BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan (growth) adalah hal yang berhubungan dengan perubahan

KERANGKA ACUAN PROGRAM GIZI PUSKESMAS KAMPAR KIRI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I LATAR BELAKANG. Kekurangan Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH DINAS KESEHATAN Jalan Jend.Sudirman No.24 Telp SUNGAI PENUH Kode Pos : 37112

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh masalah Kurang Energi

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang masih tersebar luas di negara-negara. berkembang termasuk di Indonesia, masalah yang timbul akibat asupan gizi

BAB 1 PENDAHULUAN. bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atau calon ibu merupakan kelompok rawan, karena membutuhkan gizi yang cukup

BAB 1 PENDAHULUAN. Program perbaikan gizi masyarakat telah berjalan puluhan tahun, namun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan mempunyai arti yang sangat penting bagi manusia, karena

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada

BAB 1 PENDAHULUAN. dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang sejak. pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang

PENGETAHUAN IBU DALAM PENATALAKSANAAN GIZI SEIMBANG PADA KELUARGA DI DESA SIBORBORON KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

BAB I PENDAHULUAN. cukup makan, maka akan terjadi konsekuensi fungsional. Tiga konsekuensi yang

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi vitamin A, dan defisiensi yodium (Depkes RI, 2003).

BAB 1. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh. ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang

BAB I PENDAHULUAN. depan bangsa, balita sehat akan menjadikan balita yang cerdas. Balita salah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia (SDKI) tahun 2012 AKI di Indoensia mencapai 359 per jumlah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menggembirakan. Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk,

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Peningkatan sumber daya manusia harus

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia, oleh karena itu menjadi suatu keharusan bagi semua

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak seimbang menimbulkan masalah yang sangat sulit sekali

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Masyarakat (IPM). IPM terdiri dari tiga aspek yaitu pendidikan,

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI

BAB I PENDAHULUAN. rangka mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, terlebih pada

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Ramadani (dalam Yolanda, 2014) Gizi merupakan bagian dari sektor. baik merupakan pondasi bagi kesehatan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan sebagai

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. pada berbagai bidang, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan. perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. relatif tinggi yaitu 63,5% sedangkan di Amerika 6%. Kekurangan gizi dan

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian di bidang ilmu kesehatan pada umumnya bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KECENDERUNGAN MASALAH GIZI DAN TANTANGAN DI MASA DATANG *)

BAB I PENDAHULUAN. lebih dramatis dikatakan bahwa anak merupakan penanaman modal sosial

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa sampai usia lanjut. Dari seluruh siklus kehidupan, program perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas dan sukses di masa depan, demikian juga setiap bangsa menginginkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. digantikan oleh apapun juga. Pemberian ASI ikut memegang peranan dalam

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Salah satu penentu kualitas sumber daya manusia adalah gizi seimbang. Kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. penurunan tingkat kecerdasan. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sangat berpengaruh dalam proses pertumbuhan dan. angaka kematian yang tinggi dan penyakit terutama pada kelompok usia

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kesehatan ibu merupakan salah satu tujuan Millenium Development

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama

GRAFIK KECENDERUNGAN CAKUPAN IBU HAMIL MENDAPAT 90 TABLET TAMBAH DARAH (Fe3) DI INDONESIA TAHUN

PENDAHULUAN. Setiap manusia mengalami siklus kehidupan mulai dari dalam. kandungan (janin), berkembang menjadi bayi, tumbuh menjadi anak,

BAB 1 PENDAHULUAN. masih didominasi oleh kekurangan zat gizi yang disebabkan banyak faktor, di

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

STUDI DETERMINAN KEJADIAN STUNTED PADA ANAK BALITA PENGUNJUNG POSYANDU WILAYAH KERJA DINKES KOTAPALEMBANG TAHUN 2013

I. PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan mempunyai visi mewujudkan masyarakat mandiri untuk

BAB 1 : PENDAHULUAN. derajat kesehatan masyarakat juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya asupan zat gizi yang akan menyebabkan gizi buruk, kurang energi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dibidang kesehatan mempunyai arti penting dalam. kehidupan nasional, khususnya didalam memelihara dan meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. kapasitas/kemampuan atau produktifitas kerja. Penyebab paling umum dari anemia

