Lex Crimen Vol. V/No. 7/Sep/2016. TATA CARA PEMERIKSAAN SENGKETA ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN Oleh : Gideon Hendrik Sulat 2

dokumen-dokumen yang mirip
Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. Kata kunci: Eksekusi putusan, Arbitrase Nasional.

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

DAFTAR PUSTAKA. Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2000).

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANI DI INDONESIA. A. Sejarah BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)

Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA., 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung.

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

Lex et Societatis, Vol. III/No. 5/Juni/2015

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

PERAN NOTARIS DI DALAM PEMBUATAN AKTA YANG MEMUAT KLAUSA ARBITRASE DAN IMPLIKASI HUKUMNYA

FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP INVESTOR ASING JIKA TERJADI SENGKETA HUKUM DALAM PENANAMAN MODAL

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

UPAYA HUKUM KEBERATAN TERHADAP PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERANAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Oleh : Karmuji 1. Abstrak PENDAHULUAN

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN ARBITRASE DI INDONESA Oleh: Suwardjo Dosen Kopertis VI Jateng Dpk. Pada Fakultas Hukum Universitas Surakarta.

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DALAM BIDANG PERTAMBANGAN MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL 1 Oleh : Dadang A. Van Gobel 2

Oleh Helios Tri Buana

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

BAB I PENDAHULUAN. sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara.

BAB III PENUTUP. perjanjian konsinyasi dalam penjualan anjing ras di Pet Gallery Sagan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

PENTINGNYA PENCANTUMAN KETIDAKBERHASILAN UPAYA PERDAMAIAN (DADING) DALAM BERITA ACARA SIDANG DAN PUTUSAN

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 7/Juli/2016

TESIS. (Kajian Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan)

PELAKSANAAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE 1 Oleh : Hendhy Timex 2

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET

Arbitrase. Pengertian arbitrase

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI

PERAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

BAB I PENDAHULUAN. menemukan hukum yang akan diterapkan (rechtoepasing) maupun ditemukan

SUATU TINJAUAN HUKUM TERHADAP RETUR PENJUALAN DALAM ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Arbitrase berasal dari Bahasa Latin yaitu arbitrare, artinya kekuasaan

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

Lex Administratum, Vol. V/No. 3/Mei/2017

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

3 Lihat UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa. Keuangan (Bab VI). 4 Lihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.

Maulidiazeta Wiriardi: Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian

HUKUM JUAL BELI PERUSAHAAN - 2 PENGERTIAN JUAL BELI PERUSAHAAN

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

BAB I PENDAHULUAN. membuat manusia mampu menjalani kehidupannya. Contoh kecil yaitu manusia tidak bisa

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN. terhadap pokok persoalan yang dikaji dalam karya ini, yaitu: 1. Pertimbangan hukum penerimaan dan pengabulan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to

BAB I PENDAHULUAN. khususnya di Indonesia mau tidak mau akan menghadapi situasi baru dalam dunia

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, maka manusia mengingkari kodratnya sendiri. Manusia dengan

Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015. PEMBUATAN KONTRAK BISNIS DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT KUHPERDATA 1 Oleh: Vincentius Maxmillian Laisina 2

Transkripsi:

TATA CARA PEMERIKSAAN SENGKETA ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 1 Oleh : Gideon Hendrik Sulat 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pemeriksaan sengketa arbitrase menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan bagaimana proses pembuktian dalam pemeriksaan sengketa arbitrase. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Tata Cara Pemeriksaan Sengketa Arbitrase meliputi: semua pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertutup. Bahasa yang digunakan yaitu Bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memili bahasa lain yang akan digunakan. Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dalam kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapatnya masing-masing. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitarse dengan syarat, terdapat unsur kepentingan yang terkait, keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa, dan disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase. Para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Dengan syarat harus dituangkan dalam perjanjian yang tegas dan tertulis. 2. Proses Pembuktian dalam pemeriksaan sengketa arbitrase yaitu pembuktian melalui alat-alat bukti oleh para pihak dan pembuktian dengan saksi atau saksi ahli. Kata kunci: Tata cara pemeriksaan, sengketa, arbitrase. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia sendiri proses penyelesaian melalui arbitrase atau Alternative Dispute Resolution (ADR) bukanlah merupakan hal yang baru dalam nilai-nilai budaya kita. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa yang bersifat kekeluargaan serta tidak mencuatkan konflik ke permukaan, lebih diutamakan dan sangat dihargai hasilnya. 3 Esensi dari arbitrase adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk berusaha menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Para pihak sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai yang akan bertindak sebagai wasit. Setelah memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan dokumendokumen dan bukti-bukti yang relevan. Pada umumnya tidak ada aturan tertentu bagaimana arbitrase dilakukan dan semuanya diserahkan kepada kesepakatan para pihak. Meskipun demikian, untuk memfasilitasi proses para pihak dapat sepakat mengenai aturan-aturan yang akan digunakan. Proses penyelesaian sengketa dilakukan oleh tenaga ahli (expert) dibidangnya serta dilakukan secara tertutup. Hal ini berbeda dengan proses penyelesaian di Pengadilan Negeri, dapat berjalan bertahuntahun karena adanya upaya hukum seperti banding, kasasi dan peninjauan kembali. Selain itu proses penyelesaiannyapun harus dilakukan secara terbuka. 4 Dalam proses pemeriksaan sidang arbitrase, Asas pemeriksaannya dilakukan secara tertutup dalam setiap tahap. Mulai dari pemeriksaan statement of claim, statement of defence, dokumen, saksi dan ahli maupun oral hearing dengan para pihak. Begitu juga pemeriksaan setempat, semua dilakukan dengan pintu tertutup. Sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, untuk melakukan pemeriksaan perkara yang bersengketa dilakukan secara tertutup dan menggunakan bahasa Indonesia. Setiap pihak yang berselisih mempunyai hak yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing. Baik secara langsung maupun diwakili oleh hukumnya. 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Djefry W. Lumintang, SH, MH; Vecky Y. Gosal, SH, MH. 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 120711315 3 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hal.1. 4 Ibid, hal. 269. 58

Namun asas pemeriksaan ini tidak bersifat mutlak secara permanen. Asas ini dapat dikesampingkan atas persetujuan atau izin para pihak. Buktinya dapat ditarik secara analogis dari ketentuan Pasal 48 ayat (5) ICSID yang berbunyi The Centre shall not publish the award without the consent of the parties. Putusan tidak boleh dipublikasi oleh Centre tanpa persetujuan para pihak. Memang ketentuan ini ditujukan terhadap putusan, dan tidak disinggung tentang kebolehan mempublikasi proses pemeriksaan. Akan tetapi kalau putusan boleh dipublikasi, asal atas persetujuan para pihak, hal itu memberi isyarat akan kebolehan mengadakan pemeriksaan sidang secara terbuka untuk umum, asal para pihak menyetujui. Bukankah motivasi pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup dalam proses pemeriksaan arbitrase bersifat konfidensial agar nama baik para pihak dikalangan masyarakat bisnis dapat terjamin kerahasiaannya? Jika para pihak tidak keberatan, dan setuju pemeriksaan dilakukan terbuka untuk umum, berarti mereka tidak mempedulikan tercemar atau tidak nama baik mereka. Walaupun secara analogis dibolehkan pemeriksaan terbuka untuk umum asal atas persetujuan kedua belah pihak, prinsip pemeriksaan dengan pintu tertutup, tampaknya bersifat imperatif. Prinsip tersebut tidak boleh dilanggar, akibatnya bisa fatal. Berakibat pemeriksaan dan putusan batal demi hukum atau null and void, sehingga sengketa harus diperiksa ulang kembali dengan pintu tertutup. Sudah barang tentu hal yang seperti ini sangat merugikan kepentingan para pihak. Nama baik mereka sudah sempat tercemar, proses pemeriksaan pun harus diulang kembali sejak dari semula. Cuma akibat yang seperti ini barangkali dapat diatasi dengan meminta persetujuan dari kedua belah pihak. Atau sekiranya pemeriksaan dilakukan terbuka untuk umum, namun para pihak diam, tidak mengajukan keberatan. Hal itu dapat ditafsir sebagai persetujuan secara diam-diam. Namun jika salah satu pihak saja mengajukan keberatan, tetap mengakibatkan pemeriksaan dan putusan batal demi hukum. 5 Berdasarkan hal-hal yang telah 5 M. Yahya Harahap, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 157. diuraikan di atas, maka sangat pantas bagi penulis untuk mengangkat judul: Tata Cara Pemeriksaan Sengketa Arbitrase Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana proses pemeriksaan sengketa arbitrase menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999? 2. Bagaimana proses pembuktian dalam pemeriksaan sengketa arbitrase? C. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah lybrary research. Penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan mengumpulkan, mempelajari serta menganalisis berbagai peraturan perundangundangan, buku, makalah, jurnal dan bahanbahan tertulis lainnya. Penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan menggunakan tiga bahan hukum yaitu: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. PEMBAHASAN A. Tata Cara Pemeriksaan Pada Sengketa Arbitrase Dalam proses pemeriksaan sidang arbitrase. Asas pemeriksaannya dilakukan secara tertutup dalam setiap tahap. Mulai dari pemeriksaan statement of claim, statement of defence, dokumen, saksi dan ahli maupun oral hearing dengan para pihak. Begitu juga pemeriksaan setempat, semua dilakukan dengan pintu tertutup. 6 Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 untuk melakukan pemeriksaan perkara yang bersengketa dilakukan secara tertutup dan menggunakan bahasa Indonesia. Setiap pihak yang berselisih mempunyai hak yang sama dalam mengemukakan pendapat masingmasing. Baik secara langsung maupun diwakili oleh hukumnya. Pada Pasal 27 dan Pasal 28 disebutkan bahwa : semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. 7 6 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal 12. 7 Lihat, Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 59

Bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas dasar persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak yang bersengketa dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan. 8 Namun asas pemeriksaan ini tidak bersifat mutlak secara permanen. Asas ini dapat dikesampingkan atas persetujuan atau izin. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase, nasional maupun internasional berdasarkan kesepakatan para pihak, dan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak. Banyaknya lembaga arbitrase baik nasional maupun internasioal, tentunya bagi pencari keadilan yang aan menyelesaiakan sengketanya tidak mudah untuk memilihnya, dalam memilih lembaga arbitrase mana dan peraturan mana yang berlaku, banyak faktor yang perlu dipertimbangan di antaranya efesiensi dan efektivitas lembaga arbitrase dalam menangani perkara, biaya yang terjangka, integritas arbiter, dan netralitas prosedur. 9 Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa inisiatif untuk melakukan proses arbitrase dapat dipersiapkan sebelum perjanjian dijalankan. Persetujuan arbitrase dalam perjanjian ini dapat bersifat sangat spesifik, misalnya menetukan para arbiternya, tata caa atau prosedur spesifik, misalnya menentukan para arbiternya, tata cara atau atau peraturan arbitrase yang digunakan, mekanisme bertukar pendapat antara para pihak. Apabila tidak diatur dengan seksama, maka para pihak dapat meminta pendapat dari lembaga/badan arbitase propesonal yang sifatnya komersial. Prosedur dimulai ketika satu pihak mengirimkan pemberitahuan kepada pihak yang lain, sebagai informasi adanya permohonan arbitrase untuk meyelesaiakan suatu masalah. Pihak lain akan menjawab suatu 8 Lihat, Pasal 28 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 9 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Cetakan Kesatu, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hal. 177. masalah secara tertulis yang mengindikasikan untuk setuju untuk berarbitrase dan menegaskan bahwa masalah tersebut memang dapat diarbitrasekan. Prosedur atau tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase diatur dalam Pasal 27 hingga Pasal 48 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Prinsip atau asas-asas penyelesaian sengketa melalui arbitrase meliputi hal-hal di bawah ini, dan selanjutnya akan dibahas satu demi satu: 1) Semua pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertutup 2) Bahasa yang digunakan yaitu Bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memili bahasa lain yang akan digunakan. 3) Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dalam kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapatnya masingmasing. 4) Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. 5) Pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitarse dengan syarat, terdapat unsur kepentingan yang terkait, keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa, dan disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase. 6) Para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Dengan syarat harus dituangkan dalam perjanjian yang tegas dan tertulis. 7) Semua sengketa dan penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputuskan dalam menurut ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. 8) Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dalam mengambil keputusan mejelis provisional atau putusan selainnya unutk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan yang memerintahkan penetipan 60

barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang cepat rusak. 9) Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. 10 Pemeriksaan perkara arbitrase dilakukan secara tertutup. Hal ini berbeda dengan perkara perdata biasa di Pengadilan Negeri yang dilakukan dalam sidang yang diyatakan terbuka untuk umum. Keharusan sidang pemeriksaan perdata arbitrase yang tertutup ini yang merupakan salah satu ciri dari prosedur arbitrase. Dengan demikian kerahasian perkara dari para pihak tetap terjamin. Hal ini disebabkan anggapan masyarakat bernada miring terhadap suatu sengketa hukum, sehingga meyebabkan cukup banyak pihak terutama kaum bisnis yang merasa tidak enak jika ada pihak lain mengetahui bahwa dia sedang terlibat dalam suatu sengketa. Pasal 27 dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberika kekecualian kepada sifat tertutupnya siding pemeriksaan dalam proses arbitrase. 11 Bahkan, para pihak juga tidak boleh menyampingkan ketentuan ketertutupan ini, hal ini disebabkan formulasi dari Pasal 27 tersebut memberikan indikasi akan sefat memekasa dari ketentuan ketertutupan tersebut, dengan menyatakan bahwa semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup artinya, jika para pihak menghendaki agar putusan tersebut dipublikasikan, maka kewajiban para pihak sendirilah untuk mempublikasikannya. B. PROSES PEMBUKTIAN DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA ARBITRASE Prosedur pembuktian di Pengadilan Negeri dapat diberlakukan dalam proses arbitrase sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, ketentuan arbitrase dipilih oleh para pihak dan tidak bertentangan dengan sifat dan hakikat arbitrase. Hasil pembuktian tidak dapat diterima jika: 1) Termasuk dalam hak pribilege, misalnya hak privilege professional, atau bukti 10 Ibid, hal. 178. 11 Ibid, hal. 179. yang tertulis without prejudice atau sejenisnya. 2) Tidak relevan dengan masalah dalam proses arbitrase tersebut. 3) Bukti kesaksian yang hanya berupa pendapat (kecuali kesaksian dari saksi ahli). 4) Bukti hearsay yakni kesaksian atas pendengarannya dari pihak ketiga yang tidak didengar kesaksiannya. Maksudnya kesaksian yang tidak berasal dari apa yang dilihat, didengar, atau dialaminya sendiri oleh para saksi. 12 Penentuan alat bukti yang sah dalam proses pemeriksaan snegketa atau perkara sangat penting. Penentuan secara limitatif alat bukti yang sah merupakan landasan kepastian hukum dalam proses pembuktian dan pengambilan keputusan. Penentuan alat bukti yang sah dalam suatu pemeriksaan sengketa arbitrase tergantung pada ketentuan hukum yang ditunjuk dalam suatu perundang-undangan tertentu. Penentuan acuan ini terletak pada klausul arbitrase. Apabila para pihak misalnya menunjuk lembaga arbitrase BAN atau SIAC sebagai lembaga penyelesaian sengketa, para pihak menundukkan diri pada proses penentuan alat bukti berdasarkan ketentuan yang diatur dalam masing-masing lembaga tersebut. Jika para pihak sepakat menunjuk misalnya lembaga arbitrase BANI, maka para pihak sepakat untuk tunduk pada hukum acara yang berlaku di Indonesia. Jadi alat bukti dan penilaian pembuktian dalam praktik arbitrase bisa beragam penerapannya, tergantung pada hukum yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak dalam klausul arbitrase. 13 Mereka juga bisa menunjuk dan menundukkan diri kepada ketentuan pembuktian yang diatur dalam hukum perdata internasional. Jika para pihak menunjuk hukum acara Indonesia sebagai ketentuan yang berlaku tentang aturan pembuktian dalam klausul arbitrase, maka dianggap sah sebagai alat bukti tentunya akan merujuk Pasal 164 HIR. 12 Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 157. 13 Susanti Adi Nugroho, Op-Cit, hal. 208. 61

