PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1960 TENTANG PENGUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 1957 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1956 TENTANG PERATURAN-PERATURAN DAN TINDAKAN-TINDAKAN MENGENAI TANAH-TANAH PERKEBUNAN KONSESI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1956 TENTANG PENGAWASAN TERHADAP PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH-TANAH PERKEBUNAN

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PANITIA KERJA LIKWIDASI TANAH-TANAH PARTIKELIR

PERATURAN-PERATURAN DAN TINDAKAN-TINDAKAN MENGENAI TANAH-TANAH PERKEBUNAN KONSESI Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1956 tanggal 31 Desember 1956

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1961 TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DIATASNYA

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1954 TENTANG PENYELESAIAN SOAL PEMAKAIAN TANAH PERKEBUNAN OLEH RAKYAT

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.25/Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1956 TENTANG PERATURAN-PERATURAN DAN TINDAKAN-TINDAKAN MENGENAI TANAH-TANAH PERKEBUNAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1961 TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DIATASNYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1955 TENTANG DEWAN KEAMANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROVINSI SULAWESI UTARA KEPUTUSAN BUPATI BOLAANG MONGONDOW UTARA NOMOR 194 TAHUN 2014

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.28/Menhut-II/2014 TENTANG

Draft 0 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. /Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR. P.47/Menhut -II/2010 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1958 TENTANG BADAN KOORDINASI PENYALURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1961 TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DIATASNYA *)

KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-16/PM/1996 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1961 TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DI ATASNYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1960 TENTANG PENGUASAAN BENDA-BENDA TETAP MILIK PERSEORANGAN WARGA NEGARA BELANDA

Mengingat: Pasal 97, pasal 89 dan pasal 111 ayat 2 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU 7/1951, PERUBAHAN DAN TAMBAHAN UNDANG UNDANG LALU LINTAS JALAN (WEGVERKEERSORDONNANTIE, STAATSBLAD 1933 NO. 86) Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3 TAHUN 1950 TENTANG PERMOHONAN GRASI

Presiden Republik Indonesia,

IJIN LOKASI DAN PENETAPAN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1956 TENTANG PENGAWASAN TERHADAP PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH-TANAH PERKEBUNAN

KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-11/PM/1996 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1952 TENTANG PENGHASILAN DAN USAHA PEGAWAI NEGERI DALAM LAPANGAN PARTIKELIR

KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-06/PM/1996 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR BURSA EFEK

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak As

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1958 TENTANG PENYERAHAN URUSAN LALU-LINTAS JALAN KEPADA DAERAH TINGKAT KE-I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1958 TENTANG PERSETUJUAN KONPENSI HAK-HAK POLITIK KAUM WANITA *) Presiden Republik Indonesia,

BUPATI BERAU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 1958 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH-DAERAH TINGKAT I BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1958 TENTANG PERSETUJUAN KONVENSI HAK HAK POLITIK KAUM WANITA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1950 TENTANG BIRO DEMOBILISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

WALIKOTA BATU KEPUTUSAN WALIKOTA BATU NOMOR: 180/35/KEP/ /2013 TENTANG

2016, No Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 3. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Lemb

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1957 TENTANG DEWAN EKONOMI DAN PEMBANGUNAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI DALAM NEGERI PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 5 TAHUN 1973 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI TATA CARA PEMBERIAN HAK ATAS TANAH

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.93/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1958 TENTANG PELAKSANAAN PERSETUJUAN PAMPASAN PERANG ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN JEPANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1959 TENTANG POKOK-POKOK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NASIONALISASI PERUSAHAAN BELANDA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1959 TENTANG POKOK-POKOK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NASIONALISASI PERUSAHAAN BELANDA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1958 TENTANG DEWAN BAHAN MAKANAN. Presiden Republik Indonesia,

(dibuat diatas kertas kop perusahaan) Perihal : Permohonan Penetapan sebagai Pialang Berjangka yang melaksanakan kegiatan penerimaan Nasabah secara

DEWAN PERANCANG NEGARA Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1952 Tanggal 7 Januari 1952 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 223 TAHUN 1961 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : bahwa perlu diadakan peraturan untuk menentukan penggantian kerugian bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat;

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR KEPUTUSAN WALIKOTA BATU NOMOR: /62/KEP/ /2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1958 TENTANG DEWAN BAHAN MAKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


