BAB V PENUTUP. masih dipertahankan sampai saat ini. Bersama dangan adat yang lain, harta buang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. harta buang dengan menfokuskan pada 3 point, yaitu : pertama, Analisa Mengenai

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat yang mampu menciptakan kemapanan sosial. 1 Adat istiadat sendiri di

T E S I S. Diajukan Kepada Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains (M.Si) Oleh:

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. 1 A Sopaheluwakan, Tjeritera tentang Perdjandjian Persaudaraan Pela (Bongso-bongso) antara negeri

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang

BAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi

BAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA. A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri

BAB III POTRET MASYARAKAT SELARU

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 04 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMONDOKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISA. Bab IV ini merupakan serangkaian analisis dari data lapangan sebagaimana yang telah

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami

BAB V PENUTUP. Simpulan dan Saran. Keduanya merupakan bagian penutup dari tesis ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. LATAR BELAKANG MASALAH

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

SURAT PERJANJIAN KAWIN ADAT DAYAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA *)

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Manusia mengalami perubahan tingkat-tingkat hidup (the life cycle), yaitu masa

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB III TRADISI NGALOSE DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA KEPUH TELUK KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan

BAB IV PENUTUP. atau maskawin. Nikah sirri artinya nikah secara rahasia atau dirahasiakan

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB IV TINJAUAN KRITIS. budaya menjadi identitasnya. Apabila manusia dicabut dari budayanya, ia bukan lagi orang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. besar dalam pewarisan nilai-nilai sosial dari satu individu ke individu lain. Keluarga

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140), yang disebut lingkungan hidup

PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG PERKARA IZIN POLIGAMI BAGI PNS TANPA IZIN ATASAN DI PENGADILAN AGAMA GORONTALO DALAM PERSPEKTIF YURIDIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

I. PENDAHULUAN. yakni berbeda-beda tetapi tetap satu. Maknanya meskipun berbeda-beda namun

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang multi culture yang berarti didalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluarga merupakan unit pelayanan kesehatan yang terdepan dalam

BAB IV ANALISIS DATA. penelitian kepustakaan seperti buku-buku, dokumen-dokumen, jurnal, dan lainlain

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TRADISI MELARANG ISTRI MENJUAL MAHAR DI DESA PARSEH KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT

PERKAWINAN ADAT. (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Provinsi Jawa Timur) Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan analisa mengenai perjumpaan budaya Sabudan

DILEMATIKA PERIJINAN POLIGAMI. Oleh: Ahsan Dawi Mansur. Diskursus tentang poligami selalu menjadi kajian aktual.

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk-bentuk adat istiadat dan tradisi ini meliputi upacara perkawinan, upacara

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai macam suku, budaya, bahasa dan agama.

- 1 - MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Besarnya jumlah mahar sangat mempengaruhi faktor hamil di luar nikah. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. menganjurkan manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan untuk

BAB VII PEN UTUP. Dalam penelitian ini, berdasarkan data serta analisa di bab IV dan V, dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara maritim dengan luas laut seluas 64,85% dari

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan

BAB II KAJIAN TEORI. "Adat" berasal dari bahasa Arab,عادات bentuk jamak dari عاد ة (adah), yang

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. siswa tentang penyalahgunaan HP dan Motor. Pada sub bab selanjutnya pun akan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

2 Kebiasaan (Folksway) Norma yang menunjukan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama

Transkripsi:

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan lain: Berdasarkan analisis pada Bab IV maka yang dapat disimpulkan oleh Penulis, antara 1. Harta buang merupakan salah satu dari sekian banyak adat istiadat di Selaru yang masih dipertahankan sampai saat ini. Bersama dangan adat yang lain, harta buang kemudian dirumuskan dalam Keputusan Latupati Kecamatan Selaru Nomor: 189/01/IV/LKS/2005. Selain karena merupakan warisan leluhur, harta buang dianggap sebagai sanksi yang masih cukup efektif untuk membatasi perceraian dan pelanggaran nilai perkawinan dalam kehidupan masyarakt Selaru. Keefektifan sanksi ini pun harus didukung oleh ketegasan dalam penegakan norma adat istiadat oleh pemerintah desa yang ditunjang oleh norma agama maupun norma hukum negara. 2. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan harta buang mengalami pergeseran seiring perkembangan dan perubahan sosial. Ada 4 (empat) cangkupan pergeseran dalam penerapan harta buang, sebelum dan sesudah adanya Keputusan Latupati Kecamatan Selaru Nomor: 189/01/IV/LKS/2005, yaitu: (a) Alasan-alasan perceraian yang bertambah: terkait dengan realita perceraian yang ada dalam masyarakat; (b) Pihak yang bersalah: bisa laki-laki (suami) ataupun perempuan (isteri) yang membayar harta buang; (c) Harta buang atau harta perempuan?: dalam penerapannya kadang tiada perbedaan; dan (d) Nominal 10 juta: menggantikan barang-barang adat dan sifatnya yang fleksibel.

3. Realita pergeseran ini berbeda dengan teori Coleman yang hanya sampai pada tahapan melihat norma sebagai sifat di tingkat sistem yang mempengaruhi tindakantindakan individu lebih lanjut. Tidak selamanya norma yang telah mapan mempengaruhi tindakan individu, malah tindakan individu terkadang akan mempengaruhi penerapan norma yang telah mapan dalam masyarakat. Tampaklah kelemahan teori Coleman yang lebih memprioritaskan isu mikro ke makro (hanya pada awal pembentukan norma sehingga panah kausalnya hanya menunjuk ke satu arah, sehingga mengabaikan hubungan dialektis antar dan antara fenomena mikro dengan makro saat telah terbentuk sistem yang mapan yang kemudian dapat dipengaruhi oleh individu yang bebas di tingkat mikro. Dilain pihak, fenomena sosial dalam masyarakat turut mempengaruhi keberadaan norma. Langkanya barang-barang adat, gender, dan pemekaran wilayah mempengaruhi perubahan norma yang lebih kontekstual. Realita ini menunjukkan salah satu kelemahan teori Coleman lagi, yakni mengabaikan isu makro-makro. Di luar sistem norma adat yang telah terbentuk, ternyata ada fenomena sosial (makro) lain yang dapat mempengaruhi norma yang telah mapan dalam masyarakat. Sistem kekerabatan di Selaru merupakan bentuk fenomena makro (yang lain selain norma) yang disebut Coleman sebagai aktor korporat yang dapat mengontrol fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat Selaru. Pihak yang memegang norma dapat mengambil otoritas dari sistem kekerabatan (sebagai struktur korporat) dan menanamkan legitimasi pada pihak yang bersalah sehingga sanksi harta buang dapat menjadi 30 juta. Tetapi dipihak lain, melalui otoritas sistem kekerabatan inilah maka permasalahan (pelanggaran adat) yang fatal dapat diselesaikan secara kekeluargaan. 4. Pergeseran penerapan harta buang ini cukup memberi dampak bagi jumlah pelanggaran adat di Selaru. 91

