kamu bisa yakin? Polya (1973) menguraikan kemampuan pemecahan masalah matematik kedalam indikator-indikator pada setiap tahap pemecahan masalah, yaitu pada: (i) tahap memahami, siswa dapat menyebutkan informasi yang disediakan dan

41670.pdf 27 pertanyaan yang diajukan dalam masalah; (ii) tahap merencanakan pemecahan, siswa memiliki rencana pemecahan masalah yang akan digunakan dan alasan penggunaannya; (iii) tahap melaksanakan rencana pemecahan, siswa dapat memecahkan masalah sesuai langkah-langkah pemecahan masalah yang direncanakan dengan hasil yang benar; (iv) tahap memeriksa kembali, siswa dapat memeriksa kembali pekerjaannya berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah yang digunakan. Sumarmo (2008) menambahkan bahwa indikator kemampuan pemecahan masalah matematik meliputi: (i) siswa dapat mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan dan kecukupan unsur yang diperlukan, (ii) siswa dapat merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik, (iii) siswa dapat menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar matematik, (iv) siswa dapat menjelaskan dan menginterpretsaikan hasil sesuai permasalahan asal, dan (v) siswa dapat menggunakan matematik secara bermakna. Penelitian ini menggunakan indikator kemampuan pemecahan masalah matematik sebagaimana yang diuraikan oleh Polya dan Sumarmo. Penskoran terhadap hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik dalam penelitian ini menggunakan skala 10 yang merupakan modifikasi dari Scale for Problem Solving (Szetela et al, 1992) dalam Mathematical Problem Solving Chicago Rubric Scale.

41670.pdf 28 Tabel 2.1 Pedoman Penskoran Butir Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Skala I Skala II Skala III Skor Memahami Merencanakan Menyelesaikan Tidak ada penyelesaian, 0 Tidak ada upaya Tidak ada upaya atau jawaban salah Sepenuhnya salah Kesalahan komputasi, Rencana penyelesaian 1 menginterpretasi sebagian besar penyelesaian tidak sesuai masalah salah, jawabannya salah 2 Salah menginterpretasi sebagian besar masalah Sebagian prosedur benar dengan kesalahan besar Penyelesaian benar, jawaban benar 3 Secara substansial Salah menginterpretasi prosedur benar dengan sebagian kecil masalah kesalahan kecil 4 Rencana penyelesaian Pemahaman masalah benar tanpa kesalahan lengkap aritmatika Maks 4 4 2 Sumber: http://web.njit.edu/~ronkowit/teaching/rubrics/samples/math_probsolv_chicago.pdf Nilai sepuluh adalah nilai maksimal yang diberikan pada siswa yang dapat menjawab setiap permasalahan secara sempurna. Jawaban siswa dianggap sempurna jika menunjukkan pemahaman yang lengkap terhadap permasalahan yaitu dapat mengidentifikasi dengan tepat apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Selain hal tersebut, siswa juga dapat membuat perencanaan penyelesaian yaitu dapat membangun model matematik yang menunjukkan hubungan antara unsur yang diketahui dan yang ditanyakan, sehingga siswa dapat menguraikan proses penyelesaian tanpa kesalahan aritmatika. B. Komunikasi Matematik Kegiatan manusia di setiap aspek kehidupan tidak dapat terlepas dari komunikasi. Eksistensi manusia diekspresikan melalui komunikasi. Manusia memenuhi kebutuhannya melalui komunikasi. Dengan komunikasi, manusia memiliki kemampuan mewariskan pengetahuan dan keterampilan dari generasi ke generasi termasuk dari budaya ke budaya, sehingga manusia mampu mengubah dan mengendalikan lingkungan (Mulyana, 2007). Transfer pesan dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Penyebaran ilmu pengetahuan melalui berbagai

41670.pdf 29 media seringkali dikomunikasikan tidak saja dengan kata-kata tertulis dan lisan namun juga dengan grafik, tabel, diagram, lambang, persamaan matematik, peta atau demonstrasi visual lainnya. Setiap orang terutama yang sedang melalui proses menuntut ilmu, harus memiliki keterampilan berkomunikasi secara efektif, jelas, dan tepat dalam mengekspresikan pemikiran, perasaan dan kebutuhannya. Bahkan Jourdan dalam Yusuf (2010) menyatakan bahwa tidak ada perilaku-perilaku pendidikan yang tidak berkaitan dengan komunikasi. Pernyataan Jourdan mengungkapkan bahwa kualitas hasil belajar sangat dipengaruhi oleh kualitas komunikasi instruksional yang terjadi dalam proses pembelajaran. Dalam pandangan psikologi kognitif (Yusuf, 2010), proses belajar bisa terjadi selain dikarenakan adanya kesinambungan informasi yang disampaikan oleh komunikator pendidikan kepada komunikan, juga efektif jika informasi yang dipelajari sesuai dengan informasi yang telah dimiliki oleh komunikan sebelumnya. Informasi awal sebelum mengikuti pembelajaran yang telah dimiliki komunikan berada pada struktur kognitif awal dan selanjutnya setelah mengikuti pembelajaran berubah menjadi berada pada struktur yang ditargetkan guru. Proses perubahan yang terjadi pada struktur kognitif siswa menunjukkan bahwa siswa mengalami proses berpikir dan belajar. Komunikasi dapat digolongkan dalam dua bentuk yaitu komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal terdiri dari komunikasi verbal lisan dan komunikasi verbal tulisan. Sedangkan berdasarkan fungsinya (Mulyana, 2007) komunikasi dibedakan atas: (i) komunikasi sosial berfungsi diantaranya untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, kelangsungan hidup, memperoleh kebahagiaan, menghindari kesulitan dan untuk menjaga hubungan dengan orang lain; (ii) komunikasi ekspresif berfungsi diantaranya untuk menyampaikan perasaan; (iii) komunikasi ritual biasa dilakukan secara kolektif berfungsi diantaranya untuk mengekspresikan apresiasi terhadap peristiwa khusus yang diungkapkan dengan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku simbolik, (iv) komunikasi instrumental berfungsi diantaranya untuk memberitahukan secara

41670.pdf 30 persuasif agar pendengar mempercayai bahwa fakta atau informasi yang disampaikan adalah akurat dan layak. Komunikasi di dalam kelas oleh Nathan dan Kim (2007) diakui sebagai mediator kuat untuk perilaku kognitif yang kompleks, termasuk membangun makna, merefleksikan pemahaman seseorang, dan membangun ide-ide baru. Cotton (2008) merekomendasikan bahwa pemahaman konsep matematik siswa akan lebih mendalam ketika siswa tertantang untuk mengkomunikasikan penalarannya secara oral maupun tertulis. Interaksi dinamis antara guru dan siswa dalam pembelajaran muncul dalam tiga bentuk komunikasi (Fathurrohman dan Sutikno, 2007) yaitu: (i) komunikasi sebagai aksi atau komunikasi searah, (ii) komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah, dan (iii) komunikasi banyak arah atau komunikasi sebagai transaksi. Siswa Guru Siswa Siswa Guru Siswa Siswa Siswa Searah Dua arah Multi arah Guru Siswa Siswa Gambar. 2.2 Model Komunikasi (Fathurrohman dan Sutikno, 2007) Komunikasi searah menempatkan guru aktif sebagai pemberi aksi dan siswa pasif sebagai penerima aksi. Komunikasi ini kurang menghidupkan kegiatan siswa belajar. Komunikasi dua arah menempatkan guru dan siswa pada peran dengan porsi yang sama sebagai pemberi dan penerima informasi, namun tidak ada komunikasi antara siswa dan siswa. Sedangkan komunikasi banyak arah selain melibatkan interaksi dinamis antara guru dan siswa juga memberi kesempatan pada siswa untuk berdiskusi dengan siswa lainnya. Komunikasi model ini berpotensi mengoptimalkan siswa mengeksplorasi kemampuan dirinya dalam forum diskusi maupun simulasi.

41670.pdf 31 Sullivan & Mousley dalam Ansari (2003) memandang kemampuan komunikasi matematik bukan hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih pada kemampuan siswa dalam bercakap, menjelaskan, menggambarkan, mendengarkan, menanyakan, mengklarifikasi, bekerja sama (sharing), menulis, dan akhirnya melaporkan apa yang telah dipelajari. Kemampuan siswa memahami keterkaitan berbagai materi matematik dapat dikembangkan melalui komunikasi. Melalui komunikasi, siswa dapat mengorganisasikan, mengkonsolidasikan dan mengeksploitasi pemikiran matematik mereka. Dengan komunikasi, guru dapat mengukur perkembangan kemampuan matematik siswa. Komunikasi antar siswa dalam pembelajaran matematika membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan matematik, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan penalaran matematik, menumbuhkan disposisi matematik dalam meyakini akan kemampuan diri, serta memperkuat posisi dalam interaksi sosial. Proses berpikir siswa tidak terlepas dari faktor yang mempengaruhi (Yusuf, 2010) yang bisa saling mengganggu atau bahkan saling memperkuat secara positif. Faktor-faktor pengaruh berasal dari aspek motivasi, kemampuan dan atau kapasitas kecerdasan, minat, bakat, perhatian, penginderaan, persepsi, ingatan, retensi, kemampuan mentransfer serta berpikir kognitif yang dapat saja muncul pada diri guru maupun siswa. Kualitas komunikasi dalam proses belajar dapat ditentukan dengan cara mengelola faktor-faktor pengaruh agar menjadi faktor pendukung keberhasilan belajar. Ilmu matematika berkontribusi pada pengembangan keterampilan berkomunikasi karena menawarkan alternatif ekspresi ide dan argumen yang lebih tepat, ketat dan universal. Argumen diekspresikan dengan bahasa matematik secara numerik, grafis, logika simbolis, probabilitas dan statistik. Simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu lainnya (Mulyana, 2007) berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Matematika kaya dengan simbol sehingga seringkali matematika dianggap sebagai bahasa simbol. Simbol matematika disepakati dan digunakan sebagai bahasa universal oleh orang-orang yang berkecimpung dalam matematika. Bahasa matematik seringkali digunakan dalam pemberitaan, penyampaian opini, atau promosi iklan dengan sajian baik

41670.pdf 32 secara kuantitatif maupun kualitatif serta mencakup data, statistik, grafik, atau gambar dan sebagainya. Pentingnya kemampuan melakukan identifikasi dan interpretasi terhadap informasi yang berbentuk lisan maupun tertulis, terutama jika informasi memuat angka-angka, membuat penyertaan komunikasi matematik dalam pembelajaran matematika menjadi dibutuhkan. Membiasakan siswa berkomunikasi dengan menggunakan konsep-konsep dan simbol matematika menjadikan siswa mampu menafsirkan dan memecahkan masalah sehari-hari. Konsep-konsep matematika memperkaya perbendaharaan bahasa siswa dalam memahami fenomena, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh, salah satu bentuk komunikasi matematik berupa simbol (2,3) digunakan untuk menyampaikan ide tentang tempat kedudukan suatu titik pada bidang koordinat yang berjarak 2 satuan dari sumbu Y dan 3 satuan dari sumbu X. Pengetahuan akan koordinat menjadikan siswa mampu memahami posisi kota atau negara di permukaan bumi melalui pemahaman lintang dan bujur. Gambar berikut juga sebagai salah satu bentuk mengkomunikasikan secara matematik tempat kedudukan suatu titik yang berjarak 2 satuan dari sumbu Y dan 3 satuan dari sumbu X yaitu melalui representasi grafik pada bidang koordinat. Principles and Standards for School Mathematics (NCTM, 2000) menetapkan standar komunikasi pada pembelajaran matematika untuk siswa Amerika Serikat sejak tingkat awal sekolah hingga tingkat SMA yaitu dengan memberi kesempatan pada siswa untuk: (i) mengorganisasi dan mengkonsolidasi pemikiran dan ide matematik melalui komunikasi, (ii) mengkomunikasikan pemikiran matematiknya secara logis dan jelas pada teman, guru dan lainnya, (iii)

41670.pdf 33 menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematik orang lain, (iv) menggunakan bahasa matematik dengan tepat dalam menyampaikan ide-ide. Kemampuan komunikasi matematik siswa dapat dikembangkan (NCTM, 2000) dengan mengajak siswa: (i) mengekspresikan pemikiran matematik secara lisan, tulisan, atau memodelkan situasi dengan gambar, grafis, dan aljabar; (ii) merenungkan dan menjelaskan pemikiran mereka sendiri tentang ide-ide dan situasi matematik; (iii) mengembangkan pemahaman terhadap definisi dan ide-ide matematik lain; (iv) menggunakan keterampilan membaca, mendengar, dan mempresentasikan untuk menafsirkan dan mengevaluasi ide-ide matematik; (v) mendiskusikan ide-ide matematik dengan membuat dugaan dan meyakinkan argumen-argumen; (vi) mengapresiasi pentingnya peran notasi matematik dalam pengembangan ide-ide matematik. Membaca, menulis, mendengarkan, berpikir kreatif, dan berkomunikasi tentang masalah matematik adalah kegiatan yang potensial mengembangkan dan memperdalam pemahaman matematik siswa. Pembiasaan penggunaan bahasa matematik dalam mengkomunikasikan ide-ide dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan siswa mendapatkan kesempatan sebanyak mungkin mengekspresikan pemikiran matematiknya. Proses komunikasi diperlukan siswa untuk mengenali dan memahami pentingnya suatu definisi. Proses komunikasi memberi kesempatan siswa menjelaskan, menduga, dan membela ide-ide seseorang secara lisan dan tertulis sehingga merangsang pemahaman yang lebih kuat akan suatu konsep dan prinsip. Kemampuan untuk berkomunikasi matematik dibutuhkan bersamaan dengan peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah. Perkembangan kemampuan ini tidak dapat terjadi tanpa disengaja untuk berbahasa matematik. Komunikasi melibatkan kemampuan membaca dan menulis matematik serta menafsirkan makna dan ide. Informasi tentang kemampuan siswa menulis dan berbicara dalam menjelaskan ide-ide atau pemikiran mereka pada siswa lain atau guru akan sangat bermanfaat bagi guru untuk membuat keputusan instruksional. Komunikasi matematik selalu menyertai proses pemecahan masalah matematik. Proses pemecahan masalah berpeluang memberi kesempatan pada

41670.pdf 34 siswa untuk memperoleh informasi tentang adanya keteraturan sehingga keterampilan komunikasi matematik bertambah. Bahasa matematik siswa berkembang seiring dengan kemampuan berpikir mereka dalam memecahkan masalah. Ilustrasi berikut menggambarkan proses komunikasi dalam kegiatan pemecahan masalah. Pada pertemuan kelas sebelumnya siswa telah membahas materi pemfaktoran suku bentuk aljabar yaitu (a + b) 2 = a 2 + 2ab + b 2 ; (a b) (a + b) = a 2 b 2 ; dan (a b) 2 = a 2 2ab + b 2. Sebagai pengayaan Guru memberikan soal Jika diketahui persamaan x 4 + 36 = 13x 2, tentukanlah nilai x yang memenuhi persamaan tersebut. Guru memberikan rambu penyelesaian dengan membangkitkan ingatan siswa tentang materi pelajaran sebelumnya agar siswa memikirkan masalah pada pertemuan yang lalu yang relevan dengan soal tersebut. Kondisi ini potensial memancing siswa terlibat komunikasi matematik dalam menyelesaikan masalah tersebut. Ilustrasi berikut menggambarkan bagaimana siswa terlibat dalam komunikasi matematik dengan menyampaikan argumen dan menggunakan berbagai pendekatan dalam memecahkan masalah. Bayu : Bu guru, persamaan x 4 13x 2 + 36 = 0 ada hubungannya dengan persamaan pada soal x 4 + 36 = 13x 2. Tetapi saya tidak dapat menyelesaikannya. Sebentar...Bu, bagaimana dengan x 3 13x 2 + 36 = 0? Sulit... juga, dan saya tidak melihat bahwa metode penyelesaian soal tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan x 4 + 36 = 13x 2. Oh ya, bagaimana kalau x 2-13x 2 + 36 = 0. Dan saya bisa menyelesaikannya, yaitu (Bayu ke depan kelas menulis argumennya di papan tulis) x 2 13x 2 + 36 = 0

41670.pdf 35 12x 2 + 36 = 0 x 2 = 3 sehingga diperoleh x = ± 3 Tapi saya bingung jika x 4 dan x 2 ada pada satu persamaan seperti pada persamaan x 4 13x 2 + 36 = 0. Saya menyerah... Bu. Oh... ya, mungkin grafik atau tabel nilai dapat membantu...bu." Setelah membuat tabel nilai, Bayu menemukan jawabannya yaitu x = ± 3 atau x = ± 2. Guru : Benar jawaban kamu Bayu, nilai x yang memenuhi x 4 + 36 = 13x 2 adalah x = ± 3 atau x = ± 2. Siapa lagi yang mempunyai jawaban yang sama dengan jawaban Bayu tetapi dengan cara yang berbeda. Amir : Bu guru, saya menemukan masalah lain yang berhubungan dengan soal tersebut, yaitu x 2 + 36 = 13x, ini penyelesaiannya (Amir ke depan kelas menulis argumennya di papan tulis). x 2 13x + 36 = 0 (x 9) (x - 4) = 0 x = 9 atau x = 4 Sekarang, saya dapat menggunakan cara yang sama untuk menyelesaikan x 4 + 36 = 13x 2 x 4 13x 2 + 36 = 0 ; yaitu (x 2 9) (x 2 4) = 0 x 2 = 9 atau x 2 = 4 x = ± 3 atau x = ± 2 Dan setelah saya substitusikan nilai-nilai x tersebut ke dalam persaman x 4 + 36 = 13x 2 ternyata menghasilkan pernyataan yang benar... Bu. Guru : Baik sekali jawaban kamu Amir. Baik anak-anak, apakah ada cara lain untuk menyelesaikan soal tersebut. Komunikasi matematik yang terjadi di kelas memudahkan guru memahami proses berfikir dan pemahaman matematik siswa-siswanya. Siswa Amir telah secara efektif menggunakan informasi dari pelajaran yang lalu dengan mempertimbangkan masalah yang relevan, dan menerapkan metode

41670.pdf 36 pada masalah yang relevan dengan masalah aslinya. Siswa Bayu gagal menghubungkan masalah terkait sebelumnya dengan masalah utama meskipun dia berusaha mempertimbangkan masalah terkait secara matematik. Tono : Saya juga mengkaitkan persamaan pada soal yang ditanyakan dengan persamaan x 2 + 36 = 13x. Persamaan x 2 + 36 = 13x dapat saya selesaikan dengan menggunakan rumus abc (Tono ke depan kelas menulis argumennya di papan tulis) = 9 atau = 4 Sekarang bisa dimisalkan x 2 = x, sehingga x 2 = 9 atau x 2 = 4 Dan diperoleh x = ± 3 atau x = ± 2 Siswa Tono juga berhasil memperoleh solusi dengan menggunakan metode penyelesaian rumus abc namun gagal mengkaitkan dengan masalah utama. Komunikasi matematik secara inklusif terjadi dalam proses pembelajaran bahkan dalam proses pemecahan masalah matematik. Dalam proses pemecahan masalah matematik guru dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematik siswa dengan mengajukan pertanyaan, misalnya: (i) metode atau formula apa yang kamu butuhkan untuk memperoleh penyelesaian? (ii) informasi atau data apa yang sudah kamu miliki? (iii) strategi apa saja yang akan kamu gunakan? (iv) apakah kamu memperoleh hasil perhitungan secara mental atau melalui proses perhitungan di atas kertas? (v) jika kamu memerlukan garis bilangan, bagaimana kamu menggunakannya? Kondisi siswa yang terjebak dalam proses penyelesaian tanpa diketahui benar tidaknya atau bagaimana kelanjutannya sangat memerlukan bantuan guru, dan guru dapat membantu dengan mengajukan pertanyaan: (i) bagaimana kamu menjelaskan masalah dengan menggunakan kata-kata kamu sendiri? (ii) apakah informasi yang kamu pikir seharusnya ada tidak tercantum dalam masalah? (iii)

41670.pdf 37 data apa saja yang sudah kamu miliki? (iv) dapatkah kamu menemukan masalah yang relevan dan bagaimana menyelesaikannya? (v) jika menggunakan angkaangka sederhana atau dengan sedikit angka, bagaimana kamu menyelesaikannya? (vi) jika menggunakan garis bilangan, bagaimana menyelesaikannya? (vii) jika data yang tersedia disusun secara berurutan, apakah bermanfaat untuk memudahkan penyelesaian masalah? (viii) bagaimana cara kamu menggunakan diagram/tabel untuk menyelesaikannya? Siswa dapat lebih mudah menyelesaikan masalah dengan membuat hubungan diantara ide-ide, dan bantuan guru dapat diberikan melalui pertanyaan bagaimana hubungan hal ini dengan ide lain? Ideide apa saja yang dipelajari sebelumnya yang berguna dalam memecahkan masalah ini? Dapatkah kamu memberi contoh yang berkaitan dengan? Bantuan guru terhadap kegiatan komunikasi siswa dalam membangun hubungan antar konsep, prosedur, dan pendekatan akan efektif jika menghindari pertanyaan dengan jawaban sederhana ya atau tidak, atau dengan jawaban berprosedur menghafal. Pemberian masalah terbuka memberi kesempatan siswa mengeksplorasi ide-ide mereka, mendiskusikan hasil interpretasi, dan memperluas pemahaman mereka. Kemampuan komunikasi siswa dapat dikembangkan melalui kerja kelompok, diskusi, presentasi siswa secara perorangan, pembuatan laporan tertulis maupun lisan. Kelompok kerja atau diskusi menjadi forum bagi siswa untuk secara bersama mengumpulkan data, membangun penalaran, hipotesis dan formula, mengajukan pertanyaan, menyampaikan argumen dan berbagi ide, mengetahui dan memperbaiki kesalahan, mendengarkan dan mengevaluasi argumen orang lain, memprediksi, mengkritik secara konstruktif, menemukan dan merangkum pekerjaan dalam tulisan. Penggunaan bahasa oleh siswa dalam komunikasi matematik di kelas mungkin saja menyimpang dari bahasa matematik. Penggunaan bahasa matematik dan bahasa keseharian siswa akan makin kaya ketika siswa membangun struktur logika dengan menghubungkan pengalaman dan bahasa siswa ke dunia matematik. Latihan berkomunikasi melalui diskusi memberi siswa kesempatan memperbaiki komunikasi mereka dan

