BAB II KERANGKA TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR PUSTAKA. Allen, F., & Faulhaber, G. (1989). Signalling by underpricing in IPO market.

BAB I PENDAHULUAN. Jogiyanto (1998) dan Anggarwal et al. (2001) mengemukakan bahwa salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Penawaran umum saham perdana dikenal dengan istilah Initial Public

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah Initial public offering (IPO), dapat juga disebut dengan istilah go public, adalah

BAB I PENDAHULUAN. di pasar modal atau disebut juga dengan go public. Adapun tujuan perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. pendanaan dari luar perusahaan adalah melalui mekanisme penyertaan yang

Abstrak. Kata kunci : Underpricing, Reputasi Auditor, Size, Return on Assets, Financial Leverage

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan adalah dengan menjual saham ke masyarakat umum melalui pasar

BAB I PENDAHULUAN. menuntut perusahaan untuk berkembang dan berinovasi guna berjalannya kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Perusahan sebagai suati entitas bisnis bertujuan memaksimalkan nilai perusahaan dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan kepada publik atau sering dikenal dengan go public di pasar modal.

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal merupakan salah satu sumber pendanaan selain sumber-sumber. Banyaknya perusahaan yang telah memutuskan go public akan

BAB I PENDAHULUAN. umumnya dilakukan dengan menjual saham perusahaan kepada publik atau yang

BAB I PENDAHULUAN. persaingan usaha yang semakin ketat. Salah satu kendala yang kerap kali dihadapi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh modal tersebut adalah dengan melakukan go public. Go public

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup perusahaan (going concern). Untuk mencapai tujuan tersebut,

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Fenomena underpricing dikemukakan Alteza (2010), yaitu signaling

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sebesar $878 juta. Keadaan ekonomi yang baik ini dapat. persaingan pasar yang semakin kompetitif. Kinerja perusahaan yang

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan tersebut telah melakukan proses initial public offering (IPO). Yang

BAB I PENDAHULUAN. modal semakin besar seiring dengan perkembangan perusahaan. Perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilakukan dengan melakukan ekspansi. Seiring dengan ekspansi yang

BAB I PENDAHULUAN. memperjualbelikan sekuritas, atau secara formal pasar modal dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. dengan go public. Dalam proses go public, sebelum diperdagangkan di pasar

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman globalisasi saat ini, banyak perusahaan yang berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. diobservasi untuk dipakai sebagai penetapan. Ada 2 meode untuk

BAB I PENDAHULUAN. dinilai mampu menanamkan modalnya ke perusahaan. Rata rata untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Ketiga, menambah saham lewat dividen yang tidak dibagi (dividend reinvestment

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT UNDERPRICING SAHAM PERDANA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pendanaan yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah menjual saham

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan diharuskan tetap bugar untuk bertahan dalam menjalankan ekspansi

harga, yaitu penentuan harga saham saat IPO secara signifikan lebih rendah

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan yaitu, melalui penambahan jumlah kepemilikan saham dengan

BAB I PENDAHULUAN. Efek) saham perusahaan yang akan go public terlebih dahulu dijual di pasar

BAB I PENDAHULUAN. dunia, hal ini didukung dengan kemajuan di bidang teknologi dan komunikasi.

BAB 1 PENDAHULUAN UKDW. atau saham baru perusahaan kepada publik atau go public.

BAB I PENDAHULUAN. underpricing tidak menguntungkan bagi perusahaan yang melakukan go public, pihak menguntungkan para investor (Johnson,2011).

BAB I PENDAHULUAN. disini sudah barang pasti akan berbeda dengan pasar komoditas dan pasar

BAB I PENDAHULUAN. tambahan dana dalam rangka mengembangkan usahanya yang sedang berkembang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pihak lain yang mau ikut menanamkan modalnya pada perusahaan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah bagaimana mendapatkan modal guna mendukung kegiatan. operasionalnya. Pada perusahaan perseorangan, biasanya para penyedia

PENGARUH VARIABEL-VARIABEL KEUANGAN TERHADAP HARGA PASAR SAHAM SETELAH INITIAL PUBLIC OFFERING (IPO) DI BURSA EFEK JAKARTA PERIODESASI

BAB I PENDAHULUAN. beberapa proses terlebih dahulu. Transaksi pertama yang dilakukan perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Banyak perusahaan yang membutuhkan dana besar untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun-tahun terakhir ini, dimana dampaknya sangat jelas terlihat di segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. untuk dunia usaha dan investasi untuk investor. Setiap perusahaan tentu memiliki

