II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana. hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaaan bagi yang bersangkutan.

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materil), serta tidak ada alasan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA. Pertanggung Jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai pasal 377 KUHP dalam bentuk pokoknya disebutkan sebagai berikut :

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

I. PENDAHULUAN. juga di dalam kehidupan bermasyarakat yang teratur dan maju tidak dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

I. PENDAHULUAN. yang melakukan tindak pidana. Dengan lahirnya konsepsi baru dalam hukum pidana modern,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

I. PENDAHULUAN. dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum. dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

II.TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

I. PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

I. PENDAHULUAN. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang

BAB II LANDASAN TEORI

Bab XII : Pemalsuan Surat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

I. TINJAUAN PUSTAKA. pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT TRIAL BY THE PRESS. 3.1 Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana

I. PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam. dalam kegiatan seperti pemeliharaan pertahanan dan keamanan, keadilan,

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal. pelaku tindak pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang

SOAL DAN JAWABAN TENTIR UTS ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 2016 BY PERSEKUTUAN OIKUMENE (PO)

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana.

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

BAB II UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENGGELAPAN. Tindak pidana penggelapan (verduistering) diatur dalam Bab XXIV Pasal

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

TINJAUAN YURIDIS PROSES PERKARA PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS MOHAMMAD RIFKI / D

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana 1. Pengertian Hukum Pidana Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaaan bagi yang bersangkutan. a. Pelanggaran Pelanggaran adalah perbuatan pidana yang ringan. Ancaman hukumannya berupa denda atau kurungan. Semua perbuatan pidana yang tergolong pelanggaran diatur dalam Buku ke III KUHP. 1 b. Kejahatan Kejahatan adalah perbuatan pidana yang berat. Ancaman hukumannya dapat berupa hukuman denda, hukuman penjara, hukuman mati, dan kadangkala masih ditambah dengan hukuman penyitaan barang-barang tertentu, pencabutan hak tertentu, serta pengumuman keputusan hakim. 2 1 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) hal. 60 2 Ibid

18 2. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dimasyarakat secara konkret. 3 Istilah tindak pidana telah digunakan oleh masing-masing penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah Strafbaar feit tersebut. Istilah het strabare feit sendiri telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai: a. Delik (delict); b. Peristiwa pidana, (E.Utrecht); c. Perbuatan pidana, (Moeljatno) d. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum; e. hal yang diancam dengan hukum; f. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum; g. Tindak pidana, (Sudarto dan diikuti oleh pembentuk UU sampai sekarang) Lebih lanjut, Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan istilah strafbaar feit untuk menyebut tindak pidana. Oleh karena itu, timbul pertanyaan istilah manakah yang paling tepat? Untuk menjawabnya, perlu diuraikan beberapa pendapat ahli Hukum Pidana. 3 Heni Siswanto, Hukum Pidana, (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2005), hal. 35

19 a. Simon menerangkan strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab; b. Van Hamel merumuskan sebagi berikut: Perbuatan pidana adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan kesalahan ; c. Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu atura hukum, yang mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 4 d. Pompe, memberikan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi, yaitu: a) Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum; b) Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian atau feit yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. 5 Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dibuatkan suatu kesimpulan mengenai tindak pidana, yaitu sebagai berikut : 1. Suatu perbuatan yang melawan hukum; 2. Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan 4 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal.54 5 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia (Bandar Lampung: Universitas lampung, 2006), hal. 53-54

20 secara sengaja dan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian; 3. Subjek atau pelaku baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras; Pada hakikatnya perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibatnya yang ditimbulkan. karenanya, perbuatan pidana adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Adapun unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar itu pun terdapat perbedaan pandangan, baik dari Pandangan atau aliran Monistis dan Pandangan atau aliran Dualistis. Menurut aliran Monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana maka sudah dapat dipidana. Sedangkan aliran Dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga berpengaruh dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana. Menurut pakar hukum Simon, seorang penganut aliran Monistis dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut 6 : 1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan); 2. Diancam dengan pidana; 3. Melawan hukum; 4. Dilakukan dengan kesalahan; 5. Orang yang mampu bertanggung jawab. 6 Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang: Yayasan Sudarto: Fakultas Hukum Undip, 1990), hal. 40

21 Sedangkan menurut pakar hukum Moeljatno, seorang penganut Aliran Dualistis merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut: 1. Perbuatan (manusia); 2. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil; Sebagai konskuensi adanya asas legalitas); 3. bersifat melawan hukum (syarat materil; perbuatan harus betul -betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan karena bertentangan dengan tata pergaulan di masyarakat. 4. Kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana karena unsur perbuatan ini terletak pada orang yang berbuat. 7 Perlu diperhatikan menurut Sudarto mengenai unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan diatas. Meski berbeda pandangan dalam merumuskan hal tersebut antara yang satu dengan yang lainnya, namun hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekacauan pengertian dan pasti bagi orang lain. 8 Perbuatan pidana adalah suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam pidana. Dimana larangan ditujukan kepada perbuatan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Oleh karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian memiliki hubungan erat satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan. 7 Heni Siswanto, Hukum Pidana, (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2005), hal. 36 8 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia (Bandar Lampung: Universitas lampung, 2006), hal. 53-54

22 B. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. 9 Pertanggungjawaban pidana yaitu syarat-syarat pengenaan pidana. Sedangkan Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai sanksi (ancaman) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 10 Tindak Pidana itu berkaitan dengan sanksi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana yaitu hanya melalui putusan hakim yang telah bersifat tetap dan jenis pidana yang dapat dijatuhkan telah ditentukan dalam undang-undang. Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, didalam Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut : Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Penjelasan Konsep RKUHP dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. 9 Saefudien, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali, 2011), hal. 124 10 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hal.54

23 Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Istilah pertanggungjawaban pidana dalam bahasa Belanda menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar. Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar. Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut: Berbicara tentang konsep liability atau pertanggungjawaban dilihat dari segi filsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of Law, telah

24 mengemukakan pendapatnya I. Use the simple word liability for the situation where by one exact legally and other is legally subjected to the exaction. Bertitik tolak pada rumusan tentang pertanggungjawaban atau liability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama, menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa pembalasan sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran ganti rugi bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu hak istimewa kemudian menjadi suatu kewajiban. Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus dibeli, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan. Syarat dipidananya seseorang tidak cukup jika seseorang telah memenuhi unsur tindak pidana saja. Meskipun telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsurunsur tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materiil), serta tidak ada alasan pembenar, hal tersebut belum memenuhi syarat bahwa orang yang melakukan tindak pidana harus mempunyai kesalahan. 11 11 Chairul Huda,Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta:Prenada Media, 2006), hal. 74

25 Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah 12 : a. Melakukan perbuatan pidana, b. Mampu bertanggung jawab, c. Dengan sengaja atau kealpaan, dan d. Tidak ada alasan pemaaf. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana. 13 Pertanggungjawaban itu diminta atau tidak, adalah persoalan kedua, tergantung kebijakan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah dirasa perlu atau tidak untuk menuntut pertanggungjawaban tersebut. Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang umumnya telah dirumuskan oleh pembuat undangundang. Kenyataannya memastikan siapakah yang bersalah sesuai dengan proses sistem peradilan pidana. Perbuatan melawan hukum belum cukup untuk menjatuhkan hukuman. Harus ada pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Pembuat harus ada 12 Roeslan saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban, (Jakarta:Rineka Cipta, 1999), hal.79 13 Ibid, hal. 80

26 unsur kesalahan dan bersalah itu adalah pertanggungjawaban yang harus memenuhi unsur : a. Perbuatan yang melawan hukum. b. Pembuat atau pelaku dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya (unsur kesalahan). Pertanggungjawaban pidana adalah seseorang itu dapat dipidana atau tidaknya karena kemampuan dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam bahasa asing dikenal dengan Toerekeningsvatbaarheid dan terdakwa akan dibebaskan dari tanggung jawab jika itu tidak melanggar hukum. 14 Pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Setiap orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya, hanya kelakuannya yang menyebabkan hakim menjatuhkan hukuman yang dipertanggungjawabkan pada pelakunya. Pertanggungjawaban ini adalah pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti luas mempunyai tiga bidang, yaitu : 1. Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan 2. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya : a. Perbuatan yang ada kesengajaan, atau 14 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 1999) hal. 250

27 b. Perbuatan yang ada alpa, lalai, kurang hati-hati 3. Tidak ada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana bagi pembuat. 15 Terdapat tiga doktrin pertanggungjawaban, yaitu : 1. Pertanggungjawaban identifikasi, doktrin ini dipakai di Negara Anglo Saxon dan sering disebut pertanggungjawaban pidana langsung. 2. Pertanggungjawaban Vicarious Liability, yaitu seseorang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain atau disebut pertanggungjawaban pengganti atau pertanggungjawaban tidak langsung. 3. Pertanggungjawaban Strict Liability, yaitu pertanggungjawaban yang ketat menurut undang-undang yang ditekankan pada unsur kesalahan, pertanggungjawaban ini sering disebut pertanggungjawaban mutlak. Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan itu memang melakukan kesalahan, maka ia akan dipidana. Berarti orang yang melakukan tindak pidana akan dikenakan pidana atas perbuatannya. Seseorang harus bertanggung jawab terhadap sesuatu yang dilakukan sendiri atau bersama orang lain, karena kesengajaan atau kelalaian secara aktif atau pasif, dilakukan dalam wujud perbuatan melawan hukum, baik dalam tahap pelaksanaan maupun tahap percobaan. 16 15 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1997) hal. 91 16 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban, (Jakarta:Rineka Cipta, 1999), hal. 82

28 Asas legalitas menyatakan bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana. Meskipun demikian, orang tersebut belum tentu dapat dijatuhi pidana, karena masih harus dibuktikan kesalahannya, apakah dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Agar seseorang dapat dijatuhi pidana, harus memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahan. Seseorang telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang dan tidak dibenarkan oleh masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat. Melawan hukum dan kesalahan adalah unsur-unsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana (delik) yang mempunyai hubungan erat. Tanggung jawab itu selalu ada, meskipun belum pasti dituntut oleh pihak yang berkepentingan. Jika pelaksanaan peranan yang telah berjalan itu ternyata tidak mencapai tujuan yang diinginkan. Demikian pula dengan masalah terjadinya perbuatan pidana dengan segala faktor-faktor yang menjadi pertimbangan melakukan pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Atas faktor-faktor itulah tanggung jawab dapat lahir dalam hukum pidana. Tanggung jawab pidana dapat diartikan sebagai akibat lebih lanjut yang harus ditanggung oleh orang yang telah bersikap tindak, baik bersikap tindak yang selaras dengan hukum maupun yang bertentangan dengan hukum. Tanggung jawab pidana adalah akibat lebih lanjut yang harus diterima/dibayar/ditanggung oleh seseorang yang melakukan tindak pidana secara langsung atau tidak

29 langsung. Untuk dapat dipidana, maka perbuatannya harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Apabila perbuatannya memenuhi unsur-unsur tindak pidana, maka kepada yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara yuridis. Teori hukum pidana Indonesia kesengajaan itu ada tiga macam, yaitu : 1. Kesengajaan yang bersifat tujuan Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggung jawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman. 17 2. Kesengajaan Secara Keinsyafan Kepastian Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. 18 3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. 19 17 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hal. 66 18 Ibid, hal. 67-68 19 Ibid, hal. 69

30 Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan sebagai berikut : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurangan paling lama satu tahun. Kealpaan mengandung dua syarat, yaitu : 1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan hukum 2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan hukum Ketentuan diatas, dapat diikuti dua jalan, yaitu pertama memperhatikan syarat tidak mengadakan penduga-duga menurut semestinya. Yang kedua memperhatikan syarat tidak mengadakan penghati-hati guna menentukan adanya kealpaan. Siapa saja yang melakukan perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang semestinya, ia juga tidak mengadakan menduga-duga akan terjadi akibat dari kelakuannya. Selanjutnya ada kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Dengan demikian tidak mengadakan penduga-duga yang perlu menurut hukum terdiri atas dua kemungkinan yaitu: a. Terdakwa tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. b. Terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi ternyata tidak benar.

31 Syarat yang ketiga dari pertanggungjawaban pidana yaitu tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat. Dalam masalah dasar penghapusan pidana, ada pembagian antara dasar pembenar (permisibilry) dan dasar pemaaf (ilegal execuse). Dengan adanya salah satu dasar penghapusan pidana berupa dasar pembenar maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga menjadi legal/boleh, pembuatanya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Namun jika yang ada adalah dasar penghapus berupa dasar pemaaf maka suatu tindakan tetap melawan hukum, namun si pembuat dimaafkan, jadi tidak dijatuhi pidana. Dasar penghapus pidana atau juga bisa disebut alasan-alasan menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat di dalam Buku I KUHP, selain itu ada pula dasar penghapus diluar KUHP yaitu : Hak mendidik orang tua wali terhadap anaknya/guru terhadap muridnya dan Hak jabatan atau pekerjaan. Termasuk dasar Pembenar Bela paksa Pasal 49 ayat 1 KUHP, keadaan darurat, pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pasal 50, pemerintah jabatan-jabatan Pasal 51 ayat 1 Dalam dasar pemaaf atau fait d excuse ini semua unsur tindak pidana, termasuk sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana tetap ada, tetapi hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahannya. Yang termasuk dasar pemaaf adalah: kekurangan atau penyakit dalam daya berpikir, daya paksa (overmacht), bela paksa, lampau batas (noodweerexes), perintah jabatan yang tidak sah. 20 20 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hal. 70

32 C. Pelaku Penyertaan Dalam Tindak Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, pelaku ( pleger) merupakan arti pembuat ( dader) dalam pandangan yang sempit. Pembuat itu sendiri merupakan bagian dari penyertaan menurut ajaran equivalente setiap syarat bagi suatu akibat yang diperlukan dalam penyertaan, maka pengertian pelaku atau pembuat akan diperluas dengan: 1. Pelaku (pleger) adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang melakukan perbuatan adalah pelaku sempurna yaitu yang melakukan sesuatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam suatu tindak pidana atau yang melakukan perbuatan yang memenuhi perumusan tindak pidana. Menurut H.R tanggal 19 Desember 1910, pelaku menurut undang-undang adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk menghentikan situasi terlarang, sedangkan peradilan Indonesia memandang pelaku adalah orang yang menurut maksud pembuat undang-undang harus dipandang bertanggungjawab. 21 2. Menyuruh melakukan (doenpleger) adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain sedang itu hanya diumpamakan alat. Dengan demikian doenpleger ada dua pihak yaitu pembuat langsung dan pembuat tidak langsung, pada doenpleger terdapat unsur-unsur: a. Alat yang dipakai adalah manusia; 21 Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), (Bandung: Alumni, 1981), hal. 13

33 b. Alat yang dipakai itu berbuat (bukan alat yang mati); c. Alat yang dipakai itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Perbuatan menyuruh melakukan adalah suatu penyertaan, dalam hal ini orang yang telah benar-benar melakukan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya sedangkan orang lain dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang nyata oleh orang yang disuruh melakukan. Menurut MvT, perbuatan menyuruh melakukan terdapat dalam hal tindak pidana itu terjadi dengan perantaraan seorang manusia lain: a. Yang dipergunakan sebagai alat dalam tangan pelaku; b. Yang karena tanpa sepengetahuannnya terbawa dalam suatu keadaan atau terbawa dalam suatu kekeliruan atau karena kekerasan, sehingga ia menyerah untuk bertindak tanpa maksud ataupun kesalahan maupun tanpa dapat diperhitungkan sebelumnya. 22 3. Yang turut serta (medepleger) adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana ada tiga kemungkinan: a. Mereka masing-masing memenuhi unsur rumusan delik; b. Salah seorang memenuhi semua unsur delik; c. Tidak seorangpun memenuhi unsur delik, tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu. 22 Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), (Bandung: Alumni, 1981), hal. 14

34 Syarat untuk adanya medepleger yaitu adanya kerjasama secara sadar dan ada pelaksanaan bersama secara fisik. Noyon berpendapat bahwa turut serta melakukan bukanlah turut melakukan, juga bukan bentuk pemberian bantuan, tetapi merupakan bentuk penyertaan yang berdiri sendiri yang terletak diantara perbuatan melakukan dan perbuatan pemberian bantuan. 23 4. Penganjur (uitlokker) adalah orang yang menggerakan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undangundang. Perbedaan antara penganjur dengan menyuruh melakukan yaitu: a. Pada penganjuran orang yang digerakkannyadengan menggunakan sarana untuk menggerakkannya tidak ditentukan; b. Pada penganjuran pembuat materil dapat dipertanggungjawabkan sedangkan pada menyuruh melakukan pembuat materil tidak dapat dipertanggungjawabkan. D. Tindak Pidana Menggunakan Surat Palsu Secara Bersama-sama dan Berlanjut 1. Surat Palsu dan Dasar Hukum KUHP (Kitab Undang -undang Hukum Pidana), dalam bahasa Belanda disebut: "Wetboek van Straffrecht" merupakan hukum positif Indonesia. Hukum positif adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku disuatu negara.sebelum adanya KUHP baru, keberadaan KUHP sekarang, meski merupakan peninggalan kolonial masih tetap berlaku (hukum positif), terutama 23 Ibid, hal. 23

35 khusus yang mengatur ketentuan-ketentuan pidana dan berbagai sanksi yang dikenakan bagi pelanggarnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan pada pasal 2 KUHP, bahwa ketentuan pidana dalam Undang Undang (UU) Indonesia berlaku bagi tiap orang yang dalam wilayah Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh dihukum (peristiwa pidana). KUHP Indonesia terdiri dari tiga buku dengan 47 bab, dengan rincian: Buku Pertama berisi "Peraturan Umum" (9 bab), Buku Kedua mengatur tentang "Kejahatan" (31 bab) dan Buku Ketiga mengatur tentang "Pelanggaran" (6 bab), termasuk satu bab khusus didalam Buku Kedua yang mengatur tentang " Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan", yakni pada Bab XXIX.A-nya. Khusus mengenai surat palsu, didalam KUHP diatur pada Buku Kedua Bab XII berjudul: "Memalsukan Surat-Surat", terdiri dari 14 pasal (pasal 263 sampai dengan 276). Namun tiga buah pasal telah dihapus, masing-masing pasal 265 dihapuskan oleh S (Staatblaad) 1926 No. 259 jo 429, da n pasal 272-273 dihapuskan oleh S. 1926 No. 359 jo 429. Sebab pasal 429 yang di jo (juncto)-kan ternyata sudah diatur didalam pasal 429 Bab XXVIII tentang: "Kejahatan Yang Dilakukan Dalam Jabatan", khusus untuk pegawai negeri. 2. Kriteria Surat Palsu Surat dalam KUHP pada Bab XII adalah segala surat yang ditulis dengan tangan, yang dicetak maupun yang ditulis dengan memakai mesin tik/komputer, dan lainlain. Surat palsu adalah surat yang tampak dan terlihat seperti asli, tapi baik

36 material maupun formal, ternyata tidak asli. Ketidak-aslian antara lain dapat terlihat dari form dan kop surat yang diyakini sipenerima surat adalah tidak asli. Atau bisa juga form dan kop surat diyakini adalah asli, tapi tulisan dan atau tandatangan sipemberi/sipengirim pada surat tersebut ternyata tidak asli atau diragukan. Memalsu surat, mengubah surat sedemikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari materi aslinya, atau sehingga surat itu menjadi lain dari pada aslinya. Caranya bermacam-macam. Tidak senantiasa perlu, bahwa surat itu diganti dengan yang lain. Dapat pula dilakukan dengan jalan mengurangkan, menambah atau mengubah sesuatu dari surat itu. Memalsu tandatangan masuk kedalam pengertian "memalsu" surat. Demikian pula penempelan foto orang lain pada pemegang yang berhak atas suatu surat, misal dalam surat ijasah sekolah, SIM (surat ijin mengemudi /rijsbewijs), KTP (kartu tanda penduduk), dan lain-lain, harus dipandang sebagai suatu pemalsuan Sedangkan surat yang dipalsukan haruslah berupa surat, yang, satu: dapat menerbitkan suatu "hak", misalnya: Ijasah sekolah/lembaga pendidikan, sertifikat hak atas tanah (SHM, SHGU, SHGB, dan lain -lain), SK/Surat Keputusan (pengangkatan pegawai, penetapan suatu jabatan, penetapan anggota partai/dpr), dan lain sebagainya. Dua: surat yang dapat menerbitkan suatu "perjanjian", misalnya surat perjanjian utang-piutang, sertifikat deposito, perjanjian jual-beli, perjanjian sewa, kontrak dan atau sewa-beli, dan sebagainya. Tiga: surat yang dapat menerbitkan suatu pembebasan utang, misalnya berupa kuitansi dan tanda-terima lainnya.

37 Empat: surat yang boleh/dapat dipergunakan sebagai surat keterangan bagi sesuatu perbuatan atau sesuatu peristiwa tertentu, seperti akta perkawinan, akta kelahiran, IMB/ijin mendirikan bangunan, SIM, STNK/surat tanda nomor kendaraan, KTP, Obligasi/ORI (obligasi Republik Indonesia), buku tabungan di bank, termasuk kartu ATM dan atau kartu kredit, dan lain sebagainya. 3. Sanksi Hukum Membuat surat palsu berbeda dengan memalsu surat. Membuat surat palsu, artinya membuat surat sedemikian rupa, misalnya kop suratnya asli tapi isi/materi surat bukan sebagaimana tujuan/maksudnya dan penandatangannya pun bukan merupakan orang yang berwenang untuk maksud tersebut. Misal, petugas penyidik (Polri) dalam membuat BAP (Berita Ac ara Pemeriksaan) yang isinya bukan semestinya (tidak yang sebenarnya), atau, membuat surat demikian rupa, sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Petugas penyidik Polri yang membuat proses perbal yang berisi sesuatu cerita yang tidak benar dari orang yang menerangkan kepadanya, tidak masuk pengertian membuat proses perbal palsu. Petugas tersebut baru dapat disebut telah membuat proses perbal palsu, bilamana petugas Polri itu menuliskan dalam proses perbalnya lain dari pada hal yang diceritakan kepadanya oleh orang tersebut. Memalsu surat, yakni mengubah surat demikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain dari ada yang asli. Adapun caranya bermacam-macam. Tidak senantiasa perlu, bahwa surat itu

38 diganti dengan yang lain. Dapat pula dilakukan dengan jalan mengurangkan, menambah atau mengubah sesuatu dari surat tersebut. Memalsu tandatangan masuk pengertian memalsu dalam pasal ini. Demikian pula penempelan suatu foto orang lain dari pada pemegang yang berhak dalam suatu surat ijasah sekolah, SIM, KTP, harus dipandang sebagai suatu pemalsuan Surat aspal (asli tapi palsu) atau palsu tapi asli, sebenarnya tidak ada. Itu hanya merupakan sebuah istilah yang semakin populer didalam praktik hukum. Karena hanya dua gendang surat, yakni surat asli atau surat tidak asli/palsu. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa kriteria surat palsu (tidak asli) dapat disebutkan sebagai berikut, satu isinya tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang sebenarnya dari surat tersebut. Dua, isinya sudah sesuai, namun stempel perusahaan/organisasi, nama dan tanda-tangan sipenandatangan surat dipalsukan. Tiga, isinya sudah sesuai, stempel perusahaan /organisasi sudah sesuai, namun nama dan si penandatangan bukan yang berwenang. Empat, isi surat, stempel dan tandatangan sudah sesuai, namun kop suratnya tidak sesuai dengan kop surat perusahaan/organisasi yang asli/sah/berwenang. Lima, isi dan tandatangan, stempel perusahaan/organisasi serta kop surat sudah sesuai, namun si penandatangan bukan orang yang namanya tercantum dibawah tandatangannya, dan sebagainya. Setiap perbuatan melakukan: "membuat surat palsu" atau "memalsukan surat" diancam dengan hukuman pidana. Pasal 263 KUHP ayat 1 menyatakan, bahwa: "Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan suatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan

39 utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian, dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun". Sedangkan pada ayat 2-nya dinyatakan: "Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barang siapa dengan dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.