Kata kunci: Penuntutan, Kepentingan Hukum. PENGHENTIAN PENUNTUTAN DEMI KEPENTINGAN HUKUM 1 Oleh : Romel Legoh 2

dokumen-dokumen yang mirip
KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA OLEH JAKSA BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Daniel Ch. M. Tampoli 2

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyampingan Perkara(Seponering) 1. Pengertian Penyampingan Perkara (Seponering)

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

AKIBAT HUKUM PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA PIDAN DAN PERMASALAHANNYA DALAM PRAKTIK

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB III PENUTUP. maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

II. TINJAUAN PUSTAKA

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017. Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Roy Ronny Lembong, SH, MH; Ernest Runtukahu, SH,MH

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Masing-masing negara mempunyai sistem peradilan pidana yang khas karena

AKIBAT HUKUM SURAT DAKWAAN BATAL DAN SURAT DAKWAAN DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA PIDANA 1 Oleh : Wilhelmus Taliak 2

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

I. PENDAHULUAN. manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen,

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

DAFTAR PUSTAKA. Admasasmita Romli, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis diatas maka dapat ditarik kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HAPUSNYA HAK PENUNTUNAN DALAM HUKUM PIDANA. BERLIN NAINGGOLAN, SH Fakultas Hukum Jurusan Pidana Universitas Sumatera Utara

Transkripsi:

PENGHENTIAN PENUNTUTAN DEMI KEPENTINGAN HUKUM 1 Oleh : Romel Legoh 2 A B S T R A K Hasil penelitian bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi wewenang Jaksa Penuntut Umum yang ditentukan oleh Undang-undang dan bagaimana Proses Penghentian Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pertama, Penuntut Umum mempunyai wewenang (Pasal 14 KUHAP): Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik; mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan; memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.; membuat surat dakwaan; melimpahkan perkara ke pengadilan; melakukan penuntutan dan menutup perkara demi kepentingan hukum. Kedua, Penghentian penuntutan Demi Kepentingan Hukum dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang didasarkan dengan: Perkara tidak mempunyai pembuktian yang cukup; perkara telah memperoleh kekuatan hukum tetap; perkara sudah kadaluwarsa dan tersangka telah meninggal dunia; yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif dan dapat disimpulkan bahwa wewenang jaksa penuntut umum yaitu meneliti berkas perkara apakah tersangka dapat dilimpahkan pemeriksaan ke sidang pengadilan ataukah tidak, selanjutnya penghentian penuntutan demi kepentingan hukum oleh jaksa penuntut umum sangatlah adil karena jaksa penuntut umum telah meneliti berkas perkara tersebut. 1 Atikel Skripsi 2 NIM 080711626 Kata kunci: Penuntutan, Kepentingan Hukum PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG KUHAP sebagai hukum acara pidana adalah undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law, semua tindakan penegakan hukum harus : - Berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang; - Menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas segalagalanya sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk dibawah supremasi hukum yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Jadi arti rule of law dan supremasi hukum, menguji dan meletakan setiap tindakan penegakan hukum takluk di bawah ketentuan konstitusi, undang-undang dan rasa keadilan yang hidup ditengahtengah kesadaran masyarakat. Memaksakan suatu penegakan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, tidak dapat disebut rule of law, bahkan mungkin merupakan penindasan. Dengan asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan supremasi hukum jajaran aparat penegak hukum tidak dibenarkan: - Bertindak di luar ketentuan hukum, atau undue to law maupun undue process. - Bertindak sewenang-wenang, atau abuse power. - Setiap orang, baik dia tersangka atau terdakwa mempunyai kedudukan yang sama derajat dihadapan hukum, atau equal before of law. - Mempunyai kedudukaan perlindungan yang sama oleh hukum equal protection on the law. 34