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan untuk menarik investor dari luar dalam hal pendanaan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan maka kewajiban akan pendanaan juga semakin besar jumlahnya. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal mempunyai fungsi sarana alokasi dana yang produktif untuk

PERBANDINGAN UNDERPRICING PADA PENAWARAN SAHAM PERDANA PERUSAHAAN KEUANGAN DAN NON-KEUANGAN DI BURSA EFEK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sehingga kebutuhan modal suatu perusahaan akan semakin meningkat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menciptakan persaingan yang semakin ketat. Persaingan perusahaan

Repositori STIE Ekuitas

BAB I PENDAHULUAN. strategi manajemen perusahaan untuk mendapatkan dana dari masyarakat dengan

BAB I PENDAHULUAN. dan industri sekuritas yang ada pada negara tersebut. Pasar modal merupakan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. bersaing secara kompetitif untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. mewujudkannya dengan kebutuhan dana yang semakin besar pula.

BAB I PENDAHULUAN. teknologi dan komunikasi menyebabkan iklim persaingan usaha menjadi semakin

BAB I. memenuhi kebutuhan dana yang cukup besar tersebut, seringkali dana yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang didukung pula dengan beberapa supporting theory. Teori-teori tersebut akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menjual surat berharganya di pasar modal. Dapat dikatakan bahwa pasar

BAB I PENDAHULUAN. dan membuat inovasi-inovasi baru di dalam menghadapi persaingan usaha.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. perusahaan memerlukan modal yang jumlahnya cukup besar.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, perusahaan-perusahaan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT UNDERPRICING SAHAM PERDANA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA

PENGARUH VARIABEL-VARIABEL KEUANGAN DAN SIGNALING TERHADAP PENENTUAN HARGA PASAR SAHAM PADA PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal dalam bentuk konkrit berupa Bursa Efek (securities / stock

BAB I PENDAHULUAN. terdaftar di BEI sekitar 500 perusahaan, hal ini tidak lepas dari upaya

BAB I PENDAHULUAN. initial return dari hasil kegiatan tersebut (Handayani, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. usahanya adalah dengan cara melakukan go public. Dana yang diperoleh dalam go

BAB I PENDAHULUAN. yang mampu bertahan dan mengembangkan bisnisnya. Dengan semakin ketatnya

PENGARUH INFORMASI AKUNTANSI PROSPEKTUS IPO TERHADAP TINGKAT UNDERPRICED DI BURSA EFEK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. akan dapat meningkatkan posisi keuangan perusahan disamping untuk. Perusahaan melakukan penjualan saham ataupun mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. mengapa perusahaan memutuskan go public adalah: (1) pendiri perusahaan ingin

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan, seperti untuk membeli bahan baku, peningkatan teknologi,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tetapi yang kepentingannya saling mengisi, yaitu calon pemodal (investor) di satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian menegenai faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup perusahaan (going concern). Untuk mencapai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai lembaga perantara (intermediasi). Fungsi ini menunjukkan

Disusun oleh : Karina Dewi Puspitasari B

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan usaha untuk mencari sumber tambahan dari eksternal, termasuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Demi menjaga kelangsungan hidup usahanya, perusahaan harus menjalankan

BAB I PENDAHULUAN. penawaran saham ataupun surat utang di pasar modal. Penawaran saham dapat

BAB I PENDAHULUAN. salah satu penyedia sumber pendanaan selain perbankkan. Dana yang

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dalam iklim persaingan yang dihadapi. Demi mencapai pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Aktivitas penawaran saham perdana atau IPO (Initial Public Offerings)

BAB I PENDAHULUAN. kompetitornya, baik pada pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Salah satu

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh dari beberapa variabel

Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Return On Assets (ROA) Terhadap Tingkat Underpricing Saham pada Penawaran Saham Perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI)

BAB I PENDAHULUAN. iklim persaingan semakin ketat sehingga setiap perusahaan akan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pasar Modal merupakan alternatif sumber dana di samping perbankan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan yang membutuhkan dana jangka panjang dapat menjual saham atau

BAB I PENDAHULUAN. keuntungan sebesar-besarnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu cara

BAB I PENDAHULUAN. Initial Public Offering ) untuk pertama kalinya terjadi di pasar perdana (