NOMOR 8 TAHUN 1953 TENTANG PENGUASAAN TANAH-TANAH NEGARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR,

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 1956 TENTANG PENGAWASAN TERHADAP PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH-TANAH PERKEBUNAN KONSESI

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI GOWA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GOWA NOMOR 03 TAHUN 2014 TENTANG PENERTIBAN PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH NEGARA

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Mendengar : Dewan Menteri dalam rapatnya pada tanggal 15 Pebruari 1952; Memutuskan:

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1955 TENTANG BANK NEGARA INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Ne

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No penyelesaian sengketa di luar pengadilan, perlu mengatur mengenai mekanisme pemblokiran dan pembukaan pemblokiran akses sistem admini

2017, No Cara Pemblokiran dan Pembukaan Pemblokiran Akses Sistem Administrasi Badan Hukum Perseroan Terbatas; Mengingat : 1. Undang-Undang Nom

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

Transkripsi:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1957 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 1956 (LEMBARAN-NEGARA 1956 NOMOR 73) DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1956 (LEMBARAN-NEGARA 1956 NOMOR 74) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dianggap perlu untuk menetapkan peraturan lebih lanjut untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1956 tentang "Pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan dan Undang-Undang Nomor 29 tahun 1956 tentang "Peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan mengenai tanah perkebunan". Mengingat: a. Pasal 98 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia; b. Undang-undang Nomor 28 tahun 1956 (Lembaran Negara 1956 Nomor 73); c. Undang-undang Nomor 29 tahun 1956 (Lembaran Negara 1956 Nomor 74). Mendengar: Dewan Menteri dalam rapatnya pada tanggal 19 November 1957. MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 1956 (LEMBARAN NEGARA 1956 NOMOR 73) DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1956 (LEMBARAN NEGARA 1956 NOMOR 74) sebagai berikut: BAB I TENTANG PANITYA PERKEBUNAN DAERAH DAN PUSAT Pasal 1 (1) Untuk melancarkan pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 tahun 1956 (Lembaran Negara 1956 Nomor 73), dan Undang-undang Nomor 29 tahun 1956 (Lembaran Negara 1956 Nomor 74) dibentuk Panitya Perkebunan Daerah di daerah-daerah Swantantra tingkat I : a. Jawa Timur; b. Jawa Tengah; 1 / 8

c. Jawa Barat; d. Sumatera Selatan; e. Sumatera Barat; f. Sumatera Utara; g. Aceh; h. Daerah Swantantra tingkat I lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian. (2) Panitya Perkebunan Daerah tersebut terdiri dari : a. Kepala Daerah Swantara tingkat I, sebagai anggota merangkap Ketua; b. Kepala Kantor Perwakilan Jawatan Perkebunan, sebagai anggota merangkap Wakil Ketua dan Sekretaris; c. Kepala Kantor Hubungan Perburuhan Daerah, sebagai anggota; d. Kepala Kantor Inspeksi Agraria, sebagai anggota; e. Kepala Pengawas Kebijaksanaan Propinsi, sebagai anggota; f. satu atau dua orang wakil serikat-serikat buruh yang ditunjuk oleh atau atas nama Menteri Perburuhan, sebagai anggota; g. satu atau dua orang wakil perusahaan perkebunan besar yang ditunjuk oleh atau atas nama Menteri Pertanian, sebagai anggota; h. satu atau dua orang wakil organisasi-organisasi tani yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian, sebagai anggota; i. seorang wakil dari golongan veteran, yang ditunjuk oleh menteri Urusan Veteran, sebagai anggota. (3) Dalam Daerah Swatantra tingkat I dimana tidak ada pejabat-pejabat tersebut sub b s/d c, maka oleh Menteri yang bersangkutan ditunjuk pejabat lain sebagai gantinya. (4) Anggota-anggota tersebut sub a s/d e karena jabatannya menjadi anggota-anggota Panitia Daerah. Anggota-anggota tersebut sub f s/d i diberhentikan oleh Menteri yang bersangkutan. Pasal 2 (1) Untuk tujuan yang sama di Jakarta dibentuk Panitia Perkebunan Pusat yang terdiri dari : a. Kepala jawatan Perkebunan Kementerian Pertanian, sebagai anggota merangkap Ketua; b. Kepala Urusan Politik Agraria dan Perencana dari Kementerian Agraria, sebagai anggota merangkap Wakil Ketua: c. Direktur Pusat Perkebunan Negara, sebagai anggota; d. Kepala Jawatan Hubungan Perburuhan Kementerian Perburuhan, sebagai anggota; e. seorang pejabat Biro Ekonomi Pertanian dari Kementerian Pertanian yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian, sebagai anggota merangkap Sekretaris; f. satu atau dua orang wakil serikat-serikat buruh yang ditunjuk oleh atau atas nama Menteri Perburuhan, sebagai anggota; g. satu atau dua orang wakil perusahaan perkebunan besar yang ditunjuk oleh atau atas nama Menteri Pertanian, sebagai anggota; 2 / 8