- Mendapat perlakuan keadilan yang sama dibawah hukum, equal justice under the law. Tegasnya, hukum acara pidana tidak mengenal adanya peraturan yang memberikan perlakuan khusus kepada terdakwa (forum prevelegiatum) sehingga pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang sebagaimana ditentukan Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Penjelasan Umum angka 3 huruf a KUHAP. Oleh karena itu untuk menjamin peradilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, maka undang-undang menjamin kepada badan pradilan agar segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal bagaimana disebut dalam UUD 1945 beserta perubahan dan apabila setiap orang dengan sengaja melanggarnya, dipidana Pasal 3ayat (2) dan (3) UU No. 48 Tahun 2009. 3 Penuntut umum adalah instansi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan dan penetapan pengadilan. Salah satu wewenang utama penuntut umum melakukan tindakan penuntutan tentang apa yang dimaksud dengan penuntutan, merujuk pada ketentuan Pasal 1 butir 7 dan Pasal 137. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( UU No. 8 Tahun 1981) atau kita kenal dengan singkatan KUHAP. dari kedua ketentuan tersebut dapat ditarik pengertian yang memberikan gambaran makna dan ruang lingkup penuntutan. Menurut rumusan Pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam 3 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, 1012. Hal. 17 undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan. Jadi apa yang dimaksud oleh Pasal 1 butir 7, dipertegas lagi oleh Pasal 137, KUHAP, yang berbunyi Penuntut Umum berwewenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. 4 Dengan demikian tindakan penuntutan merupakan tahapan proses pemeriksaan atas suatu tindak pidana yakni melanjutkan penyelesaian tahap pemriksaan penyidikan ke tingkat proses pemeriksaan pada sidang pengadilan oleh hakim, guna mengambil putusan atas perkara tindak pidana yang bersangkutan. Akan tetapi sebelum menginjak kepada tahap proses pelimpahan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penuntut umum terlebih lebih dahulu mempelajari berkas hasil pemeriksaan penyidikan apakah sudah sempurna atau belum. Jika sudah cukup sempurna haruslah penuntut umum mempersiapkan surat dakwaan dan surat pelimpahan perkara kepada pengadilan. Oleh karena itu sebelum sampai ke pengadilan dan pemeriksan pengadilan, tugas pokok penuntut umum adalah mempersiapkan surat dakwaan. Akan tetapi setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali berkas perkara hasil penyidikan yang sudah dilengkapi oleh penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkaranya itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 139 KUHAP. Jadi apabila penuntut umum telah mempelajari berkas perkara tersebut tidak memenuhi syarat dalam arti kurang lengkap tidak cukup bukti atau hasil 4 M. Yahyah Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sunar Grafika, Edisi Kedua, 2012, hal 386 35

penyidikan yang sudah lengkap, akan tetapi tersangkanya telah meninggal dunia (Pasal 77 KUHP), atau hak menuntut telah gugur karna kadaluwarsa (lewat waktu/verjaring/lost by limitation) berdasarkan Pasal 78 KUHP, atau karna bersangkutan tidak dapat dituntut/diadili untuk yang kedua kalinya berdasarkan asas ne bis in idem (Pasal 76 KUHP), maka dalam hal ini perkaranya tidak perlu dilimpahkan ke pengadilan. Dan Penuntut Umum akan memutuskan Penghetian Penuntutan dengan cara Perkara tersebut ditutup Demi Kepentingan Hukum. B. PERUMUSAN MASALAH 1. Apa Wewenang Jaksa Penuntut Umum yang ditentukan oleh Undang-undang? 2. Bagaimanakah Proses Penghetian Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum? C. METODE PENELITIAN Dalam penyusunan karya tulis ini tentunya memerlukan teori-teori yang mendukung atau mempunyai relevansi dengan pembahasan permasalahannya. Untuk mendapatkan data-data tersebut haruslah melakukan penelitian, dan dalam mengadakan suatu penelitian, maka metode atau teknik mempunyai peranan yang penting. Karena tanpa menggunakan metode dan teknik suatu penelitian, maka akan sulit untuk mengharapkan hasil yang baik yang memenuhi persyaratan ilmiah. Untuk hasil pembahasan yang obyektif dan sekaligus mencari kebenaran hipotesa, penulis berusaha mengupulkan data-data yang diperlukan dalam penyusunan karya tulis ini dengan melalui: 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yang merupakan landasan teoritis yaitu dengan mempelajari berbagai buku-buku/literatur-literatur yang ada relevansinya dengan materi penulisan karya tulis ini dimaksudkan untuk memperoleh dan memadukan berbagai pendapat para ahli hukum atau doktrin yang dijadikan landasan untuk mengkaji setiap permasalahan yang ada. 2. Studi Perbandingan (Comparative Research) yaitu dengan cara membanding-bandingkan teori dengan fakta yang ada untuk memperoleh konklusi-konklusi yang disajikan dalam penulisan karya tulis ini. PEMBAHASAN A. Wewenang Penuntut Umum Mengenai pengaturan penunut umum dari penuntutan diatur secara terpisah dalam KUHAP. penuntut umum diatur dalam Bab II, Bagian Ketiga, yang terdiri dari 3 pasal yakni Pasal 13 sampai dengan Pasal 15. Penuntutan diatur dalam Bab XV, mulai pasal 137sampai dengan Pasal 144. Terlepas dari cara pengaturan penuntut umum, dan penuntutan, bab dan bagian yang membicarakan penyidikan dan ruang lingkup peradilan. Hal ini didasarkan pada kenyataan dengan adanya diferensiasi dan spesialisasi fungsional, secara institusional, yang menempatkan penuntut umum dalam fungsi penuntutan dan pelaksaaan putusan peradilan maka fungsi penuntut umum tidak berbelit-belit lagi. Sudah disederhanakan dalam suatu fungsi dan wewenang yang jelas, sehingga pengaturannya dalam KUHAP dapat diatur dalam suatu bab dan beberapa Pasal. 5 Akan tetapi sekalipun demikian, hal ini tidak menghilangkan kaitan dan hubungan kerjasama antara penyidik dan penuntut umum pada satu segi, dan terutama pada pihak pengadilan pada segi lain. Sebab pada dasarnya, pemeriksaan persidangan pengadilan tidak mungkin dilakukan tanpa hadirnya jaksa sebagai penuntut umum. Bukan hanya pada persidangan tingkat pertama saja hubungan dan kaitan tersebut tetapi meliputi hak-hal yang berhubungan dengan penggunaan upaya hukum biasa 5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permsalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Pununtutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta 2012, hal 364 36