41670.pdf 38 memperoleh kepercayaan diri terhadap kemampuan membangun argumen matematik yang meyakinkan. Indikator yang menunjukkan adanya kemampuan komunikasi matematik (Sumarmo, 2010) adalah: (i) menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematik; (ii) menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik, secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, dan grafik; (iii) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; (iv) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematik; (v) membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematik tertulis; (vi) membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi; dan (vii) mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragrap matematik dalam bahasa sendiri. Penskoran terhadap hasil tes kemampuan komunikasi matematik dalam penelitian ini diberikan dalam skala nol sampai dengan empat yang merupakan modifikasi dari Maryland Math Communication Rubric dari Maryland State Department of Education. Tabel 2.2 Pedoman Penskoran Butir Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Skor Kemampuan Komunikasi 0 Kosong, atau jawaban tidak cukup untuk mendapat skor 1 Jawaban tidak benar, upaya yang dibuat tidak benar Penggunaan bahasa matematik (istilah, simbol, tanda dan / atau 2 representasi) yang minimal efektif dan akurat, untuk menggambarkan operasi, konsep, dan proses Penggunaan bahasa matematik (istilah, simbol, tanda, dan / atau 3 representasi) yang sebagian efektif, akurat, dan menyeluruh untuk menggambarkan operasi, konsep dan proses. Penggunaan bahasa matematik (istilah, simbol, tanda, dan / atau 4 representasi) yang sangat efektif, akurat, dan menyeluruh, untuk menggambarkan operasi, konsep, dan proses. Sumber: http://web.njit.edu/~ronkowit/teaching/rubrics/samples/math_probsolv_chicago.pdf Nilai 4 adalah nilai maksimal yang diberikan pada siswa yang dapat menjawab setiap permasalahan secara sempurna. Jawaban siswa terhadap permasalahan dianggap sempurna jika siswa dapat mendeskripsikan penyelesaian permasalahan yang mencakup operasi, konsep serta proses dengan menggunakan bahasa matematik secara tepat tanpa kesalahan aritmatika. Bahasa matematik

41670.pdf 39 yang digunakan oleh siswa untuk mengekpresikan pemikirannya dalam menyelesaikan permasalahan dapat berbentuk istilah, simbol, tanda atau representasi. C. Disposisi Matematik Persaingan global di era masa kini menuntut siswa memiliki kemampuan berfikir tingkat tinggi agar menjadi solver dan thinker yang baik bagi setiap permasalahan. Solver dan thinker yang baik memerlukan pembiasaan menginterpretasi dan membuat disposisi terhadap suatu interpretasi yang didukung dengan keterampilan, strategi, atau pengetahuan tertentu (Resnick, 1989 dalam NCTM, 2000). Kemampuan matematik siswa yang di dalamnya termasuk kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematik akan tumbuh dengan baik jika didukung disposisi matematik siswa yang mencakup (Sumarmo, 2010) keinginan, kesadaran, kecenderungan dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk berpikir dan berbuat secara matematik dengan cara yang positif. Belajar matematik tidak hanya mempelajari konsep, prosedur, dan aplikasi namun termasuk mengembangkan disposisi terhadap matematik dan mengapresiasi matematik sebagai alat bantu yang ampuh untuk memahami situasi. Disposisi tidak hanya mencakup sikap namun termasuk berpikir dan bertindak secara positif. Disposisi matematik siswa diwujudkan dalam cara mereka menghadapi tugas dengan keyakinan, kemauan untuk mengeksplorasi alternatif, ketekunan, dan kecenderungan mereka untuk merefleksikan pemikiran mereka sendiri (NCTM, 1989). Menurut Sumarmo (2008) apabila kebiasaan tersebut berlangsung secara berkelanjutan, maka secara akumulatif akan tumbuh disposisi matematik (mathematical disposition). Kilpatrick et al. (2001) dalam Sumarmo (2008) mengungkapkan bahwa disposisi matematik disebut juga productive disposition (sikap produktif), yakni tumbuhnya sikap positif serta kebiasaan untuk melihat matematik sebagai sesuatu yang logis, berguna dan berfaedah. Mengingat disposisi matematik memiliki kekuatan kognitif dan afektif, pembelajaran matematika hendaknya menyertakan juga pengembangan kemampuan berfikir dan disposisi matematik.

41670.pdf 40 Polking (1998) dalam Sumarmo (2008) berpendapat bahwa seorang siswa memiliki disposisi matematik jika dalam dirinya terdapat: (i) rasa percaya diri dalam menggunakan matematik, memecahkan masalah, memberi alasan dan mengkomunikasikan gagasan, (ii) fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha mencari metoda alternatif dalam memecahkan masalah; (iii) tekun mengerjakan tugas matematik; (iv) minat, rasa ingin tahu (curiosity), dan dayatemu dalam melakukan tugas matematik; (v) cenderung memonitor, merefleksikan performance dan penalaran mereka sendiri; (vi) menilai aplikasi matematik ke situasi lain dalam matematik dan pengalaman sehari-hari; (vii) apresiasi (appreciation ) peran matematik dalam kultur dan nilai, matematik sebagai alat, dan sebagai bahasa. Menurut NCTM (1989) ada indikator yang dapat digunakan untuk mengukur apakah seorang siswa memiliki disposisi matematik, yaitu jika siswa menunjukkan: (i) kepercayaan diri dalam menggunakan matematik untuk memecahkan masalah, mengkomunikasikan ide, dan berargumen; (ii) fleksibilitas dalam mengeksplorasi ide-ide matematik dan mencoba metode alternatif dalam memecahkan masalah; (iii) kemauan untuk tekun mengerjakan tugas-tugas matematik; (iv) minat, rasa ingin tahu, dan keahlian dalam melakukan matematik; (v) kecenderungan untuk memantau dan merefleksikan pemikiran mereka sendiri atau hasil pekerjaan kelompok; (vi) kemampuan menerapkan matematik dalam disiplin ilmu lain dan masalah sehari-hari; (vii) apresiasi peran matematik dalam kebudayaan serta menghargai matematik sebagai alat dan bahasa. Indikator disposisi matematik yang digunakan dalam penelitian (Sumarmo, 2010) mencakup: (i) rasa percaya diri dalam menggunakan matematik, memecahkan masalah, memberi alasan dan mengkomunikasikan pendapat, (ii) fleksibel dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha mencari metoda alternatif dalam memecahkan masalah; (iii) gigih, tekun mengerjakan tugas matematik; (iv) minat, rasa ingin tahu, dan dayatemu dalam melakukan tugas matematik; (v) memonitor, merefleksikan performance dan penalaran sendiri; (vi) bergairah dan perhatian serius dalam belajar matematik, (vii) mengaplikasikan matematik ke situasi lain dalam matematik dan masalah sehari-hari, (viii)

41670.pdf mengapresiasi peran matematik dalam kultur dan nilai, matematik sebagai alat, dan sebagai bahasa, (ix) berekspektasi dan metakognisi, dan (x) berbagi pendapat dengan orang lain. D. Pembelajaran MEAs Pendekatan MEAs awalnya merupakan rancangan masalah yang menimbulkan proses berpikir secara sistematik dan berpotensi untuk analisis berbagai konsep matematik. MEAs adalah model pembelajaran yang menyertakan proses berfikir siswa melalui penyampaian pendapat dan argumennya secara terbuka dalam diskusi menyelesaikan masalah dengan pemecahan masalah sebagai fokus kegiatan dalam belajar matematik. Lesh, et al. (2000) merancang dan menguji tahapan proses MEAs untuk menimbulkan pemahaman konsep matematik siswa berdasarkan prinsip MEAs (Shuman, 2008; Chamberlin dan Moon, 2005a, 2005b; Moore, et al., 2004) berikut. Prinsip konstruksi model menekankan pada masalah yang harus didesain sehingga memungkinkan penciptaan model terkait dengan: unsur-unsur, hubungan dan operasi antara unsur-unsur, pola dan aturan yang mengatur hubungan ini. Kegiatan siswa dalam MEAs dapat berupa kegiatan: mengukur (misalnya, menunjukkan seberapa baik model bekerja), mengkoordinasikan informasi dan hubungan, membuat prediksi (menerapkan model untuk masalah baru atau data set), mengidentifikasi pola atau trend. Produk akhir dari MEAs adalah sebuah model yang: mempunyai unsur, mendefinisikan hubungan di antara unsur-unsur, mendefinisikan operasi bagaimana unsur berinteraksi, mengidentifikasi pola-pola atau aturan-aturan yang berlaku untuk hubungan dan operasi. Prinsip reality menekankan pada masalah yang harus bermakna, relevan dan didasarkan keadaan nyata siswa atau data nyata yang sedikit diubah. Solusi harus "nyata" dan bermakna dalam kehidupan sehari-hari siswa. Oleh karena itu, konteks situasi harus masuk akal dari segi pengetahuan dan pengalaman kehidupan nyata. Prinsip self-assessment mengharuskan siswa untuk dapat menilai diri atau mengukur kegunaan dari solusi mereka. Pernyataan masalah harus memuat

41670.pdf 42 kriteria yang sesuai untuk menilai kegunaan suatu penyelesaian. Agar ada peningkatan, siswa harus mampu: mendeteksi kekurangan saat konseptualisasi, membandingkan alternatif solusi yang paling menjanjikan, mengintegrasikan kekuatan diantara alternatif, meminimalkan kelemahan, memperluas serta memperbaiki alternatif yang menjanjikan solusi, dan menilai solusi yang telah diperoleh. Salah satu mekanisme untuk menyampaikan kriteria tersebut dan sebagai motivasi untuk penilaian dan perbaikan adalah memunculkan argumen pembanding dari siswa lain. Prinsip dokumentasi model mengharuskan siswa dapat mengungkapkan dan mendokumentasikan proses berpikir mereka dalam solusi mereka. Tanggapan siswa harus menghasilkan jejak pemeriksaan kebenaran jawaban dengan mengungkapkan: asumsi, tujuan, jalan penyelesaian yang diperhitungkan untuk menghasilkan sebuah solusi. Kegiatan pembelajaran harus mendorong siswa melakukan refleksi diri sehingga mendapatkan dirinya berpikir tentang pemikiran mereka (metacognition). Oleh karena itu, kegiatan harus melibatkan kerja kelompok yang membutuhkan (mungkin setiap anggota kelompok berbeda tugas) perencanaan, monitoring dan penilaian terhadap kemajuan hasil pekerjaan. Hasil kerja tim harus mengungkapkan objek atau konstruksi yang digunakan, hubungan antara objek dan konstruksi, operasi atau interaksi antara objek dan konstruksi serta representasi yang digunakan. Prinsip kemampuan berbagi (sharing) dan penggunaan ulang model memastikan bahwa solusi yang dibuat oleh siswa dapat digeneralisasikan atau mudah digunakan untuk masalah lainnya dengan situasi serupa. Model harus mewakili cara berpikir umum, bukan solusi yang spesifik untuk konteks tertentu. Prinsip ini juga memastikan bahwa model yang dihasilkan siswa dapat dikomunikasikan dengan cara yang jelas dipahami dan memungkinkan solusi mereka dapat digunakan oleh orang lain. Prinsip prototipe efektif memastikan bahwa model yang dihasilkan akan sesederhana mungkin, tapi masih signifikan secara matematik. Model, yang seharusnya mewakili ide-ide besar, harus memberikan prototipe atau metafora pembelajaran yang bermanfaat untuk menginterpretasikan masalah-masalah lain

41670.pdf 43 yang memiliki struktur dasar yang sama. Kegiatan ini harus dirancang untuk menghindari kebutuhan untuk berbagai prosedur, terutama prosedur komputasi yang dapat mengurangi pemahaman konseptual. Lesh, et al. (2000) telah menemukan bahwa MEAs dapat dirancang sedemikian rupa sehingga kegiatankegiatan yang dilakukan mengarah pada pembelajaran yang signifikan membangun kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematik. Peneliti lain juga menemukan hasil yang dramatis dan positif dari penggunaan MEAs pada pembelajaran mata kuliah matematika dan pendidikan teknik (Moore et al., 2004). Belajar penemuan yang mewarnai MEAs menghendaki rancangan pembelajaran yang memungkinkan siswa menemukan metode dan model untuk menyelesaikan suatu masalah terbuka. Schwartz dan Martin (2004) dalam (Lesh, et al., 2000) mendapatkan informasi dalam penelitiannya yaitu bahwa kegiatankegiatan dalam MEAs mendorong penemuan metode baru dan mempromosikan model pengembangan kerangka kerja mental untuk menghubungkan informasi serta efektif mempersiapkan siswa belajar solusi kanonik yang digunakan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa model instruksional yang mempromosikan penemuan ternyata tidak hanya membantu intuisi siswa berevolusi, tetapi juga menunjukkan peningkatan retensi dan transfer (Schwartz & Martin, 2004 dalam Lesh, et al., 2000). Peranan pengetahuan awal siswa memperkecil konflik pengetahuan dan intuisi siswa yang kadang muncul saat mempelajari konsep baru (Bransford et al., 2000 dalam Lesh, et al., 2000). MEAs dirancang secara eksplisit untuk mengungkapkan dan menguji intuisi dan pengetahuan siswa sebelumnya, sementara pada saat yang sama memberikan perpanjangan, revisi, dan integrasi dari ide-ide ini untuk mengembangkan sebuah dasar pemahaman ke yang lebih abstrak, atau pemahaman cara-cara formal (Lesh et al., 2000). Prinsip pertama dapat dianggap aksiomatis bahwa masalah fokus pada skenario kasus nyata. Prinsip 2, 3 dan 4 sebagai kesempatan untuk refleksi terhadap tindakan yang telah dilakukan individu atau kelompok dalam proses berpikir mereka melalui refleksi (Hamilton, 2009). Prinsip 2, 3 dan 4 dapat juga digunakan sebagai scaffolding kognitif untuk menstimulasi

41670.pdf 44 pemikiran dalam proses pemodelan dan terbentuknya prototype model. Prinsip 5 dan 6 bertujuan untuk memperoleh wawasan perkiraan tentang kemampuan siswa menafsirkan masalah yang sama secara struktural untuk mentransfer elemen model, kumpulan model yang terintegrasi pada strategi situasi baru. MEAs berpotensi meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah (Clark, et al., 2008). Pengembangan kemampuan pemecahan masalah tumbuh melalui kegiatan mengadopsi dan mensintesis beberapa kerangka kerja yang kompleks, untuk mengantisipasi situasi baru, untuk mengembangkan kemampuan melihat masalah dan sistem yang mendasari. MEAs meningkatkan kemampuan siswa membayangkan karakteristik masalah dan menerapkan skema metakognitif internal (model) terhadap masalah serupa dan untuk mentransfer elemen model mereka pada situasi baru. MEAs juga menyediakan kesempatan pada siswa untuk berbagi ilmu dalam proses belajar, dan pemodelan yang telah dihasilkan dapat digunakan kembali untuk membangun, menggambarkan, menjelaskan, memanipulasi, meramalkan atau menghasilkan sistem penyelesaian yang signifikan secara matematik (Lesh dan Doerr, 2003). Pengetahuan dapat ditimbulkan melalui masalah berdasarkan pada kebutuhan akan suatu solusi yang lebih bermakna, dalam konteks dan cara yang berbeda dari umumnya yang disajikan dalam model pembelajaran tradisional. MEAs didasarkan pada asumsi (Lesh dan Doerr, 2003) bahwa "pemecahan masalah harus menjadi langkah penting dalam proses belajar, bukan sekedar kegiatan yang harus dilakukan siswa setelah mempelajari sebuah konsep". Pemecahan masalah membantu siswa membangun konsep ketika siswa terlibat dalam proses belajar. MEAs yang terstruktur memungkinkan guru dan siswa melacak perubahan skema konseptual siswa saat menghasilkan atau mencoba menyusun konsep kembali dari suatu model solusi atau masalah. Lesh et al. (2000) telah merancang dan menguji banyak iterasi dari MEAs untuk memperoleh konsep-konsep matematika. MEAs memiliki desain yang membangkitkan kebutuhan untuk menganalisis dan mengkomunikasikan pemecahan masalah, sehingga MEAs (Hamilton, 2009) potensial membangkitkan konsep yang mendalam. Melalui MEAs konsep-konsep lebih dipahami oleh siswa

41670.pdf 45 daripada jika konsep-konsep tersebut diajarkan sebagai suatu aturan, algoritma dan heuristik pada tugas konseptual. MEAs (Eric, 2008) berpotensi mengembangkan kemampuan siswa melakukan pemodelan terhadap masalah. Dalam pemodelan, siswa membangun, menjelaskan, menafsirkan dan mengevaluasi masalah-masalah atau situasi kehidupan nyata melalui kegiatan memunculkan model. Pemodelan adalah sebuah proses siklus yang mencakup penyederhanaan, transformasi, penafsiran, dan verifikasi. Hamilton, et al. (2008) mendeskripsikan pemodelan sebagai proses dinamis membuat kreasi dan memanipulasi model suatu konsep dalam pemecahan masalah. Siswa perlu dimotivasi dalam proses agar terlibat dan bertahan hingga memperoleh solusi. Saat ini banyak penemuan penting di bidang-bidang ilmu diluar matematika yang tercipta melalui pemodelan beberapa sistem yang kompleks yang ada di alam atau yang diciptakan oleh manusia. Pemodelan dalam perspektif belajar mengajar menekankan pentingnya membangun, mewakili, menafsirkan dan menilai masalah-masalah kehidupan nyata atau situasi dalam sebuah lingkungan yang kolaboratif. Dalam proses belajar mengajar, kegiatan pemodelan yang dilakukan siswa diharapkan berfungsi untuk menghasilkan model, mengekspresikan kemampuan berpikir serta penalaran matematik dengan mengasosiasikan ekspresi verbal dan matematik dalam proses pemodelan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam penyelidikan termasuk realisasi dari masalah, perencanaan tentang bagaimana untuk memecahkan masalah, mengembangkan ide, membuat keputusan mengenai apakah hasil mereka memerlukan revisi atau perluasan bahasan, dan apakah mereka memenuhi syaratsyarat dan asumsi yang diberikan dalam masalah (Lesh & Doerr, 2003). Dalam pemodelan, model digunakan untuk merepresentasikan suatu sistem konseptual yang terdiri dari unsur, hubungan, operasional, serta aturan-aturan yang mengatur interaksi dan diekspresikan dengan menggunakan sistem notasi eksternal untuk membangun, menafsirkan atau menjelaskan perilaku sistem lain sehingga sistem

transformasi validasi simplifikasi 41670.pdf 46 lain dapat dimanipulasi atau diprediksi dengan cerdas (Lesh,et al., 2005, Lesh & Doerr, 2003). Pemodelan matematik dalam MEAs, diakhir proses pemodelan, mengharapkan siswa membangun model matematik yang dapat di-share dan digunakan kembali. Meskipun demikian, proses pemodelan sangat mungkin bersiklus dan berulang, dan siswa membuat ekstensi, revisi, perbaikan atau penolakan terhadap model awal mereka (Zbiek & Conner, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa model matematik adalah proses non-linear, termasuk langkah-langkah yang saling terkait. Ada lima langkah dasar dalam proses pemodelan matematik (NCTM, 1989), yaitu: (i) mengidentifikasi dan menyederhanakan masalah dunia nyata situasi, (ii) membangun model matematik, (iii) mengubah dan memecahkan model, (iv) menafsirkan model, serta (v) memvalidasi dan menggunakan model. Tahapan tahapan pemodelan pada gambar berikut merupakan salah satu kegiatan belajar yang akan dimunculkan dalam pembelajaran dengan model MEAs. masalah real perumusan masalah interpretasi matematisasi Solusi berbentuk model Model matematika (mis: grafik, persamaan) Gambar 2.3. Model standar proses pemodelan (Zbiek & Conner, 2006). Pada langkah pertama, siswa mengidentifikasi masalah situasi dunia nyata yang harus diselesaikan dengan tepat. Identifikasi melalui pengamatan secara matematik dilakukan dengan mempertanyakan dan mendiskusikan. Siswa mempertimbangkan apakah informasi tersebut penting atau tidak. Dengan

41670.pdf 47 demikian mereka menyederhanakan situasi dengan mengabaikan komponen kurang penting sejak awal. Proses ini juga mencakup "tindakan menentukan" karena siswa menentukan kondisi dan asumsi-asumsi yang berkaitan dengan situasi dalam rangka untuk mempertimbangkan dan menggunakannya pada langkah berikutnya yaitu membangun model matematik (Zbiek & Conner, 2006). Pada langkah kedua, siswa membuat representasi matematik dari komponenkomponen masalah dan hubungan di antara mereka. Pada langkah ini, siswa menetapkan variabel, notasi, dan secara eksplisit mengidentifikasi beberapa bentuk hubungan dan struktur matematik, membuat grafik, dan menulis persamaan. Semua ini akhirnya mendorong upaya siswa melakukan kegiatan matematisasi untuk membangun model matematik. Dalam deskripsi proses pemodelan, Zbiek dan Conner (2006) menjelaskan proses matematisasi ini sebagai menemukan properti dan parameter matematik " yang terkait dengan "kondisi dan asumsi" yang telah diidentifikasi sebelumnya. Pada langkah transformasi, siswa menganalisis dan memanipulasi model untuk menemukan solusi matematik secara signifikan dari masalah yang telah diidentifikasi. Langkah ini biasanya akrab bagi siswa. Model dari langkah kedua diselesaikan, dan jawabannya dipahami dalam konteks asli masalah. Pada langkah interpretasi (Hodgson, 1999 dalam Zbiek dan Conner, 2006), siswa membawa kembali solusi yang mereka peroleh kedalam konteks model matematik dari situasi masalah dunia nyata yang telah dirumuskan. Kemudian, mereka menguji dan mengevaluasi apakah solusi yang diperoleh bermakna untuk masalah tersebut. Dengan kata lain, mereka menguji apakah solusi yang mereka ciptakan melalui model masuk akal dengan konteks masalah. Langkah ini mirip dengan proses matematisasi yaitu siswa ditantang untuk membangun hubungan antara dunia model matematik dan dunia nyata (Zbiek & Conner, 2006). Pada langkah terakhir (Hodgson, 1999 dalam Zbiek dan Conner, 2006), selain mengatasi masalah yang telah diidentifikasi siswa juga berpikir tentang validitas dan kegunaan model yang dibuat. Lesh dan Doerr (2003) mendeskripsikan bahwa proses "verifikasi" menuntut siswa menguji prediksi dan kesimpulan yang diperoleh melalui model bermakna dan valid, ke dalam situasi