Alat bukti yang sah menurut ketentuan tersebut terdiri atas: alat bukti surat, alat bukti saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti pengakuan, dan alat bukti sumpah. Dengan demikian, lembaga arbitrase yang bertugas menyelesaikan sengketa leluasa memberikan kesempatan kepada para pihak untuk membuktikan dalil atau bantahan berdasarkan alat bukti dimaksud, sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam HIR. Pembuktian dalil atau bantahan tidak terbatas pada alat bukti surat, tetapi dimungkinkan untuk menggunakan alat bukti sumpah, baik alat bukti sumpah tambahan maupun sumpah yang menentukan. Di samping itu, penentuan alat bukti yang sah dapat berdasarkan ketentuan dalam suatu perundang-undangan atau hukum tertentu yang ditunjuk berdasar kesepakatan klausula arbitrase. 14 Bisa juga terjadi, alat bukti yang sah hanya terbatas kepada alat bukti yang ditentukan berdasar kesepakatan para pihak. Para pihak dapat menentukan dalam klausula arbitrase, baik dalam pactum de compromittendo maupun akta kompromis, bahwa persengketaan hanya dapat dibuktikan berdasar alat bukti tertentu. Misalnya, dalam klausula arbitrase para pihak sepakat bahwa pembuktian yang sah hanya alat bukti surat, saksi dan keterangan para pihak. Dengan adanya klausul tersebut para pihak dengan sengaja telah menyingkirkan alat bukti lain yang lazim digunakan dalam suatu aturan tertentu. Klausula yang demikian telah menjadi pembatas terhadap keleluasaan menggunakan alat bukti lain selain dari alat bukti yang disepakati para pihak. Kebolehan menyepakati pembatasan penggunaan alat bukti didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak tidak hanya terdapat dalam kehidupan hukum dan perundang-undangan nasional. Pada prinsipnya, bidang hukum perdata, baik hukum formal maupun hukum materiel, lebih cenderung sebagai hukum yang mengatur dan dapat dikesampingkan berdasarkan kesepakatan para pihak yang membuat suatu persetujuan. 15 Oleh karena itu, tidak ada larangan bagi mereka untuk menentukan sendiri alat-alat bukti yang mereka kehendaki dalam penyelesaian sengketa yang timbul. Mereka boleh menentukan dan memilih alat bukti tertentu dari sekian alat bukti yang lazim diatur dalam berbagai ketentuan hukum nasional maupun internasional. Apabila demikian halnya, lembaga arbitrase yang memeriksa persengketaan dalam menentukan alat bukti tidak boleh menyimpang dari yang telah ditentukan para pihak. Baik peraturan BANI maupun UNCITRAL menetapkan bahwa setiap pihak wajib menjelaskan posisi masingmasing untuk mengajukan bukti yang mendukung posisinya dan untuk membuktikan fakta-fakta yang dijadikan dasar tuntutan atas jawaban. Namun demikian, dalam peraturan tersebut tidak menjelaskan bagaimana bukti diperoleh, disajikan, dan diterima. Hal ini memberikan majelis arbitrase fleksibilitas daam menetapkan bukti-bukti mana yang dapat diterima, relevan, dan menyangkut materi permasalahan dan yang memiliki kekuatan bukti. Fleksibilitas ini memungkinkan para pihak dan majelis arbitrase menggunakan alat bukti berteknologi maju seperti melalui email, video conference dan lain-lain. Baik peraturan BANI maupun UNCITRAL mengizinkan majelis arbitrase untuk meminta para pihak untuk memberikan penjelasab atau mengajukan dokumen-dokumen yang dianggap perlu dan/atau untuk menyampaikan ringkasan seluruh dokumen dan bukti lain yang telah dan/atau akan diajukan oleh pihak tersebut guna mendukung fakta dalam permohonan surat tuntutan atau majelis arbitrase. 16 Bukti yang dapat diterima, relevan, dan menyangkut materi permasalahan dan memiliki kekuatan bukti ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Mendengar saksi fakta atau saksi ahli adalah metode pembuktian yang sangat lazim dalam acara arbitrase, selain dari bukti surat. Padsa prinsipnya, prosedur untuk pemeriksaan saksi fakta atau saksi ahli serupa dengan prosedur dalam pemeriksaan perkara-perkara dipengadilan. 14 Ibid. 15 Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan Kesembilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 158. 16 Susanti Adi Nugroho, Op-Cit, hal. 209. 62