dan luar biasa Dalam Pasal 13 dapat dibaca kententuan yang berbunyi Penuntutan umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim. Selain dari pada penjelasan arti penuntut umum yang terdapat pada Pasal 13 di atas, dirumuskan juga dalam Pasal 1 butir 6, namun memperhatikan isi dan makna kedua penjelasan tersebut tidak ada perbedaan, Pasal 13 hanya merupakan ulangan dari Pasal 1 butir 6. Dengan demikian tampaknya perumusan tentang pengertian dimaksud berlebihan dan tidak perlu diulang dalam 2 pasal. Dalam melakukan Penunutan Jaksa Penuntut Umum bertindak Untuk dan Atas Nama Negara (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, Pasal 8 ayat (2)) 6 Tidak dapat dimengerti apa sebabnya pembentuk KUHAP masih mengatur penuntut umum untuk melakukan penuntutan dalam Pasal 137 KUHAP diatas, padahal pembentuk KUHAP telah mengatur masalah wewenang untuk melakukan penuntutan dari penuntut umum tersebut dalam Pasal 15 KUHAP. Bab IV dan Bab XV pembentuk KUHAP termasuk mengatur tindakan-tindakan yang perlu diambil oleh penyelidik, penyidik atau oleh penuntut umum seseuai dengan wewenang masingmasing seperti yang telah diatur dalam Bab IV KUHAP. Dicantumkannya kata berwenang dalam rumusan Pasal 137 KUHAP di atas dapat menimbulkan kesan seolah-olah penuntut umum itu pada dasarnya tidak wajib melakukan penuntutan terhadap siapapun yang telah melakukan tindak pidana di dalam daerah hukumnya, menurut hemat penulis, hal ini bertentangan dengan asas persamaan bagi setiap orang di depan hukum dan dengan asas legalitas yang dianut oleh KUHAP kita. 6 Lihat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Penuntut umum pada dasarnya wajib melakukan penuntutan terhadap siapapun yang telah melakukan tindak pidana dalam daerah hukumnya, kecuali: a. Apabila kepentingan hukum atau kepentingan umum memang menghendaki agar penuntut umum tidak melimpahkan perkaranya ke Pengadilan untuk diadili; b. Apabila terdapat dasar-dasar yang menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap pelakunya (vervolgingsuits luitinggronden), dan c. Apabila terdapat dasar-dasar yang membuat penuntut umum harus menangguhkan penuntutan terhadap pelakunya (vervolgingsopschortingsgronden). 7 Apabila telah menerima berkas perkara dari penyidik, jaksa segera mempelajari dan menelitinya dan dalam tenggang waktu tujuh (7) hari wajib mmberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Adapun pengertian meneliti menurut ketentuan Pasal 138 ayat (1) KUHAP adalah tindakan Penuntut Umum dalam mempersiapkan penuntutan apakah orang atau benda yang teersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai ataukah telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik. Menurut ketentuan Pasal 138 ayat (2) KUHAP, apabila menurut penelitian penuntut umum berkas perkara belum lengkap, penuntut umum harus segera mengembalikan berkas disertai pentunjuk dan dalam waktu empat belas (14) hari sejak tanggal penerimaan berkas itu kepada 7 P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 297 37