Walaupun data kuantitatif tidak mendukung, namun berdasarkan pernyataan deskriptif nara sumber maka disimpulkan bahwa setelah penerapan Keputusan Latupati Kecamatan Selaru Nomor: 189/01/IV/LKS/2005 dengan sanksi harta buang 10 juta maka presentase jumlah pelanggaran mengalami penurunan di Adaut. Sedangkan, di Namtabung menunjukan stabilitas dampak yang baik karena sebelum ada Keputusan Latupati Tahun 2005, harta buang 10 juta di Namtabung sudah diterapkan. Itu berarti sanksi harta buang masih efektif untuk menyikapi pelanggaran adat yang terjadi di Selaru; membatasi perceraian dan pelanggaran amoral yang lain. Semakin tegas penegakan keputusan adat ketika pelanggaran ada, maka makin memperkuat kedudukan norma adat dalam menopang menciptakan masyarakat yang harmonis. 5. Keefektifan sanksi harta buang ini antara lain: (a) melarang dan membatasi tindakan utama yang negatif dari sasaran norma yang melanggar norma perkawinan, yakni tindakan perceraian, persinahan, dll; (b) membatasi konsekuensi eksternalitas negatif terhadap ahli waris, yakni disharmoni kekerabatan yang meluas; dan (c) memberikan hak kontrol untuk menerapkan sanksi dari pelaku pemegang norma terhadap pelaku pelanggar norma, melalui keputusan kolektif (duduk adat). 6. Bahwa sanksi harta buang termasuk dalam norma larangan dan norma gabungan versi Coleman, maka sanksi harta buang ini tidak sekedar berupaya membatasi dan melarang perceraian dalam lingkup masyarakat, tetapi lebih kepada itu berupaya menyikapi persoalan (realita) amoral dalam masyarakat yang terkadang terbatas untuk diselesaikan oleh hukum negara; maupun yang belum kuat ditegakkan oleh sanksi norma agama yang cenderung melihat otoritas penerapan sanksi ada di tangan Tuhan. 92

7. Dalam upaya pelestarian adat istiadat, Latupati Selaru sudah cukup memberikan kontribusi yang baik dengan berusaha merumuskan Keputusan Latupati Kecamatan Selaru Nomor: 189/01/IV/LKS/2005 secara kontekstual melihat perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi di Selaru maupun di luar Selaru; walaupun disadari sungguh masih banyak kekurangan dalam perumusan keputusan adat tersebut. 8. Sikap aprori masyarakat terhadap adat (sanksi harta buang) kiranya tidak perlu berlebihan ketika masyarakat mempercayakan pemerintah maupun tua-tua adat dalam forum duduk adat untuk menyelesaikannya secara baik kasus pelanggaran adat; memperhatikan dan mempertimbangkan segala hal dalam mengambil atau memutuskan hasil keputusan duduk adat. 5.2 Saran Beberapa hal yang Penulis dapat sarankan terkait penulisan/penelitian ini, adalah: 1. Kepada Latupati Kecamatan Selaru: a. Membenah kepengurusan asosiasi/persekutuan Latupati mengingat kepengurusan Ketua yang ada hanya melanjutkan Ketua Latupati sebelumnya (Kepala Desa Adaut Demisioner). b. Pembenahan ini akan berdampak pula pada pembenahan kinerja Latupati yang ada, khususnya dalam hal ini meninjau dan merevisi Keputusan Latupati Kecamatan Selaru Nomor: 189/01/IV/LKS/2005 seiring perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Penulis melihat bahwa ada beberapa hal yang perlu ditinjau kembali dalam rumusan Latupati ini, antara lain: - perlu ada penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan (klasifikasi) sanksi harta buang antara perkawinan sah dengan perkawinan belum sah (secara 93

agama dan sipil) sehingga ada kejelasan pula antara harta buang dengan harta perempuan; - perlu ada penjelasan mengenai fleksibelitas nilai nominal sanksi harta buang 10 juta, yang bisa kurang (< 10 juta) tetapi juga bisa lebih (> 10 juta) hingga mencapai 30 juta. Keputusan Latupati pun diusahakan untuk disosialisasikan kepada komunitas perantauan melalui rukun warga kampong yang terbentuk di setiap daerah. - Ketegasan aturan akan perkawinan yang sah, yang tidak sebatas perkawinan ala adat tetapi juga perkawinan berdasarkan norma agama dan hukum negara. Ketegasan aturan ini akan semakin kuat ketika direalisasikan juga dalam peraturan desa masing-masing. - Mewacanakan kembali nama forum adat di Selaru sesuai dengan identitas orang Tanimbar, menggantikan nama latupati yang merupakan istilah dari daerah Ambon. 2. Kepada Pemerintah Desa: Bahwa desa sebagai kesatuan administrasi dan kesatuan (hukum) adat mempunyai mandat yang besar bagi pemerintah desa untuk melestarikan dan mengindahkan nilai adat istiadat yang ada. Dalam tanggung jawab tersebut, menurut Penulis bahwa pemerintah desa mengupayakan untuk mendokumentasikan/merumuskan nilai adat (secara tertulis) dan tidak sebatas hanya merumuskan pelaksanaan aturan adat dengan penerapan saksinya. Hal ini dimaksudkan agar nilai adat tersebut dapat diketahui dan dipahami hakekatnya oleh masyarakat dan bukan hanya sekedar ikutikutan menerapkan (melanjutkan/meneruskan) tradisi adat secara kosong; serta nilai-nilai tersebut dijiwai bukan hanya tetua adat saja tetapi juga oleh generasi selanjutnya. Bentuk pelestarian adat istiadat antara lain: 94