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan bukan hanya dimiliki oleh pemilik lama (founders), tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sejak 2008 hingga pada saat ini kinerja perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Investor sebagai pemilik modal yang berperan penting dalam suatu

Transkripsi:

BAB II KERANGKA TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Model Penelitian Terdahulu Risqi dan Harto (2013), Razafindrambinina dan Kwan (2013), Suyatmin dan Sujadi (2010), Handayani dan Shaferi (2010), dan Mnif (2009) melakukan penelitian mengenai initial return underpricing. Variabel independen dalam penelitian tersebut adalah reputasi auditor, reputasi penjamin emisi, dan rasio hutang terhadap ekuitas. Risqi dan Harto (2013) menambahkan variabel tingkat pengembalian ekuitas sebagai variabel independen. Razafindrambinina dan Kwan (2013) menambahkan variabel tingkat pengembalian aset, rasio perputaran aset, dan rasio lancar sebagai variabel independen. Mnif (2009) menambahkan variabel ukuran dewan, dualitas CEO, umur perusahaan, ukuran perusahaan, dan tingkat hutang terhadap ekuitas sebagai variabel independen. Suyatmin dan Sujadi (2010) juga menambahkan variabel jenis industri, laba per saham, rasio lancar, dan tingkat pengembalian investasi. Yasa (2002) melakukan penelitian yang sama dengan menambahkan variabel rasio solvabilitas, retensi kepemilikan, umur perusahaan, persentase kepemilikan saham, dan ukuran perusahaan sebagai variabel independen. Beatty (1989) melakukan penelitian yang sama dengan menambahkan variabel persentase kepemilikan saham, dan indikasi oli dan gas sebagai variabel independen. Emilia, Sulaiman, dan Sambel (2009) juga melakukan penelitian yang sama dengan menambahkan variabel laba per saham dan persentase kepemilikan saham sebagai variabel independen. 8

Kim, Krinsky, dan Lee (1993) dan Kurniawan (2002) melakukan penelitian mengenai initial return underpricing. Penelitian tersebut menggunakan variabel independen yang sama yaitu rasio tingkat pengembalian aset dan ukuran perusahaan. Kim et al. (1993) menambahkan variabel reputasi penjamin emisi, retensi kepemilikan, dan penawaran sukarela sebagai variabel independen. Kurniawan (2002) juga menambahkan variabel rasio lancar, rasio hutang terhadap ekuitas, rasio tingkat pengembalian ekuitas, umur perusahaan, rasio perputaran aset, laba per saham, ukuran perusahaan, dan persentase kepemilikan saham sebagai variabel independen. Sun (2013) melakukan penelitian tentang pengaruh faktor keuangan dan non keuangan terhadap initial return underpricing di negara Indonesia dan Singapura. Variabel independen dalam penelitian tersebut adalah laba per saham, rasio profit margin, rasio hutang terhadap ekuitas, rasio lancar, umur perusahaan, ukuran perusahaan, dan reputasi penjamin emisi. Sampel yang digunakan adalah perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan Singapura pada tahun 2009 sampai dengan 2012. Yolana dan Martani (2005) dan Michaely dan Shaw (1995) melakukan penelitian mengenai initial return underpricing. Variabel independen dalam penelitian tersebut adalah jenis industri dan reputasi penjamin emisi. Yolana dan Martani (2005) menambahkan variabel independen yaitu pertukaran mata uang, ukuran perusahaan, dan rasio tingkat pengembalian ekuitas. Carter dan Manaster (1990), Handayani dan Shaferi (2010), dan Islam, Aminul, Ali, dan Ahmad (2010) melakukan penelitian mengenai initial return

underpricing. Variabel independen dalam penelitian tersebut adalah umur perusahaan dan ukuran perusahaan. Carter dan Manaster (1990) menambahkan variabel reputasi penjamin emisi dan insider shares sebagai variabel independen. Handayani dan Syahferi (2010) menambahkan variabel rasio tingkat pengembalian aset, persentase kepemilikan saham, dan rasio hutang terhadap ekuitas. Islam et al. (2010) menambahkan jenis industri sebagai variabel independen. Balvers, Donald, dan Miller (1988) melakukan penelitian tentang initial return underpricing di New York. Variabel independen yang digunakan adalah investasi bankir. How, Izan, dan Monroe (1995) menggunakan variabel independen yaitu issue size, biaya penjamin emisi, keterlambatan pendaftaran saham, tingkat hutang, dan growth options. Michael, Matusik, dan Jain (2007) menggunakan variabel independen yang berbeda yaitu hari pertama pengembalian saham, hak paten, modal ventura, umur perusahaan, pasar bebas, dan logged market return. Dimvoski, William, dan Brooks (2004) menggunakan variabel independen yang terdiri dari a stappled, issue price, indeks kepercayaan properti, dan rasio gearing. Kurniasih dan Santosos (2008) menggunakan variabel independen yang berbeda yaitu retensi kepemilikan, kepemilikan institusional, anggota dewan direksi, reputasi auditor, dan krisis moneter. 2.2 Initial Public Offering Initial Public Offering merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan dalam rangka melakukan penawaran umum penjualan saham perdana (Ang,