penuntut umum. 8 Setelah penuntut umum beranggapan bahwa penyidikan telah lengkap, penuntut umum segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tindaknya dilimpahkan ke pengadilan. Jika penuntut umum beranggapan bahwa hasil penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, dibuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP). 9 Jaksa penuntut umum juga berwenang malakukan penahanan akan tetapi bukan saja wewenang penyidik saja juga merupakan wewenang yang diberikan undang-undang baik kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam semua tingkat pemeriksaan. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 25 KUHAP, undang-undang memberi wewenang kepada penuntut umum untuk melakukan penahanan terhadap tersangka. Akan tetapi dalam melakukan penahanan demi untuk kepentingan penuntutan, harus bertitik tolak dari syaratsyarat penahanan yang ditentukan oleh undang-undang, yakni memenuhi yang diatur dalam Pasal 21 KUHAP, baik ditinjau dari segi syarat: - Yuridis atau objektif, memenuhi yang dirinci oleh Pasal 21 ayat (4) yang menentukan prinsip penahanan yang hanya dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana yang diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun ke atas atau pasal-pasal tindak pidana yang disebut satu prsatu dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b. - Syarat subjektif seperti yang disebut pada Pasal 21 ayat (1) - Adanya dugaan keras tersangka melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup 8 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonsia, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2012. hal. 49. 9 Ibid. - Adanya keaadaan yang menimbulkan kekuatiran: a. Tersangka atau terdakwa akan melarikan diri b. Dikuatirkan tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti; atau c. Dikuatirkan tersangka akan mengulangi tindak pidana. (lebih lanjut syarat-syarat ini, perhatikan kembali uraian yang berhubungan dengan penahanan) 10 Akan tetapi apabila penuntut umum berpendapat sesuai Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP bahwa: a. Tidak dapat cukup bukti, atau b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran), atau c. Perkara ditutup demi hukum 11 Perkara yang cukup bukti dilimpahkan ke Pengadilan, maka jaksa menentukan perkara dianjukan dengan cara singkat atau cara biasa. Hak-hak Penunutut Umum Merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa KUHAP telah memberikan porsi cukup besar dalam mengatur upaya pemberian perlindungan terhadap hak asasi terdakwa jika dibandingkan dengan HIR (Herziene Indonesich Reglement. Namun penerapannya dalam praktek hukum tidak jarang dirasakan adanya ketentuanketentuan yang kurang adil antara lain ketentuan yang diatur dalam Pasal 67, Pasal 244 KUHAP, dimana Penuntut Umum yang bertindak untuk dan atas nama negara serta secara sekaligus mewakili korban kejahatan tidak berhak mengajukan banding dan kasasi terhadap putusan bebas (Vrijspraak). Larangan bagi penuntut umum untuk mengajukan kasasi terhadap putusan 10 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permsalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Pununtutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta 2012, hal 380 11 Lilik Mulyadi, Op-Cit 38