h. satu atau dua orang wakil organisasi-organisasi tani yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian, sebagai anggota; i. seorang wakil dari golongan veteran, yang ditunjuk oleh Menteri Urusan Veteran, sebagai anggota. (2) Anggota-anggota tersebut sub a s/d d karena jabatannya menjadi anggota Panitya Perkebunan Pusat. Anggota-anggota tersebut sub e s/d i diberhentikan oleh Menteri yang bersangkutan. Pasal 3 Pejabat-pejabat tersebut dalam Pasal 1 dan Pasal 2 dapat menunjuk wakilnya untuk duduk dalam Panitya. Pasal 4 Di daerah-daerah Swatantra tingkat I dimana tidak diadakan Panitya Perkebunan Daerah, maka tugas dan hak Panitya Perkebunan Daerah dijalankan oleh Kepala Daerah yang bersangkutan. BAB II TENTANG PEMINDAHAN HAK DAN SERAH PAKAI TANAH PERKEBUNAN Pasal 5 (1) Surat permohonan izin pemindahan hak atau serah pakai tanah perkebunan termaksud dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 28 tahun 1956 disampaikan kepada Menteri Agraria dengan perantaraan Sekretaris Panitya Perkebunan Daerah. (2) Surat permohonan izin tersebut di atas harus disertai dengan keterangan-keterangan lengkap yang diperlukan dengan memakai formulir A (untuk izin pemindahan hak) atau formulir B (untuk izin serah pakai), yang contohnya ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Pasal 6 (1) Panitya Perkebunan Daerah menyampaikan surat permohonan termaksud dalam Pasal 5 kepada Menteri Agraria dan tembusannya kepada Menteri Pertanian, Menteri Perburuhan dan Panitya Perkebunan Pusat disertai dengan pertimbangan Panitya Perkebunan Daerah. (2) Dalam hal antara anggota-anggota Panitya Perkebunan Daerah tidak tercapai kata sepakat tentang pertimbangan termaktub dalam ayat (1), maka surat permohonan tersebut di atas disertai dengan pelaporan tentang pendapat anggota Panitya masing-masing. Pasal 7 (1) Setelah menerima surat permohonan termaksud dalam Pasal 5, Panitya Perkebunan Pusat menyampaikan pertimbangannya kepada Menteri Agraria dan Menteri Pertanian. (2) Ketentuan pada Pasal 6 ayat (2) berlaku pula terhadap Panitya Perkebunan Pusat. Pasal 8 Putusan Menteri Agraria yang bersangkutan selekas mungkin diberitahukan kepada pemohon dengan surat 3 / 8

