I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

Daftar Isi TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Penyusun: Justice for the Poor Project. Desain Cover: Rachman SAGA. Foto: Luthfi Ashari

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB IV ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (UU PKDRT)

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

2015 PENGARUH PROGRAM BIMBINGAN INDIVIDUA TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak. Di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 23 TAHUN 2004 (23/2004) TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

k. Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan untuk meningkatkan wawasan, kepedulian, perhatian, kapasitas perempuan, dan perlindungan anak.

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Tindak Pidana KEKERASAN Dalam RUMAH TANGGA

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

BAB II ATURAN HUKUM YANG MENGATUR MENGENAI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. A. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. memberikan jaminan bahwa orang berhak membentuk suatu keluarga guna

PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-nilai

BAB. I PENDAHULUAN. atau kurangnya interaksi antar anggota keluarga yang mengakibatkan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 16 Tahun : 2012 Seri : E

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI. A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

BUPATI POLEWALI MANDAR

BAB I PENDAHULUAN. proses saling tolong menolong dan saling memberi agar kehidupan kita. saling mencintai, menyayangi dan mengasihi.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK,

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

BAB I PENDAHULUAN. dan menyenangkan bagi anggota keluarga, di sanalah mereka saling

BAB I PENDAHULUAN. berpendidikan menengah ke atas dengan penghasilan tinggi sekalipun sering

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

QANUN KOTA LANGSA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia, tujuan

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG

Lex Crimen Vol. III/No. 3/Mei-Jul/2014

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA AMELIA FEBRIANA / D

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

I. PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

FENOMENA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Transkripsi:

I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kekerasan Secara umum kekerasan identik dengan pengerusakan dan menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Namun jika kita pilah kedalam jenis kekerasan itu sendiri, nampaknya kita akan menjumpai kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pada pasal 5-9, UU tersebut menyebutkan ada 4 kategori kekerasan. Pertama ialah kekerasan fisik, jenis kekerasan ini merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, luka berat. Sedangkan kedua, Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Ketiga, Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Dan keempat, Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, tanpa memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Semuanya ini dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang pantas atau perbuatan yang melewati batas yang diizinkan. Seorang dokter gigi yang mencabut gigi pasiennya, walaupun menimbulkan rasa sakit pada si penderita, tidak dapat dikatakan menganiaya, karena perbuatan dokter itu mempunyai maksud yang baik, yakni mengobati si sakit. seorang bapak yang mengajar anaknya yang nakal dengan cara memukuli pantatnya, walaupun menimbulkan rasa sakit pada anak tersebut, tidak dapat dikatakan menganiaya, karena perbuatannya mempunyai maksud yang baik, yakni mencegah agar anaknya tidak nakal. Walaupun demikian,

apabila kedua perbuatan itu melewati batas batas yang diizinkan, umpamanya dokter gigi mencabut gigi pasiennya tanpa memakai obat pematirasa, atau seorang bapak mengajar anaknya dengan cara mamukuli dengan sepotong besi, dapat dianggap sebagai penganiayaan. Penganiayaan ini dinamakan penganiayaan biasa.yang bersalah diancam hukuman lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatkan luka berat atau matinya si korban. Apabila luka berat direncanakan sejak semula, maka perbuatan itu dikenakan pasal 354 (penganiayaan berat). Dan apabila kematian tersebut memang direncanakan sejak semula, maka perbuatan itu dikenakan pasal 338 (pembunuhan biasa). Sedang seorang pengemudi mobil yang kurang hati hatinya menubruk seseorang hingga mati, dikenakan pasal 359 (menyebabkan seseorang mati karena kekhilafan). Percobaan penganiayaan biasa (pasal 351) dan penganiayaan ringan (pasal 352) tidak dihukum. Akan tetapi percobaan penganiayaan tersebut dalam pasal 353, 354, dan 355 dihukum. B. Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah tangga.

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, pasal 2 ayat 1 ialah a. suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); b. Orangorang yang mempunyai hubungan keluarga dari pihak suami atau istri atau hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga). C. Teori Kekerasan Budaya Teori kekerasan cultural menjelaskan kekerasan kepada istri sebagaimana penjelasan teori feminis. Teori kekerasan budaya menyatakan bahwa basic dari berbagai pola kekerasan. Seperti kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, dan kekerasan terhadap anggota keluarga lainnya. Sebagai contoh, masyarakat dapat menerima penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan konflik pada tingkat personal, nasional, dan internasional, sepertinya penggunaan kekerasan sama artinya dengan memenuhi harapan seseorang (Viano, 1992). Teori ini menyatakan bahwa secara budaya mengizinkan kekerasan dalam sebuah masyarakat yang sah, mengilhami, dan menguatkan pemakaian kekerasan dalam keluarga (McCall & Shields, 1986) Dengan kata lain, sejak kekerasan nampak pada bagian luar dunia kita seperti bersepakat seiring dengan permasalahan yang mungkin timbul, seseorang mungkin menggunakan kekerasan dirumahnya yang berarti juga setuju bahwa keluarga tersebut sedang bermasalah. Misalnya, seorang suami membentak atau memukul istrinya untuk mengatasi masalah, hal tersebut justru meningkat di dalam rumah, sama halnya dengan penggunaan kekerasan dijalanan, tempat kita bekerja, atau di televise (contohnya, Melrose place) dan di film-