1997). Ketika perusahaan akan melakukan initial public offering (IPO) perusahaan harus membuat prospektus yang merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh BAPEPAM (Badan Pengawasan Pasar Modal). Dalam proses IPO calon emiten harus melewati empat tahapan yaitu (Darmadji & Fakhrudin, 2006): 1. Tahap persiapan Tahap ini merupakan tahap awal untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan denga proses penawaran umum. Tahap awal, perusahaan yang akan menerbitkan saham terlebih dahulu melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk meminta persetujuan para pemegang saham. Setelah mendapat persetujuan, emiten melakukan penunjukkan emisi serta lembaga dan profesi penunjang pasar, yaitu: a. Penjamin emisi (underwriter), merupakan pihak yang paling banyak keterlibatannya dalam membantu emiten menerbitkan saham. Kegiatan yang dilakukan penjamin emisi antara lain menyiapakan bebagai dokumen, membantu menyiapakan prospektus dan memberikan penjaminan atau penerbitan. b. Akuntan publik, berfungsi melakukan audit atas laporan keuangan emiten. c. Penilai untuk melakukan penilaian terhadap aset tetap perusahaan dan menentukan nilai wajar dari aset tetap. d. Konsultan hukum, berfungsi untuk memberikan pendapat dari segi hukum.

2. Tahap pengajuan pernyataan pendaftaran Tahap ini dilakukan setelah dokumen dilengkapi, calon emiten menyampaikan pendaftaran kepada Badan Pengawasan Pasar Modal untuk menyatakan pernyataan pendaftaran menjadi efektif. 3. Tahap penawaran saham Tahap ini merupakan tahap utama karena pada tahap ini emiten menawarkan sahamnya kepada masyarakat investor. Masyarakat dapat membeli saham-saham tersebut pada agen-agen penjualan yang ditunjuk. Masa penawaran sekurang-kurangnya tiga hari kerja. 4. Tahap pemasaran Setelah melakukan penjualan saham perdana di pasar, selanjutnya saham tersebut di catatkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Beberapa cara pencatatan saham agar dapat di perdagangkan di pasar sekunder yaitu partial listing, dimana perusahaan melakukan pencatatan sahamnya secara sebagian. Cara kedua yaitu secara company listing, dimana pencatatan saham dilakukan secara keseluruhan. Beberapa keuntungan bagi perusahaan jika melakukan penawaran umum saham, yaitu: a. Dapat memperoleh kemudahan modal dimasa yang akan datang. b. Pembagian dividen berdasarkan keuntungan. c. Perusahaan dituntut lebih terbuka, sehingga hal ini dapat memacu perusahaan untuk meningkatkan profesionalisme. d. Emiten akan lebih dikenal oleh masyarakat.

Disamping keuntungan yang diperoleh perusahaan, penawaran umum saham juga memiliki beberapa kerugian, yaitu: a. Keharusan untuk melakukan full disclousure (keterbukaan) informasi kepada publik maupun pesaing. b. Keharusan untuk mengikuti peraturan-peraturan pasar modal mengenai kewajiban pelaporan. c. Kewajiban membayar dividen bila perusahaan mendapatkan laba. d. Biaya laporan yang meningkat. Dalam proses IPO, emiten harus membuat prospektus. Informasi prospektus dapat dibagi dua yaitu informasi akuntansi dan non akuntansi. Informasi akuntansi adalah laporan keuangan yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan modal, laporan arus kas dan penjelasan laporan keuangan. Sedangkan informasi non akuntansi terdiri dari penjamin emisi, auditor independen, konsultan hukum, umur perusahaan dan lain-lain (Nasirwan, 2000). Informasi prospektus memberikan gambaran mengenai keadaan perusahaan dan ramalan laba yang menjadi dasar para investor dalam membuat keputusan informasi. Informasi prospektus tersebut merupakan fenomena menarik bagi para peneliti keuangan di luar negeri untuk melakukan penelitian secara empiris dan pelaku investor dalam pembuatan keputusan informasi di pasar modal (Firth & Smith, 1992). Penjelasan megenai fenomena underpricing terjadi karena adanya asimetri informasi. De Lorenzo dan Fabrizio (2001) menyatakan hampir semua penelitian terdahulu menjelaskan terjadinya underpricing sebagai akibat dari