tercatat, dengan pemberian salinan kepada Menteri Pertanian dan Panitya Perkebunan Pusat dan Daerah yang bersangkutan. Pasal 9 Para Notaris, pejabat notaris dan penguasa-penguasa yang menurut peraturan-peraturan yang berlaku ditugaskan untuk mengesahkan atau menyaksikan penandatanganan akte-akte di bawah tangan, wajib melaporkan kepada Menteri Pertanian segala akte-akte yang dibuat dihadapan mereka atau yang pendatangannya disaksikan atau dikuatkan oleh mereka dengan tembusan kepada Menteri Agraria sepanjang akte itu mengenai pemindahan hak atau serah pakai tanah perkebunan. BAB III TENTANG TINDAKAN-TINDAKAN TERHADAP TANAH PERKEBUNAN Pasal 10 (1) Panitya Perkebunan Daerah mengadakan pemeriksaan mengenai hal-hal tentang tanah perkebunan dalam wilayahnya yang berdasarkan Undang-undang Nomor 28 dan Nomor 29 tahun 1956 dapat dijadikan alasan untuk mengambil tindakan terhadap tanah perkebunan yang bersangkutan. (2) Pemeriksaan termaksud sedapat mungkin dilakukan oleh sedikit-sedikitnya tiga anggota Panitya, di antaranya Kepala Perwakilan Perkebunan dan Kepala Kantor Inspeksi Agraria setempat, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 ayat (3). Pasal 11 (1) Berdasarkan hasil pemeriksaan termaksud dalam Pasal 10 Panitya Perkebunan Daerah menyampaikan pertimbangan kepada Menteri Pertanian dengan tembusannya kepada Menteri Agraria, Menteri Perburuhan dan Panitya Perkebunan Pusat mengenai tindakan-tindakan yang seharusnya diambil terhadap perusahaan perkebunan yang bersangkutan. (2) Ketentuan pasal 6 ayat (2) berlaku pula terhadap pertimbangan termaksud dalam ayat (1) pasal ini. Pasal 12 Mengenai tanah perkebunan yang telah diduduki kembali pada waktu atau setelah berlakunya Undang-undang Nomor 29 tahun 1956 dan yang berdasarkan hal-hal termaksud dalam Pasal 10 belum dapat dianggap telah diusahakan secara yang layak Panitya Perkebunan Daerah menyatakan dalam pertimbangannya, dalam jangka waktu beberapa lama dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi pemegang hak tanah perkebunan yang bersangkutan untuk mencapai suatu pengusahaan perkebunan yang dapat dianggap layak. Pasal 13 Jika tindakan termaksud dalam Pasal 11 berupa pembatalan hak atas penguasaan tanah perkebunan yang bersangkutan, maka Panitya Perkebunan Daerah dalam pertimbangannya harus menyatakan : a. Apakah tanah perkebunan yang bersangkutan itu harus dipertahankan sebagai perusahaan perkebunan. b. Bangunan-bangunan dan tanaman-tanaman yang ada ditanah perkebunan itu yang mana yang diperlukan untuk memungkinkan pengusahaan yang layak dan karena itu hendaknya dikuasai oleh Negara, jika tanah perkebunan itu dipertahankan sebagai perusahaan perkebunan. 4 / 8

c. Peruntukan selanjutnya dari bekas tanah perkebunan, jika tidak dipertahankan sebagai perusahaan perkebunan, dalam hal mana harus didengar pendapat Jawatan Kehutanan dan Kantor Perancang Tata Bumi Kementerian Pertanian. Pasal 14 (1) Setelah menerima pertimbangan Panitya Perkebunan Daerah termaksud dalam Pasal 11 maka Panitya Perkebunan Pusat menyampaikan kepada Menteri Pertanian dan Menteri Agraria pertimbangan mengenai tindakan-tindakan yang seharusnya diambil terhadap perkebunan yang bersangkutan. (2) Ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2), 12 dan 13 berlaku pula untuk pertimbangan dari Panitya Perkebunan Pusat tersebut di atas. Pasal 15 Keputusan Menteri Pertanian mengenai pertimbangan termaksud dalam Pasal 12 disampaikan kepada pemegang hak atas tanah perkebunan yang bersangkutan, dengan menyampaikan salinan kepada Menteri Agraria, Menteri Perburuhan, Panitya Perkebunan Pusat dan Daerah yang bersangkutan. Pasal 16 (1) Jika tanah perkebunan yang bersangkutan menurut Menteri Pertanian harus dipertahankan sebagai perusahaan Perkebunan, maka usul pembatalan hak atau penguasaan tanah perkebunan yang diajukannya kepada Menteri Agraria harus disertai surat keputusan Menteri Pertanian, yang menetapkan tanaman dan bangunan-bangunan yang harus dikuasai oleh Negara. (2) Surat keputusan Menteri Agraria tentang pembatalan hak erfpacht atau penguasaan tanah perkebunan termaksud dalam ayat (1) pasal ini diumumkan dalam Berita Negara dan disampaikan dengan perantaraan jurusita kepada pemegang hak yang bersangkutan. Salinannya disampaikan pula kepada Menteri Pertanian, Menteri Perburuhan, Jawatan Pendaftaran Tanah dari Kementerian Agraria dan Panitya Perkebunan Pusat dan Panitya Perkebunan Daerah yang bersangkutan. Pasal 17 (1) Di dalam hal tanah perkebunan yang haknya dibatalkan atau dikuasai oleh Negara termaksud dalam Pasal 16 dipertahankan sebagai perusahaan perkebunan, maka ditetapkan pula oleh Menteri Agraria surat keputusan penyerahan tanah perkebunan itu kepada Pusat Perkebunan Negara (PPN) untuk dilanjutkan pengusahaannya. (2) Pengusahaan oleh Pusat Perkebunan Negara tersebut dalam ayat (1) di atas bersifat sementara dan dibiayai dari mata anggaran yang khusus untuk itu serta dilakukan secara terpisah dari pengusahaan perusahaan-perusahaan perkebunan Pusat Perkebunan Negara lainnya. (3) Pengusahaan termaksud dalam ayat (2) di atas berakhir jika atas usul Menteri Pertanian tanah perkebunan yang bersangkutan oleh Menteri Agraria secara tetap diserahkan kepada Pusat Perkebunan Negara untuk diusahakan sebagai salah satu perkebunan dalam lingkungan "Indonesische Bedrijven Wet" (Staatsblad 1927 Nomor 419) atau diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak lain. (4) Sebelum mengajukan usulnya kepada Menteri Agraria tersebut pada ayat (3) di atas, Menteri Pertanian minta pertimbangan Panitia Perkebunan Daerah yang bersangkutan dan Panitia Perkebunan Pusat. 5 / 8