41670.pdf 48 dunia nyata. Model dievaluasi mengenai konsistensinya terhadap tujuan tertentu yang telah ditentukan (Zbiek & Conner, 2006). Jika dalam proses validasi, model yang dibangun lulus uji, dapat dianggap sebagai model yang kuat (Lesh & Doerr, 2003). Pada contoh berikut ditunjukkan proses pemodelan pada topik persamaan linear. Penuangan air ke dalam tangki pada Gambar 2.4. di bawah memperlihatkan adanya relasi antara waktu (menit) dan volum air. Relasi yang terjadi membentuk suatu garis lurus yang kemiringannya menunjukkan kecepatan dari aliran air 10 liter/menit. Volum air (liter) Waktu (menit) Gambar 2.4. Ilustrasi penuangan air ke dalam tangki http://www.ies.co.jp/math/java/geo/lin_line/lin_line.html) Siswa dapat memformulasikan relasi antara waktu dan volum air dalam peristiwa penuangan air ke dalam tangki di atas, yaitu: Tangki air Waktu (menit) Volum (liter) Relasi 0 31 31 = 0 + 31 31 = 10 (0) + 31 1 41 41 = 10 + 31 41 = 10 (1) + 31 2 51 51 = 20 + 31 51 = 10 (2) + 31 3 61 61 = 30 + 31 61 = 10 (3) + 31 4 71 71 = 40 + 31 71 = 10 (4) + 31 5 81 81 = 50 + 31 81 = 10 (5) + 31 dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya x f(x) f(x) = 10x + 31

41670.pdf 49 Relasi antara waktu dan volum air (pada Gambar 2.4) yang berbentuk garis lurus dapat diformulasikan sebagai fungsi linear f(x) = 10x + 31. Kadang-kadang solusi untuk masalah situasi dunia nyata sulit dijelaskan oleh model matematik. Jika hal ini terjadi, maka siswa kembali ke langkah sebelumnya dan ulangi seluruh proses atau bagian penyelesaian beberapa kali. Jika siswa tidak dapat membuat sebuah model (pada langkah kedua) yang signifikan secara matematik berarti siswa tidak mencapai solusi untuk masalah yang diidentifikasi dalam model (langkah ketiga), mereka harus kembali ke langkah pertama dan memperbaiki kondisi dan asumsi. Model yang diperoleh siswa harus "di-share dengan orang lain" dan "dapat digunakan kembali untuk keperluan lain" (Lesh & Doerr, 2003). Zbiek dan Conner (2006) menggunakan istilah "menyelaraskan" untuk mengungkapkan mekanisme kontrol metakognitif siswa dan menekankan pentingnya berhasil dalam proses pemodelan. Proses pemodelan dapat dianggap sebagai proses belajar yang signifikan (Lesh & Doerr, 2003). Saat melakukan pemodelan dalam siklus berulang, siswa memiliki berbagai kesempatan belajar matematik yang benar untuk setiap sub-proses pemodelan (Zbiek & Conner, 2006). Dalam kegiatan pemodelan, siswa dihadapkan pada masalah situasi kehidupan nyata di mana beberapa konstruksi matematik yang penting sudah tertanam. Siswa didorong untuk berpartisipasi secara aktif dalam reorganisasi dan mengembangkan sistem konseptual yang ada melalui siklus pemodelan. Selama proses pemodelan matematik siswa dapat mengeksplorasi potensinya pada aspekaspek afektif, kognitif, dan sosial. Ini sangat memotivasi siswa untuk belajar banyak hal. Ketika siswa menyadari bahwa mereka dapat menggunakan matematik untuk menghadapi situasi kehidupan sehari-hari, mereka dapat menjelaskan manfaat matematik kepada orang lain dan memotivasi diri untuk mempelajarinya (Hodgson, 1999 dalam Zbiek dan Conner, 2006). Chamberlin dan Moon (2005a) menguraikan beberapa langkah implementasi MEAs dengan penjelasan yaitu untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, pembelajaran diawali dengan penyajian masalah atau situasi yang kontekstual. Pada penyajian masalah siswa dengan bimbingan guru mempelajari

41670.pdf 50 konteks permasalahan melalui proses tanyajawab (pertanyaan dapat ajukan oleh guru dalam membimbing pemahaman siswa atau diajukan oleh siswa untuk memperjelas pemahamannya). Setelah guru mengetahui bahwa masing-masing kelompok sudah memahami permasalahan, kegiatan dilanjutkan dengan memecahkan masalah. Induksi dalam diskusi kelompok dengan bimbingan guru memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan konsep/prinsip matematik. Setelah membuat beberapa iterasi dari solusi dan merevisi bila perlu, siswa mempresentasikan model mereka di depan kelas. Ada dua tujuan yang ingin dicapai dengan meminta siswa menyelesaikan kegiatan memunculkan model. Pertama, guru dapat menyelidiki bagaimana siswa mengembangkan model matematik atau ilmiah (Lesh, et al., 2000). Kedua, MEAs memungkinkan adanya penilaian khusus untuk mengidentifikasi bakat matematik yang dimiliki siswa yang tidak teramati (Chamberlin & Moon, 2005a, 2005b; Lesh, et al., 2000). Sebagai contoh, Chamberlin & Moon, dalam penelitiannya menginformasikan bahwa MEAs dapat digunakan untuk mengembangkan kreativitas matematik siswa berbakat dan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kreativitas siswa layaknya sebagai matematikwan berbakat. MEAs (Chamberlin dan Moon, 2005a, 2005b) merupakan pembelajaran dengan kegiatan yang mendorong siswa menemukan dan menguji model-model matematik. MEAs menyertakan masalah kompleks dan kontekstual yang dirancang menantang siswa membangun model-model untuk memecahkan masalah. MEAs memungkinkan siswa terlibat dalam penalaran dan menyediakan sarana bagi guru agar lebih memahami proses berpikir siswa. MEAs memiliki potensi membantu siswa belajar lebih dalam, mempertahankan apa yang mereka pelajari, dan mentransfer hasil belajar mereka ke masalah dengan konteks lain. MEAs biasanya diberikan kepada para siswa untuk bekerja pada kelompok dalam ruang kelas. Setelah siswa menghasilkan solusi dan menulis laporan mereka, mereka berbagi solusi dengan kelas. Presentasi ini dapat memunculkan diskusi kelas dan kelompok yang memungkinkan memeriksa kembali dan merevisi model mereka (Lesh, 2000). Kelompok menghasilkan solusi terhadap sebuah masalah dengan menuliskan

41670.pdf 51 deskripsi, penjelasan serta konstruksi dan secara berulang mengungkapkan, menguji, dan memperbaiki atau memperluas cara berpikir mereka. Dengan cara ini, MEAs dianggap potensial mengungkapkan produk yang memberikan kesempatan siswa masuk ke dalam proses berpikir yang dapat mereka gunakan untuk mengembangkan solusi. Diskusi kelompok dan presentasi dalam MEAs (Garfield, 2009) menjadi proses refleksi dan pelaporan bagi siswa yang berfungsi untuk: (i) menangkap peristiwa metakognitif, meningkatkan proses belajar melalui pemberlakuan prinsip sharing dan prototype efektif secara pragmatis, (ii) menyediakan sebuah metode untuk memproduksi dan merepresentasi data, dan (iii) memperluas perbendaharaan siswa dan guru dalam domain pemecahan masalah yang kompleks. Proses refleksi adalah menempatkan peristiwa metakognitif ke bahasa yang dapat diakses secara sadar dan diakses ulang oleh siswa untuk dimanfaatkan. Dengan demikian refleksi dapat sebagai alat belajar, evaluasi, dan pengembangan kemampuan. Refleksi mempromosikan dan scaffold proses kognitif. Refleksi memantapkan skema, berdampak pada memori dan prediksi terhadap masalahmasalah baru. Dalam pelaksanaan pembelajaran MEAs, kegiatan yang cukup potensial memaksimalkan hasil belajar adalah komunikasi secara verbal yang dirancang berbentuk percakapan matematik selama proses belajar. Percakapan di kelas NCTM (1991) merupakan cara untuk memotivasi munculnya pemikiran, membicarakan, mempertanyakan, dan menyetujui atau tidak menyetujui suatu konteks matematik. Percakapan yang didalamnya terjadi pertukaran ide-ide memuat informasi apakah ide-ide itu diperlukan, siapa yang sedang bicara, apa yang dibicarakan, bagaimana percakapan itu terjadi, siapa yang mengajukan pertanyaan, ide dan cara berfikir siapa yang memiliki nilai. Peran guru mengelola komunikasi lisan di kelas (NCTM, 1991) meliputi: (i) mengajukan pertanyaan dan tugas yang membangkitkan, melibatkan dan menantang setiap siswa untuk berfikir; (ii) mendengarkan dengan seksama ide-ide yang disampaikan siswa; (iii) meminta siswa untuk mengklarifikasi dan mempertahankan kebenaran pendapat siswa secara lisan dan tulisan; (iv)

41670.pdf 52 memutuskan ide yang mana yang harus benar-benar diperjuangkan dalam diskusi; (v) memutuskan kapan dan bagaimana notasi dan bahasa matematik digunakan pada ide yang disampaikan siswa; (vi) memutuskan kapan memberikan informasi, kapan mengklarifikasi suatu isu, kapan membuat pemodelan, kapan membimbing, kapan saatnya membiarkan siswa berjuang dengan kesulitan dalam percakapan; (vii) memonitor keikutsertaan siswa dalam diskusi dan memutuskan kapan dan begaimana memotivasi setiap siswa untuk berpartisipasi. Percakapan (discourse) dikelas (Megan, et al., 2007) memiliki tema yang mendorong seluruh komponen kelas untuk mengkreasi segala sesuatu yang memiliki arti. Guru mempunyai peran sentral dalam mengarahkan percakapan yang berkontribusi terhadap pemahaman matematik siswa. Percakapan matematik yang efektif umumnya tidak akan terjadi secara spontan di kelas. Percakapan matematik yang efektif memerlukan suasana yang memungkinkan pikiran setiap orang dihargai dengan penalaran dan argumen tentang makna matematika sebagai aturannya. Siswa, dimana guru paling banyak berperan sedangkan dirinya pasif, perlu dibimbing dan dimotivasi agar berpartisipasi secara aktif dalam percakapan suatu komunitas yang berkolaborasi. Beberapa siswa yang secara khusus berhasil dalam kelas matematik konvensional mungkin resisten untuk berbicara, menulis dan bernalar tentang matematika bersama temannya. Guru berperan memotivasi siswa untuk bernalar tentang matematika melalui pemberian tugas yang telah disiapkan beserta pertanyaan-pertanyaan yang akan mereka tanyakan. Motivasi, berupa pertanyaan dengan kata tanya mengapa atau meminta siswa menjelaskan pemikiran matematiknya, yang dilakukan secara konsisten tanpa bergantung pada kebenaran pernyataan siswa menjadi bagian yang penting dalam mewujudkan sebuah percakapan yang fokus pada penalaran matematik. Menanamkan perhatian dan ketertarikan dengan meminta siswa menjelaskan atau mengembangkan suatu ide akan membantu mewujudkan normanorma kesopanan dan penghormatan dibandingkan kritikan dan perdebatan. Guru dapat juga menstimulus percakapan dengan meminta siswa menuliskan penjelasan tentang penyelesaian mereka dan memberikan keputusan terhadap ide mereka.

41670.pdf 53 Aspek pertama (Kieran & Dreyfus, 1998 dalam Megan, et al., 2007) dari peran guru berupa pemberian tugas siswa yang fokus pada berfikir dan bernalar memberikan kesempatan guru memperoleh informasi sebagai penilaian terhadap proses yang sedang berlangsung. Pengajuan pertanyaan yang baik dapat membangkitkan dan memperluas pemikiran siswa secara simultan. Keterampilan guru memformulasikan pertanyaan dalam mengelola percakapan baik secara lisan maupun tulisan saat pengarahan penalaran matematik menjadi penting. Aspek kedua dari peran guru adalah aktif memotivasi dan menuntut siswa melakukan pemodelan dan penyampaian argumen. Guru harus lebih mendengarkan, sedangkan siswa lebih banyak bernalar. Persiapan yang hati-hati dalam mengelola percakapan kelas berpotensi mempromosikan belajar siswa. Banyaknya ide yang muncul mengharuskan guru menyaring dan mengarahkan eksplorasi siswa dalam berargumen melalui penetapan beberapa point penting yang dapat dijadikan bahan percakapan utama, dan meninggalkan point-point lainnya yang kurang penting untuk dibicarakan. Dengan demikian siswa terhindar dari aktif dan berbicara yang tidak fokus. Kebijaksanaan dalam mengambil keputusan mencakup: kapan saatnya membiarkan siswa memperjuangkan idenya, apakah masalah yang diajukan adalah layak tanpa masukan bimbingan guru, atau kapan mengajukan pertanyaan yang terarah, menjadi penting dalam mengelola percakapan matematik yang produktif. Aspek ketiga dari peran guru dalam mengelola percakapan di kelas adalah memonitor dan mengorganisir partisipasi siswa dengan memperhatikan dan mengatur lalu lintas percakapan agar mendukung belajar siswa. Siapa yang berkomentar secara sukarela dan siapa yang tidak? Bagaimana respon siswa terhadap argumen siswa lainnya? Apakah ada ciri khusus siswa yang dapat merekam atau merepresentasikan pemikiran mereka kedalam tulisan? Guru harus komitmen melibatkan setiap siswa berkontribusi dalam kegiatan berfikir melalui percakapan kelas. Guru harus menetapkan kapan siswa harus bekerja dan berbicara dalam kelompok kecil dan kapan dalam kelompok besar. Guru harus membuat keputusan yang sensitif tentang bagaimana percakapan beralih giliran.

41670.pdf 54 Secara substansi, jika percakapan fokus pada belajar untuk bernalar secara matematik, guru harus menahan diri memanggil siswa yang kelihatannya memiliki jawaban yang benar agar pemikiran yang lebih bervariasi lainnya muncul dan tergali. Dengan menunjukkan perhatian pada pemikiran dan asumsi yang disampaikan siswa, guru dapat memotivasi siswa berpartisipasi dalam norma-norma diskusi saat menjastifikasi ide-ide mereka. Guru harus memikirkan banyak cara mengajak siswa berkontribusi dalam percakapan di kelas. Peran siswa dalam percakapan (NCTM, 1991) meliputi: (i) mendengarkan, merespon, bertanya pada guru atau lainnya; (ii) menggunakan berbagai cara untuk membangun penalaran, memahami dan membuat koneksi, melakukan penyelesaian masalah dan mengkomunikasi; (iii) menginisiasi suatu masalah dan pertanyaan; (iv) membuat dugaan dan menyampaikan solusi; (v) mengeksplorasi contoh dan bukan contoh untuk menginvestigasi suatu dugaan (a conjecture); (vi) berusaha untuk yakin pada diri mereka sendiri dan lainnya akan validitas suatu representasi, solusi, dugaan, dan jawaban; (vii) bersandar pada bukti dan argumen secara matematik untuk menetapkan kebenaran. Percakapan memungkinkan keterlibatan siswa dalam membuat konjektur, mengusulkan suatu pendekatan dan solusi suatu masalah, dan berargumen tentang kebenaran suatu klaim tertentu. Mereka harus belajar memverifikasi dan merevisi bukti-bukti matematik dan menggunakan bervariasi alat-alat matematik. Siswa harus menjadi pendengar bagi komentar teman lainnya, baik mereka bekerja dalam grup kecil atau grup besar. Siswa harus berbicara dengan yang lainnya dengan maksud untuk meyakinkan atau menanyakan. Percakapan harus fokus pada ide-ide matematik dan menggunakan ide-ide matematik dalam membuat atau menyelesaikan masalah. Percakapan merefleksikan pesan tentang makna mengetahui matematik, apa yang membuat sesuatu benar dan beralasan, serta pekerjaan apa yang memerlukan matemátika, dan ini adalah fokus siswa mempelajari matematika dan juga bagaimana mereka mempelajarinya. Aktivitas dan percakapan di kelas memberikan kesempatan pada setiap siswa untuk belajar tentang topik tertentu serta mengembangkan kemampuan mereka dalam bernalar dan berkomunikasi

41670.pdf 55 tentang topik tersebut. Sikap siswa terhadap matematika secara mendasar dipengaruhi oleh pengalaman yang mereka peroleh saat beraktivitas matematik. Meskipun guru terlihat diam sesaat namun peran guru tetap berlangsung dalam komunitas kelas. Keterampilan guru dalam mengembangkan dan mengintegrasi tugas atau percakapan yang mempromosikan belajar siswa tergantung pada konstruksi dan pengelolaan lingkungan belajar yang mendukung dan menumbuhkan beragam aktivitas dan pemikiran. Penelitian ini dibangun berdasarkan rasional yang mendasari pemilihan kemampuan berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan disposisi matematik sebagai masalah pokok penelitian ini yaitu diantaranya adalah: (i) termuatnya kemampuan berkomunikasi dalam standar kompetensi matematik siswa SMP yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 (BSNP, 2006) tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; (ii) adanya kesesuaian antara kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah dengan pandangan matematik sebagai proses dan produk; (iii) kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah merupakan kemampuan yang sangat penting dalam proses belajar memahami konsep matematika; dan (iv) disposisi matematik merupakan aspek yang dibutuhkan saat berkomunikasi secara matematik dan memecahkan masalah matematik. Selanjutnya berdasarkan pertimbangan rasional bahwa: (i) pemecahan masalah dan komunikasi matematik terkait dengan aspek kognitif dan materi matematik sedangkan disposisi matematik terkait dengan aspek afektif, (ii) tingkat sekolah dan tingkat kelas siswa sebagai subjek penelitian, dan (iii) implikasi dari karakteristik matematika sebagai ilmu yang terstruktur dan deduktif dimana kajiannya bersifat hierarkis, maka ruang lingkup alat ukur kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah dibatasi agar memadai untuk digunakan dalam penelitian ini. Pembatasan terhadap aspek kognitif dan materi matematik perlu diterapkan sehingga penelitian ini hanya melibatkan siswa SMP kelas VIII.

41670.pdf 56 E. Teori Belajar yang Mendasari Pembelajaran MEAs dalam penelitian ini diterapkan dengan landasan beberapa paham dan teori, yaitu: teori perkembangan Jean Piaget, paham konstruktivisme, teori Bruner, dan teori Vygotsky yang menekankan pada peran sosiokultural dalam pembelajaran. Landasan tersebut digunakan karena relevan dengan prinsip pembelajaran MEAs yang mencakup: konstruksi model,penggunaan masalah reality untuk membangun pengetahuan dan konsep, selfassessment, sharing, dokumentasi, serta penemuan prototype model matematik yang dapat digunakan untuk masalah yang relevan lainnya. Proses belajar selalui terkait dengan perkembangan kognitif siswa. Menurut Jean Piaget (Trianto, 2007) setiap siswa yang belajar selalu melalui empat tahap perkembangan kognitif, yaitu: tahap sensorimotor, pra operasional, operasi konkret, dan operasi formal. Piaget menjelaskan bahwa setiap individu menunjukkan perkembangan kognitif dengan kecepatan melalui urutan tahapan secara berbeda namun tidak ada individu mencapai tahapan tertentu dengan melompati tahapan sebelumnya. Menurut Piaget (Cole & Wertsch, 1999) perkembangan kognitif sangat dipengaruhi oleh aktifitas individu dalam memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Piaget menggunakan istilah skemata untuk pola perilaku dan berpikir yang digunakan individu saat berinteraksi dan memanipulasi suatu objek di lingkungannya. Individu beradaptasi dengan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Slavin (1994) dalam Trianto (2007) menjelaskan bahwa yang dimaksud asimilasi adalah menginterpretasi pengalaman baru dalam hubungannya dengan skema-skema yang telah ada, sedangkan akomodasi adalah memodifikasi skema-skema yang telah ada untuk disesuaikan dengan pengalaman baru. Proses asimilasi dan akomodasi setiap induvidu pada akhirnya akan mencapai tahap keseimbangan antara pemahaman yang telah dimiliki dengan pengalaman baru yang disebut dengan tahap ekuilibrasi. Pada tahap keseimbangan terjadi pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan pada individu. Situasi ketidakseimbangan yang diciptakan guru berpotensi memunculkan keingintahuan

41670.pdf 57 dan kreatifitas siswa hingga siswa memperoleh skemata pengetahuan baru saat telah berada pada tahap ekuilibrasi. Trianto (2007) mengungkapkan bahwa siswa kelas VIII (usia 11-15 tahun) berada pada tahap operasional konkret yaitu mampu memahami dunia secara objektif dan berorientasi secara konseptual, serta siswa mampu berpikir ilmiah. Situasi belajar melalui pengalaman fisik dan memanipulasi lingkungan, menurut Slavin (Trianto, 2007) memberi keuntungan: (i) proses berpikir siswa menjadi fokus pada apa yang sedang dipelajari, (ii) munculnya inisiatif dan keterlibatan aktif siswa lebih berperan dalam pembelajaran, (iii) perbedaan kemampuan siswa tetap memberikan kesempatan pada siswa untuk mendapatkan kemajuan perkembangan melalui urutan yang sama meski dengan kecepatan yang berbeda. Prinsip reality dalam pembelajaran MEAs memberi konsekuensi penggunaan masalah bermakna dan relevan dengan pengalaman siswa yang digunakan sebagai sarana belajar siswa. Konteks masalah harus masuk akal dari segi pengetahuan dan pengalaman kehidupan nyata. Hal ini sesuai dengan paham Piaget yang menyatakan bahwa pola perilaku dan berpikir siswa saat berinteraksi dan memanipulasi suatu objek di lingkungannya membuat siswa beradaptasi dengan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Paham konstruktivisme (Gupta, 2008) juga menunjang hal tersebut bahwa pengetahuan dibentuk sendiri oleh siswa, dan pengalaman merupakan kunci utama agar belajar menjadi bermakna (Trianto, 2007). Bransford et. al. (1999) dalam Innes (2007) merekomendasikan peran aktif siswa dalam membangun pengetahuan mereka sendiri. Pentingnya peran aktif siswa dalam membangun sendiri pemahaman terhadap pengetahuan yang dipelajarinya menjadi penekanan teori perkembangan kognitif konstruktivisme. Konstruktivisme (Hanley, 1994) mengundang peran aktif siswa dalam mengasimilasi pengetahuan ke kerangka mentalnya yang sudah ada. Kemampuan siswa untuk menerapkan pengetahuan yang mereka pelajari di sekolah ke dunia nyata dihargai lebih dari sekedar menghafal pengetahuan secara terpisah-pisah yang mungkin saja tidak berhubungan dengan pengalaman mereka.