bebas tersebut dalam praktek hukum, keadilan dan kebenaran dengan syarat bahwa penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa putusan bebas tersebut adalah putusan bebas yang tidak murni (Verkapte Vrijspraak/niet zuivere vrijspraak ). B. Penghentian Penuntutan Perbedaan antara Penghentian Penuntutan dan Deponering Mengenai penghentian penuntutan diatur dalam Pasal 140 ayat (2), yang menegaskan penuntut umum dapat menghentikan penuntutan suatu perkara dalam arti pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang disampaikan penyidik tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan. Akan tetapi hal ini tidak dimaksudkan menyampingkan atau mendeponer perkara pidana tersebut. Oleh karena itu harus dengan jelas dibedakan antara tindakan hukum penghentian penuntutann dengan penyampingan (deponering) perkara yang dimaksud Pasal 8 Undang-undang Nomor 15/1961 (sekarang Pasal 32 huruf c Undang-undang No. 5 Tahun 1991) dan Penjelasan Pasal 77 KUHAP. dalam penjelasan Pasal 77 KUHAP ditegaskan yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyempingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. 12 Tentang masalah penyampingan (deponering) terdapat dalam uraian asas legalitas, namun dalam uraian tersebut lebih disoroti segi-segi yang mengangkut pertentangan antara asas legalitas dengan asas opportunitas. Sekalupun bahwa KUHAP menganut asas legalitas, namun KUHAP sendiri masih memberi kemungkinan mempergunakan prinsip 12 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permsalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Pununtutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta 2012, hal 436 opportunitas sebagaimana hal ini masih diakui oleh Penjelasan Pasal 77 KUHAP. 13 Terlepas dari kenyataan bahwa KUHAP masih memberi kemungkinan oppotunitas dalam penegakan hukum, mari kita lihat dimana letak perbedaan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan, yang terpenting diantaranya: a. Pada penyampingan atau deponering perkara, perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka siding pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan basar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini, sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum atas`alasan demi untuk kepentingan umum. Menurut Penjelasan Pasal 32 UU No. 5/1991, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingn bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, selanjutnya dikataan mengeyampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas opportunitas, hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunayai hubungan dengan masalah tersebut. Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum korbankan demi kepentingan umum. Seorang yang cukup bukti melakukan tindak pidana perkaranya dideponir atau dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Itu sebabnya, asas opportunitas bersifat diskriminatif dan menggagahi makna persamaan 13 Ibid 39

kedudukan dihadapan hukum (equality before the law). Sebab kepada orang tertentu, dengan mempertimbangkan alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegakan hukum dikesampingkan. 14 b. Sedangkan pada penghentian penuntutan, alasan bukan didasarkan pada kepentingan umum, akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan kepentingan hukum itu sendiri: 1) Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup, sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang pengadilan, diduga keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim, atas`alasan kesahan yang didakwakan tidak terbukti. Untuk menghindari keputusan kebebasan yang demikian lebih bijaksana penuntut umum menghentikan penuntutan. 2) Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Setelah penuntut umum mempelajari berkas perkara hasil pemeriksaan penyidikan, dan berkesimpulan bahwa apa yang disangkakan penyidik kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran, penuntut umum lebih baik menghentikan penuntutan. Sebab bagaimanapun dakwaan yang bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran yang diajukan kepada sidang pengadilan, pada dasarnya hakim akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtvervorging). 3) Alasan ketiga dalam penghentian penuntutan adalah atas dasar perkara ditutup demi hukum atau set a side 14 Ibid. 4) Penghentin penuntutan atas dasar perkara ditutup demi hukum ialah tidak pidana yang terdakwanya oleh hukum sendiri telah dibebaskan dari tuntutan atau dakwan dan perkara itu sendiri oleh hukum harus ditutup atau dihentikan pemeriksaannya pada semua tingkat pemeriksaan. Alasan hukum yang menyebabkan seuatu perkara ditutup demi hukum, biasa didadasarkan antara lain: (a) Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia. Apabila terdakwa meninggal dunia dengan sendirinya menurut hukum menutup tindakan penuntutan. Hal ini sesuai dengan asas hukum yang dianut bahwa suatu perbuatan tindak pidana hanya dapat dipertanggungjawabkan kepada orang yang melakukan sendiri tindak pidana tersebut. Dengan demikian apabila pelaku telah meninggal dunia, lenyap dengan sendirinya pertanggungjawaban atas tindak pidana yang bersangkutan, dan pertanggungjawaban itu tidak dapat dipindahkan kepada keluarga atau ahli waris terdakwa (Pasal 77 KUHP. (b) Atas alasan ne bis in idem. Alasan ini menegaskan tidak boleh menuntut dan menghukum seseorang dua kali atas pelanggaran tindak pidana yang sama. Seseorang hanya boleh dihukum satu kali saja atas suatu kejahatan atau pelanggaran tindak pidana yang sama. Oleh karena itu apabila penuntut umum menerima berkas pemeriksaan dari penyidik, kemudian dari hasil penelitian yang dilakukan ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka adalah peristiwa pidana yang telah dituntut dan diputus oleh hakim 40