Pasal 18 (1) Dalam hal-hal yang khusus dapat dipertimbangkan pemberian kerugian kepada bekas pemegang hak tanah perkebunan yang bersangkutan untuk bangunan termaksud dalam pasal 16 ayat (1) sejumlah yang ditetapkan oleh Panitia Perkebunan Daerah. (2) Jika ada, pembayaran ganti kerugian termaksud dalam ayat (1) kepada bekas pemegang hak, menjadi beban pihak yang menerima penyerahan tanah perkebunan yang bersangkutan termaksud dalam pasal 17 ayat (3). (3) Selama ganti kerugian itu belum dibayarkan maka bekas pemegang hak atas sewa bangunan termaksud dalam ayat (1) sebesar yang ditetapkan oleh Panitia Perkebunan Daerah. (4) Untuk tanaman-tanaman yang dikuasai oleh Negara berdasarkan pasal 16 tidak diberikan ganti kerugian dalam bentuk apapun juga. Pasal 19 Bekas pemegang hak atas tanah perkebunan yang dibatalkan tidak berhak mengambil tanaman dan bangunanbangunan yang masih ada di atas tanah perkebunan itu. BAB IV KETENTUAN-KETENTUAN LAIN Pasal 20 (1) Panitia Perkebunan Daerah dan Panitia Perkebunan Pusat berhak memasuki tanah perkebunan untuk memeriksa keadaan perusahaan perkebunan itu. (2) Pemegang hak atau pengurus tanah perkebunan wajib dalam waktu yang ditetapkan oleh Panitia Perkebunan yang bersangkutan memberikan keterangan dan bantuan seperlunya untuk kelancaran pemeriksaan termaksud dalam ayat (1). Pasal 21 Oleh para Menteri yang bersangkutan diberikan pedoman mengenai hal-hal yang harus diperhatikan di dalam memberikan pertimbangan- pertimbangan termaksud dalam Bab II dan III. Pasal 22 Untuk membantu pembiayaan pengusahaan tanah-tanah perkebunan yang diserahkan kepada sesuatu pihak dalam pasal 17 akan didirikan suatu Bank Kultur yang akan diatur di dalam peraturan lain. Pasal 23 Dipidana dengan hukuman selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000: a. Pemohon yang tidak memberikan keterangan sebagai yang dimaksud dalam pasal 5 ayat (2); b. Pemegang hak atau pengurus tanah perkebunan yang tidak memenuhi kewajibannya termaksud dalam pasal 20 ayat (2). 6 / 8