41670.pdf 58 Pendekatan konstruktivis mengajak guru untuk melepaskan perannya sebagai satu-satunya penyampai informasi. Perspektif konstruktivis memandang bahwa proses belajar (Hall, 2008) hendaknya mengkondisikan siswa secara aktif menciptakan, menginterpretasikan, dan mengatur ulang informasi dalam cara-cara yang unik bagi setiap siswa. Belajar siswa tidak terlepas dari pengetahuan siswa sebelumnya. Konsep zona perkembangan proksimal (ZPD) rekomendasi Vygotsky menjelaskan bahwa belajar terbaik siswa adalah ketika menjangkau kemampuan di luar pengalaman mereka yang sudah ada dengan bantuan dari guru atau rekan lain untuk menjembatani jarak dari apa yang mereka ketahui atau dapat lakukan secara independen dan apa yang mereka bisa tahu atau lakukan dengan bantuan (Schunk, 1996 dalam Hammond, 2001). Goldin (1990) dalam Hall (2008) memandang peran guru lebih sebagai fasilitator pembelajaran dengan memfasilitasi siswa membangun pengetahuannya yang dengan perannya guru telah membantu siswa berpikir kritis mengenai konsep-konsep. Jerome Bruner (Trianto, 2007) sebagai salah satu pendiri teori konstruktivis menjelaskan bahwa konstruktivisme adalah suatu kerangka kerja konseptual yang luas dengan berbagai perspektif. Kerangka teori Bruner ini didasarkan pada pemahaman bahwa siswa membangun ide-ide atau konsep baru berdasarkan pengetahuan yang ada. Belajar adalah proses aktif secara simultan yang menurut Bruner (1999) meliputi tiga aspek yaitu perolehan informasi baru yang seringkali menggantikan informasi lama yang telah dimiliki, transformasi informasi, serta pengambilan keputusan terhadap informasi dan pengalaman. Seringkali teori Bruner disebut pembelajaran penemuan (Trianto, 2007) yaitu pembelajaran yang menekankan pentingnya pemahaman tentang struktur konsep dan berpikir secara induktif dalam proses penemuan pribadi. Ada tiga tahap perkembangan intelektual yang ditetapkan Bruner (1999) yaitu: (i) tahap pertama disebut enactive yaitu tahap seseorang belajar tentang dunia melalui tindakan langsung terhadap objek fisik dan hasil dari tindakan ini, (ii) tahap kedua disebut iconic yang merupakan tahap perolehan belajar melalui penggunaan model dan gambar, (iii) tahap akhir

41670.pdf 59 adalah "simbolik" yang merupakan tahap mengembangkan kapasitas untuk berpikir secara abstrak. Diperlukan kreatifitas guru dalam mengembangkan masalah sebagai media belajar yang berpotensi mengeksplorasi kemampuan siswa menemukan model dan konsep dengan menemukan hubungan antar bagian dari struktur materi (Woolfolk, 1997 dalam Trianto, 2007). Teori konstruktivis (Trianto, 2007) juga menyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan proses belajar siswa yang secara aktif membangun sistem pemahaman terhadap realita melalui pengalaman dan interaksi. Siswa secara aktif membangun pengetahuan dengan cara terus menerus mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru. Sepaham dengan teori konstruktivisme, Suparmo (1997) dalam Trianto (2007) mengemukakan beberapa prinsip konstruktivisme, yaitu: (i) pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif, (ii) tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa, (iii) mengajar adalah membantu siswa, (iv) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir, (v) kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan (vi) guru sebagai fasilitator. Salvin (1994) dalam Trianto (2007) mengungkapkan bahwa konstruktivisme diterapkan dalam pembelajaran di kelas dengan membentuk kelompok-kelompok siswa yang bermanfaat sebagai sarana berbagi dan saling membantu sesama selama proses pembelajaran. Pembentukan kelompok siswa dalam proses belajar berdasarkan pemahaman bahwa siswa akan lebih mudah mempelajari konsep yang sulit jika memiliki kesempatan mendiskusikan masalah mereka dengan temannya. Sehubungan dengan hal tersebut, pembelajaran pada penelitian ini mengelompokkan siswa, sesuai prinsip sharing dalam MEAs, yang setiap kelompoknya terdiri dari 4 atau 5 siswa dengan kemampuan beragam yang meliputi siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Target kerja kelompok adalah bersama saling membantu mengerjakan tugas dan mempelajari konsep secara tuntas. Saat siswa bekerja dalam kelompok, guru berkeliling memberikan motivasi dan membimbing siswa untuk mencapai ketuntasan. Paham konstruktivisme meyakini perlunya scaffolding dalam pembelajaran berupa

41670.pdf 60 bantuan kepada siswa di tahap awal hingga secara mandiri siswa mampu mengambil alih tanggungjawabnya. Vygotsky (Trianto, 2007) mengungkapkan bahwa pembelajaran terjadi apabila siswa bekerja atau belajar mengerjakan tugas yang belum pernah diketahuinya namun tugas tersebut masih berada dalam jangkauan kemampuan siswa atau berada pada zone of proximal development. Zone of proximal development merupakan perkembangan sedikit di atas perkembangan siswa saat itu. Teori Vygotsky (Cole & Wertsch, 1999) menekankan pada peran sosiokultural dalam pembelajaran. Relevan dengan teori konstruktivis, ada dua implikasi dari teori Vygotsky (Trianto, 2007) yaitu pertama terkait dengan susunan kelas yang bersifat kooperatif antar siswa sehingga siswa dapat berinteraksi saat mengerjakan tugas sulit dan dapat saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif didalam masing-masing zone of proximal development. Kedua adalah adanya scaffolding dalam pembelajaran sehingga siswa semakin lama semakin bertanggungjawab terhadap pembelajarannya sendiri (Slavin, 1994 dalam Trianto, 2007). Sebuah prinsip dasar reformasi pendidikan yang terkait dengan perspektif konstruktivis dan sosial budaya adalah bahwa dialog, seperti komunikasi dialogis antara siswa dan scaffolding guru, berperan penting dalam pengembangan pengetahuan (NCTM, 2000). Scaffolding sebagai salah satu strategi konstruktivis (Hall, 2008) memungkinkan siswa memahami tugas dan model kompleks melalui bimbingan guru yang menggali pemikiran siswa untuk menemukan konsep dan solusi. Terdapat keterkaitan antara reformasi ini dengan teori John Dewey. Menurut John Dewey (dalam Hall et. al., 2008) seharusnya sekolah tidak hanya mengajarkan apa yang harus siswa pikirkan, tetapi bagaimana seharusnya siswa berpikir melalui rekonstruksi pengalaman secara berkelanjutan. Innes (2007) beranggapan bahwa pengetahuan akan berkembang melalui proses penyelidikan, secara kooperatif dalam kelompok kerja, terhadap konteks otentik.

41670.pdf 61 F. Kerangka Teori Penelitian Standar proses, isi dan kompetensi lulusan bidang matematika yang termuat dalam Standar Nasional Pendidikan Indonesia sebagai produk BSNP dan Standar Pendidikan Matematika Negara Amerika oleh NCTM menjadi rujukan penelitian ini dalam mengembangkan proses pembelajaran, menetapkan pokok bahasan matematik SMP yang akan digunakan, dan kompetensi yang akan dikembangkan. Standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mencakup diantaranya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan proses pembelajaran. Standar isi matematika SMP/MTs dalam penelitian ini diambil dari aspek Aljabar yang mencakup: bentuk aljabar dan unsur-unsurnya, persamaan dan pertidaksamaan linear, dan sistem persamaan linear. Sedangkan standar kompetensi lulusan matematik SMP yang menjadi kajian penelitian ini adalah: kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematik, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; kemampuan mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah secara tertulis; serta disposisi matematik yaitu sikap menghargai kegunaan matematik dalam kehidupan, memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematik, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Menurut paham konstruktivisme dan NCTM Standards (NCTM, 1989) dalam Hallagan et al. (2006) siswa belajar Aljabar dengan mengkonstruksi model suatu ide matematika melalui penggunaan representasi untuk menguji ide-ide matematika. Pengajaran Aljabar bertujuan untuk memanipulasi simbol matematika dan menyederhanakan ekspresi aljabar (NCTM, 2000). Konsep Aljabar sebagai konteks pembelajaran implementasi MEAs dalam penelitian ini, berpotensi memuat kegiatan pemodelan. Strategi MEAs memiliki prinsip dan prosedur yang berpotensi melibatkan siswa secara aktif dalam proses membangun konsep dan model matematik, mendiskusikan substansi pelajaran, dan mengekspresikan pemikiran matematiknya secara terbuka baik dalam kerja kelompok dan kelas. Pembelajaran

41670.pdf 62 MEAs digunakan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, dan disposisi matematik yang dalam pelaksanaannya memperhatikan: teori perkembangan Jean Piaget, paham konstruktivisme, teori Bruner, dan teori Vygotsky (yang menekankan pada peran sosiokultural dalam pembelajaran). Prinsip mengkonstruksi model dari masalah reality dalam pembelajaran MEAs relevan dengan paham Piaget. Paham Piaget menyatakan bahwa pola perilaku dan berpikir siswa saat berinteraksi dan memanipulasi suatu objek di lingkungannya membuat siswa beradaptasi dengan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Paham konstruktivisme juga menunjang hal tersebut bahwa pengetahuan dibentuk sendiri oleh siswa, dan pengalaman merupakan kunci utama agar belajar menjadi bermakna. Teori Bruner yang seringkali disebut pembelajaran penemuan menekankan pentingnya pemahaman tentang struktur konsep dan berpikir secara induktif dalam proses penemuan pribadi yang juga menjadi prinsip dalam MEAs yaitu prinsip membangun model. Hasil kerja siswa dalam MEAs adalah prototype model matematik yang pada tahap akhir oleh Bruner disebut sebagai "simbolik" dan merupakan tahap mengembangkan kapasitas untuk berpikir secara abstrak. Keterlibatan siswa dalam pembelajaran MEAs dikondisikan dalam kerja kelompok, dengan prinsip sharing dalam MEAs memungkinkan siswa berbagi pemikiran matematiknya dengan siswa lain. Hal ini sesuai dengan paham Vygotsky yang menekankan pada peran sosiokultural dalam pembelajaran yaitu terkait dengan susunan kelas yang bersifat kooperatif antar siswa sehingga siswa dapat berinteraksi saat mengerjakan tugas sulit dan dapat saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif didalam masing-masing zone of proximal development. Saat siswa memahami masalah kontekstual, mengkonstruksi model, memecahkan masalah, berargumen dalam proses pemecahan masalah, mempresentasikan model dan penyelesaian yang diperoleh, sangat mungkin proses berpikir siswa akan membangun kemampuan kognitif dan afektifnya. Kemampuan yang akan terbangun adalah kemampuan komunikasi, kemampuan

41670.pdf 63 pemecahan masalah dan disposisi matematik siswa. Gambar 2.5 berikut mengilustrasikan kerangka teori penelitian ini. BSNP dan NCTM Standar Proses Standar Isi J. Piaget, Konstruktivisme, J.Bruner,Vygotsky MEAs Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Polya, NCTM Proses Pembelajaran Disposisi Matematik Materi Matematika SMP NCTM, Polking, Sumarmo Pengembangan Kemampuan Komunikasi Matematik Gambar 2.5 Kerangka Teori Penelitian NCTM, Kurnas Sullivan & Mousley, NCTM G. Penelitian-penelitian yang relevan Beberapa peneliti (dalam Ahuja & Jahangiri, 2003) lebih mengorientasikan penelitian mereka pada bagaimana siswa berpikir, pembelajaran yang aktif, pembelajaran menemukan pemodelan, dan minat siswa dalam matematika. Pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa dianggap lebih efektif daripada berpusat pada guru di kelas tradisional. Dominguez (2005) meneliti tentang gerak isyarat dan artikulasi dari pengetahuan matematik siswa bilingual selama kegiatan pemecahan masalah

41670.pdf 64 (Bilingual Students Articulation and Gesticulation of Mathematical Knowledge During Problem Solving). Penelitian ini fokus untuk menggali dan memunculkan penalaran pemecahan masalah siswa bilingual melalui pemberian tugas-tugas matematika yang dirancang melibatkan siswa-siswa dalam kegiatan yang ada pada masalah serta terkait dengan konteks-konteks yang telah mereka kenal. Hasilnya menunjukkan bahwa tugas-tugas ini memungkinkan siswa mengartikulasikan penalaran matematik mereka melalui gerakan tubuh dan ucapan. Penelitian ini mengarah pada dua pertanyaan yaitu: 1) bagaimana siswa kelas dua mengkomunikasikan penalaran matematik mereka dan 2) apa saja aturan tugas matematik yang dapat menggali dan memunculkan penalaran matematik siswa? Penelitian ini mengambil subjek tujuh siswa kelas dua yang bilingual berbahasa Inggris dan Spanyol dalam menyelesaikan soal penjumlahan dan pengurangan. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa-siswa secara berurutan menggunakan kata-kata dan gerak tubuh untuk mengkomunikasikan penalaran matematik mereka pada orang lain dan mengatur kegiatan kognitif mereka sendiri. Secara umum, siswa mendemonstrasikan bahwa bilingual mereka tidak menghalangi untuk menyelesaikan tugas-tugas matematik. Siswa-siswa menyampaikan pemahaman matematik mereka pada setiap tugas melalui unjuk kerja verbal dan nonverbal. Kajian ini juga menginformasikan keuntungan komunikasi verbal dan non verbal siswa-siswa bilingual serta makna belajar bagi siswa di usia muda untuk mengetahui matematika secara bilingual. Penelitian di bidang pembelajaran matematika merekomendasikan bahwa upaya pengembangan pemahaman dan kemampuan siswa akan maksimal jika siswa mendapat kesempatan untuk terlibat secara aktif dengan ide-ide baru, menyelesaikan soal, mempertahankan penyelesaian soal, dan berpartisipasi aktif di dalam komunitas siswa matematika (Van de Walle, 2008). Keterlibatan aktif siswa juga berpotensi mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan disposisi matematik. Penggunaan berbagai metode pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan disposisi matematik telah menjadi kajian yang selalu menarik untuk diteliti.

41670.pdf 65 Berikut adalah paparan hasil beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Wilson (2008) dalam penelitiannya di kelas matematik level lima menyelidiki bagaimana suasana belajar kelompok sehari-hari mempengaruhi kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan pemikiran matematik mereka secara lisan dan tertulis. Penelitian ini menemukan bahwa atmosfer kelompok kerja kecil memberikan kesempatan lebih banyak pada siswa untuk belajar langsung. Penelitian ini juga menemukan bahwa penekanan pada komunikasi membantu siswa mengartikulasikan pemikiran matematik mereka agar ketika mereka menulis dan berbicara tentang ide-ide matematika menjadi lebih jelas. Sebagian siswa lebih suka bekerja dalam kelompok kecil karena mereka menghargai dukungan dari teman sebaya mereka. Siswa lebih terbuka meminta teman satu tim untuk membantu ketika mereka memiliki pertanyaan dibandingkan dengan pengaturan ruang kelas secara klasikal. Penelitian membuktikan bahwa pengaturan di kelas matematik dengan kelompok kecil bermanfaat sebagai wadah bagi siswa untuk mengerjakan pekerjaan rumah bersama tim mereka, sedangkan presentasi berguna sebagai alat komunikasi bagi siswa untuk berbagi pemikiran mereka berkaitan dengan masalah spesifik yang ditentukan. Eric (2008) meneliti penggunaan MEAs dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar. Pembelajaran matematika dipertimbangkan berlangsung secara kontekstual dengan kegiatan pemodelan (mathematization) sebagai katalisator untuk memunculkan penalaran matematik dan menjadikan pelajaran bermakna. Dengan MEAs, pembelajaran memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah kontektual nyata. Selain hal tersebut, siswa memperoleh kesempatan mengembangkan proses berpikir matematiknya dalam proses pemodelan. Clark, et al. (2008) dalam penelitiannya menggunakan pendekatan MEAs untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa teknik industri tingkat atas. Penggunaan MEAs dilengkapi dengan masalah terbuka dimana kelompok mahasiswa mengembangkan prosedur terdokumentasi yang melibatkan model analitis untuk memecahkan masalah rekayasa dunia nyata. Materi yang dipelajari mencakup probabilitas dan statistik, riset operasi,

41670.pdf 66 pemodelan keputusan, etika rekayasa, dan pengambilan keputusan global. Wawasan tentang proses pemecahan masalah diperoleh melalui alat refleksi dan penilaian kerja sama kelompok, dan langkah-langkah analisis kerja sama kelompok secara berulang, keterlibatan siswa, dan strategi pemecahan masalah. Hasilnya menunjukkan bahwa hasil belajar mahasiswa selama satu semester terjadi peningkatan, meskipun tidak signifikan secara statistik. Secara keseluruhan, disimpulkan bahwa pendekatan MEAs dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah para mahasiswa calon insinyur. Hamilton (2009) mengkaji penggunaan MEAs dalam pembelajaran penerapan alat-alat pencerminan berdasarkan analisis dan bukti. Hamilton menyatakan bahwa MEAs dapat menggali/memunculkan konsep-konsep yang mendalam dan dapat dipahami dengan baik dibandingkan jika siswa diajarkan dengan aturan-aturan, algoritma-algoritma dan heuristik yang diterapkan pada tugas-tugas nonkontekstual. Garfield, J., et al. (2009) mengkaji penggunaan MEAs dan mendapatkan bahwa kegiatan MEAs serta produk-produk yang siswa hasilkan lebih dari sekedar jawaban pendek atas pertanyaan singkat, siswa memanipulasi konsep-konsep terdahulu yang bisa di akses kembali untuk membangun, menggambarkan, menjelaskan, menduga atau mengontrol sistem matematik. MEAs diterapkan untuk memunculkan kebutuhan siswa dalam proses analisis dan komunikasi ketika menyelesaikan masalah. Yildirim et al. (2010) mengajukan hipotesis dalam penelitiannya yang mengungkapkan bahwa penerapan MEAs yang tepat dapat menawarkan keunggulan yang potensial bagi pendidikan teknik yaitu dapat meningkatkan pemahaman konsep dan dapat digunakan untuk menilai proses pemecahan masalah. Penelitian memperoleh temuan bahwa manfaat penerapan MEAs akan maksimal jika menyertakan pembimbingan oleh instruktur dalam proses belajar. Pembimbingan yang cenderung mengarahkan siswa untuk memperbaiki dan menyempurnakan pekerjaan dapat meyakinkan siswa bahwa mereka sedang dan telah bekerja sesuai dengan masalah serta konsep yang harus dipelajari. Hasil

41670.pdf penelitian ini juga sangat merekomendasikan penggunaan MEAs dalam membantu pengajar mengevaluasi proses pemecahan masalah yang dilakukan siswa. Terkait dengan penelitian tentang penggunaan pembelajaran MEAs, ada beberapa penelitian yang dapat dijadikan pembanding. Carnes et al. (2010) mengkaji penggunaan MEAs untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa di jurusan teknik pada tahun pertama melalui pemodelan pada pelajaran matematika dan statistik. Penelitian ini bukan untuk menilai kualitas pekerjaan mahasiswa, tetapi untuk memeriksa pola perubahan di tiga versi model yang dikembangkan mahasiswa selama proses pembelajaran MEAs. Mahasiswa (solver) umumnya menunjukkan kecenderungan terpaku pada solusi tertentu sedemikian rupa sehingga sulit bagi mereka untuk mengenali solusi potensial lainnya. Salah satu cara yang dilakukan untuk membantu mahasiswa adalah dengan memberikan umpan balik yang mengajak mahasiswa mempertimbangkan solusi lainnya. Umpan balik dapat membantu mahasiswa menyadari potensi kelemahan dalam pekerjaan atau pemahaman mereka, dan bekerja untuk meningkatkan pekerjaan (atau pemahaman) mereka. Dalam banyak kasus, terlihat mahasiswa membuat perubahan pada solusi yang awalnya terbatas, namun ditemukan juga beberapa mahasiswa yang tidak dapat menyelesaikan solusi awal mereka. Hal ini menunjukkan bahwa jenis umpan balik harus disesuaikan dengan mahasiswa. Shafridla (2012) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi matematik siswa melalui pendekatan matematik realistik menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi matematik siswa yang diberi pendekatan matematik realistik lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang diberi pendekatan konvensional. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pembelajaran dengan pendekatan matematik realistik berpotensi membangun kemampuan komunikasi dan disposisi matematik siswa. Sedangkan Kadir (2010) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa siswa yang mendapat pendekatan kontekstual berbasis potensi pesisir memperoleh kemampuan pemecahan masalah

41670.pdf 68 matematik, kemampuan komunikasi matematik, dan keterampilan sosial yang lebih besar daripada siswa yang mendapat pendekatan konvensional. Saija (2012) dalam penelitiannya yang bertujuan menganalisis disposisi matematik dan hubungannya dengan hasil belajar matematik siswa-siswa SMA di Bandung menyimpulkan bahwa secara rata-rata disposisi matematik siswa SMA di Bandung dikategorikan rendah. Selanjutnya, terdapat korelasi positif dan signifikan antara disposisi matematik dan hasil belajar matematik siswa tersebut, walaupun nilai korelasinya tidak tinggi. Temuan lain menunjukkan bahwa meskipun beberapa siswa menunjukkan disposisi matematik yang tinggi namun tidak selalu diimbangi dengan hasil belajar matematik yang memadai. Kesenjangan ini dipengaruhi oleh faktor padatnya kurikulum dan aktifitas siswa. Beyers (2012) menguji hubungan antara disposisi mahasiswa calon guru dengan ketercapaian mereka pada matakuliah matematika dasar. Analisis hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan disposisi matematik mahasiswa calon guru yang signifikan jika dikaitkan dengan perbedaan ketercapaian dalam matakuliah matematika khususnya pada kategori fungsi disposisi afektif dan konaktif, tetapi tidak pada kategori fungsi disposisi kognitif. Terutama disposisi matematik yang mencakup keyakinan tentang manfaat matematika, keyakinan tentang aturan yang berlaku ketat dalam matematika. Sementara Mahmudi (2010) menjelaskan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa disposisi matematik pada aspek kepercayaan diri dari siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi MHM berbasis masalah jauh lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran secara konvensional. Feldhaus (2012) meneliti bagaimana pengaruh partisipasi mahasiswa dalam perkuliahan Mathematics for Elementary School Teachers (MEST) terhadap pengetahuan matematika dalam mengajar terkait dengan konteks (a) disposisi matematik dan (ii) pengembangan intelektual mereka. Awal pengamatan ketika mahasiswa berpandangan bahwa matematika sebagai sesuatu yang bisa dimengerti memperlihatkan disposisi yang relatif tidak produktif, dan ketika mereka melihat bahwa ternyata matematika lebih rumit dari yang mereka pikir sebelumnya disposisi matematik mahasiswa menurun. Feldhaus mengungkapkan

41670.pdf 69 dalam disertasinya bahwa setelah perkuliahan MEST terjadi peningkatan pemahaman mereka tentang algoritma yang mereka gunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika, penalaran mereka tentang prinsip-prinsip matematika yang mereka gunakan ketika menerapkan algoritma, dan menjadi lebih fleksibel dalam menggunakan strategi pemecahan masalah. Mahasiswa memahami bahwa matematika sebagai suatu disiplin logis dan dapat dimengerti. Kesadaran secara signifikan meningkatkan disposisi matematik mahasiswa. Dzulfikar, et al. (2012) dari Universitas Negeri Semarang dalam penelitiannya yang mengkaji keefektifan Problem Based Learning (PBL) dan MEAs terhadap pengembangan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP kelas VIII pada pengembangan konsep lingkaran. Kesimpulan yang diperoleh Dzulfikar adalah bahwa pembelajaran matematika dengan MEAs ternyata dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang lebih baik dari pembelajaran PBL. H. Roadmap Penelitian Hasil analisis penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa kajian penelitian tentang pengembangan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi dan disposisi matematik telah banyak dilakukan oleh peneliti pendidikan matematik dari Indonesia dan luar negeri dengan menggunakan ragam pendekatan, strategi dan metode pembelajaran. Roadmap berikut memberi gambaran pemetaan hasil analisis penelitian-penelitian terdahulu terkait dengan strategi MEAs.