dalam satu siding pengadilan dan putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika demikian halnya, penuntut umum harus menutup pemeriksaan perkara demi hukum (Pasal 76 KUHP). (c) Terhadap perkara yang hendak dituntut oleh penuntut umum, ternyata telah kadaluarsa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 80 KUHP. 15 Jadi apa yang dijelaskan diatas tampak perbedaan alasan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara. Penghentian penuntutan didasarkan pada alasan hukum dan demi tegaknya hukum, sedangkan pada penyampingan perkara, hukum dikorbankan dengan kepentingan umum. Disamping perbedaan dasar alasan yang ditemukan di atas, terdapat lagi perbedaan prinsipil antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara: - Pada penghentian penuntutan, perkara yang bersangkutan umumnya masih dapat lagi kembali diajukan penuntutan, jika ternyata ditemukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan. Umpamanya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut sudah dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa. - Lain halnya pada penyampingan atau deponering perkara, dalam hal ini satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak ada lagi alasan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang pengadilan. 16 Setelah Penuntut Umum menerima atau menerima kembali berkas perkara hasil penyidikan yang sudah lengkap atau sudah 15 Ibid.hal 438 16 Ibid. dilengkapi oleh penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan kepengadilan (Pasal 39 KUHAP) Sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak semua berkas hasil penyidikan yang sudah lengkap adalah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke Pengadilan, misalnya berkas perkara hasil penyidikan yang sudah lengkap, tetapi tersangkanya sudah meninggal dunia (Pasal 77 KUHAP), atau Hak menuntut telah gugur karena kadaluwarsa (lewat waktu/verjaring/lost by limitatition) berdasarkan Pasal 78 KUHP atau karena terangkanya tidak dapat dituntut/diadili untuk yang kedua kalinya beradasrkan asas ne bis in idem (Pasal 76 KUHAP). dalam hal yang demikian maka perkaranya tidak pelu dilimpahkan ke Pengadilan. Dan Penuntut Umum akan memutuskan penghentian penuntutan dengan cara perkara tersebut ditutup demi hukum dan dituangkan dalam Bentuk Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP model P-28) sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) KUHAP. disamping itu Penuntut Umum dapat menghentikan penuntutan berdasarkan alasan karena tidak terdapat cukup bukti atau perkara tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana. 17 Mengenai wewenang penuntut umum untuk menutup perkara demi kepentingan hukum seperti tersebut dalam Pasal 140 ayat (2) butir a pedoman pelaksaan KUHAP memberi penjelasan bahwa perkaranya ditutup demi hukum diartikan sesuai dengan Buku I KUHP Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut tersebut dalam Pasal 76, dan 78 KUHP. 18 17 H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Universitas Muhammadyah, Malang, 2003, hal. 220. 18 Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Dikeluarkan oleh Departmen Kehakiman Republik Indonesia, Cet. Kedua, hal. 88 41