adanya asimentri dalam distribusi informasi antara pelaku IPO yaitu perusahaan, penjamin emisi, dan investor. Bagi perusahaan (emiten), underpricing dapat merugikan emiten karena dana yang dikumpulkan tidak maksimal. Namun, underpricing dapat dijadikan strategi pemasaran untuk meningkatkan minat investor untuk berinvestasi dalam saham IPO dengan memberikan initial return yang tinggi. Kim dan Shin (2001) menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya underpricing disebabkan karena kesengajaan penjamin emisi untuk menetapkan harga penawaran jauh di bawah harga pasar untuk meminimalkan kerugian yang harus ditanggung atas saham yang tidak terjual. Teori asimetri oleh Rock (1986) dan Guiness (1992) menyatakan informasi terjadi pada kelompok pemberi informasi investor dengan kelompok non pemberi informasi investor. Kelompok pemberi informasi investor yang memiliki informasi lebih banyak mengenai perusahaan emiten akan membeli saham-saham IPO jika harga yang diharapkan melebihi harga saham perdana. Sementara bagi kelompok non pemberi informasi kurang memiliki informasi mengenai perusahaan emiten, karena cenderung melakukan penawaran secara sembarangan baik pada saham-saham IPO yang di bawah harga maupun di atas harga. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa, secara rata-rata initial return lebih besar dibandingkan premium risiko wajar yang diharapkan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa perusahaan penerbit dan penjamin emisi secara sengaja membuat harga di bawah harga IPO. Penelitian yang dilakukan Aggarwal et al. (1993) menyatakan bahwa kinerja IPO dalam jangka pendek menunjukkan terjadinya underpricing, tetapi

dalam jangka panjang terjadi pengembalian yang negatif. Peneliti lain seperti Allen dan Faulhaber (1989), Welch (1989) menggunakan indikasi underpricing untuk mekanisme dalam menandai kualitas perusahaan. Kim et al. (1993) beragumentasi bahwa Initial Public Offering (IPO) adalah salah satu cara yang digunakan untuk memperoleh modal. Pada saat IPO perusahaan harus menyediakan suatu prospektus yang berisi informasi keuangan maupun non keuangan. Didalam prospektus harus memuat tentang laporan perusahaan selama dua tahun berurutan, jenis perusahaan, kepemilikan saham, umur perusahaan, penjamin emisi yang menjaminnya, dan auditor yang melakukan audit laporan keuangan pada saat IPO. Para investor maupun calon investor membutuhkan informasi akuntansi, non akuntansi dan bahkan informasi yang non ekonomis dalam melakukan proses pembuatan keputusan investasi di pasar modal (Kim et al., 1993). 2.3 Pengaruh Reputasi Auditor terhadap Initial Public Offering Reputasi Auditor adalah suatu kualitas dan profesionalisme seorang auditor dalam melakukan audit suatu perusahaan (Firth & Chee, 1998). Menurut Daljono (2000), auditor yang berkualitas akan dihargai di pasaran dalam bentuk peningkatan permintaan jasa audit, dengan demikian auditor yang berkualitas akan memiliki reputasi yang tinggi. Hogan (1997) menyatakan kantor auditor besar dapat memberikan kualitas audit yang baik dimana dapat mengurangi underpricing pada saat perusahaan melakukan IPO.