41670.pdf Hamilton (2009) MEAs untuk pemecahan masalah, mahasiswa pendidikan teknik mesin Permana, Y. (2010). MEAs untuk pemahaman, komunikasi, dan disposisi matematis SMA Shafridla (2012) RME untuk mengembangka n kemampuan komunikasi dan disposisi Matematik Gambar 2.6 Roadmap Penelitian Penelitian di luar negeri tentang penggunaan strategi MEAs, mayoritas diterapkan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa matematik dan teknik. Penelitian oleh Dzulfikar, et al. (2012) potensi penggunaan Problem Based Learning (PBL) dan MEAs dalam pengembangan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP kelas VIII pada konsep lingkaran serta berbagai artikel hasil penelitian tentang manfaat MEAs dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, menginspirasi peneliti menggunakan pembelajaran MEAs. Yildirim et al. (2010), MEAs untuk pemahaman konsep Penelitian ini menggunakan MEAs untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan disposisi matematik seperti yang terlihat pada skema treatment penelitian dalam Gambar 2.7. Dzulfikar, et al. (2012) PBL dan MEAs untuk kemampuan pemecahan masalah lingkaran siswa SMP kelas VIII

41670.pdf 71 Gambar 2.7 Skema Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi dan Disposisi Matematik dalam Penelitian Kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan disposisi matematik penting bagi siswa dalam belajar matematika. Pemecahan masalah matematik sebagai inti belajar matematika akan maksimal dipahami jika siswa mampu berkomunikasi secara matematik selama proses pemecahan masalah dan secara tidak langsung dapat menumbuhkan disposisi matematiknya. Kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan disposisi matematik saling terkait, sehingga ketiga kemampuan matematik tersebut tumbuh bersamaan dan saling menguatkan dalam proses pembelajaran MEAs seperti pada Gambar 2.7. Dari aspek pembelajaran yang digunakan serta kemampuan matematik yang akan dikembangkan, menurut peneliti, penelitian ini memiliki kemiripan dengan penelitian terdahulu, namun tidak sama. Peneliti belum menemukan penelitian yang mengkaji penggunaan MEAs untuk mengembangkan kemampuan komunikasi dan disposisi matematik. Karena penelitian ini menggunakan MEAs

41670.pdf 72 yang selain untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah juga untuk mengembangkan kemampuan komunikasi dan disposisi matematik, maka penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Penelitian ini berkontribusi melengkapi penelitian terdahulu tentang MEAs yang lebih banyak digunakan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. I. Hipotesis Dugaan jawaban sementara peneliti terhadap permasalahan yang telah ditetapkan pada penelitian ini dirumuskan dalam hipotesis berikut. 1. Berdasarkan gabungan sekolah level atas dan menengah, kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan strategi MEAs lebih tinggi daripada yang mendapat pembelajaran konvensional. 2. Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa di sekolah level atas yang mendapat pembelajaran dengan strategi MEAs lebih tinggi daripada yang mendapat pembelajaran konvensional. 3. Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa di sekolah level menengah yang mendapat pembelajaran dengan strategi MEAs lebih tinggi daripada yang mendapat pembelajaran konvensional. 4. Berdasarkan gabungan sekolah level atas dan menengah, kemampuan komunikasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan strategi MEAs lebih tinggi daripada yang mendapat pembelajaran konvensional. 5. Kemampuan komunikasi matematik siswa di sekolah level atas yang mendapat pembelajaran dengan strategi MEAs lebih tinggi daripada yang mendapat pembelajaran konvensional. 6. Kemampuan komunikasi matematik siswa di sekolah level menengah yang mendapat pembelajaran dengan strategi MEAs lebih tinggi daripada yang mendapat pembelajaran konvensional. 7. Berdasarkan gabungan sekolah level atas dan menengah, disposisi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan strategi MEAs lebih

41670.pdf 73 tinggi daripada disposisi matematik siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 8. Disposisi matematik siswa di sekolah level atas yang mendapat pembelajaran dengan strategi MEAs lebih tinggi daripada disposisi matematik siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 9. Disposisi matematik siswa di sekolah level menengah yang mendapat pembelajaran dengan strategi MEAs lebih tinggi daripada disposisi matematik siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 10. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan level sekolah terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. 11. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan pengetahuan awal matematik siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. 12. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan level sekolah terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa. 13. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan pengetahuan awal matematik siswa terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa. 14. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan level sekolah terhadap disposisi matematik siswa. 15. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan pengetahuan awal matematik siswa terhadap disposisi matematik siswa. 16. Ada asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan komunikasi matematik siswa dalam kelompok pembelajaran dengan strategi MEAs. 17. Ada asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah matematik dan disposisi matematik siswa dalam kelompok pembelajaran dengan strategi MEAs. 18. Ada asosiasi antara kemampuan komunikasi matematik dan disposisi matematik siswa dalam kelompok pembelajaran dengan strategi MEAs.

41670.pdf BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan eksperimen kuasi (Quasi-Experimental Design). Terkait dengan eksperimen kuasi, Stanley dan Campbell (dalam Setyosari, 2012) merekomendasikan penetapan sampel dilakukan tidak secara random. Penelitian ini mendapatkan penetapan sekolah sebagai kelompok subjek penelitian berdasarkan rekomendasi Dinas Pendidikan kota Depok. Penetapan kelas eksperimen dan kontrol berdasarkan hasil kesepakatan bersama Kepala Sekolah yang disesuaikan dengan kepentingan sekolah, dan karakteristik penelitian. Karenanya pemilihan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Penelitian kuasi memiliki dua rancangan penelitian (Setyosari, 2012) yaitu: (1) kelompok berhubungan (intact group comparison) dan (2) rancangan kelompok kontrol yang tak sama (non-equivalent control group design). Peneliti menggunakan rancangan penelitian intact group comparison yang disebut juga static group comparison dengan ilustrasi rancangan berikut. X O kelompok eksperimen dengan strategi pembelajaran MEAs (E). --------- O kelompok kontrol dengan pembelajaran konvensional (V). Penjelasan: O adalah tes kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan skala disposisi matematik. X adalah model pembelajaran MEAs. B. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi target penelitian ini adalah siswa SMP di dua sekolah yang dipilih secara purposive sampling dan yang mewakili kelompok sekolah atas dan sekolah menengah yang ditentukan berdasarkan rekomendasi Kantor Diknas Kota Depok. Ketersediaan populasi berbentuk unit-unit tidak memungkinkan pemilihan sampel secara acak (Setyosari, 2012). Pemilihan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu sebanyak 122 siswa yang berasal dari 4 kelas dari dua sekolah.

41670.pdf 75 Penetapan dua kelas terpilih sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lainnya sebagai kelas kontrol dilakukan oleh Kepala dan Wakil Kepala Sekolah bersama peneliti dengan mempertimbangkan jadwal di kedua sekolah. Pelaksanaan penelitian di kedua sekolah dilakukan langsung oleh peneliti, sehingga penetapan kelas penelitian disesuaikan dengan pengaturan jadwal pelajaran yang tidak saling berbenturan antara kelas penelitian dan kontrol di dua sekolah. Sampel penelitian mendapat perlakuan dan uji dengan memperhatikan variabel penelitian. Ada tiga variabel yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol. Variabel bebas penelitian mencakup pembelajaran MEAs (E) untuk kelas eksperimen. Sedangkan variable kontrol adalah pembelajaran konvensional (V) untuk kelas kontrol. Variabel terikat adalah kemampuan pemecahan masalah (P), komunikasi (K) yang akan dikembangkan dalam proses dan diukur diakhir proses pembelajaran bersamaan dengan disposisi (D) matematik. Penelitian ini juga menyertakan variabel antara untuk memperoleh analisis hasil penelitian yang lebih luas dan dalam. Variabel antara mencakup pengetahuan awal matematika siswa dan level sekolah. Peringkat/level sekolah adalah peringkat suatu sekolah SMP diantara sekolah-sekolah SMP lainnya sesuai pemeringkatan akreditasi yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah. Sekolah dengan akreditasi A berada pada peringkat atas, sekolah dengan akreditasi B di peringkat menengah, dan sekolah dengan akreditasi C di peringkat bawah. Salah satu kriteria BAN-S/M dalam menilai sekolah adalah standar kompetensi siswa (BAN-S/M, 2009) dan sudah selayaknya sekolah dengan akreditasi A dan B menerima siswa dengan nilai Ujian Nasional (yang salah satunya menguji mata pelajaran matematik) di atas passing grade yang ditetapkan oleh sekolah berakreditasi C. Dengan demikian kemampuan matematik siswa disekolah dengan akreditasi A dan B diasumsikan lebih memadai bila dibandingkan siswa di sekolah dengan akreditasi C. Pertimbangan tersebut sebagai alasan bagi penelitian ini untuk hanya melibatkan sekolah berakreditasi A yang dikategorikan sebagai sekolah level atas dan sekolah berakreditasi B dikategorikan sebagai sekolah level menengah.

41670.pdf 76 Proses pembelajaran di kelas eksperimen dirancang untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik siswa yang menurut Sumarmo (2008) dikategorikan sebagai kemampuan matematik berfikir tingkat tinggi (high-order mathematical thinking). Siswa dilibatkan dalam kegiatan berfikir matematik dengan kedalaman atau kekompleksan yang memerlukan kemampuan matematik memadai. Oleh karenanya penelitian ini akan menganalisis kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi dan disposisi matematik siswa dengan memperhatikan pengelompokkan siswa berdasarkan pengetahuan awal matematiknya. Pengetahuan awal matematik (PAM) siswa adalah pengetahuan matematika siswa yang diukur melalui tes, dan hasil ukurnya digunakan sebagai kriteria dalam menentukan dimana posisi pengetahuan awal matematika seorang siswa dikelas yaitu apakah termasuk dalam kelompok siswa berpengetahuan matematika tinggi, sedang atau rendah. Peranan pengetahuan awal siswa memperkecil konflik pengetahuan dan intuisi siswa yang kadang muncul saat mempelajari konsep baru (Bransford, et al., 2000 dalam Lesh, et al., 2000). Siswa-siswa dalam kelas eksperimen dan kontrol masing-masing dikelompokkan berdasarkan hasil tes PAM dengan kriteria sebagai berikut. Tabel 3.1. Kriteria Kategori Pengetahuan Awal Matematik Skor Pengetahuan Awal Matematik Siswa (PAM) Kategori Siswa PAM 75% dari skor maks Tinggi (T) 55% dari skor maks < PAM < 75% dari skor maks Sedang (S) PAM 55% dari skor maks Rendah (R) Setelah pembelajaran berakhir, kedua kelompok diberikan tes yang sama yaitu tes kemampuan pemecahan masalah, tes kemampuan komunikasi, dan disposisi matematik. Mengingat kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik adalah kemampuan yang baru akan dapat dikuasai siswa setelah melalui suatu proses pembelajaran, maka dalam penelitian ini, peneliti mempertimbangkan bahwa pemberian tes di awal pembelajaran (pre-test) tidak diperlukan.

41670.pdf 77 Asosiasi antara variabel bebas, variabel terikat dan variabel kontrol dipresentasikan dalam Tabel 3.2. Level Sekolah Atas Meneng ah Total Tabel 3.2. Rancangan Faktorial Asosiasi antar Variabel Penelitian MEAS Konvensional PAM Pemecahan Komunikasi Disposisi Pemecahan Komunikasi Disposisi Masalah (P) (K) (D) Masalah (P) (K) (D) T (tinggi) PATE KATE DATE PATV KATV DAT S (sedang) PASE KASE DASE PASV KASV DAS R (rendah) PARE KARE DARE PARV KARV DAR Sub Total PAE KAE DAE PAV KAV DA T (tinggi) PMTE KMTE DMTE PMTV KMTV DMT S (sedang) PMSE KMSE DMSE PMSV KMSV DMS R (rendah) PMRE KMRE DMRE PMRV KMRV DMR Sub Total PME KMAE DME PMV KMV DM T (tinggi) PET KET DET PVT KVT DT S (sedang) PES KES DES PVS KVS DS R (rendah) PER KER DER PVR KVR DR Total PE KE DE PV KV DV Penjelasan tabel (contoh): KONV : Pembelajaran Konvensional. PATE : Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa dengan kategori PAM tinggi dari sekolah level atas yang memperoleh pembelajaran MEAs. PATV : Kemampuan pemecahan masalah matematik dengan kategori PAM tinggi dari sekolah level atas yang memperoleh pembelajaran konvensional. KMSE : Kemampuan komunikasi matematik siswa kategori PAM sedang dari sekolah level menengah yang memperoleh pembelajaran MEAs. PMR : Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa dengan kategori PAM rendah pada level sekolah menengah. KMR : Kemampuan komunikasi matematik siswa kategori PAM rendah dari sekolah level menengah. KONV : Pembelajaran Konvensional.

41670.pdf 78 DATE : Disposisi matematik siswa dengan kategori PAM tinggi dari sekolah level atas yang memperoleh pembelajaran MEAs. DATV : Disposisi matematik dengan kategori PAM tinggi dari sekolah level atas yang memperoleh pembelajaran konvensional. DMSE : Disposisi matematik siswa kategori PAM sedang dari sekolah level menengah yang memperoleh pembelajaran MEAs. DMR : Disposisi matematik siswa dengan kategori PAM rendah pada level sekolah menengah. C. Definisi Operasional Penelitian ini akan melibatkan variabel bebas yaitu pembelajaran yang akan dicobakan pada siswa SMP; variabel terikat yaitu kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan disposisi matematik siswa; dan variabel antara yaitu pengetahuan awal matematik dan peringkat/level sekolah (atas dan menengah). Agar istilah-istilah yang terdapat pada rumusan masalah memiliki penafsiran yang sama maka perlu dijelaskan definisi operasional dari setiap variabel. Variabel bebas: Strategi pembelajaran MEAs Strategi pembelajaran MEAs adalah strategi pembelajaran yang memuat enam prinsip pembelajaran (yaitu: reality, modeling, prototype-model, selfassessment, sharing, documentation) dan dengan kegiatan memunculkan dan menguji model matematika. Variabel terikat 1: Kemampuan komunikasi matematik Kemampuan komunikasi matematik siswa secara tertulis yang mencakup kemampuan: menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematika; menghasilkan dan menggunakan representasi untuk merekam dan mengkomunikasikan ide-ide matematika; memilih, menterjemahkan representasirepresentasi matematika untuk menyelesaikan masalah; menggunakan representasi matematika untuk memodelkan dan menginterpretasikan fenomenafenomena matematika dan bidang lainnya.

41670.pdf 79 Variabel terikat 2: Kemampuan pemecahan masalah matematik Kemampuan dalam memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami permasalahan matematik, kemampuan merencanakan pemecahan masalah dengan menyajikan permasalahan kedalam model matematik dan menentukan konsep lain yang dipakai dalam memecahkan masalah, kemampuan memecahkan masalah. Variabel terikat 3: Disposisi matematik Disposisi matematik siswa terhadap dirinya saat berinteraksi dengan matematika yang meliputi: rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan orang lain. Variabel antara (intervening): Pengetahuan awal siswa dan level sekolah Pengetahuan awal matematik (PAM) siswa adalah pengetahuan matematik yang harus telah dipelajari siswa SMP kelas VIII, meliputi konsep: bilangan, geometri, fungsi, bentuk Aljabar, statistika, persamaan linear, dan perbandingan. Peringkat/level sekolah adalah peringkat suatu sekolah SMP sesuai pemeringkatan akreditasi yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah. Sekolah dengan akreditasi A berada pada peringkat atas, sekolah dengan akreditasi B di peringkat menengah, dan sekolah dengan akreditasi C di peringkat bawah. D. Pengembangan Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Perolehan data dalam penelitian ini menggunakan empat instrumen yaitu; (1) tes pengetahuan awal matematik, (2) tes kemampuan pemecahan masalah matematik, (3) tes kemampuan komunikasi matematik, dan (4) disposisi matematik. Instrumen 1 diujikan di awal penelitian, sedangkan instrumen 2, 3 dan 4 diujikan setelah proses pembelajaran. Setelah instrumen disetujui oleh tim pembimbing disertasi, untuk mengetahui kesahihan instrumen dengan materi yang akan ditanyakan, sebelum diujicoba dan diujikan diakhir proses penelitian, penelitian ini melakukan uji validitas isi.

41670.pdf 80 Validasi isi terhadap RPP dilakukan untuk melihat kesesuaian materi RPP dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar dengan pokok bahasan persamaan linier dua variabel, kesesuaian prosedur pembelajaran dalam RPP dengan materi dan waktu, kesesuaian muatan materi pembelajaran dalam RPP dengan tingkat perkembangan siswa, kesesuaian prosedur dan materi pembelajaran dalam RPP dengan strategi MEAs, dan kesesuaian prosedur dan materi pembelajaran dalam RPP dengan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik. Validasi isi terhadap LKS dilakukan untuk melihat kesesuaian materi LKS dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar dengan pokok bahasan persamaan linier dua variabel, kesesuaian prosedur dalam LKS dengan materi dan waktu, kesesuaian muatan materi dalam LKS dengan tingkat perkembangan siswa, kesesuaian prosedur dan materi LKS dengan strategi MEAs, kesesuaian prosedur dan materi LKS dengan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik. Validasi isi terhadap Instrumen Tes dilakukan untuk melihat kesesuaian materi soal dengan kisi-kisi, kesesuaian konstruksi soal dengan kemampuan yang ingin diukur, kesesuaian tata bahasa dengan pemahaman siswa, kesesuaian data/gambar pada soal dengan pertanyaan, tingkat kesukaran soal, dan kesesuaian waktu dengan bobot soal. Uji validitas isi terhadap instrumen dilakukan oleh dosen pendidikan matematika yang sedang menempuh pendidikan doktor pendidikan matematika di UPI dan guru matematika SMP dengan hasil pada Lampiran C. Setiap validator memberikan penilaian terhadap instrumen dan bahan ajar dengan criteria penilaian: nilai 4 (empat) untuk penilain sangat baik, nilai 3 (tiga) untuk penilaian baik, nilai 2 (dua) untuk penilaian cukup dan nilai 1 (satu) untuk penilaian kurang. Keterlibatan guru matematika SMP untuk memvalidasi isi diperlukan berdasarkan pertimbangan bahwa guru-guru matematika (Ruseffendi, 2005) adalah penilai yang paling menguasai pelajaran matematika sekolah. Saran perbaikan dari validator menjadi pedoman perbaikan terhadap instrument penelitian. Instrumen penelitian hasil perbaikan selanjutnya digunakan dalam uji coba. Hasil yang

41670.pdf 81 diperoleh dari uji coba digunakan memperbaiki instrumen penelitian, sehingga pelaksanaan penelitian menggunakan instrumen yang telah diperbaiki berdasarkan hasil validasi dan uji coba. Uji coba instrumen dilakukan, selain untuk menggali informasi tentang karakteristik instrumen yang mencakup reliabilitas instrumen, validitas butir instrumen, tingkat kesukaran dan daya pembeda,. Reliabilitas tes bermanfaat untuk mengetahui tingkat keterandalan dari sebuah perangkat tes sehingga dapat dipercaya atau menghasilkan suatu hasil peniliaian yang bersifat tetap/ajeg. Tes kemampuan pemecahan masalah dan tes kemampuan komunikasi matematik berbentuk tes uraian, reliabilitasnya diukur dengan menggunakan rumus Cronbach Alpha. Begitu pula instrumen disposisi matematik terhadap pembelajaran, yang memiliki jawaban bervariasi seperti skala sikap, penghitungannya juga menggunakan rumus Cronbach Alpha (Ruseffendi, 2005) yaitu ( ) ( ) (Uyanto, 2009) dengan keterangan: r = koefisien reliabilitas n = jumlah butir item, = jumlah varians skor tiap-tiap item, dan = varians total. Tes pengetahuan awal matematik memiliki soal dengan jawaban berbentuk pilihan ganda dan reliabilitasnya (Ruseffendi, 2005) diukur dengan menggunakan rumus Kuder-Richardson (KR20). * + (Ruseffendi, 2005) Keterangan: r = koefisien reliabilitas, k = jumlah butir soal, pq = jumlah varian butir, dan = varian skor tes total.