1. Tata Cara Penghentian Penuntutan Di atas disamping memperhatikan perbedaan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara sekaligus dikemukakan alasan-alasan yang memperbolehkan penuntut umum melakukan penghentian penuntutan. Oleh karena itu tidak akan diulangi lagi membicarakannya. Yang akan dibicarakan selanjutnya adalah tata cara penghentian penuntutan. Tentang hal ini dijelaskan dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP: a. Penghetian penuntutan dituangkan oleh penuntut umum dalam suatu surat penetapan yang disebut SP3. b. Isi surat penetapan penghentian penuntutan diberitahukan kepada tersangka. c. Dalam hal penuntut umum melakukan penghentian penuntutan, sedang tersangka berada dalam penahanan, penuntut umum? wajib? segera membebaskan diri dari penahanan. d. Turun surat penetapan penghentian penuntutan wajib Jadi Jaksa yang menerima dokumen perkara memiliki opsi (pilihan) yang terbuka baginya untuk mengambil keputusan sehubungan dengan alternatif-alternatif ini yang tidak akan ditinjau lagi, namun pada bagian belakang akan diiktiarkan dalam skema atau peta. Apabila jaksa minta kepada kepolisian untuk menyelidiki lebih lanjut setelah menerima berkas perkara sesuai dengan opsi (pilihan), peneyelidikan lebih lanjut ini tunduk pada pembatasanpembatasan seperti yang telah diuraikan sehubungan dengan kegiatan-kegiatan pemeriksaan pendahuluan, (memulai dari pemeriksaan juridis pendahuluan), memerlukan penjelasan. 19 Jaksa dapat memintah penahan sementara digabung dengan pilihan A3, B, a 19 M.L. Hc. Husman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum. Soedjono Dirdjosisworo,. (Penyadur), Rajawali, Jakarta, Tanpa Tahun, hal. 139. dan B.b. minta diadakan penahanan sementara dan menentukan pemeriksaan pendahuluan pengadilan membentuk suatu Tindakan Penuntutan. Apabila dikenakan penahanan sementara, pilihan satu-satunya yang dibuka bagi jaksa adalah apa yang terdapat setelah selesai pemeriksaan pendahuluan peradilan, sebagai kontras daripada sepot sebelumnya tindakan penuntutan, sepot setelah tindakan penuntutan menghindarkan penuntutan berikutnya. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Bahwa wewenang jaksa penuntut umum yaitu meneliti berkas perkara apakah tersangka dapat dilimpahkan pemeriksaan ke siding pengadilan ataukah tidak, atas dasar alasan yang benar-benar penting menurut hukum, guna kepentingan pemeriksaan atau penuntutan 2. Bahwa penghentian penuntutan demi kepentingan hukum oleh jaksa penuntut umum sangatlah adil karena jaksa penuntut umum telah meneliti berkas perkara tersebut : a. tidak cukup bukti, b. perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap (ne bis in iem) c. perkara sudah daluwarsa. d. tersangka telah meninggal dunia. Jadi apabila berkas perkara dipaksakan untuk dilimpahkan ke sidang pengadilan, sudah barang tentu hakim akan memutuskan perkara tersebut yaitu dalam bentuk Putusan Bebas (Vrejpraak) atau Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (onslag van rechtsvervorging). Dan apabila dikemudian hari ternyata terdapat bukti baru, bukti yang cukup beralasan untuk diproses kembali atau dapat dilimpahkan kembali ke sidang pengadilan. Lain halnya 42

dengan penyampingan perkara demi kepentingan umum, yaitu sangatlah tidak adil, karena semua berkas perkara setelah diteliti memenuhi syarat yaitu syarat material dan syarat formil sudah terpenuhi untuk diajukan ke sidang pengadilan namun dikesampingkan (dideponer) oleh Jaksa Penuntut Umum. B. Saran Bahwa dalam penghentin penuntutan jaksa Penuntut Umum setelah meneliti berkas pelimpahan perkara oleh penyidik kepada penuntut umum tidak terdapat cukup bukti, atau tersangkanya sudah meninggal dunia (Pasal 77 KUHAP), atau Hak menuntut telah gugur karena kadaluwarsa (lewat waktu/verjaring/lost by limitatition) berdasarkan Pasal 78 KUHP atau karena tersangkanya tidak dapat dituntut/diadili untuk yang kedua kalinya beradasarkan asas ne bis in idem (Pasal 76 KUHAP), dalam hal yang demikian maka perkaranya tidak perlu dilimpahkan ke Pengadilan. Jaksa penuntut umum janganlah mengulur-ulur waktu mungkin karena kepentingan politik atau kepentingan-kepentingan lain. Haruslah sesegera mungkin menutup perkara tersebut dan memuat surat penetapannya. DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2013 Amin. S. M., Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1971, Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Adtiyah Bakti, Bandung, 2002, Enschede, Ch.J.,dan A. Heijder, Asas-asas Hukum Pidana, terjemahan R. Achmad Soemadipradja, Alumni, Bandung, 1982. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, II, Pustaka Kartini, Jakarta, 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Keduaua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.. Kuffal, H.M.A, Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang, 2003, Lamintang, P. A. F., dan Lamintang Theo, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas Dipenegoro, Semarang, 1995. Muladi dan Badara Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, Mulyadi Lilik, Hukum Acara Pidana Indonesia, Suatu Tinjauan Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung 2002.. Hukum Acara Pidana Indonesia, Suatu Tinjauan Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012. Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, cetakan ke2, 1984. Nusantara, A.H.G., et al, KUHAP dan Peraturan-peraturan Pelaksana, Djambatan, Jakarta, 1986. Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta, 1976, Prakoso, Djoko, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dalam Proses Hukum Acara Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, cet.ke-10, 1980 43