a. Pada Lembaga Pendidikan materi pelajaran mengenai kearifan lokal tidak sebatas mengajari tentang kerajinan-kerajinan lokal (desa), tetapi juga mengajari mengenai sejarah desa dan nilai-nilai adat lain menyangkut sistem kekerabatan dan peran status-status adat yang ada (seperti: duan-lolat, mata-rumah, soa, harta kawin, harta buang, sasi, pengenalan tentang Keputusan Latupati yang ada, dll). b. Hal lain yang perlu diperhatikan mengenai kejelasan fungsi status Lembaga Adat di tiap desa yang terbentuk dengan alasan kebutuhan desa (akan adat); sehingga tidak terkesan adat keracuan fungsi status dan kerja antara Pemerintah Desa dengan Lembaga Adat. c. Pemerintah mengupayakan untuk membarui dokumentasi desa, khususnya mengenai masalah pelanggaran adat. Dokumentasi desa tersebut bukan saja berguna sebagai data yang menghias lemari kantor desa, tetapi lebih dari pada itu menjadi unit analisa dalam meninjau presentase perkembangan kinerja pemerintah desa masing-masing. d. Pemerintah diupayakan tidak hanya bertindak untuk menyelesaikan perkara perceraian yang muncul dalam masyarakat, tetapi juga berupaya mengubah bahkan menindak secara bijak dan tegas budaya hidup bersama tanpa ikatan perkawinan sah (agama/gereja dan sipil) yang dianggap biasa saja bagi masyarakat hanya karena kecenderungan sudah melakukan peminangan secara adat antara pihak keluarga laki-laki dengan perempuan. 3. Kepada Gereja: Gereja mempunyai peran yang cukup besar dalam menumbuhkan kesadaran akan pentingnya perkawinan yang sah (secara agama dan hukum) dan ketegasan sikap akan realitas perceraian yang terjadi dalam masyarakat. Hal itu bukan saja melalui 95

wejangan khotbah tetapi juga pendampingan (pastoral) dan penegakan disiplin gereja bagi masyarakat yang adalah warga jemaat (gereja). 4. Kepada Masyarakat: a. Masyarakat yang merupakan kumpulan keluarga dan komunitas kekerabatan adat yang ada agar selalu menanamkan nilai-nilai adat istiadat bagi setiap anggota keluarga/kerabat yang ada. Hal-hal yang paling sederhana antara lain : penggunaan bahasa daerah, pengenalan sistem kekerabatan yang ada (apa/siapa itu duan dan lolat-nya katong), keterlibatan dalam persekutuan rukun warga kampong, dll. b. Dalam kaitan dengan point (2d) maka dalam keluarga harus dibangun kesadaran norma bukan hanya norma adat yang ditakuti sanksinya, tetapi juga norma agama dan norma hukum. Mengingat ada manfaat ketika pasangan suami-isteri sudah terikat dalam ikatan perkawinan sah (agama, hukum dan adat), yaitu ada kejelasan status suami-isteri maupun anak-anak secara sosial. 96