41670.pdf 82 Guilford (Ruseffendi, 2005) menetapkan kriteria kategori koefisien reliabilitas seperti pada Tabel 3.3. Tabel 3.3. Kategori Koefisien Reliabilitas Koefisien Reliabilitas (r) Kategori r 0,20 Sangat Rendah 0,20 < r 0,40 Rendah 0,40 < r 0,70 Sedang 0,70 < r 0,90 Tinggi 0,90 < r 1,00 Sangat Tinggi Validitas per butir soal ditunjukkan oleh besarnya koefisien korelasi (Azwar, 2008) antara skor per butir soal dengan skor total secara keseluruhan. Koefisien korelasi Pearson Product Moment (Uyanto, 2009) dapat digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan linier skor per butir soal dan skor total, yaitu konsistensi antara skor per butir soal dan skor total secara keseluruhan. Masingmasing butir soal dikategorikan valid (Uyanto, 2009) jika koefisien Pearson Product Moment hasil perhitungan atau dilambangkan r hitung lebih besar dari r tabel = r (0,05;n-2). Analisis statistik korelasi antara skor setiap butir soal dengan skor total berpedoman pada hipotesis (Uyanto, 2009) dengan rumusan: H o : H 1 :, tidak ada korelasi antara skor setiap butir soal dengan total, ada korelasi antara skor setiap butir soal dengan total ρ adalah parameter korelasi Pearson Product Moment antara skor setiap butir soal dan skor total secara keseluruhan yang diperoleh dari rumus:, ( ) -, ( ) - (Uyanto, 2009) Pengujian hipotesis untuk mengetahui signifikansi korelasi Pearson Product Moment (Uyanto, 2009) menggunakan uji statistik: ( ) ( )

41670.pdf 83 dengan derajat kebebasan = n - 2. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan SPSS dan pengujian hipotesis berdasarkan taraf signifikansi α = 0,05 dan kriteria sebagai berikut: Jika P-value < α, maka H o ditolak. Jika P-value α, maka H o tidak dapat ditolak. Karakteristik lain yang diperoleh dari hasil uji coba adalah tingkat kesukaran dan daya pembeda. Tingkat kesukaran didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah peserta yang menjawab benar dengan jumlah peserta tes (Arikunto, 2005), dan dinyatakan oleh rumus: (Karnoto, 1996) dengan IK adalah indeks tingkat kesukaran butir soal bentuk uraian; jumlah skor kelompok atas; adalah jumlah skor ideal kelompok atas dan kelompok bawah. adalah adalah adalah jumlah skor kelompok bawah; dan adalah jumlah skor ideal Bilangan yang menunjukkan sukar mudahnya suatu soal (Arikunto, 2005) dan berada pada rentang antara 0 dan 1 disebut indeks kesukaran. Kriteria penetapan tingkat kesukaran selengkapnya terlihat pada Tabel 3.4. Tabel 3.4. Kriteria Indeks Kesukaran Indeks Kesukaran (ρ) Kategori ρ < 0,30 Sukar 0,30 ρ 0,70 Sedang 0,70 < ρ Mudah Karakteristik daya pembeda suatu butir soal adalah kemampuan butir soal dalam membedakan antara kelompok siswa yang pandai dan yang lemah atau dapat juga dimaknai sebagai kesesuaian soal dengan keseluruhan soal (satu set tes) dalam membedakan antara siswa yang kemampuannya tinggi dan yang rendah (Sudijono, 2005). Rumus yang digunakan untuk menentukan daya pembeda adalah sebagai berikut.

41670.pdf 84 (Karnoto, 1996) dengan DP adalah indeks daya pembeda butir soal bentuk uraian; jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah; kelompok bawah pada butir soal yang diolah dan salah satu kelompok (atas/bawah) pada butir soal yang sedang diolah. adalah adalah jumlah skor adalah jumlah skor ideal Interval nilai daya pembeda berada diantara -1 dan +1. Nilai daya pembeda suatu soal bertanda positif menjelaskan bahwa butir soal tersebut berfungsi dengan baik dalam membedakan siswa yang pandai dan lemah, sedangkan yang bertanda negatif memberi makna sebaliknya. Kriteria penetapan daya pembeda selengkapnya terlihat pada Tabel 3.5. (Sudijono, 2005). Tabel 3.5. Kriteria Daya Pembeda Daya pembeda (b) Klasifikasi Interpretasi b 0,20 rendah Daya pembeda rendah 0,21 b 0,40 sedang Memiliki daya pembeda sedang 0,41 b 0,70 tinggi Memiliki daya pembeda tinggi 0,71 b 1,00 Sangat tinggi Memiliki daya pembeda sangat tinggi 1. Tes Pengetahuan Awal Matematik Tes pengetahuan awal matematik menguji pengetahuan awal matematik siswa yang meliputi materi: bilangan, geometri, fungsi, bentuk aljabar, statistika, persamaan linear, dan perbandingan dengan kisi-kisi yang dapat dilihat pada Lampiran A.1.1. Konstruksi soal tes pengetahuan awal matematik dirancang sesuai dengan materi dan kemampuan matematik untuk siswa SMP kelas VIII dengan bentuk tes pilihan ganda. Karakteristik instrumen tes pengetahuan awal matematik yang mencakup reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda terinci dalam tabel pada Lampiran D. Data menjelaskan bahwa reliabilitas pengetahuan awal matematik berkategori tinggi dengan koefisien reliabilitas 0,709. Tingkat kesukaran dan daya pembeda butir soal menjelaskan tujuh soal memiliki tingkat kesukaran tinggi, 12 soal dengan tingkat kesukaran sedang dan satu soal dengan tingkat kesukaran rendah. Karakteristik daya pembeda yaitu sembilan14 soal dengan daya pembeda

41670.pdf 85 tinggi, enam soal dengan daya pembeda sedang. Dengan demikian tes pengetahuan awal matematik andal dalam membedakan antara siswa yang memiliki pengetahuan awal matematik yang memadai dengan yang kurang. 2. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Tes kemampuan pemecahan masalah matematik pada Lampiran A.2.2 dirancang berbentuk lima soal uraian yang menguji kemampuan siswa dalam memahami masalah, merancang penyelesaian masalah dan menyelesaikan masalah. Kisi-kisi tes kemampuan pemecahan masalah matematik dapat dilihat pada Lampiran A 2.1. Materi pada kisi-kisi yang diimplementasikan dalam soal disesuaikan mata pelajaran matematik SMP kelas VIII pada kurikulum KTSP. Penskoran tes kemampuan pemecahan masalah matematik diberikan dalam skala 10 yang merupakan modifikasi dari Scale for Problem Solving (Szetela etc., 1992) dalam Mathematical Problem Solving Chicago Rubric Scale seperti pada Tabel 3.6. Skor Tabel 3.6. Pedoman Penskoran Butir Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Skala I Skala II Skala III Memahami Merencanakan Menyelesaikan 0 Tidak ada upaya Tidak ada upaya Tidak ada penyelesaian 1 Sepenuhnya salah menginterpretasi masalah Rencana penyelesaian tidak sesuai Komputasi, sebagian besar penyelesaian dan jawabannya salah 2 Salah menginterpretasi Sebagian prosedur benar Penyelesaian benar, sebagian besar masalah dengan kesalahan besar jawaban benar 3 Salah menginterpretasi Secara substansial prosedur sebagian kecil masalah benar dengan kesalahan kecil 4 Pemahaman masalah Rencana penyelesaian benar lengkap tanpa kesalahan aritmatika Maks 4 4 2 Sumber: http://web.njit.edu/~ronkowit/teaching/rubrics/samples/math_probsolv_chicago.pdf a. Hasil Analisis Karakteristik Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Instrumen tes kemampuan pemecahan masalah matematik hasil validasi isi diujicobakan pada siswa kelas IX dan dilakukan penskoran untuk analisis

41670.pdf 86 reliabilitas. Reliabilitas instrumen tes pemecahan masalah matematik memberikan nilai Cronbach's Alpha seperti pada Tabel 3.7. Tabel 3.7. Uji Reliabilitas Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Reliability Statistics Cronbach's Alpha Cronbach's Alpha Based on Standardized Items N of Items 0,501 0,595 5 Nilai Cronbach's Alpha yang sebesar 0,501 menjelaskan bahwa tes kemampuan pemecahan masalah matematik memiliki koefisien reliabilitas untuk kategori sedang. Kesimpulannya adalah instrumen tes kemampuan pemecahan masalah matematik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan alat evaluasi yang cukup andal atau memiliki ketetapan dalam mengukur kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP kelas VIII. Analisis validitas butir soal instrumen tes kemampuan pemecahan matematik dilakukan dengan uji korelasi Pearson Product Moment yang terangkum dalam Tabel 3.8. Tabel 3.8 Uji Validitas Butir Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Soal Validitas Butir Koefisien Korelasi Sig. H o Kategori 1 0,492 0,002 tolak Valid 2 0,546 0,000 tolak Valid 3 0,790 0,000 tolak Valid 4 0,544 0,000 tolak Valid 5 0,687 0,000 tolak Valid Pada Tabel 3.8 terlihat bahwa nilai Sig. dari lima soal tes kemampuan pemecahan masalah matematik menunjukkan nilai yang lebih kecil dari α = 0,05 sehingga memenuhi persyaratan statistik untuk menolak H o dengan makna ada korelasi atau hubungan linier yang signifikan antara skor setiap butir soal dengan skor total. Dengan demikian kelima butir soal memiliki konsistensi antara skor per butir soal dan skor total secara keseluruhan atau disebut juga valid.

41670.pdf 87 Hasil analisis tingkat kesukaran dan daya pembeda untuk instrumen tes kemampuan pemecahan masalah matematik memberikan hasil sebagai berikut. Tabel 3.9. Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda Butir Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Soal Tingkat Kesukaran Daya Pembeda Nilai Kategori Nilai Kategori 1 0,920 mudah 0,100 rendah 2 0,700 sedang 0,410 tinggi 3 0,115 sukar 0,230 sedang 4 0,635 sedang 0,250 sedang 5 0,840 mudah 0,240 sedang Pada Tabel 3.9 terlihat bahwa tes kemampuan pemecahan masalah matematik memiliki dua soal mudah, dua soal cukup sukar dan satu soal sukar. Sedangkan daya pembeda masing-masing soal adalah satu soal berdaya pembeda tinggi, satu soal berdaya pembeda sedang dan tiga soal berdaya pembeda rendah. 3. Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Tes kemampuan komunikasi matematik pada Lampiran A.3.2 memuat lima soal uraian yang menguji kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa matematik secara tertulis yang mencakup: istilah, simbol, tanda dan/atau representasi untuk menggambarkan operasi, konsep, dan proses penyelesaian masalah matematik. Tes kemampuan komunikasi matematik dikembangkan berdasarkan kisi-kisi yang dapat dilihat pada Lampiran A.3.1. Penskoran tes kemampuan komunikasi matematik diberikan dalam skala nol sampai dengan empat yang merupakan modifikasi dari Maryland Math Communication Rubric dari Maryland State Department of Education seperti pada Tabel 3.10.

41670.pdf 88 Tabel 3.10. Pedoman Penskoran Butir Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Skor Kemampuan Komunikasi 0 Kosong, atau jawaban tidak cukup untuk mendapat skor 1 Jawaban tidak benar, upaya yang dibuat tidak benar Penggunaan bahasa matematik (istilah, simbol, tanda dan / atau 2 representasi) yang minimal efektif dan akurat, untuk menggambarkan operasi, konsep, dan proses Penggunaan bahasa matematik (istilah, simbol, tanda, dan / atau 3 representasi) yang sebagian efektif, akurat, dan menyeluruh untuk menggambarkan operasi, konsep dan proses. Penggunaan bahasa matematik (istilah, simbol, tanda, dan / atau 4 representasi) yang sangat efektif, akurat, dan menyeluruh, untuk menggambarkan operasi, konsep, dan proses. Sumber: http://web.njit.edu/~ronkowit/teaching/rubrics/samples/math_probsolv_chicago.pdf a. Hasil Analisis Karakteristik Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Hasil uji reliabilitas tes kemampuan komunikasi matematik dengan Cronbach Alpha direpresentasikan oleh koefisien sebesar 0,410 yang menjelaskan bahwa reliabilitasnya sedang. Tabel 3.11. Uji Reliabilitas Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Cronbach's Alpha Cronbach's Alpha Based on Standardized Items N of Items 0,410 0,468 6 Dengan demikian, tes kemampuan komunikasi matematik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan alat evaluasi yang cukup andal atau memiliki ketetapan dalam mengukur kemampuan komunikasi matematik siswa SMP kelas VIII. Analisis validitas butir soal instrumen tes kemampuan komunikasi matematik dilakukan dengan uji korelasi Pearson Product Moment tersaji dalam Tabel 3.12.

41670.pdf 89 Tabel 3.12. Uji Validitas Butir Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Soal Validitas Butir Koefisien Korelasi Sig. H o Kategori 1 0,416 0,010 tolak Valid 2 0,617 0,000 tolak Valid 3 0,396 0,015 tolak Valid 4 0,601 0,000 tolak Valid 5 0,692 0,000 tolak Valid Pada Tabel 3.12 terlihat bahwa nilai Sig. dari lima soal tes kemampuan komunikasi matematik menunjukkan nilai yang lebih kecil dari α = 0,05. Nilai Sig. dari kelima soal memenuhi persyaratan statistik untuk menolak H o dengan makna ada korelasi atau hubungan linier yang signifikan antara skor setiap butir soal tes kemampuan komunikasi matematik dengan skor total. Dengan demikian kelima butir soal adalah valid yaitu memiliki konsistensi antara skor per butir soal dan skor total secara keseluruhan. Hasil analisis tingkat kesukaran dan daya pembeda untuk instrumen tes kemampuan komunikasi matematik memberikan hasil sebagai berikut. Tabel 3.13. Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda Butir Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Soal Tingkat Kesukaran Daya Pembeda Nilai Kategori Nilai Kategori 1 0,875 mudah 0,200 rendah 2 0,413 sedang 0,675 tinggi 3 0,188 sukar 0,125 rendah 4 0,588 sedang 0,375 sedang 5 0,325 sukar 0,650 tinggi Pada Tabel 3.13 terlihat bahwa tes kemampuan komunikasi matematik memiliki satu soal mudah, dua soal cukup sukar dan dua soal sukar. Sedangkan daya pembeda masing-masing soal adalah dua soal berdaya pembeda tinggi, satu soal berdaya pembeda sedang dan dua soal berdaya pembeda rendah..

41670.pdf 90 4. Disposisi Matematik Instrumen disposisi matematik (pada Lampiran A.4) dalam penelitian ini merupakan modifikasi skala disposisi matematik dari Utari Sumarmo (Sumarmo, 2008) yang memuat indikator: rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan perhatian serius dalam belajar matematik, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan orang lain. Reliabilitas instrumen tes disposisi matematik, yang pengukurannya menggunakan skala sikap (Ruseffendi, 2005), dianalisis dengan uji Cronbach Alpha. Karena respon siswa terhadap disposisi matematik menggunakan skala Likert (Azwar, 2008) dengan empat kategori yaitu sangat sering (SS), sering (R), jarang (J) dan sangat jarang (TP), maka data hasil uji coba tidak dapat langsung dianalisis namun terlebih dahulu harus menentukan nilai skala bagi setiap respon dari setiap butir pernyataan. Penskalaan atau penentuan nilai skala didasarkan pada distribusi frekuensi respon siswa uji coba. Penentuan nilai skala dalam penelitian ini menggunakan deviasi normal (Azwar, 2008) untuk memberikan bobot tertinggi bagi kategori jawaban yang paling favorabel dan memberikan bobot rendah bagi kategori jawaban yang tidak favorabel. Nilai skala menjadi bobot atau skor bagi jawaban siswa yang akan diukur sikapnya. Prosedur penskalaan menggunakan rumus yang digunakan oleh Azwar (2008) dengan tahapan: (i) memberikan tanda (+) untuk pernyataan yang favorabel dengan implikasi bahwa jawaban TP diletakkan di sisi paling kiri karena akan diberi bobot paling rendah, dan SS di sisi paling kanan karena harus mendapat bobot paling tinggi; (ii) untuk setiap pernyataan, frekuensi seluruh jawaban siswa didistribusikan bagi setiap kategori respon; (iii) menghitung proporsi setiap kategori respon dengan rumus yaitu membagi frekuensinya dengan banyaknya seluruh siswa; (iv) menghitung proporsi kumulatif setiap kategori respon dengan menambah proporsi setiap kategori respon dengan semua proporsi kategori respon di sebelah kirinya; (v) menentukan

41670.pdf 91 titik tengah proporsi kumulatif (pk-tengah) dengan rumus yaitu menambahkan setengah proporsi dari kategori respon yang bersangkutan (p) dengan proporsi kumulatif dari kategori respon di sebelah kirinya ( ) ; (vi) menentukan nilai z setiap kategori respon dengan melihat harga z bagi setiap pk-tengah pada tabel deviasi normal; (vii) mentransformasi nilai z sehingga kategori respon yang nilainya paling kecil menjadi bernilai satu dengan transformer ( ) yaitu menambahkan harga mutlak z pada nilai z dari kategori respon yang nilainya paling kecil dan semua harga z dari kategori respon lainnya; (viii) melakukan pembulatan terhadap semua harga z, dan pembulatan bersifat optional dengan tujuan penyederhanaan perhitungan, namun dalam penelitian ini tidak dilakukan pembulatan untuk keakuratan data. Proses penghitungan dalam prosedur penskalaan menggunakan excel yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran D. Prosedur penghitungan penentuan skala untuk pernyataan yang favorabel dan yang tidak favorabel diawali dengan memperhatikan sebaran respon siswa dari setiap pernyataan. Tabel 3.14. Distribusi Respon Siswa terhadap Skala Disposisi Matematik untuk Pernyataan Favorabel (+) dan Tidak Favorabel (-) Pernyataan Banyak Siswa yang Memilih Kategori (f) Jumlah Nomor Favorabel TP J R SS (N) 36 (-) 22 12 4 1 39 42 (+) 0 7 12 20 39 Pada Tabel 3.16 terlihat bahwa respon siswa pada pernyataan yang favorabel yaitu pernyataan nomor 42 (+) tersebar dengan pola sebanyak nol siswa menjawab sangat jarang (TP) dan 20 siswa menjawab sangat sering (SS). Tahapan berikutnya adalah penskalaan seperti pada Tabel 3.15.

41670.pdf 92 Tabel 3.15. Penghitungan pada Prosedur Penskoran Skala Disposisi Matematik untuk Pernyataan (+)/Favorabel Nomor 42 Hasil Penghitungan Respon Siswa pada Kategori TP J R SS Frekuensi (f) 0 7 12 20 Proporsi : ( ) 0 0,179 0,308 0,513 Proporsi Kumulatif (pk) 0,000 0,179 0,487 1,000 pk-tengah (pk-t) 0 0.09 0,333 0,744 z tabel -3,09-1,34-0,43 0,656 z tertransformasi ( ) 0 1,749 2,658 3,746 z tertransformasi + 1 1 2,749 3,658 4,746 Skor Skala Respon 1 3 4 5 Tabel 3.16. Penghitungan pada Prosedur Penskoran Skala Disposisi Matematik untuk Pernyataan (-)/ Tidak Favorabel Nomor 36 Respon Siswa pada Kategori Hasil Penghitungan SS R J TP Frekuensi (f) 1 4 12 22 Proporsi : ( ) 0,0256 0,103 0,3077 0,564 Proporsi Kumulatif (pk) 0,026 0,128 0,436 1,000 pk-tengah (pk-t) 0.0128 0,077 0,2821 0,718 z tabel -2,226-1,43-0,577 0,577 z tertransformasi ( ) 0 0,8 1,649 2,803 z tertransformasi + 1 1 1,8 2,649 3,803 Skor Skala Respon 1 2 3 4 Hasil transformasi terhadap z memberikan nol untuk skala respon terkecil dan bilangan berbentuk decimal untuk skala respon lainnya. Namun dalam penelitian ini menggunakan skala renspon terkecil dengan bilangan satu, oleh karenanya setiap z tertransformasi ditambahkan dengan satu. Sedangkan skala respon lainnya menggunakan bilangan bulat disesuaikan dengan hasil perhitungan penskalaan. Penskalaan pada pernyataan nomor 42 memberikan skor untuk kategori respon sangat jarang (TP) dengan bilangan 1 (satu) dan untuk kategori respon sangat sering (SS) dengan bilangan 5 (lima). Penskalaan pada pernyataan nomor 36 memberikan skor untuk kategori respon sangat sering (SS) dengan bilangan 1 (satu) dan untuk kategori respon sangat jarang (TP) dengan bilangan 4 (empat).

41670.pdf 93 Secara keseluruhan penskalaan memberikan hasil nilai skala pada kategori respon disposisi matematik yang berada pada rentang antara 1 (satu) sampai dengan 6 (enam). Nilai skala bagi setiap respon digunakan untuk analisis reliabilitas instrumen dan validitas setiap butir pernyataan. Rangkuman hasil perhitungan reliabilitas instrumen disposisi matematik tersaji pada Tabel 3.17. Tabel 3.17. Ukuran Statistik dan Reliabilitas Instrumen Disposisi Matematik Siswa Keterangan Ukuran Statistik Banyak Siswa 39 Rerata 158,2238 (skor tertinggi hasil uji coba adalah 242) Simpangan baku 15,71409 Koefisien Reliabilitas 0,899 (reliabilitas tinggi) Analisis reliabilitas instrumen tes disposisi matematik siswa berdasarkan hasil uji coba memberikan koefisien reliabilitas diatas 0,70. Hal ini menjelaskan bahwa instrumen memiliki kategori reliabilitas yang tinggi sehingga andal untuk mengukur disposisi matematik siswa. Perhitungan nilai skala sikap dan reliabilitas untuk instrumen disposisi matematik selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran D. Analisis butir pernyataan pada instrumen disposisi matematik memberikan hasil bahwa ada sembilan butir yang tidak valid karena memberikan r hitung yang lebih kecil dari r (0,05;37) = 0,304 (Uyanto, 2009), sedangkan sisanya sebanyak 40 butir adalah valid. Butir-butir pernyataan yang tidak valid tidak digunakan untuk mengukur skala sikap siswa dalam penelitian. E. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Pembelajaran dalam penelitian ini menggunakan dua perangkat pembelajaran yaitu: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS). Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS) dirancang untuk melatih siswa dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik dengan strategi MEAs dan

41670.pdf 94 konvensional pada pokok bahasan persamaan linier dua variabel dan teorema pythagoras. 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dan Lembar Kerja Siswa Perangkat pembelajaran RPP pada penelitian ini digunakan sebagai pedoman guru yang diperankan sendiri oleh peneliti untuk melaksanakan pembelajaran. Urutan kegiatan pembelajaran dalam RPP mengikuti prosedur pembelajaran MEAs yang mengaktifkan siswa mengembangkan kemampuannya dalam memodelkan permasalahan matematik. Siswa terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran membuat model matematik dari permasalahan yang diberikan dengan menggunakan sumber belajar LKS. Sebagai sumber belajar siswa dalam penelitian ini, LKS memuat masalah kontekstual yang dilengkapi dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengantarkan siswa melatih kemampuannya dalam mengembangkan model matematik. RPP dan LKS sebelum digunakan dalam penelitian, keduanya terlebih dahulu divalidasi isinya dan diujicobakan di sekolah lain. Validasi isi mencakup aspek: (i) kesesuaian materi dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada kurikulum matematika SMP kelas VIII; (ii) kesesuaian prosedur pembelajaran dengan materi dan waktu; (iii) kesesuaian muatan materi pembelajaran dengan tingkat perkembangan siswa; (iv) kesesuaian prosedur dan materi pembelajaran dengan strategi MEAs; (v) kesesuaian prosedur dan materi pembelajaran dengan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik. 2. Lembar Observasi Kegiatan Pembelajaran Penelitian ini melibatkan guru matematika untuk mengamati pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan berpedoman pada Lembar Observasi Kegiatan Pembelajaran seperti pada Lampiran A.5. dengan tujuan untuk melihat kesesuaian pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti sebagai guru dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.