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI BAYI DENGAN PERTUMBUHAN PERKEMBANGAN BAYI USIA 6-12 BULAN DI DESA MANGGUNG SUKOREJO MUSUK BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. tahun Konsep pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK PEJABAT DINAS KESEHATAN DAN TPG PUSKESMAS

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI. Hari Anak-Anak Balita 8 April SITUASI BALITA PENDEK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan yang tercantum dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sumber: GIZI CEPER 2013.docx?dl=0

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Developments Program), Indonesia menempati urutan ke 111

BAB I PENDAHULUAN. atau konsentrasi hemoglobin dibawah nilai batas normal, akibatnya dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. terutama dalam masalah gizi. Gizi di Indonesia atau negara berkembang lain memiliki kasus

BAB I PENDAHULUAN. dan untuk memproduksi ASI bagi bayi yang akan dilahirkannya (Francin, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang menjadi dambaan setiap

BAB I PENDAHULUAN. kurang dalam hal pemberian makanan yang baik (Akhsan, 2007).

HUBUNGAN ANTARA UMUR PERTAMA PEMBERIAN MP ASI DENGAN STATUS GIZI BAYI USIA 6 12 BULAN DI DESA JATIMULYO KECAMATAN PEDAN KABUPATEN KLATEN

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk mencapainya, faktor gizi memegang peranan penting. Oleh sebab itu perbaikan gizi diperlukan pada seluruh siklus kehidupan mulai sejak masa kehamilan, bayi, anak balita, pra sekolah, anak SD/MI, remaja dan dewasa sampai usia lanjut (Depkes RI, 2005). Dari seluruh siklus kehidupan ini, masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Ibu yang dalam masa kehamilannya kurang gizi (Kurang Energi Kronis/KEK) mempunyai resiko melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah/BBLR. Apabila tidak meninggal pada awal kehidupan, bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan lebih lambat yang dapat menyebabkan gagal tumbuh pada anak, terlebih lagi apabila mendapat ASI Eksklusif yang kurang dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup. Jika keadaan ini berlanjut maka akan terjadi kekurangan gizi sampai masa balita. Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas karena dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan

perkembangan yang optimal. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki apalagi ditambah dengan masalah kurang gizi lain yaitu kekurangan zat gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, yodium dan sebagainya. Seperti telah diketahui bahwa anak-anak yang kurang vitamin A meskipun pada derajat sedang mempunyai risiko tinggi untuk mengalami gangguan pertumbuhan. Balita yang kurang gizi biasanya akan mengalami hambatan pertumbuhan dan cenderung tumbuh menjadi remaja yang mengalami gangguan pertumbuhan dan mempunyai produktivitas yang rendah. Jika remaja ini tumbuh dewasa maka remaja tersebut akan menjadi dewasa yang pendek dan apabila itu wanita maka jelas wanita tersebut akan mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR lagi dan seterusnya (Hadi, 2005). Tidak terlaksananya program penanggulangan untuk masalah ini dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan (catch-up growth) yang sempurna pada masa berikutnya akan menimbulkan dampak masalah gangguan pertumbuhan pada anak. Gangguan pertumbuhan merupakan suatu keadaan apabila pertumbuhan anak secara bermakna lebih rendah atau pendek dibandingkan anak seusianya yang berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) berada dibawah 2 SD kurva pertumbuhan WHO 2005 (Depkes RI, 2010). Keadaan ini dapat diketahui melalui pemantauan Tinggi Badan Anak. Dengan mengukur tinggi badan anak, pertumbuhan anak dapat dinilai dan dibandingkan dengan standar pertumbuhan yang bertujuan untuk menentukan apakah anak tumbuh secara normal atau mempunyai masalah

pertumbuhan atau ada kecenderungan masalah pertumbuhan yang perlu ditangani (WHO, 2010). Lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah yang merupakan indikator adanya kurang gizi kronis. Penelitian Soekirman (2000) menunjukkan bahwa prevalensi gangguan pertumbuhan pada anak usia sekolah di Indonesia sebesar 30% di pedesaan dan 18% di wilayah perkotaan. Hasil penelitian di beberapa daerah juga menunjukkan prevalensi anak yang mengalami gangguan pertumbuhan juga masih tinggi, salah satunya di Kabupaten Barito sebesar 36,4% (Nurhamidi, 2008). Besar dan luasnya masalah gizi pada setiap kelompok umur menurut siklus kehidupan seperti Kurang Energi Protein pada balita, Ibu Hamil KEK, kurang zat mikro (vitamin A, zat besi, yodium) dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak, maka diperlukan kebijakan dan strategi dalam perbaikan gizi di setiap siklus kehidupan. Program perbaikan gizi merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk memperbaiki status gizi masyarakat. Program ini merupakan bagian integral dari program kesehatan yang harus dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan melalui suatu rangkaian upaya mulai dari perumusan masalah, penetapan tujuan, penentuan strategi intervensi yang tepat sasaran, identifikasi kegiatan serta adanya kejelasan tugas pokok dan fungsi (Depkes RI, 2010). Menurut Azwar (2004), untuk meningkatkan pelayanan gizi dan pemantauan pertumbuhan pada masyarakat, pelaksanaan program gizi hendaknya berdasarkan kajian best practise (efektif dan efisien) dan lokal spesifik. Untuk menghasilkan

program yang efektif dalam upaya perbaikan gizi diperlukan perencanaan, monitoring dan evaluasi yang baik. Dalam pelaksanaannya, dibutuhkan sumber daya yang berkompeten di bidangnya untuk menanggulangi masalah gizi di masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa penggunaan sumber daya kesehatan dalam program perbaikan gizi selama ini masih belum efektif (sasaran tercapai) dan efisien dalam arti penggunaan sumber daya (input) yang minimal dapat mengahasilkan keluaran yang optimal. Hal ini dikarenakan kebijakan penggunaan sumberdaya kesehatan untuk kegiatan program perbaikan gizi sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan tidak terlepas dari kebijakan desentralisasi masing-masing daerah yang dapat mempengaruhi pencapaian efektivitas pelayanan gizi (Alibas, 2006). Indonesia telah melaksanakan upaya perbaikan gizi sejak tiga puluh tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan di fokuskan untuk mengatasi masalah gizi utama yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB) dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) melalui intervensi yang mencakup penyuluhan gizi di Posyandu, pemantauan pertumbuhan, pemberian suplemen gizi (melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi dan tablet besi), fortifikasi garam beryodium, pemberian makanan tambahan termasuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), pemantauan dan penanganan gizi buruk (Depkes RI, 2010). Upaya tersebut telah berhasil menurunkan keempat masalah gizi utama namun penurunannya dinilai kurang cepat. Hasil riskesdas menunjukkan besaran masalah gizi di Indonesia seperti masalah KEP yaitu gizi kurang, pendek dan kurus dimana prevalensi gizi kurang

terjadi peningkatan sebesar 18,4% pada tahun 2007 menjadi 19,6% pada tahun 2013, begitu juga halnya dengan prevalensi pendek pada anak balita sebesar 36,8% pada tahun 2007 meningkat menjadi 37,3% pada tahun 2013 tetapi untuk prevalensi kurus terjadi penurunan dimana pada tahun 2007 sebesar 13,6% menjadi 12,1% pada tahun 2013. Untuk kunjungan ke posyandu, frekuensi kunjungan balita ke Posyandu semakin berkurang dengan semakin meningkatnya umur anak. Sebagai gambaran berdasarkan hasil riskesdas 2007, proporsi anak 6-11 bulan yang ditimbang di Posyandu 91,3%, pada anak usia 12-23 bulan turun menjadi 83,6%, dan pada usia 24-35 bulan turun menjadi 73,3%. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, terjadi peningkatan untuk proporsi anak yang tidak pernah dipantau pertumbuhannya sebesar 34,3%. Untuk cakupan vitamin A secara nasional meningkat menjadi 75,5% begitu juga dengan persentase garam beryodium tingkat rumah tangga terjadi peningkatan sebesar 77,1% demikian juga halnya prevalensi pemberian tablet tambah darah (Fe3) pada ibu hamil dimana pada tahun 2010 sebesar 18 % meningkat pada tahun 2013 sebesar 33,2 %. Hasil riskesdas juga menunjukkan proporsi anak pendek untuk anak baru masuk sekolah (umur 6-7 tahun) yaitu untuk anak laki-laki 27,7% dan anak perempuan 25,5%. WHO (2010) yang dikutip dari hasil riskesdas (2013) menyatakan bahwa masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 39 % dan serius bila prevalensi pendek 40%. Sebanyak 14 propinsi termasuk kategori berat dan 15 propinsi termasuk kategori serius dan salah satunya adalah Propinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan hasil riskesdas ini dapat dinalisis bahwa kejadian kurang gizi pada balita dan masalah gangguan pertumbuhan anak masih mengalami peningkatan. Ini sejalan dengan penelitian Handayani, dkk (2008) yang menyatakan bahwa masih banyak balita yang berstatus gizi kurang sehingga status gizi anak perlu ditingkatkan dengan mengadakan program pemberian makanan tambahan (PMT). Begitu juga dengan pernyataan Jahari (2005) dimana penurunan masalah KEP tidak konsisten, karena prevalensinya turun naik dan bila dipilah menjadi gizi kurang dan gizi buruk prevalensinya masih tinggi pada tahun 2003. Selanjutnya Jahari juga menyatakan bahwa masalah tinggi badan terutama prevalensi anak balita pendek (stunted) menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti dan cenderung meningkat. Meningkatnya prevalensi ini menunjukkan bahwa masalah gizi pada anak sudah merupakan masalah yang serius. Hal senada juga diungkapkan oleh Atmarita (2004) tentang status gizi anak baru masuk sekolah yang hanya sedikit sekali peningkatan status gizi yang terjadi, dengan kata lain masih banyak anak dikategorikan pendek sekitar 30-40%. Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi, Kabupaten Karo telah melakukan kegiatan program perbaikan gizi yaitu 1) penanggulangan KEP melalui pemantauan pertumbuhan, penanganan gizi buruk dengan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), ASI Eksklusif, 2) penanggulangan KVA melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi, 3) penanggulangan AGB melalui pemberian tablet tambah darah (Fe) kepada ibu hamil, dan 4) peningkatan SDM bidang gizi melalui pelatihan-pelatihan.

Keberhasilan pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diketahui melalui pencapaian indikator outputnya dengan melihat capaian target yang telah ditetapkan sebelumnya dan hasilnya menunjukkan pencapaian cakupan program gizi di Kabupaten Karo masih dibawah target. Berdasarkan hasil program penanggulangan KEP melaui kegiatan pemantaun pertumbuhan di posyandu yang dilihat dari pencapaian indikator D/S selama 5 tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang tidak berarti dimana pada tahun 2009 sebesar 55,8%, tahun 2010 57,6% tahun 201152,7% tahun 2012 61,7% dan hanya sedikit peningkatan pada tahun 2013 sebesar 65,4% masih jauh dibawah target yang ditetapkan sebesar 80 %. Untuk capaian ASI Eksklusif terjadi peningkatan dimana pada tahun 2009 sebesar 14,3% meningkat pada tahun 2013 sebesar 55% tapi masih dibawah target pencapaian yaitu 75%. Begitu juga halnya dengan capaian pemberian tablet tambah darah (Fe) pada ibu hamil masih dibawah target pencapaian yaitu sebesar 82,9% pada tahun 2013 sedangkan target sebesar 93%. Untuk kasus gizi buruk terjadi penurunan dimana pada tahun 2013 hanya 13 kasus tapi untuk jumlah balita gizi kurang terjadi peningkatan dimana pada tahun 2011 sebanyak 265 balita menderita gizi kurang menjadi 357 balita pada tahun 2013 (Dinkes Kab. Karo, 2013). Kasus kurang gizi pada balita sering terjadi seperti fenomena gunung es yang tidak muncul kepermukaan akibat dari pendataan yang kurang baik. Survey Tinggi Badan Anak Baru masuk Sekolah (TBABS) di Kabupaten Karo telah dilaksanakan sebanyak 3 kali yaitu tahun 1998, 2003 dan 2008. Dari hasil pengukuran tahun 1998 didapatkan prevalensi anak usia sekolah dengan gangguan

pertumbuhan sebesar 25,2%. Pada tahun 2003 terjadi penurunan sebesar 18,8% dan pada tahun 2008 terjadi peningkatan sebesar 25,8%. Sedangkan rata-rata tinggi badan anak baru masuk sekolah baik pada tahun 2003 dan 2008 masih dibawah angka nasional yaitu 110,5 cm untuk anak laki-laki dan 109,2 untuk anak perempuan. Kabupaten Karo yang terdiri dari 17 Kecamatan dengan 19 Puskesmas, dilihat dari ketenagaan mempunyai 25 orang Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) Puskesmas berlatar belakang pendidikan gizi yang artinya semua puskesmas telah memiliki tenaga pelaksana gizi dengan rata-rata tenaga 1 orang per puskesmas. Dengan tenaga ini diharapkan dapat melayani penduduk Kabupaten Karo yag berjumlah 358.823 jiwa yang tersebar dalam wilayah seluas 2.127,25 km 2 (Profil Dinkes Kab. Karo, 2013). Jika dilihat dari Kepmenkes No.81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan di Tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit dengan mengacu pada metode perhitungan kebutuhan tenaga berdasarkan pendekatan rasio terhadap nilai tertentu yang menyatakan bahwa pada tahun 2014 diharapkan tenaga gizi 24 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2011) maka jumlah TPG Puskesmas di Kabupaten Karo belum mencukupi dan ini dapat membuat penanganan masalah gizi belum maksimal. Menurut Hadi (2005), tenaga gizi yang bekerja di Dinas Kesehatan maupun di Rumah Sakit di seluruh Indonesia sebagian besar lulusan D3 dan D1. Kompetensi yang dimiliki oleh sebagian besar tenaga gizi Indonesia belum memenuhi tantangan masalah gizi dan kesehatan saat ini, apalagi untuk menangani masalah gizi dan kesehatan 10 20 tahun mendatang.

Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa program gizi belum menunjukkan hasil yang nyata dalam penanggulangan masalah gizi. Keberhasilan program sangat ditentukan oleh ketepatan dalam melakukan intervensi. Intervensi tidak hanya dari sisi masyarakat, tetapi juga dari sisi managemen. Masih kurang tingginya pencapaian cakupan program gizi dan meningkatnya prevalensi gangguan pertumbuhan kemungkinan disebabkan karena pelaksanaan program perbaikan gizi yang tidak maksimal sementara sejauh ini belum banyak dilakukan analisis pelaksanaan program perbaikan gizi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi sedangkan informasi ini sangat dibutuhkan untuk perumusan kebijakan program perbaikan gizi. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan analisis pelaksanaan program perbaikan gizi yang berhubungan dengan program gizi balita dan difokuskan dalam upaya perbaikan gangguan pertumbuhan pada anak baru masuk sekolah. Diambil program gizi balita karena gangguan pertumbuhan merupakan gambaran dari status gizi masa lalu yang dapat dilihat pada masa balita. 1.2. Permasalahan Bagaimanakah pelaksanaan program gizi dalam upaya perbaikan gangguan pertumbuhan anak di Kabupaten Karo tahun 2014? 1.3. Tujuan Penelitian Menganalisis pelaksanaan program gizi dalam upaya perbaikan gangguan pertumbuhan anak baru masuk sekolah di Kabupaten Karo tahun 2014.

1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Institusi Pendidikan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan kajian guna pengembangan teori upaya perbaikan gangguan pertumbuhan anak. 2. Bagi Puskesmas sebagai bahan informasi agar dapat dipakai sebagai evaluasi dan perencanaan terhadap upaya penurunan prevalensi gangguan pertumbuhan anak. 3. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo sebagai masukan dalam perumusan kebijakan program perbaikan gizi untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan program gizi dalam upaya perbaikan gangguan pertumbuhan.