Misalnya keterangan saksi fakta atau saksi ahli dapat dilakukan di arbitrase atas inisiatif atau atas permintaan dari salah satu hal: atas perintah dari arbiter atau majelis arbitrase atau, atas permintaan dari salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam hubungan dengan pemeriksaan saksi fakta dan saksi ahli ini, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur dalam Pasal 49 dan Pasal 50. Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya. Biaya pemanggulan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta. Sebelum memberikan keterangan, para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah. 17 Pasal 50 Undang-Undang Arbitrase menyatakan bahwa: 1) Arbiter atau majelis arbitrase dapat meminta bantuan seorang atau lebih saksi ahli untuk memberikan keterangan tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok sengketa. 2) Para pihak wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan oleh para saksi. 3) Arbiter atau majelis arbitrase meneruskan salinan keterangan saksi ahli tersebut pada pihak agar dapat ditanggapi secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 4) Apabila terdapat hal yang kurang jelas, atas permintaan para pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang bersangkutan dapat didengar keterangannya dimuka sidang arbitrase dengan dihadiri oleh para pihak atau kuasanya. 18 Apabila selama berlangsungnya proses pemeriksaan arbiter memerlukan pendapat ahli, arbiter untuk memanfaatkan atau tidak pendapat nasihat ahli. Arbitrase akan menggunakan pendapat ahli tersebut dalam keadaan bilamana para ahli yang ditampilkan para pihak tidak memperoleh kata sepakat. 17 Lihat, Pasal 49 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 18 Lihat, Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Kebebasan arbiter menggunakan pendapat ahli tersebut bisa secara keseluruhan, sebagian, atau bisa pula mengenyampingkan, sesuai dengan pertimbangan keadilan dan kepatutan. Secara umum arbiter bebas atau dapat meminta persetujuan dari para pihak apabila ia menghendaki pendapat ahli, khususnya jika ada silang pendapat di antara para ahli diajukan oleh para pihak. Apabila persetujuan itu tidak diperoleh, arbiter tetap bebas mencari pendapat ahli untuk mempertimbangkan keputusannya. 19 PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Tata Cara Pemeriksaan Sengketa Arbitrase meliputi: semua pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertutup. Bahasa yang digunakan yaitu Bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memili bahasa lain yang akan digunakan. Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dalam kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapatnya masing-masing. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitarse dengan syarat, terdapat unsur kepentingan yang terkait, keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa, dan disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase. Para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Dengan syarat harus dituangkan dalam perjanjian yang tegas dan tertulis. 2. Proses Pembuktian dalam pemeriksaan sengketa arbitrase yaitu pembuktian melalui alat-alat bukti oleh para pihak dan pembuktian dengan saksi atau saksi ahli. B. SARAN 19 Ibid. hal. 211. 63

1. Seiring dengan berkembangnya peraturan di Indonesia, menurut penulis pemerintah harus merevisi Undang- Undang Arbitrase khususnya yang mengatur tentang tata cara pemeriksaan sengketa, agar terdapat kepastian dan kemudahan bagi para pihak yang akan menggunakan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang dipilih mereka. 2. Ada baiknya dalam pembuktian pemeriksaan sengketa arbitrase, bukan hanya alat bukti surat, pendapat para pihak maupun keterangan ahli/saksi saja yang harus dipakai, tetapi juga alat bukti sumpah, alat bukti persangkaan, dan pengakuan seperti yang diatur dalam Pasal 164 HIR. DAFTAR PUSTAKA Batubara dan Oriton Purba, Suleman, Arbitrase Internasional Penyelesaian Sengketa Investasi Asing Melalui ICSID, UNCITRAL, dan SIAC, Cetakan Kesatu, Raih Asas Sukses, Jakarta, 2013. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1997. Emirzon, Joni, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Harahap, M. Yahya, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta, 2001., Arbitrase dari Rv. I Rules, ICSID, UNCITRAL, Arbitration Rules, New York Convention, PERMA Nomor 1 Tahunm 1990, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991. Nugroho, Susanti Adi, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Prenada Media Group, Jakarta, 2015. M. Khoidin, Hukum Arbitrase Bidang Perdata, Cetakan Ketiga, Cv. Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013. Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Salam, Moch. Faisal, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Cetakan I, Cv. Mandar Maju, Bandung, 2007. Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan Kesembilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2014. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, H, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004, hal. 28. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999. Tamiran, Ketjanawati, Keterampilan Bernegosiasi, Binarupa, Jakarta, 1993. Widjaja dan Ahmad Yani, Gunawan, Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. Gunawan Widjajah, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan Kedua, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. SUMBER-SUMBER LAIN Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. H. R. Saragih, Mencari Format Standar Putusan Arbitrase Berdasarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang disampaikan pada Pelatihan dan Penyegaran Arbiter BAPMI Tahun 2003. 64