41670.pdf 95 F. Teknik Analisis Data Penelitian ini menghasilkan data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif mencakup jawaban siswa terhadap tes kemampuan pemecahan masalah matematik, tes kemampuan komunikasi matematik dan respon siswa terhadap skala disposisi matematik. Data kualitatif meliputi hasil observasi terhadap aktifitas guru yang dihimpun oleh guru pemantau. Data kuantitatif dianalisis secara statistik dengan bantuan program MS Excel for Windows 2003 dan SPSS 16.0. Data kuantitatif respon terhadap instrumen dianalisis melalui tahapan berikut. 1. Analisis data uji coba Tahap pertama, memberi skor pada pekerjaan siswa. Menghitung skor yang diperoleh setiap siswa berdasarkan respon siswa terhadap instrumen. Tahap kedua, menguji persyaratan yang diperlukan sebagai syarat pengujian hipotesis untuk data yang di analisis secara statistik parametrik, yaitu persyaratan kenormalan data dan kehomogenan ragam data. Tahap ketiga, menguji hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini. Secara umum, analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi uji beda rerata yaitu dengan uji-t sampel independen, uji Anova satu jalur, uji Kruskal-Wallis, uji Mann-Whitney, dan analisis korelasi. Kelengkapan analisis data kuantitatif dan jawaban atas permasalahan yang diharapkan terjawab melalui penelitian ini didukung oleh analisis data kualitatif secara deskriptif. 2. Analisis Data Hasil Penelitian Analisis data hasil penelitian memperhatikan asosiasi antara permasalahan, hipotesis, kelompok data dan penggunaan uji hipotesis yang terangkum pada Tabel 3.18.

41670.pdf 96 Tabel 3.18. Keterkaitan antara Permasalahan, Hipotesis dan Kelompok Data Masalah Hipotesis Nomor Analisis Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa - Deskriptif P Apakah kemampuan pemecahan masalah matematik antara siswa dengan pembelajaran Uji beda 1 MEAs lebih tinggi dari konvensional pada data rerata gabungan Apakah kemampuan pemecahan masalah matematik antara siswa dengan pembelajaran MEAs lebih tinggi dari konvensional di sekolah level atas Apakah kemampuan pemecahan masalah matematik antara siswa dengan pembelajaran MEAs lebih tinggi dari konvensional di sekolah level menengah Adakah pengaruh interaksi antara pembelajaran dan level sekolah terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa Adakah pengaruh interaksi antara pembelajaran dan pengetahuan awal matematik terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa 2 3 4 5 Uji beda rerata Uji beda rerata Uji ANOVA Dua Jalur Uji ANOVA Dua Jalur Kelompok Data PAE,PAV, PME, PMV PAE, PAV PE, PV PAE, PME, PAV,PMV PTE, PTV, PSE,PSV, PRE,PRV Kemampuan komunikasi matematik siswa - Deskriptif K Apakah kemampuan komunikasi matematik antara Uji beda siswa dengan pembelajaran MEAs lebih tinggi dari 6 rerata konvensional pada data gabungan Apakah kemampuan komunikasi matematik antara siswa dengan pembelajaran MEAs lebih tinggi dari konvensional di sekolah level atas Apakah kemampuan komunikasi matematik antara siswa dengan pembelajaran MEAs lebih tinggi dari konvensional di sekolah level menengah Adakah pengaruh interaksi antara pembelajaran dan level sekolah terhadap kemampuan komunikasi matematiksiswa Adakah pengaruh interaksi antara pembelajaran dan pengetahuan awal matematik terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa 7 8 9 10 Uji beda rerata Uji beda rerata Uji ANOVA Dua Jalur Uji ANOVA Dua Jalur KAE,KAV, KME,KMV KAE, KAV KE,KV KAE, KME, KAV,KMV KTE,KTV KSE,KSV, KRE,KRV Disposisi matematik siswa - Deskriptif D Apakah disposisi matematik antara siswa dengan Uji beda pembelajaran MEAs lebih tinggi dari konvensional 11 rerata pada data gabungan Apakah diposisi matematik antara siswa dengan pembelajaran MEAs lebih tinggi dari konvensional di sekolah level atas Apakah disposisi matematik antara siswa dengan pembelajaran MEAs lebih tinggi dari konvensional di sekolah level menengah 12 13 Uji beda rerata Uji beda rerata DAE,DAV, DME,DMV DAE, DAV DE, DV Adakah pengaruh simultan antara pembelajaran 14 Uji DAE,

41670.pdf 97 Masalah Hipotesis Kelompok Analisis Nomor Data dan level sekolah terhadap disposisi matematik siswa Pengaruh Simultan DME, DAV,DMV Adakah pengaruh simultan antara pembelajaran Uji DTE, DTV, dan pengetahuan awal matematik terhadap 15 Pengaruh DSE,DSV, disposisi matematik siswa Simultan DRE, RV Adakah asosiasi antara kemampuan pemecahan Uji masalah matematik dengan kemampuan 16 Asosiasi komunikasi matematik pada data gabungan P,K Adakah asosiasi antara kemampuan pemecahan Uji masalah matematik dengan disposisi matematik 17 P,D Asosiasi pada data gabungan Adakah asosiasi antara kemampuan komunikasi Uji matematik dengan disposisi matematik pada data 18 K,D Asosiasi gabungan Adakah asosiasi antara kemampuan pemecahan Uji masalah matematik dan komunikasi matematik 19 PE, KE Asosiasi siswa dengan pembelajaran MEAs Adakah asosiasi antara kemampuan pemecahan Uji masalah matematik dan disposisi matematik siswa 20 PE, DE Asosiasi dengan pembelajaran MEAs TERBUKA Ad kah asosiasi antara kemampuan komunikasi Uji matematik dan disposisi matematik siswa dengan 21 KE, DE Asosiasi pembelajaran MEAs Uji beda rerata dengan uji Kruskal-Wallis, uji-t independen, uji Mann-Whitney. Uji pengaruh simultan (interaksi) dengan uji ANOVA dua jalur. Uji asosiasi (asosiasi) dengan Pearson Chi-Square dan koefisien kontingensi. Semua uji statistik diolah dengan SPSS versi 16.0 (Kadir, 2010 dan Uyanto, 2009) Analisis statistik untuk data kuantitatif dilakukan secara bertahap sesuai algoritma. Diagram algoritma berikut menggambarkan alur analisis uji beda rerata data. UNIVERSITAS

41670.pdf 98 Uji-t independent Ya Normal Tidak Uji Mann- Whitney Ya Sampel Dua Ada Peubah Kontrol Tidak Sampel Independen Uji One Way Anova Ya Lebih dari 2 Sampel Independen Ya Normal Uji Shapiro-Wilk /Lilliefors Ya Homogenitas Uji Levene Tidak Uji Kruskal Wallis Gambar 3.1. Algoritma Analisis Statistik Uji Beda Rerata Analisis data uji asosiasi dilakukan dengan rumus: ( ) (Kadir, 2010; Uyanto, 2009; Sugiyono, 2002) dengan derajat kebebasan = banyaknya kategori 1 Keterangan: = frekuensi data hasil penelitian pada baris ke-i dan kolom ke - j = frekuensi harapan pada baris ke-i dan kolom ke - j

41670.pdf 99 = jumlah frekuensi pada baris ke- i = jumlah frekuensi pada kolom ke- j = jumlah total seluruh seluruh frekuensi r = jumlah baris c = jumlah kolom Kekuatan atau kelemahan asosiasi antara kedua kemampuan diketahui melalui besar kecilnya angka koefisien kontingensi yang diperoleh dengan rumus berikut. (Sudijono, 2011; Sugiyono, 2002) = nilai khi-kuadrat (yang diperoleh) = banyaknya sampel G. Prosedur dan Tahapan Penelitian Penelitian ini melalui tahapan sebagai berikut. a. Studi pendahuluan yaitu studi kepustakaan tentang kemampuan pemecahan masalah matematik, kemampuan komunikasi matematik, disposisi matematik, pembelajaran MEAs, dan pembelajaran konvensional. b. Pengembangan model. (i) Penyusunan produk awal atau draft produk awal dengan arahan tim pembimbing yang mencakup rancangan perencanaan pembelajaran (RPP), lembar kerja siswa (LKS, tes pengetahuan awal matematik, tes kemampuan pemecahan masalah matematik dan tes kemampuan komunikasi matematik. (ii) Selanjutnya produk awal tersebut divalidasi oleh para ahli untuk selanjutnya disempurnakan berdasarkan masukan-masukan dari para ahli. Hasil dari tahap studi pendahuluan adalah model yang siap untuk diujicoba.

41670.pdf 100 c. Uji coba lapangan terbatas Uji lapangan terbatas terhadap RPP dan LKS dilakukan pada satu kelas VIII dari satu sekolah SMP. Kegiatan ini merupakan kegiatan evaluasi proses secara kualitatif. Uji coba tes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik diuji cobakan pada siswa kelas IX, dan tidak mungkin diujikan pada siswa SMP kelas VIII yang belum mempelajari SPLDV, karena jadwal pelaksanaan pembelajaran penelitian dengan pokok bahasan persamaan linier dua variabel disesuaikan dengan silabus mata pelajaran matematik SMP kelas VIII. Hasil evaluasi pada tahap ini digunakan untuk memantapkan proses pelaksanaan penelitian. d. Penelitian Penelitian membandingkan kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan disposisi matematik antara siswa yang belajar dengan rancangan pembelajaran MEAs dan siswa dengan pembelajaran konvensional. Tahap ini dilakukan untuk mengidentifikasi keunggulan relatif dari rancangan pembelajaran yang dikembangkan dibandingkan dengan pembelajaran yang biasa diterapkan terhadap kemampuan yang ditargetkan. Rancangan pembelajaran dianggap baik apabila rancangan tersebut dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan disposisi matematik.

41670.pdf 101 Tahapan penelitian ini dapat digambarkan yang seperti terlihat pada gambar berikut. STUDI PENDAHULUAN PENGEMBANGAN Rancangan Pembelajaran Studi Pustaka Studi Lapangan Perencanaan Rancangan Pembelajaran dengan Strategi MEAs Pengembangan Rancangan Pembelajaran perbaikan Rancangan Pembelajaran Teruji dan Hasil Perbaikan Kelompok Kontrol Perlakuan Konvensional Tes Kemampuan IMPLEMENTASI Kelompok Eksperimen Uji Lapangan Terbatas Perlakuan dengan Strategi MEAs Tes Kemampuan Gambar 3.2. Tahapan Penelitian

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf

41670.pdf BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan dan berdasarkan analisis data hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. 1. Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional baik dilihat dari gabungan sekolah (level atas dan menengah), sekolah level atas maupun sekolah level menengah. Jika berdasarkan PAM untuk setiap level PAM uji signifikansi juga menginformasikan hasil yang berbeda dan siswa dengan pembelajaran MEAs lebih tinggi daripada siswa konvensional. 2. Kemampuan komunikasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi MEAs lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional baik dilihat dari gabungan sekolah (level atas dan menengah), di sekolah level atas maupun di sekolah level menengah. Jika berdasarkan PAM untuk setiap level PAM secara umum uji signifikansi juga menginformasikan hasil yang berbeda dan siswa dengan pembelajaran MEAs lebih tinggi daripada siswa konvensional pada siswa PAM sedang dan rendah, namun hasil yang sama pada siswa PAM tinggi. 3. Disposisi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi MEAs lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional baik dilihat dari gabungan sekolah (level atas dan menengah) maupun di sekolah level atas. Jika berdasarkan PAM untuk setiap level PAM uji signifikansi juga menginformasikan hasil yang berbeda dan siswa dengan pembelajaran MEAs lebih tinggi daripada siswa konvensional. 4. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan level sekolah terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. 5. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan pengetahuan awal matematik siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

41670.pdf 198 6. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan level sekolah terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa. 7. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan pengetahuan awal matematik siswa terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa. 8. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan level sekolah terhadap disposisi matematik siswa. 9. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan pengetahuan awal matematik siswa terhadap disposisi matematik siswa. 10. Tidak adanya pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan level sekolah, strategi pembelajaran dan pengetahuan awal matematik terhadap kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan disposisi matematik menjelaskan bahwa pembelajaran yang paling berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan disposisi matematik daripada pengetahuan awal matematik dan level sekolah. 11. Ada asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik siswa di sekolah level atas dan menengah yang mendapat pembelajaran MEAs. 12. Ada asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematik siswa di sekolah level atas dan menengah yang mendapat pembelajaran MEAs. 13. Ada asosiasi antara kemampuan komunikasi dan disposisi matematik siswa di sekolah level atas dan menengah yang mendapat pembelajaran MEAs. 14. Jika memperhatikan rerata hasil kemampuan pemecahan masalah perbutir soal terlihat bahwa rerata terendah terlihat pada soal nomor 5 dengan indikator siswa dapat membuat model matematik dan memecahkan masalah Pythagoras yang tidak rutin. Sedangkan hasil kemampuan komunikasi matematik perbutir soal terlihat bahwa rerata terendah pada soal nomor 3 dengan indikator membuat model matematika SPLDV dalam bentuk model grafik dan membuat soal cerita dari SPLDV yang diberikan serta menyelesaikannya.

41670.pdf 199 B. Saran Pembahasan dalam kesimpulan merekomendasikan beberapa hal yang relevan sebagai berikut. 1. Potensi pembelajaran MEAs perlu diperluas penerapannya sebagai alternatif bentuk pembelajaran dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematik, komunikasi matematik dan disposisi matematik pada berbagai level pendidikan dan siswa dengan beragam kemampuan matematik. 2. Pengembangan kemampuan pemecahan masalah matematik, komunikasi matematik, dan disposisi matematik, jika dilakukan dengan menggunakan pendekatan lain, hendaknya dikembangkan secara bersamaan. 3. Penerapan pembelajaran MEAs perlu diperluas penerapannya dalam mengembangkan kemampuan matematik lainnya dan pada berbagai level pendidikan. 4. Rancangan pembelajaran MEAs perlu memperhatikan pengetahuan awal matematik siswa dan level sekolah. Untuk siswa lemah perlu dilengkapi bahan ajar yang terstruktur sehingga membimbing siswa secara bertahap membangun pengetahuan dan kemampuan matematiknya. Untuk siswa berkemampuan tinggi perlu dilengkapi bahan ajar yang memperkuat dan memperkaya pengetahuan dan kemampuan matematik siswa tanpa membuatnya terhambat mengeksplorasi kemampuannya secara maksimal oleh bahan ajar yang terlalu terstruktur. 5. Secara umum, hasil belajar siswa pada penelitian ini belum pada taraf memuaskan. Untuk memperoleh kemanfaatan penerapan pembelajaran MEAs yang lebih tereksplorasi untuk mengembangkan kemampuan matematik perlu kajian lebih lanjut dengan rancangan dan pelaksanaan pada pokok bahasan, inovasi bahan ajar dan level lain. 6. Siswa perlu diberi latihan yang lebih memadai dalam membuat pemodelan dan memecahkan masalah pythagoras yang tidak rutin dan membuat soal cerita dari SPLDV yang diberikan serta menyelesaikannya.

41670.pdf DAFTAR PUSTAKA Ahuja, O. P. & Jahangiri, J.M. (2003). An Integrated Approach to Teaching and Learning College Mathematics. Journal of the Korea Society of Mathematical Education Series D: Research in Mathematical Education. Vol. 7, No. 1, March 2003, 11 24. [Online]. Tersedia: http://www.mathnet.or.kr/mathnet/kms_tex/980827.pdf (18 Juni 2011) Ansari, B. I. (2003). Menumbuh Kembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematika Siswa SMU melalui Strategi Think-Talk-Write. Disertasi doktor, tidak diterbitkan, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Arikunto, S. (2005). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara Aziz, Z. & Hossain, M.A. (2010). A Comparison of Cooperative Learning and Convensional Teaching on Students Achievement in Secondary Mathematics. Procedia Social and Behavioral Sciences 9 (2010) 53-62. ELSEVIER Ltd, WCLTA 2010. [Online]. Tersedia: www.sciencedirect.com (12 Desember 2012) Azwar, S. (2008). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Edisi kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Beyers, J.E.R. (2012). An Examination of the Relationship Between Prospective Teachers Dispositions and Achievement in a Mathematics Content Course for Elementary Education Majors. New Jersey: SAGE Open. [Online]. Tersedia: http://sgo.sagepub.com/content/2/4/2158244012462589(11 Pebruari 2013) Bruner, J. (1999). The Process of Education. USA: The President and Fellow of Harvard College, 25 th Printing, 1999. [Online]. Tersedia: http://judzrun-children.googlecode.com (13 Juni 2011) BSNP, (2006). Permen Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://bsnp-indonesia.org/id/?page_id=61 (22 Juni 2012) BSNP, (2006). Permen Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://bsnp-indonesia.org/id/?page_id=61 (22 Juni 2012)

41670.pdf 201 Bybee, R.W. & Sund, R.B. (1982). Piaget For Educators. Second Edition. Charles E. Merrill Publishing Co. Columbus, Ohio 43216: Bell and Howell Company. Carnes, M.T., Cardella, M.E. & Dux, H.A.D. (2010). Progression of Student Solutions over the Course of A Model Eliciting Activity (MEA). Purdue University. Washington, DC: 40 th ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference, Oktober 2010. [Online]. Tersedia: http://fie-conference.org/fie2010/papers/1597.pdf (11 Oktober 2012) Chamberlin S.A., & Moon S.M. (2005a). Model-Eliciting Activities as atool to Develop and Identify Creatively Gifted Mathematicians. The Journal of Secondary Gifted Education. (Vol. XVII, No. I, Fall 2005, pp. 37-47). Copyright 2005 Prufrock Press P.O. Box 8813, Waco,TX 76714. Chamberlin S.A., dan Moon S.M. (2005b). How Does the Problem Based Learning Approach Compare to the Model-Eliciting Activity Approach in Mathematics. [Online]. Tersedia: www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/chamberlain.pdf (10 November 2012) Clark. R. M., Shuman, L.J., Sacre, M.B., & Yildirim, T.P. (2008). Use of Model Eliciting Activities to Improve Problem Solving by Industrial Engineering Students. Proceedings of the 2008 Industrial Engineering Research Conference. J. Fowler and S. Mason, eds. Pittsburgh, USA: Department of Industrial Engineering, University of Pittsburgh. [Online]. Tersedia: http://modelsandmodeling.net/publications_files/use%20of%20model%2 0Eliciting%20Activities%20to%20Improve%20Problem%20Solving%20b y%20industrial%20engineering%20students.pdf (1 Juni 2013) Cole, M. & Wertsch, J. (1996). Beyond the individual-social antimony in discussions of Piaget and Vygotsky. Human Development, 1996:39:250-256. [Online]. Tersedia: http://people.ucsc.edu/~gwells/files/courses_folder/ed%20261%20pape rs/cole%20%26%20wertsch.pdf (1 Juni 2012) Cotton, K. H. (2008). Mathematical Communication, Conceptual Understanding, and Students' Attitudes Toward Mathematics. Oshkosh: Department of Mathematics,University of Nebraska-Lincoln. [Online]. Tersedia: http://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1011&context= mathmidactionresearch (4 Pebruari 2012) Darhim, (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalam Matematika. Disertasi Doktor pada FPMIPA UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

41670.pdf 202 Depdiknas (2004). Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. [Online]. Tersedia: http://sunardi.blog.unej.ac.id/files/2009/03/ kbkmatemati kasmp2.pdf. (5 Pebruari 2011) Domínguez, H., (2005). Bilingual Students Articulation and Gesticulation of Mathematical KnowledgeDuring Problem Solving. University of Texas at Austin. Bilingual Research Journal, 29: 2 Summer 2005. [Online]. Tersedia: http://citeseerx.ist.psu.edu (12 Mei 2012) Dux, H.A.D.& Salim, A. (2009). Problem Formulation during Model-Eliciting Activities: Characterization of First-Year Students Responses. Proceedings of the Research in Engineering Education Symposium 2009, Palm Cove, QLD. [Online]. Tersedia: http://rees2009.pbworks.com/f/rees2009_submission_15.pdf (9 Maret 2011) Dzulfikar, A., Asikin, M., & Hendikawati, P. (2012). Keefektifan Problem Based Learning dan Model Eliciting Activities terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah. Unnes Journal of Mathematics Education. UJMEI(1)(2012). Semarang: UNNES. ISSN 2252-6927. [Online]. Tersedia: http://journal.unnes.ac.id (21 Maret 2013) Ekmekci, A. & Krause, G. (2011). Model Eliciting Activities (MEAs). 5 th Annual UTeach Institute-NMSI Conference, May 26, 2011. [Online]. Tersedia: http://www.uteach-institute.org/images/uploads/2011_ekmekci_ model_eliciting_activities (11 Maret 2013). Elida, N. (2012). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pembelajaran Think-Talk-Write (TTW). Infinity, Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung,Vol 1, No, 2, September 2012. Bandung: STKIP Siliwangi Bandung. English, L., Lesh, R., & Fennewald, T. (2008). Future directions and perspectives for problem solving research and curriculum development. In: 11 st International Congress on Mathematical Education, 6-13 July 2008. Monterrey: International Congress on Mathematical Education. [Online]. Tersedia: http://eprints.qut.edu.au/28450/1/c28450.pdf(16april 2011) Eric, C.C.M. (2008). Using Model Eliciting Activities for Primary Mathematics Classrooms. The Mathematics Educator, Vol. 11No. 1/2, 47-66. Singapore: Association of Mathematics Educators. [Online]. Tersedia: http://repository.nie.edu.sg/jspui/bitstream/10497/135/1/me-11-1-47.pdf (11 Agustus 2011)

41670.pdf 203 Fathurrohman, P. dan Sutikno, M.S. (2007). Strategi Belajar Mengajar-Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami. Bandung: P.T. Refika Aditama. Fauziah, A. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP melalui REACT. Forum Kependidikan, Volume 30, Nomor 1, Juni 2010. Jakarta: Forum Kependidikan. [Online]. Tersedia: http://forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/ana%20fauziah.pdf (13 Maret 2013) Feldhaus, C.A. (2012). How Mathematical Disposition and Intellectual Development Influence Teacher Candidates Mathematical Knowledge for Teaching in a Mathematics Course for Elementary School Teachers. A dissertation presented to the faculty of The Patton College of Education of Ohio University. Ohio: The Patton College of Education of Ohio University. [Online]. Tersedia: http://rave.ohiolink.edu/etdc/view.cgi?acc_num=ohiou1343753975(7 Mei 2013) Garfield, J., delmas, R., & Zieffler, A. (2009). Inventing and Testing Models: Using Model-Eliciting Activities. Pedagogy in Action, the Serc portal for Educators. University of Minnesota. Minnesota: University of Minnesota. [Online]. Tersedia: http://serc.carleton.edu/sp/library/mea/index.html [23 Agustus 2011] Gilat, T.& Amit, M. Exploring young students creativity: the effect of modeleliciting activities. PNA,8(2), 51-59. [Online]. Tersedia: http://digibug.ugr.es/bitstream/10481/25578/1/1_exploring.pdf (8April 2014) Gupta, A. (2008). Constructivism and Peer Collaboration in Elementary Mathematics Education: The Connection to Epistimology. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 4(4), 381-386. Copyright 2008by EURASIA. [Online]. Tersedia: http://www.ejmste.com/v4n4/eurasia_v4n4_gupta.pdf Haese, R. C. & Haese, S. H.. (1982). Competition Mathematics. Adelaide: Haese Publications. Hall, G.E. Quinn, L.F., Gollnick, D.M. (2008). Mengajar dengan Senang. Menciptakan Perbedaan dalam Pembelajaran Siswa. Jakarta: PT Indeks. Hallagan, J.E., Finnegan, B.Sochia, S.,Carlson, L.F., & Nylen, D. (2006). The Influence of Learning Theories on the Teaching and Learning of Algebra.