Menurut Holland dan Horton (1993), Menggunakan jasa auditor yang profesional akan mengurangi kesempatan emiten untuk berlaku curang dalam menyajikan informasi yang kurang akurat sehingga penggunaan auditor yang profesional dapat digunakan sebagai petunjuk kualitas perusahaan emiten. Akuntan merupakan salah satu profesi penunjang pasar modal yang bertujuan untuk memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan perusahaan yang akan go public (Ang, 1997). Adapun peran auditor antara lain menentukan apakah sebuah perusahaan layak go public atau tidak, karena sesuai dengan salah satu ketentuan BEI yang menyatakan bahwa laporan keuangan perusahaan yang akan go public harus wajar tanpa pengecualian. Oleh karena itu, bisa atau tidaknya suatu perusahaan terdaftar di pasar modal ditentukan oleh auditor. Menurut Beatty (1989) dan Balvers et al. (1988), Biaya menyewa auditor kategori enam besar akan menaikkan biaya auditor kompensasi menjadi lebih tinggi. Bukti diambil dari IPO pada awal 1990-an yang terdiri dengan pasar yang dibedakan untuk jasa audit dimana pemilik yang memilih jenis auditor akan meminimalkan jumlah underpricing dan biaya kompensasi auditor. Investor lebih memperhatikan reputasi penjamin emisi dan auditor dari perusahaan penerbit dalam membuat keputusan yang tepat pada investasi mereka (Razafindrambinina & Kwan, 2013). Beatty (1989) menunjukkan bahwa reputasi auditor berpengaruh secara signifikan terhadap pengembalian awal, karena emiten yang menyewa auditor yang memiliki reputasi baik akan menunjukkan initial return yang lebih rendah dibanding emiten yang menggunakan auditor yang reputasinya kurang baik.

Dengan kata lain, reputasi auditor yang baik mengurangi terjadinya underpricing saham. Penelitian yang dilakukan oleh Balvers et al. (1988), Yasa (2002), Emilia et al. (2008), Kurniasih dan Santosos (2008), Mnif (2009), Razafindrabinia dan Kwan (2013), dan Risqi dan Harto (2013). Dari penelitian tersebut, hanya Balvers et al. (1988), Kurniasih dan Santosos (2008), Razafindrabinia dan Kwan (2013) yang menemukan hubungan signifikan secara negatif antara reputasi auditor dengan tingkat underpricing. Sebaliknya, Yasa (2002), Mnif (2009), dan Risqi dan Harto (2013) menemukan bahwa reputasi auditor tidak berpengaruh terhadap initial return underpricing. 2.4 Pengaruh Rasio Perputaran Aset terhadap Initial Public Offering Rasio perputaran aset, merupakan salah satu rasio aktivitas yang menunjukkan kemampuan serta efisiensi perusahaan dalam memanfaatkan aset yang dimilikinya. Rasio perputaran aset digunakan untuk mengukur seberapa efisiennya seluruh aset perusahaan dimanfaatkan dalam menunjang kegiatan penjualan (Ang, 1997). Nilai rasio perputaran aset yang tinggi menunjukkan semakin efisien suatu perusahaan dalam memanfaatkan aset yang dimilikinya dan menunjukkan semakin besar penjualan yang dihasilkan. Nilai rasio perputaran aset yang tinggi akan mengurangi ketidakpastian investor dalam menanamkan dananya dan akan menurunkan tingkat underpricing, sehingga kemungkinan investor mendapatkan pengembalian akan semakin rendah (Manao & Deswin, 2001).

Penelitian yang dilakukan Tuasikal (2000) dan Kurniawan (2002) menyatakan bahwa variabel rasio perputaran aset berpengaruh positif terhadap initial return underpricing. Hasil ini berbeda dengan penelitian Razafindrabinia dan Kwan (2013) mengenai tidak terdapatnya pengaruh signifikan antara variabel rasio perputaran aset dengan initial return underpricing. 2.5 Pengaruh Rasio Tingkat Pengembalian Aset terhadap Initial Public Offering Rasio tingkat pengembalian aset merupakan salah satu rasio profabilitas yang menunjukkan seberapa efektifnya perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dan memanfaatkan aset yang dimilikinya. Semakin tinggi rasio tingkat pengembalian aset maka menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba di masa yang akan datang, dan laba merupakan informasi yang penting bagi investor dalam mempertimbangkan untuk menanamkan modalnya (Ang, 1997). Nilai rasio tingkat pengembalian aset yang tinggi dari suatu perusahaan akan mengurangi ketidakpastian bagi investor karena pengembalian yang didapat akan semakin rendah dan akan menurunkan tingkat underpricing (Kim et al.,1993). Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2002) menyatakan bahwa rasio tingkat pengembalian aset tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap underpricing. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Razafindrabinina dan Kwan (2013) dan Risqi dan Harto (2013) bahwa rasio tingkat pengembalian aset tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat

underpricing. Penelitian yang dilakukan Yasa (2008) mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kim et al. (1993) dan Sandhiaji (2004) bahwa rasio tingkat pengembalian aset berpengaruh signifikan terhadap underpricing. 2.6 Pengaruh Rasio Lancar terhadap Initial Public Offering Rasio lancar merupakan rasio yang bertujuan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Semakin tinggi rasio lancar suatu perusahaan berarti semakin kecil resiko kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Akibatnya resiko yang akan ditanggung pemegang saham akan semakin kecil (Ang, 1997). Nilai rasio lancar yang tinggi akan mengurangi ketidakpastian investor sehingga akan mengurangi tingkat underpricing. Akibatnya pengembalian yang diterima investor akan semakin kecil (Ang, 1997). Penelitian Zmijewski (1983) telah membuktikan bahwa semakin tinggi likuiditas suatu perusahaan yang diukur dari nilai rasio lancar maka akan semakin tinggi pengembalian saham. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka rasio lancar berpengaruh positif terhadap pengembalian saham. Penelitian yang dilakukan oleh Suyatmin dan Sujadi (2006) menyimpulkan bahwa variabel rasio lancar berpengaruh negatif signifikan terhadap initial return underpricing. Sedangkan penelitian Kurniawan (2002), Razafindrabinina (2013), dan Sun (2013) menemukan bahwa rasio lancar tidak berpengaruh signifikan terhadap pengembalian saham setelah IPO.

2.7 Pengaruh Rasio Hutang terhadap Ekuitas terhadap Initial Public Offering Rasio hutang terhadap ekuitas merupakan salah satu rasio leverage. Rasio hutang terhadap ekuitas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan dari berapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Rasio hutang terhadap ekuitas menunjukkan perrbandingan antara tingkat hutang dibandingkan dengan modal sendiri perusahaan (Ang, 1997). Semakin besar rasio hutang terhadap ekuitas menandakan struktur permodalan usaha lebih banyak memanfaatkan hutang-hutang daripada ekuitas. Semakin besar rasio hutang terhadap ekuitas mencerminkan resiko perusahaan semakin tinggi, akibatnya para investor cenderung menghindari saham-saham yang memiliki rasio hutang terhadap ekuitas yang tinggi (Ang, 1997). Nilai rasio hutang terhadap ekuitas yang tinggi akan meningkatkan ketidakpastian investor dan akan meningkatkan tingkat underpricing (Kim et al.,1993). Trisnaningsih (2005) menjelaskan bahwa hutang terhadap ekuitas yang tinggi menunjukan risiko keuangan atau kegagalan perusahaan untuk mengembalikan pinjaman semakin tinggi, dan sebaliknya. Semakin tinggi hutang terhadap ekuitas suatu perusahaan akan mengurangi tingkat kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya kepada perusahaan sehingga akan meningkatkan underpricing. Kim et al. (1993), menguji variabel keuangan hutang terhadap ekuitas. Hasil penelitiannya menunjukkan variabel hutang terhadap ekuitas berkorelasi

positif dengan initial return, hasil penelitian ini didukung oleh Handayani dan Shaferi (2011) bahwa variabel independen tingkat leverage secara bersama-sama (simultan) berpengaruh terhadap variabel underpricing. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2002) menyimpulkan bahwa variabel hutang terhadap ekuitas tidak berpengaruh signifikan terhadap initial return. Hal ini sejalan dengan penemuan pada penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2002), Razafindrabinina dan Kwan (2013), Sun (2013) dan, Risqi dan Harto (2013) bahwa tidak terdapat pengaruh secara signifikan antara variabel hutang terhadap ekuitas terhadap tingkat initial return underpricing. Sedangkan penelitian yang dilakukan Rasheed dan Datta (1997) membuktikan bahwa variabel hutang terhadap ekuitas berpengaruh signifikan negatif terhadap perubahan saham. 2.8 Pengaruh Laba Per Saham terhadap Initial Public Offering Laba per saham merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan pendapatan (Ang, 1997). Laba per saham merupakan pendapatan bersih yang tersedia bagi saham biasa yang beredar. Laba per saham yang dibagikan merupakan salah satu informasi penting bagi investor di pasar modal untuk pengambilan keputusan investasinya. Pertumbuhan laba per saham yang positif memperoleh bagian laba yang lebih besar dimasa yang akan datang atas setiap lembar saham yang dimilikinya. Laba per saham mengambarkan jumlah rupiah yang diperoleh untuk setiap lembar saham biasa atau laba bersih per lembar saham biasa. Semakin

