PELANGGARAN-PELANGGARAN HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA Senin, 06 Desember :46

dokumen-dokumen yang mirip
AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA DI DALAM PERJANJIAN KREDIT

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI BARANG JAMINAN FIDUSIA DAN HAMBATANNYA DALAM PRAKTEK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

Pembebanan Jaminan Fidusia

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBUK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari

BAB I PENDAHULUAN. jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut. 1

PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN

BAB I PENDAHULUAN. hukum publik menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Kebutuhan akan adanya lembaga jaminan, telah muncul sejak zaman romawi.

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat ekonomi tinggi, menengah dan rendah. hukum. Kehadiran berbagai lembaga pembiayaan membawa andil yang besar

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang di Indonesia juga. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. lain sehingga muncul hubungan utang piutang. Suatu utang piutang merupakan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yang menganut Negara welfare state yaitu negara yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang. pembayaran bagi semua sektor perekonomian. 1

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun

BAB I PENDAHULUAN. oleh gabungan orang yang bukan badan hukum sekalipun. Tidak dapat

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang ekonomi terlihat dalam Undang-Undang Dasar

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

PELAKSANAAN PENGIKATAN JAMINAN FIDUSIA DALAM KREDIT PERBANKAN

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. Pinjam meminjam merupakan salah satu bagian dari perjanjian pada

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan laju perekonomian akan menimbulkan tumbuh dan

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB II FIDUSIA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK LEMBAGA JAMINAN KEBENDAAN. Fidusia manurut asal katanya berasal dari fides yang berarti

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pelaksanaan Perjanjian Kredit dengan Jaminan Fdusia di PT Bank Perkreditan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap dapat. Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

BAB II KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM YANG MENYANGKUT JAMINAN FIDUSIA. artinya, apabila jaminan dengan hak tanggungan sebagaimana diterangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat yang sejahtera adil dan makmur berdasarkan Pancasila

BAB III PENUTUP. penulis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh BPR Madani Sejahtera Abadi

BAB I PENDAHULUAN. nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

BAB I PENDAHULUAN. macam, yaitu kebutuhan primer, sekunder dan tersier. 1 Meningkatnya kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. individu, manusia juga berperan sebagai makhluk sosial di mana manusia hidup

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK. Oleh: Ni Made Trisna Dewi ABSTRACT

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan rangkaian pembahasan sebelumnya mengenai perlindungan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan upaya mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. risiko yaitu yang paling mungkin terjadi adalah terjadinya tunggakan

KEWENANGAN PELAKSANAAN EKSEKUSI OLEH KREDITUR TERHADAP JAMINAN FIDUSIA DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

Transkripsi:

<p align="center"><strong>pelanggaran - PELANGGARAN HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA</strong><strong> </strong></p> <p align="center"> </p> <p align="center"><strong>oleh : Unan Pribadi, SH.</strong></p> <p align="center">(kepala Sub Bidang Pelayanan Hukum Umum Kanwil Kementerian Hukum dan HAM DIY)</p> <p align="center"> </p> <p> Secara jenaka ada yang mengartikan bank sebagai institusi yang bersedia memberikan payung kepada seseorang ketika cuaca baik, tetapi segera memintanya kembali ketika hujan mulai turun (Munir Fuady, SH.,MH.,LLM.).</p> <p> </p> <p> <strong>p E N D A H U L U A N</strong></p> <p>salah satu aktifitas dalam dunia perbankan maupun lembaga keuangan lainnya adalah pemberian kredit kepada nasabah. Pemberian kredit ini merupakan salah satu bentuk usaha bank untuk mendapatkan keuntungan dari dana yang dimiliki bank yang telah berhasil dihimpun dari pihak lain melalui layanan berbentuk tabungan, giro, maupun deposito berjangka.</p> <p>pengucuran kredit yang dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya pasti mengandung suatu risiko. Oleh karenanya, perjanjian kredit harus ditopang suatu lembaga jaminan yang fungsinya untuk keamanan pemberian kredit, yang mana jika debitur tidak memenuhi prestasinya secara sukarela maka kreditur mempunyai hak untuk menuntut piutangnya terhadap harta kekayaan debitur yang dipakai sebagai jaminan. Hak pemenuhan dari kreditur tersebut dilakukan dengan cara penjualan benda-benda jaminan di mana hasilnya adalah untuk pemenuhan hutang debitur (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980 : 31). Tanpa adanya lembaga jaminan dalam suatu perjanjian kredit, niscaya pihak kreditur akan kesulitan untuk mendapatkan pelunasan pinjamannya dari pihak debitur manakala pihak debitur melakukan wanprestasi.</p> <p>dewasa ini, lembaga jaminan yang banyak diterapkan dalam perjanjian kredit adalah hipotik atau hak tanggungan, gadai dan jaminan fidusia. Lembaga jaminan hipotik digunakan apabila obyek jaminan atau agunannya adalah benda tetap (benda tidak bergerak). Sedangkan apabila obyek agunannya adalah benda-benda bergerak maka dapat diikat dengan gadai atau dengan jaminan fidusia.</p> <p>lembaga jaminan fidusia sebagai suatu perjanjian <em>accessoir</em> dari perjanjian utang piutang (perjanjian kredit) merupakan perkembangan dari lembaga jaminan gadai. Perbedaan prinsipil antara lembaga jaminan gadai dengan lembaga jaminan fidusia terletak pada aspek <em>penguasaan atas obyek jaminannya</em>. Pada lembaga gadai, obyek jaminan diserahkan dan dikuasai oleh pihak penerima gadai (kreditur), sedangkan dalam perjanjian jaminan fidusia, obyek jaminan tetap dikuasai oleh pihak pemberi fidusia (debitur). Perbedaan tersebut merupakan kelebihan jaminan fidusia dibandingkan gadai karena obyek jaminan tetap dapat dimanfaatkan oleh debitur untuk kegiatan usahanya.</p> <p>pada awalnya, ketentuan hukum tentang lembaga jaminan fidusia di Indonesia hanya mendasarkan pada jurisprudensi saja. Namun mengingat lembaga jaminan fidusia semakin banyak digunakan dalam kegiatan bisnis, pemerintah akhirnya campur tangan dengan membuat regulasi dalam bentuk undang-undang untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum baik bagi pihak kreditur maupun pihak debitur.</p> <p>pada saat ini lembaga jaminan fidusia telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam undang-undang tersebut telah diatur ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dan ditaati dalam melakukan perjanjian jaminan fidusia, termasuk diantaranya adalah ketentuan yang mewajibkan untuk mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia ( Pasal 11 ayat (1) jo. Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 ).</p> <p>sejak diundangkan pada tanggal 30 September 1999, dalam praktek pemberian kredit dengan jaminan fidusia yang seharusnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ternyata 1 / 5

masih banyak terjadi pelanggaran, sebagai salah satu contohnya adalah masih banyak pihak bank maupun lembaga pembiayaan (<em>finance</em>) yang tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Beranjak dari fenomena itu, penulis tertarik membahas permasalahan tersebut dengan topik permasalahan : Pelanggaran-pelanggaran hukum apa yang terjadi dalam praktek perjanjian kredit dengan obyek jaminan fidusia pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia? </p> <p> </p> <p><strong>p E M B A H A S A N</strong></p> <p>dalam perjanjian kredit yang dilakukan oleh perbankan, pihak bank harus bertindak hati-hati dengan memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat yaitu dengan memperhatikan kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum mengucurkan kreditnya pihak bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, <em>agunan</em> dan prospek usaha pihak calon nasabah (Widjanarto, 1997 : 67).</p> <p>apabila yang menjadi obyek agunan adalah berupa benda bergerak maka dapat diikat dengan perjanjian jaminan fidusia. Dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, bank harus bertindak sangat hati-hati khususnya dalam hal bonafiditas calon debitur karena barang-barang bergerak yang dijaminkan secara fidusia tetap dikuasai oleh debitur. Oleh karenanya, berhasil atau gagalnya bentuk jaminan fidusia itu semata-mata tergantung pada bonafiditas dan itikad baik pihak debitur (Widjanarto : 71).</p> <p>pengertian fidusia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga) ciri fidusia yaitu :</p> <p>1. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda;</p> <p>2. Atas dasar kepercayaan;</p> <p>3. Benda itu tetap dalam penguasaan pemilik benda (J. Satrio, 2002 : 159).</p> <p>selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 diatur mengenai pengertian Jaminan Fidusia yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.</p> <p>adapun yang dapat dijadikan obyek jaminan fidusia adalah sebagai berikut :</p> <p>a. Benda bergerak yang berwujud seperti benda dagangan, inventory (benda dalam persediaan), peralatan mesin, kendaraan bermotor dll.;</p> <p>b. Benda bergerak yang tidak berwujud termasuk saham, piutang;</p> <p>c. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan, misalnya bangunan milik debitur yang berdiri di atas tanah milik orang lain atau tanah hak pakai dari pihak lain.</p> <p>terhadap pembebanan dengan jaminan fidusia harus memenuhi ketentuan :</p> <p>1. Harus dibuat dengan akta Notaris dan dengan bahasa Indonesia (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999);</p> <p>2. Akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat :</p> <p>a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;</p> <p>b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;</p> <p>c. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;</p> <p>d. Nilai penjaminan; dan</p> Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999). <p>setiap benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Adapun pihak yang wajib mendaftarkan adalah pihak penerima fidusia (kreditur) atau kuasa atau wakilnya. Kantor 2 / 5

Pendaftaran Fidusia akan mencatat jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran jaminan fidusia. Tanggal pencatatan jaminan fidusia pada Buku Daftar Fidusia adalah dianggap sebagai tanggal lahirnya jaminan fidusia.</p> <p>sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dalam implementasinya masih terdapat pelanggaran-pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh pihak kreditur (penerima fidusia) maupun oleh pihak debitur (pemberi fidusia). Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan oleh kreditur adalah sebagai berikut :</p> <p>1. Kreditur tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia.</p> <p>pelanggaran ini biasanya dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) maupun bank umum untuk nilai pinjamannya kecil. Dalam hal ini pihak bank sudah siap menanggung resiko jika terjadi kredit macet. Lembaga Pembiayaan (<em>finance</em>) juga banyak yang tidak mendaftarkan jaminan fidusianya dengan alasan demi efisiensi dalam menghadapi persaingan dengan lembaga pembiayaan lainnya.</p> <p>pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 sudah mengatur bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia tidak berlaku, dengan kata lain untuk berlakunya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia maka harus dipenuhi bahwa benda jaminan fidusia itu didaftarkan. Kreditur yang tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia tidak bisa menikmati keuntungan-keuntungan dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang jaminan fidusia seperti misalnya hak preferen atau hak didahulukan (J. Satrio, 242-243). Konsekwensi lain dengan tidak didaftarkannya suatu obyek jaminan fidusia adalah apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak bisa langsung melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia namun harus menempuh gugatan secara perdata di pengadilan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Apabila sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka baru dapat dimintakan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia.</p> <p>2. Pendaftaran fidusia dilakukan setelah debitur wanprestasi.</p> Pelanggaran ini masih banyak dilakukan oleh lembaga pembiayaan (<em>finance</em>) dengan alasan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pada saat debitur mulai wanprestasi, perusahaan<em> finance</em> baru mendaftarkan obyek jaminan fidusia dalam rangka untuk memenuhi persyaratan untuk melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia. Pemicu tindakan lembaga <em>finance </em>ini dikarenakan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia tidak diatur ketentuan mengenai daluarsa pendaftaran jaminan fidusia sehingga Kantor Pendaftaran Fidusia tidak punya alasan untuk menolak permohonan pendaftaran fidusia yang perjanjian kreditnya sudah ditandatangani dalam waktu yang lama (biasanya 2-3 tahun sebelum didaftarkan). <p>walaupun tidak ada aturan mengenai daluarsa pendaftaran jaminan fidusia, namun dalam Pasal 14 sub 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah diatur bahwa jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana tercatat dalam Buku Daftar Fidusia. Oleh sebab itu, apabila ada perjanjian kredit yang dibuat beberapa tahun yang lalu namun pendaftaran jaminan fidusianya baru dilakukan belakangan maka berlakunya jaminan fidusia itu adalah pada saat didaftarkan bukan pada saat perjanjian kredit ditandatangani atau pada saat penandatanganan akta notariil. Konsekwensinya adalah peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi sebelum pendaftaran jaminan fidusia tidak berlaku ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.</p> <p>3. Perjanjian kredit yang diikat dengan jaminan fidusia namun obyeknya bukan merupakan 3 / 5