41670.pdf 204 Journal of Authentic Learning, Volume 3, Number 1, Pages 60-70. Oswego, New York: the Departement of Curriculum and Instruction at the State University. [Online]. Tersedia: http://www.dscape.sunyconnect.suny.edu/bitstream/handle/1951/35267/ha llagan _et_al.pdf (19 April 2012) Hamilton, E. (2009). Modeling and Model-Eliciting Activities (MEAs) as Foundational to Future Engineering Curricula. 20 th Australasian Association for Engineering Education Conference University of Adelaide, 6-9 December 2009. Adelaide: University of Adelaide. [Online]. Tersedia: http://aaee.com.au/conferences/aaee2009/pdf/author/ae090130.pd F (11 September 2011) Hamilton, E.,Lesh, R., Lester, F., & Brilleslyper, M. (2008). Model-Eliciting Activities (MEAs) as a Bridge Between Engineering Education Research And Mathematics Education Research. Advances in Engineering Education, Vol 01 (ISSN 2224-7491). Academy Society of Engineering Education (ASEE) : The International Association for College and University Education (IACUE). [Online]. Tersedia: http://advances.asee.org/vol01/issue02/papers/aee-vol01-issue02-p06.pdf (25 Juni 2012) Hammond, L.D., Austin, K., Orcutt, S., & Rosso, J. (2001). How People Learn: Introduction to Learning Theories. California: Stanford University. [Online]. Tersedia: http://www.stanford.edu/class/ed269/hplintrochapter.pdf (2 Juni 2011) Hanley, S. (1994). On constructivism. Maryland Collaborative for Teacher Preparationm. Maryland: The University of Maryland. [Online]. Tersedia: http://www.inform.umd.edu/ums+state/umd- Projects/MCTP/Essays/Constructivism.txt.inf (30 Juli 2011) Herman, T. (2005). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada PPs UPI Bandung.Tidak Diterbitkan. Herman, T. (2007). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Educationist, No. 1 Vol. 1 Januari 2007. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu/direktori/jurnal/educationist/vol._1- Januari_2007/6._Tatang_Herman.pdf Hong N. S., (1998). The Relationship Between well-structured And Ill-Structured Problem Solving In Multimedia Simulation. A Thesis in Instructional

41670.pdf 205 Systems. College of Education - Pennsylvania State University. [Online]. Tersedia: http://www.cet.edu/pdf/structure.pdf (3 September 2011) Innes, R. B.(2007). Dialogic Communication in Collaborative Problem Solving Groups. International Journal for the Scholarship of Teaching and Learning. Vol. 1, No. 1 (January 2007). ISSN 1931-4744 Georgia Southern University. Nashville, Tennessee, USA: Vanderbilt University. [Online]. Tersedia: http://www.georgiasouthern.edu/ijsotl (11 Juni 2011) Kadir, (2010). Statistika untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Penerbit Rosemata Sampurna. Kadir, (2010). Penerapan Pembelajaran Kontekstual berbasis Potensi Pesisir Sebagai Upaya Peningkatan Kemampuanpemecahan Masalah Matematik, Komunikasi Matematik, Dan Keterampilan Sosial Siswa SMP. Disertasi doktor, tidak diterbitkan. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Karnoto. (1996). Mengenal Analisis Tes. Pengantar ke program komputer ANATES. Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Bandung. Kaur B., & Har Y. B. (2009). Mathematical Problem Solving In Singapore School. Dalam Kaur B., Har, B.H, Kapur, M. (2009). Mathematical Problem Solving. Yearbook 2009. Association of Mathematics Educator. Singapore: National Institute of Education. [Online]. Tersedia: http://www.worldscientific.com/doi/pdf/10.1142/9789814277228_fmatter (3 Agustus 2011) Kirkley, J. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. Technical Paper #4. Indiana University.Copyright. PLATO Learning, Inc. [Online]. Tersedia: http://cimm.ucr.ac.cr/resoluciondeproblemas/pdfs/kirkley,%20jamie.%2 02003.pdf (28 Juni 2011) Lesh, R. & Doerr, H. (2003). Beyond Constructivism: A Models & Modeling Perspective on Mathematics Teaching, Learning, and Problems Solving. Lawrence Erlbaum. Mahwah, NJ. Book Reviews. ZDM 2003 Vol. 35 (6). Ernst von Glasersfeld, Amherst, MA (USA) [Online]. Tersedia: http://subs.emis.de/journals/zdm/zdm036r3.pdf (27 Juli 2010) Lesh, R., Hoover, M., Hole, B., Kelly, A., & Post, T. (2000). Principles for developing thought-revealing activities for students and teachers. Dalam A. Kelly & R. Lesh (Eds.), Handbook of research design in mathematics and science education (pp.591-645). Mahwah, N.J.: Lawrence Erlbaum and Associates, Inc. [Online]. Tersedia: http://www.cehd.umn.edu/ci/rationalnumberproject/00_2.html

41670.pdf 206 (19 Mei 2011) Lesh, R., Carmona, G., & Post, T. (2005). Models and Modeling. Proceedings of the 27th annual meeting of the North American Chapter of the International Group for the Psychology of Mathematics Education (PME- NA), October 2005. [Online]. Tersedia: http://www.pmena.org/2004/pdfs/groups/models.pdf (30 Juli 2011) Mahmudi, A (2010). Pengaruh Pembelajaran Dengan Strategi MHM Berbasis Masalah Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Kemampuan Pemecahan Masalah, Dan Disposisi Matematis, Serta Persepsi Terhadap Kreativitas. Disertasi doktor, tidak diterbitkan. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Megan, L.F., Webb, N.M., Chan, A., Battey, D., Ing,M., Freund, D., & De, T. (2007). Eliciting Student Thinking In Elementary School Mathematics Classroom. National Center for Research on Evaluation, Standars, and Student Testing (CRESST) Report 725. Los Angeles: UCLA. [Online]. Tersedia: www.cse.ucla.edu/products/reports/r725.pdf (09 Oktober 2012) Moore, T., & Dux, H.D., (2004). Developing Model-Eliciting Activities For Undergraduate Students Based On Advanced Engineering Context. Proceedings of the 34th Annual ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference, Savannah, GA, October 20-23, 2004. [Online]. Tersedia: http://www.icee.usm.edu/icee/.../fiec2004/.../172... - (22 Pebruari 2012) Mousoulides, N.G., Chrysostomou, C., Pittalis, M., & Christon, C., (2009). Modeling with Technology in Elementary Classroom. Proceedings of CERME 6, Januari 28th-February 1st 2009, Lion France INRP2010. [Online]. Tersedia: http://www.ife.ens-lyon.fr/editionelectronique/cerme6/wg11. (13 Januari 2012) Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P. & Arora, A. (2012). TIMSS 2011 International Result in Mathematics. Chestnut Hill, USA: International Association for the Evaluation of Educational Achievement. [Online]. Tersedia: http://timssandpirls.bc.edu/timss2011/downloads/t11_ir_mathematics_f ullbook.pdf (18 Januari 2012) Mulyana, D. (2007). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mutia (2013). Eksperimentasi Pembelajaran Matematika dengan Model Eliciting Activities (MEAs) dan Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) ditinjau dari Disposisi Matematis Siswa KelasVII SMP Negeri

41670.pdf 207 Sekota Bengkulu pada Materi Bangun Datar. Tesis, tidak diterbitkan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta. [Online]. Tersedia: http://pasca.uns.ac.id/?p=3742 (10 Mei 2014) Nathan, M. J., & Kim, S. (2007). Regulation of teacher elicitations and the impact on student participation and cognition (WCER Working Paper No. 2007-4). Madison: University of Wisconsin Madison, Wisconsin Center for Education Research. [Online]. Tersedia: http://www.wcer.wisc.edu/publications/workingpapers/working_paper_n o_2007_04.pdf (25 Maret 2011) National Council of Teachers of Mathematics, (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. [Online]. Tersedia: http://www.fayar.net/east/teacher.web/math/standards/index.htm (13 Des 2010) National Council of Teachers of Mathematics, (1991). Principles and Standards for School Mathematics. Professional Standards. Reston, VA: Author. [Online]. Tersedia: http://www.fayar.net/east/teacher.web/math/standards/index.htm (25 Desember 2010) National Council of Teachers of Mathematics, (1989). Principles and Standards for School Mathematics. Curriculum and evaluation standards for school mathematics. Reston, VA: Author. [on line]. Diunduh dari: http://www.fayar.net/east/teacher.web/math/standards/index.htm (15 Januari 2011) Permana, Y. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Komunikasi, dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas melalui Model- Eliciting Activities. Disertasi. PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan. Polya G. (1973). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. Second Edition. New Jersey: Princeton Press University. Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta lainnya. Bandung: Tarsito. Saija, L.M. (2012). Analyzing The Mathematical Disposition And Its Correlation With Mathematics Achievement Of Senior High School Students. Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol I, No. 2, September 2012. [Online]. Tersedia: http://e-journal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/infinity/article/ /48/23 (15 April 2013)

41670.pdf 208 Schoenfeld, A. H. (1992). Learning to think mathematically: Problem solving, metacognition, and sense making in mathematics. In D. Grouws (Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and learning (pp. 334-370). New York: McMillan. [Online]. Tersedia: http://gse.berkeley.edu/faculty/ahschoenfeld/schoenfeld_maththinking.pd f (14 Maret 2011) Setyosari, P. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Dan Pengembangannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Shadiq, F. (2007). Apa dan Mengapa Matematika Begitu Penting. Pusat Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Yogyakarta: Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Matematika. [Online]. Tersedia: http://fadjarp3g.files.wordpress.com/2008/07/matematikamengapapenting. pdf (24 September 2012) Shafridla (2012). Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Disposisi Matematis Siswa melalui Pendekatan Matematik Realistik. Tesis, Universitas Negeri Medan. [Online]. Tersedia: http://digilib.unimed.ac.id/peningkatankemampuan-komunikasi-dan-disposisi-matematis-siswa-melaluipendekatan-matematik- realistic-22886.html (28 Maret 2013) Shuman, L.J., Clark, R., Sacre, M.B., & Yildirim, T.B.(2008). The Model Eliciting Activity (MEA) Construct: Moving Engineering Education Research Into The Classroom. Proceedings of the 9th Biennial ASME Conference on Engineering Systems Design and Analysis ESDA08 July 7-9, 2008. Haifa, Israel :ASME. [Online].Tersedia: http://modelsandmodeling.net/publications_files/the%20model%20eliciti ng%20activity%20%28mea%29%20%20construct%20moving%20eng ineering%20research%20into%20the%20classroom.pdf (20 September 2012) Sudijono, A. (2011). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Sudijono, A. (2005). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Sugiyono, (2002). Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Sumantri, B. (1997). Model Linier Terapan, Buku III: Analisis Ragam. Jurusan Statistika FMIPA-IPB. Diterjemahkan dari: Neter, J., Wasserman, W., Kutner, M. (1990). Applied Linier Statistial Model, Third Edition, Richard D. Irwin, Inc,. Homeewood, Illinois.

41670.pdf 209 Sumarmo, U. (2010). Berpikir dan Disposisi matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: tidak diterbitkan. Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalamrangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLP. Disertasi pada PPs UPIBandung: Tidak Diterbitkan. Susanti, E.A., Syafmen, W., & Ramalisa, Y. (2011). Studi Perbandingan Hasil Belajar Matematika Siswa SMP dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe The Learning Cell dan Tipe Artikulasi di Kelas VII SMPN 7 MA Jambi. Edumatika (Volume 01 Nomor 02, Oktober 2011). [Online]. Tersedia: http://online journal.unja.ac.id Szetela, W., & Nicol, C. (1992). Evaluating Problem Solving in Mathematics. Educational Leadership., May 1992, pp. 42-45. [Online]. Tersedia: http://web.njit.edu/~ronkowit/teaching/rubrics/samples/math_probsolv_chi cago.pdf (18 Juni 2012) Trianto, (2011). Model Pembelajaran Terpadu. Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Uyanto, S.S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Edisi ketiga. Yogyakarta: Graha Ilmu. Van de Walle, J.A. (2008). Matematika Sekolah Dasar dan Menengah. Judul asli: Elementary and Middle School Mathematics, Sixth Edition. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama. Wahyuningrum, E. (2013). Pengembangan Kemampuan Komunikasi Matematik dengan MEAs. Jurnal Pendidikan. Vol. 14. No. 1, Maret 2013. ISSN 1411-1942. Tangerang Selatan: LPPM-Universitas Terbuka. Wilson, A. L. (2008). Mathematical Communication Within a Daily Small-Group Learning Environment. Summative Projects for MA Degree. Paper 31. [Online]. Tersedia: http://digitalcommons.unl.edu/mathmidsummative/31 (24 Juni 2012) Wilson, J.W., Fernandez, M.L., & Hadaway, N. (1993). Mathematical Problem Solving. Department of Mathematics Education EMAT 4600/6600. University of Georgia. [Online]. Tersedia: http://jwilson.coe.uga.edu/emt725/pssyn.html (29 September 2010)

41670.pdf 210 Yee, S. P. (2012). Students Metaphors For Mathematical Problem Solving. A dissertation submitted to the Kent State University College of Education, Health, and Human Services. Ohio: Kent State University. [Online]. Tersedia: http://etd.ohiolink.edu/view.cgi?acc_num=kent1340197978 (22 Januari 2013) Yildirim, T.P., Shuman, L., Sacre, M.B. (2010). Model Eliciting Activities: Assessing Engineering Student Problem Solving and Skill Integration Processes. Int.J. Engng Ed. Vol. 26, No.4, pp.831-845. Great Britain: TEMPUS Publications. [Online]. Tersedia: http://www.modelsandmodeling.pitt.edu/publications_files/mea_ijee233 2_1.pdf (24 Maret 2012) Yusuf, P.M., (2010). Komunikasi Instruksional: teori dan praktik. Jakarta: Bumi Aksara, 2010. Zbiek, RM & Conner. A.(2006). Beyond motivation: exploring mathematical modeling as a context for deepening students' understandings of curricular mathematics. Educational Studies in Mathematics, 63,89 112. [Online]. Tersedia: http://link.springer.com/article/10.1007%2fs10649-005-9002-4?li=true#page-1 (15 Juni 2012)

41670.pdf LAMPIRAN-LAMPIRAN

41670.pdf 212 Lampiran A. Instrumen Penelitian Dan Perangkat Pembelajaran Lampiran A.1.Instrumen Pengetahuan Awal Matematik Lampiran A.1.1 Kisi-Kisi Tes Pengetahuan Awal Matematik Keterangan Pokok Bahasan: [A] Bilangan ; [B]Geometri; [C]Fungsi; [D]Bentuk Aljabar; [E]Statistika; [F]Persamaan linear; [G] perbandingan Aspek Pemah aman Penera pan Pemec ahan masala h Indikator Materi pokok No. [A] [B] [C] [D] [E][F] [G] soal Menyederhanakan bentuk akar V 8 1 Menyederhanakan bentuk pecahan V 3 Menginterperetasi gambar berdimensi dua dari V suatu bangun ruang 10 Menentukan n suatu himpunan pasangan V 13 terurut sebagai suatu fungsi Menentukan suatu himpunan pasangan terurut V 14 sebagai fungsi dengan domain yang diketahui Menentukan suatu himpunan sebagai suatu V fungsi 15 Menentukan kebenaran suatu penyelesaian V masalah aljabar 17 Menentukan luas bangun datar V 20 Menentukan bentuk persamaan linear dari V 6 suatu masalah 4 Menerapkan konsep luas V 5 Menerapkan konsep luas daerah juring V 6 lingkaran Menggunakan pasangan konsep fungsi untuk V 11 menyelesaiakan masalah Menentukan nilai fungsi dari suatu grafik V yang diberikan 12 Menyelesaikan masalah yang terkait konsep V rata-rata 19 Menyelesaikan masalah dengan V 6 2 menggunakankonsep persen Menggunakan konsep persamaan linear untuk V 7 menyelesaikan masalah Menggunakan konsep perbandingan untuk V 8 menyelesaiakan masalah Menggunakan konsep perbandingan untuk A. V menyelesaiakan masalah 9 Meneyelesaikan masalah yang terkait dengan V konsep persamaan garis 16 Menyelesaikan masalah yang terkait konsep V 18 rata-rata Jumlah 3 4 5 1 2 3 2 Keterangan Pokok Bahasan: [A] Bilangan ; [B]Geometri; [C]Fungsi; [D]Bentuk Aljabar; [E]Statistika; [F]Persamaan linear; [G] perbandingan

41670.pdf 213 Lampiran A.1.2 Tes Pengetahuan Awal Matematik Tes Pengetahuan Awal Matematik KELAS VIII SMP (waktu: 60 menit) Nama : Sekolah : No Absen : Kelas : Petunjuk: a. Jumlah soal sebanyak 20 soal pilihan ganda. b. Waktu yang diberikan 60 menit. c. Bacalah dengan cermat setiap soal sebelum kalian menjawabnya! d. Kerjakan soal dengan cara berikut! (1) Tuliskan cara memperoleh jawaban dengan singkat dan jelas pada tempat yang disediakan! (2) Jawab langsung di tempat yang telah disediakan pada kertas soal! (3) Silang huruf A, B, C, atau D pada pilihan jawaban yang sesuai dengan jawaban Anda! e. Periksa pekerjaan kalian sebelum diserahkan kepada guru/pengawas! f. Apabila kalian menjawab salah dan ingin memperbaikinya, lingkarilah jawaban yang salah tersebut, kemudian berilah tanda silang pada pilihan jawaban lainnya yang kalian anggap benar! Perhatikan contoh berikut! Pilihan semula : A B C D Diperbaiki menjadi : A B C D No Soal Cara memperoleh jawaban 1 Dibawah ini yang nilainya tidak sama dengan adalah. A. B. C. D. 2 Dimisalkan x = 5a + 2b dan y = a 2b. Jika diketahui x = y maka nilai a dan b berikut yang benar adalah A. a = 0, b = 1 B. a = 1, b = 0 C. a = 1, b = -1 D. a = 4, b = 1

41670.pdf 214 No Soal Cara memperoleh jawaban 3 Jika adalah anggota himpunan bilangan bulat positif, maka pecahan berikut yang nilainya sama dengan adalah. A. B. C. D. 4 Saat ini, seorang anak laki-laki usianya adalah x dan usia ayahnya adalah 3x. Jumlah usia mereka pada 10 tahun ke depan adalah. A. B. C. D. 5,,, dan adalah diagonal-diagonal ruang dari balok di samping. Sudut berikut yang merupakan sudut yang dibentuk oleh masing- K masing diagonal ruang dengan sisi-sisi balok adalah sudut. A. PNL B. KLM C. KRL D. SKM 6 Pada diagram di samping, panjang x adalah.cm. P S N Q L 10 cm R M A. 4 B. 6 C. 8 D. 10 10 cm 16 cm x cm

b cm 41670.pdf 215 No Soal Cara memperoleh jawaban 7 Perhatikan diagram bidang segi delapan beraturan PQRSTUVW di bawah ini. Luas segitiga PQR adalah x sedangkan luas segitiga PRV adalah y (dalam satuan luas). U V T W Luas segi delapan beraturan PQRSTUVW di atas (dalam satuan luas) adalah. A. ( ) B. ( ) C. ( ) D. ( ) 8 Diketahui dalam 75 hari, Pak Budi telah menjual 1000 pensil yang dibeli oleh 200 siswa. Jika banyaknya pensil yang dibeli setiap siswa sama, maka banyaknya pensil yang terjual pada 250 siswa selama 75 hari adalah. A. 250 B. 800 C. 1200 D. 1250 9 Pada diagram di bawah, luas daerah yang diarsir adalah.cm 2. P Q R S B. ( ) B. ( ) C. D. a cm

41670.pdf 216 No Soal Cara memperoleh jawaban 10 P Q a cm T S X b cm PQRS adalah persegipanjang dengan panjang b cm dan lebar a cm. T adalah titik tengah dan X adalah titik tengah. Luas daerah yang diarsir adalah. cm 2. A. B. C. D. 11 Koordinat ( ) ( ) dan ( )merupakan pasangan berurutan dari fungsi ( ). Nilai. A. -7 B. -4 C. -1 D. 4 13 Diketahui *( ) ( ) ( ) ( ) ( )+. Jika adalah suatu fungsi, maka nilai berikut ini yang menyebabkan F bukan fungsi adalah. A. 2 B. 3 C. 4 D. 5 14 Himpunan pasangan berurutan berikut yang merupakan fungsi dengan domain * + adalah A. *( ) ( ) ( ) ( )+ B. *( ) ( ) ( ) ( )+ C. *( ) ( ) ( ) ( )+ D. *( ) ( ) ( ) ( )+ R

41670.pdf 217 No Soal Cara memperoleh jawaban 15 Diketahui x dan y adalah anggota himpunan bilangan real. Himpunan berikut yang bukan merupakan fungsi adalah. A. *( ) + B. *( ) + C. *( ) + D. *( ) + 16 Sebuah garis dibuat dari titik K ke titik M. Sebuah titik R ditempatkan pada sehingga koordinat-y dari titik R adalah -2. Koordinat-x dari R adalah. A. -2 B. 0 C. 3 D. 2 7 Berikut ini adalah penyelesaian yang salah dari persamaan ( ). Penyelesaian: ( ) ( ) ( ) (i) K... (ii) (iii) (iv) Dari penyelesaian di atas, pertama kali terjadi kesalahan ada pada baris ke. A. (i) B. (ii) C. (iii) D. (iv)