film (Sleeping with the Enemy). Straus (1980) mengatakan bahwa di masyarakat, setidaknya beberapa hal yang mutlak disetujui dan didukung untuk menggunakan kekerasan pada bagian dimana para suami berhadapan dengan istri-istrinya; dia mengistilahkan: Lembaga pernikahan seperti mengizinkan pemukulan. Contoh kedua, Russell (1984) mengatakan bahwa setidaknya media dan hukum telah, permisif dan mendorong kekerasan seksual kepada para istri. Kesimpulannya, teori kekerasan cultural, dalam beberapa tingkat kekerasan di masyarakat secara esensi mempertunjukan secara sah untuk mengakhiri masalah. Hasilnya, para suami menggunakan kekerasan dengan mengartikan masalah dapat segera selesai. Sebagaimana menyelesaikan konflik yang timbul dengan para istri mereka. Oleh karena itu, menghentikan kekerasan terhadap istri akan merestrukturisasi penggunaan kekerasan dalam masyarakat. D. Teori Peranan Seksual Sama halnya dengan teori budaya kekerasan, sex-role theory sangat mirip dengan teori feminis. Sangat sederhana, sex-role theory berargumen bahwa sosialisasi sex-role mengenai perempuan ialah menjadi istri yang baik. (Walker, 1979). Dengan kata lain, menyosialisasikan sex-role secara tradisional telah berakibat bahwa perempuan akan menjadi korban dan laki-laki sebagai pelaku kekerasannya. Kaum laki-laki diajarkan bahwa mereka harus terlihat kuat dan mengkontrol sepanjang waktu, serta menafkahkan keluarganya. Disisi lain, perempuan diajarkan untuk pasif, menyerah pada control laki-laki. Serta menjadi satu-satunya yang bertanggungjawab

untuk memelihara pernikahan mereka, dengan menanggung tugas rumah tangga dan bertanggungjawab merawat seluruh anaknya. Dengan sia-sia, sosialisasi seksual pada masa kanak-kanak mendorong kekerasan kepada perempuan. Hal ini tampak terlihat dari catatan tertulis seksual yang secara tradisional tentang laki-laki dan perempuan di masyarakat. Anak laki-laki diajarkan sebagai pihak yang menyerang dalam berhubungan, sementara perempuan diajarkan untuk bersikap patuh. Selain itu, juga diajarkan bahwa mereka berusaha memberikan raganya dan dayatarik seksualnya kepada lakilaki. Bagi setiap laki-laki dan perempuan, sex-role ialah hubungan yang terjadi antara aggressor dan si korban. Secara keseluruhan, dalam sex-role theory menggambarkan sebuah penjelasan yang cukup tepat tentang kekerasan kepada perempuan/istri. Peran antara laki-laki dan perempuan menempatkan laki-laki sebagai pelaku kekerasan dan perempuan ialah korbannya. Oleh karena itu, hentikan kekerasan terhadap perempuan/istri akan menghantarkan pada restrukturisasi peran kaum lakilaki dan perempuan dalam masyarakat. Sebagaimana mestinya, restrukturisasi mengenai peran tersebut merupakan sebuah proses sosialisasi. E. Gambaran Singkat UU PKDRT Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 14 September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, yang diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan. Berikut adalah poin-poin penting yang diatur dalam Undang Undang ini.

1. Pengertian Kekerasan dan Lingkup Rumah Tangga Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1). Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1): a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga). 2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Bentuk-bentuk KDRT adalah (Pasal 5) : a. Kekerasan fisik; Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6). b. Kekerasan psikis; Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). c. Kekerasan seksual; Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak

disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. d. Penelantaran rumah tangga; Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9). 3. Hak-hak korban Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan (pasal 10): Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; a. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; b. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; c. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan d. Pelayanan bimbingan rohani

Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari (pasal 39): a. Tenaga kesehatan; b. Pekerja sosial; c. Relawan pendamping; dan/atau d. Pembimbing rohani. 4. Ketentuan Pidana dan Pembuktian tindak kekerasan dalam UU PKDRT Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 pasal 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja. Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual. Pasal 47: Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000 atau denda paling banyak Rp 300.000.000 Pasal 48: Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus

atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000 dan denda paling banyak Rp 500.000.000 Dalam UU ini dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (pasal 55). Alat bukti yang sah lainnya itu adalah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.