obyek jaminan fidusia, seperti misalnya hak sewa, hak pakai maupun sewa beli (<em>leasing</em>). Hal ini lebih dikarenakan ketidaktahuan kreditur terhadap aspek hukum tentang jaminan fidusia. Benda yang merupakan obyek sewa-menyewa, hak pakai atau sewa beli bukan merupakan hak kebendaan sehingga bukan merupakan obyek jaminan fidusia sehingga tidak dapat didaftar di Kantor Pendaftaran Fidusia. Karena bukan merupakan obyek jaminan fidusia, maka apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak mempunyai hak preferen dan tidak dapat melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.</p> <p>4. Kreditur melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia tidak sesuai ketentuan Pasal 29 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.</p> Apabila debitur wanprestasi dengan tidak melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan, maka dapat dilakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia yang telah didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia guna pelunasan utang tersebut. Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diatur mengenai cara melakukan eksekusi yaitu :<ol start="1"> <li>pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.</li> </ol> <p>dalam sertifikat jaminan fidusia terdapat irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.</p> <ol start="2"> <li>penjualan benda obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum;</li> <li>penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia untuk memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan kedua belah pihak.</li> </ol> <p>dalam hal eksekusi dilakukan dengan penjualan di bawah tangan maka boleh dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan minimal dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Prosedur inilah yang sering dilanggar oleh lembaga pembiayaan (<em>finance</em>) dalam melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan. Biasanya <em>finance </em>akan menggunakan jasa <em>debt collector</em> yang langsung mendatangi debitor dan mengambil kendaraan obyek jaminan dan kemudian oleh <em>finance </em>akan menjualnya kepada pedagang yang sudah menjadi relasinya. Hasil penjualan tidak diberitahukan kepada debitur apakah ada sisa atau masih ada kekurangan dibandingkan dengan hutang debitur.</p> <p>terhadap eksekusi yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 berakibat eksekusi tidak sah sehingga pihak pemberi fidusia (debitur) dapat menggugat untuk pembatalan.</p> <p>selain dilakukan oleh pihak kreditur, pelanggaran hukum terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 juga dapat dilakukan oleh pihak debitur. Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan debitur adalah sebagai berikut :</p> <p>1. Debitur menjaminkan lagi obyek jaminan fidusia (Fidusia ulang)</p> Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia melarang adanya tindakan fidusia ulang sebagaimana diatur dalam Pasal 17. Ketentuan ini dibuat dalam rangka untuk melindungi kepentingan pihak kreditur yang telah memberikan pinjaman kepada debitur dan obyek jaminannya tetap dikuasai oleh debitur. Ketentuan tersebut sangat logis karena atas obyek jaminan fidusia dimaksud hak kepemilikannya telah <em>beralih</em> dari pemberi fidusia (debitur) kepada penerima fidusia (kreditur) sehingga tidak mungkin lagi dijaminkan kepada pihak lain. Apabila atas benda yang sama menjadi obyek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya di Kantor Pendaftaran Fidusia 4 / 5

(pasal 28). <p>1. Pemberi fidusia (debitur) menggadaikan, mengalihkan atau menyewakan obyek jaminan fidusia tanpa seijin penerima fidusia (kreditur).</p> <p>tindakan ini biasanya dilakukan oleh debitur yang telah mendapatkan pembiayaan dari perusahaan <em>finance</em> untuk pembelian kendaraan bermotor, di mana hutangnya belum lunas tapi kendaraannya telah digadaikan secara di bawah tangan kepada pihak ketiga.</p> <p>terhadap perbuatan tersebut, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 telah mengatur ancaman pidana bagi debitur yang mengadaikan atau mengalihakan obyek jaminan fidusia tanpa seijin kreditur yaitu diancam pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).</p> <p>2. Debitur mengubah dan atau mengganti isi dari benda yang menjadi obyek jaminan sehingga kualitasnya menjadi turun (jelek). Misalnya mengganti onderdil kendaraan bermotor dengan onderdil palsu atau onderdil bekas.</p> <p>perbuatan debitur tersebut tidak dapat dibenarkan karena pada saat ditandatanganinya perjanjian kredit dan perjanjian jaminan fidusia, hak kepemilikan atas obyek jaminan fidusia telah <em>beralih</em> dari pemberi fidusia (debitur) kepada penerima fidusia (kreditur), sehingga pemberi fidusia (debitur) hanya <em>dianggap sebagai penyewa</em> yang mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan memakai obyek jaminan yang dikuasainya dengan baik.</p> <p> </p> <p><strong>k E S I M P U L A N</strong></p> Dalam praktek pemberian kredit dengan jaminan fidusia, ternyata masih banyak pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 walaupun undang-undang tersebut telah berlaku lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Pelanggaran dimaksud dilakukan oleh pihak debitur maupun pihak kreditur. Terhadap pelanggaran hukum terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia membawa akibat hukum baik yang bersifat pidana maupun non pidana. <p> </p> <p align="center"><strong>daftar PUSTAKA</strong></p> <p>fuady Munir, <em>hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek</em>, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1994.</p> <p>satrio J., <em>hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia</em>, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2002.</p> <p>sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, <em>hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, </em>liberty Offset Yogyakarta, 1980.</p> <p>widjanarto, <em>hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia</em>, Pustaka Utama Grafiti Jakarta, 1997.</p> <p align="center"> </p> <p align="center"><strong>daftar PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN</strong></p> <p>undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.</p> <p>peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia.</p> Keputusan Presiden Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia di Setiap Ibukota Propinsi di Wilayah Negara Republik Indonesia. <p> </p> 5 / 5