Pasal 24 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan Di Jakarta, Pada Tanggal 3 Desember 1957 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. SOEKARNO MENTERI PERTANIAN, Ttd. SADJARWO MENTERI AGRARIA, Ttd. SOENARJO Diundangkan Pada Tanggal 20 Desember 1957 MENTERI KEHAKIMAN, Ttd. G.A. MAENGKOM 7 / 8

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1957 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 1956 (LEMBARAN NEGARA 1956 NOMOR 73) DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1956 (LEMBARAN NEGARA 1956 NOMOR 74). (1) Sebagaimana diketahui maka berdasarkan Undang-undang Nomor 28 tahun 1956 pemindahan dan serah pakai hak kebendaan barat atas tanah perkebunan di samping ijin Menteri Agraria memerlukan pula persetujuan Menteri Pertanian, dan Undang-undang Nomor 29 tahun 1956 memberi ketentuan-ketentuan untuk mengambil tindakan-tindakan terhadap tanah-tanah perkebunan, yang eksploitasinya tidak dijalankan secara layak, a.l. tindakan itu dapat berupa pembatalan hak. Dalam mempertimbangkan permintaan persetujuan pemindahan tanah perkebunan atau pembatalan hak erfpacht, sudah selayaknya diperhatikan juga sepenuhnya aspek sosial ekonomis, perburuhan di samping aspek juridis dan kultur teknis dari perkebunan yang bersangkutan. (2) Untuk melancarkan pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 dan Nomor 29 tahun 1956 dianggap perlu untuk membentuk panitia di daerah-daerah Swatantra tingkat I di mana terletak banyak perkebunan besar yakni di Jawa dan Sumatera, sedangkan di daerah Swatantra tingkat I lainnya dapat diadakan panitia juga jika dianggap perlu oleh Menteri Pertanian. Di samping panitia-panitia daerah itu yang terutama akan memperhatikan aspek-aspek lokal, dianggap perlu pula untuk membentuk suatu Panitia di Pusat yang dapat meninjau soal perkebunan secara umum dan bertindak sebagai penasihat langsung dari Menteri Pertanian dalam urusan yang bersangkutan dengan pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 dan Nomor 29 tahun 1956. Dalam Panitia-panitia tersebut duduk pejabat-pejabat yang bersangkutan bersama-sama dengan wakilwakil buruh dan pengusaha perkebunan besar. Dengan demikian semua aspek-aspek perkebunan besar yang berhubungan dengan pemindahan atau pembatalan hak erfpacht akan mendapat perhatian sebagaimana mestinya. (3) Mengenai peruntukan selanjutnya dari perkebunan-perkebunan yang hak erfpachtnya dibatalkan karena pemiliknya tidak menjalankan eksploitasi yang layak, Pemerintah berpendirian bahwa di mana perkebunan yang bersangkutan masih dapat dilangsungkan eksploitasinya, sedapat mungkin harus diusahakan pemulihan perkebunan yang bersangkutan dalam proses produksi untuk kepentingan Negara. Selama belum ada pihak partikelir yang memenuhi syarat-syarat untuk dapat menjalankan suatu eksploitasi perkebunan secara yang layak, maka perkebunan yang haknya dibatalkan itu diserahkan untuk sementara kepada Pusat Perkebunan Negara untuk mengurusnya dan melanjutkan eksploitasi perkebunan itu. (4) Terhadap tanaman dan bangunan yang diperlukan untuk melanjutkan eksploitasi yang layak dan karena itu dikuasai oleh Negara. Pemerintah berpendirian bahwa penguasaan itu berarti pemilikan, sedangkan ganti kerugian hanya diberikan untuk bangunan-bangunan yang diperlukan untuk eksploitasi perkebunan itu. Untuk tanaman tidak diberikan ganti rugi karena pemilik semula yang membiarkan terlantarnya perkebunan dianggap telah melepaskan haknya atas tanaman sepanjang ia dianggap masih mempunyai sesuatu hak atas tanaman itu. Lagi pula tanaman tersebut dapat dianggap sebagai tanaman yang diselenggarakan oleh pemegang hak erfpacht berdasarkan kewajibannya yang bersumber kepada hak erfpacht dan karena itu tidak dapat diambilnya setelah hak erfpacht berakhir. Dengan uraian di atas cukuplah kiranya Peraturan Pemerintah ini dijelaskan. Penjelasan pasal demi pasal kiranya tidaklah diperlukan. 8 / 8