tinggi nilai laba per saham menyebabkan semakin besar laba dan kemungkinan peningkatan jumlah dividen yang diterima pemegang saham (Kurniawan, 2002). Penelitian mengenai pengaruh laba per saham terhadap initial return underpricing dalam beberapa penelitian menemukan hasil yang beragam. Penelitian oleh Sun (2013) menunjukkan pengaruh signifikan positif antara laba per saham terhadap initial return underpricing, dan beberapa hasil penelitian juga memberikan pengaruh yang signifikan negatif (Handayani & Shaferi, 2010). Sedangkan hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2002), dan Emilia et al. (2008) yang menyatakan bahwa laba per saham tidak berpengaruh terhadap initial return underpricing. 2.9 Pengaruh Umur Perusahaan terhadap Initial Public Offering Umur perusahaan diukur dengan lamanya perusahaan beroperasi sejak didirikan berdasarkan akte pendirian sampai dengan saat perusahaan tersebut melakukan penawaran umum perdana. Umur perusahaan merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan investor dalam menanamkan modalnya. Umur perusahaan menjadi bukti perusahaan mampu bersaing dan dapat mengambil kesempatan bisnis yang ada dalam perekonomian dan menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu bertahan (Christy et al., 1996). Perusahaan yang beroperasi lebih lama mempunyai keunggulan yang lebih besar untuk menyediakan informasi perusahaan yang lebih banyak dan luas daripada yang baru saja berdiri (Nurhidayati & Indriantoro, 1998). Dengan demikian akan mengurangi adanya informasi asimetri dan memperkecil

ketidakpastian pasar yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat underpricing saham. Dalam hal tersebut adanya faktor yang menunjukkan bahwa hubungan antar ukuran perusahaan dan kinerja perusahaan IPO yang cenderung besar akan menarik penjamin emisi (Carter & Manaster 1990). Penelitian mengenai pengaruh umur perusahaan terhadap initial return underpricing dalam beberapa penelitian menemukan hasil yang beragam. Penelitian yang dilakukan Christy et al. (1996), Islam et al. (2010), dan Handayani dan Shaferi (2010) menyatakan bahwa umur perusahaan berpengaruh signifikan positif terhadap initial return underpricing. Beberapa penelitian juga dapat memberikan pengaruh yang signifikan negatif (Carter & Manaster, 1990; How et al., 1995) Sedangkan hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan ole Kurniawan (2002), Yasa (2002), Michael et al. (2007), Mnif (2009), Jain dan Padmavathi (2012), dan Sun (2013) menyatakan bahwa variabel umur perusahaan tidak berpengaruh terhadap initial return underpricing. 2.10 Model Penelitian Penelitian ini merupakan replikasi dari Razafindrambinina dan Kwan (2013) dan Kurniawan (2002). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah reputasi auditor, rasio perputaran aset, rasio tingkat pengembalian aset, rasio lancar, rasio hutang terhadap ekuitas, laba per saham, dan umur perusahaan. Model penelitian yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

Reputasi Auditor Rasio Perputaran Aset Rasio Tingkat Pengembalian Aset Rasio Lancar Initial Return (Underpricing) Rasio Hutang Terhadap Ekuitas Laba Per Saham Umur Perusahaan Gambar 2.1 Model penelitian hubungan antara faktor keuangan dan non keuangan terhadap initial return underpricing, sumber: Kurniawan (2002) dan Razafindrambinina dan Kwan (2013). 2.11 Perumusan Hipotesis Berdasarkan telaah teoritis diatas, hipotesis-hipotesis yang akan diajukan oleh penulis untuk diuji dalam penelitian ini adalah: H 1 : Reputasi auditor mempunyai pengaruh signifikan negatif terhadap tingkat initial return underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO H 2 : Rasio perputaran aset mempunyai pengaruh signifikan negatif terhadap tingkat initial return underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO H 3 : Rasio tingkat pegembalian aset mempunyai pengaruh signifikan negatif terhadap tingkat initial return underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO

H 4 : Rasio lancar mempunyai pengaruh signifikan negatif terhadap tingkat initial return underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO H 5 : Rasio hutang terhadap ekuitas mempunyai pengaruh signifikan negatif terhadap tingkat initial return underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO H 6 : Laba per saham mempunyai pengaruh signifikan negatif terhadap tingkat initial return underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO H 7 : Umur perusahaan mempunyai pengaruh signifikan negatif terhadap tingkat initial return underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO