DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH

DANA BAGI HASIL YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 21/PMK.07/2009 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH MENTERI KEUANGAN,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 126 /PMK.07/2010 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.07/2010 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. No 23 Tahun 2014 BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanju

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan. 11/PMK.07/ Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA;

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 04/PMK.07/2008 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH MENTERI KEUANGAN,

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 160.2/PMK.07/2008 TENTANG

2017, No melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu membentuk Undang-Undang tent

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

11/PMK.07/2010 TATA CARA PENGENAAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN DI BIDANG PAJAK DAERAH DAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 278, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5767); MEMUTUSKAN: Menetap

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2016, No menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

, No.2057 tentang Kurang Bayar dan Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Tahun Anggaran 2013 dan Tahun Anggaran 2014 Menurut Provinsi/Ka

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

BERITA DAERAH KOTA LHOKSEUMAWE

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2018

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI MOJOKERTO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

- 4 - URAIAN PEDOMAN PENYUSUNAN APBD TAHUN ANGGARAN I. Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Daerah dengan Kebijakan Pemerintah

2017, No Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 t

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DANA BAGI HASIL. Novotel, Bogor, 06 September 2015 DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PURWAKARTA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 04/PMK.07/2011 TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 04/PMK.07/2011 TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1 of 5 18/12/ :41

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

Jenis Penerimaan & Pengeluaran Negara. Pertemuan 4 Nurjati Widodo, S.AP, M.AP

Transkripsi:

UU Nomor 33 Tahun 2004 Draf RUU Keterangan 1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH 2. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 3. Menimbang: a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan diselenggarakan otonomi seluas-luasnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. b. bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan antar Pemerintahan Daerah perlu diatur secara adil dan selaras; 5. c. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah; b. bahwa pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; c. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efisien dan efektif, perlu diatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. bahwa hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undangundang; 1

Pemerintahan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar susunan pemerintahan; 6. d. bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga perlu diganti; 7. e. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 8. Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 23C, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 9. 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 10. 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Mengingat : e. bahwa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga perlu diganti dengan peraturan yang mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; Pasal 5 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2

Nomor 4355); 11. 4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400); 12. 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 13. Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: 14. Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH. Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH. 15. BAB I BAB I 16. KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM Perlu didefinisikan Dana Otonomi Khusus 17. Pasal 1 Pasal 1 18. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 19. 1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistim pendanaan pemerintahan yang proporsional, transparan, akuntabel dan efisien untuk mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan oleh Pemerintah Pusat dalam kerangka negara kesatuan. 20. 1. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, 2. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia Telah Sinkron dengan draf RUU 3

adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 21. 2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan Tugas Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 22. 3. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan Desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. 23. 4. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 24. 5. Daerah otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batasbatas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 25. 6. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota. 26. 7. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri-menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai penyelenggara unsur pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 5. Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota. 7. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah unsur penyelenggara urusan 32/2004 Telah Sinkron dengan draf RUU 32/2004 Telah Sinkron dengan draf RUU 32/2004 Telah Sinkron dengan draf RUU 32/2004 Telah Sinkron dengan draf RUU 32/2004 4

sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. pemerintahan daerah yang menjalankan fungsi pembentukan Peraturan Daerah, pengawasan, dan anggaran. 27. 8. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 28. 8. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 29. 9. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah. 30. 10. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggung-jawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. 31. 11. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah. 32. 12. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah. 33. 13. Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. 34. 14. Belanja daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 35. 15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan 9. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 10. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. 11. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah. 12. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah. 13. Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. 14. Belanja Daerah adalah kewajiban Pemerintah Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. 15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima Sesuai dengan rumusan UU keuangan negara. Perubahan nomenklatur wewenang menjadi urusan sesuai dengan UUD 1945 Catatan: Dekonsentrasi dihapus karena tidak termasuk dalam lingkup pengaturan undang-undang ini. Catatan: Kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan kepada Pemerintah Pusat diatur dalam batang tubuh. Sesuai UU 17/2003 Sesuai UU 17/2003 Sesuai UU 17/2003 Sesuai UU 17/2003 Sesuai UU 17/2003 5

diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. 36. 16. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 37. 17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 38. 18. Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah dan/atau yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 39. 19. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. 40. 20. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. 16. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 18. Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah dan/atau diperoleh sebagai hasil pengelolaan kekayaan Daerah dan pendapatan lainnya sebagai hasil pengelolaan APBD, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 19. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 20. Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan tertentu APBN yang dialokasikan kepada Daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. 41. 21. DBH Pajak adalah dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan dan Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21. 42. 22. Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat PBB, adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan di kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Sesuai UU 17/2003 Sesuai UU 17/2003 6

Bumi dan Bangunan. 43. 23. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan. 44. 24. Pajak Penghasilan Pasal 21, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan. 45. 25. Cukai Hasil Tembakau, yang selanjutnya disingkat CHT, adalah pungutan Negara yang dikenakan terhadap hasil tembakau berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang cukai. 46. 26. DBH Sumber Daya Alam adalah dana bagi hasil yang bersumber dari penerimaan sumber daya alam kehutanan, pertambangan umum, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. 47. 27. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, yang selanjutnya disingkat IIUPH, adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. 48. 28. Provisi Sumber Daya Hutan, yang selanjutnya disingkat PSDH, adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. 49. 29. Dana Reboisasi adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan berdasarkan ketentuan peraturan 7

perundang-undangan di bidang kehutanan. 50. 30. Iuran Tetap adalah iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan umum dan pertambangan panas bumi. 51. 31. Iuran Produksi adalah iuran yang dibayarkan kepada negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan umum dan pertambangan panas bumi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan umum dan pertambangan panas bumi. 52. 32. Setoran Bagian Pemerintah adalah penerimaan negara dari pengusaha panas bumi atas dasar kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi ditetapkan, setelah dikurangi dengan kewajiban perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. 53. 33. Bagian Negara dari pertambangan minyak bumi dan gas bumi, yang selanjutnya disebut Bagian Negara, adalah penerimaan negara yang diperoleh dari pertambangan minyak bumi dan gas bumi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang minyak bumi dan gas bumi. 54. 21. Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. 55. 22. Celah fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dan kapasitas fiskal Daerah. 56. 23. Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas 34. Dana Alokasi Umum, yang selanjutnya disingkat DAU, adalah dana yang bersumber dari Penerimaan Dalam Negeri APBN yang dialokasikan kepada Daerah dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar-daerah. 35. Dana Alokasi Khusus, yang selanjutnya disingkat DAK, adalah dana yang bersumber dari Penerimaan Dalam Negeri APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah. 8

nasional. 57. 24. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. 58. 25. Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. 59. 26. Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. 60. 27. Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan. 61. 28. Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. 62. 29. Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa, dan/atau krisis solvabilitas. 63. 30. Rencana Kerja Pemerintah Daerah, selanjutnya disebut RKPD, adalah dokumen perencanaan daerah provinsi, kabupaten, dan kota untuk periode 1 (satu) tahun. 64. 31. Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah, selanjutnya disebut Renja SKPD, adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk 36. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. 37. Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN untuk mendanai urusan Pemerintah Pusat yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah. 38. Hibah kepada Daerah, adalah uang, barang dan/atau jasa yang diberikan kepada Daerah berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan tidak perlu dikembalikan/dibayar kembali. 39. Rencana Kerja Pemerintah Daerah, yang selanjutnya disingkat RKPD, adalah dokumen perencanaan daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk periode 1 (satu) tahun. 40. Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat Renja SKPD, adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode Catatan: Dihapus sesuai ruang lingkup pengaturan. Catatan: Tergantung pembahasan ruang lingkup HKPD apakah termasuk pengelolaan keuangan daerah. 9

periode 1 (satu) tahun. 1 (satu) tahun. 65. 32. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah, selanjutnya disebut RKA SKPD, adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang merupakan penjabaran dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan rencana strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran, serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya. 41. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat RKA SKPD, adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program, kegiatan dan anggaran SKPD yang merupakan penjabaran dari RKPD dan rencana strategis SKPD yang bersangkutan dalam 1 (satu) tahun anggaran. 66. 33. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang 42. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan Kerja Perangkat Daerah. negara/lembaga/ SKPD. 67. 43. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Keuangan Negara. 68. 34. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik Negara/Daerah. 69. BAB II 70. Ruang Lingkup 71. Pasal 2 72. (1) Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan Pemerintahan Daerah untuk membiayai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan kepada Pemerintahan Daerah. 73. (2) Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemberian sumber pendapatan asli daerah berasal dari pemungutan pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lainlain pendapatan asli daerah yang sah; b. pemberian dana bersumber dari perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; c. pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus untuk Pemerintahan Daerah tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang; dan d. pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat, 10

insentif. 74. (3) Hubungan keuangan dalam penyelengaraan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang ditugaskan sebagai pelaksanaan dari Tugas Pembantuan. 75. (4) Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kebijakan yang menjamin kualitas belanja daerah dan kesinambungan fiskal secara nasional. 76. BAB II BAB III 77. PRINSIP KEBIJAKAN PERIMBANGAN KEUANGAN PRINSIP KEBIJAKAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH 78. Pasal 2 Pasal 3 79. (1) Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. (1) Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah merupakan konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintahan Daerah. 80. (2) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diikuti dengan pemberian sumber-sumber keuangan Negara. 81. (2) Pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal. (3) Pemberian sumber-sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada pemerintahan daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal. 82. (4) Sumber-sumber keuangan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menjadi sumber-sumber penerimaan Daerah dalam rangka penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan Daerah mencakup: a. pajak Daerah dan retribusi Daerah; b. dana perimbangan; c. dana otonomi khusus; d. hibah; e. dana darurat; f. pinjaman; dan g. insentif. Catatan: Kesinambungan fiskal secara nasional masing-masing APBD ikut menjamin kesinambungan fiskal Catatan: Bagian ini tidak mengatur sumbersumber penerimaan Daerah secara keseluruhan namun konsekuensi dari pengaturan hubungan keuangan daerah. 11

83. (3) Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. (5) Pembagian sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintah Pusat yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dilakukan dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dimaksud. 84. Pasal 3 Pasal 4 85. (1) PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai perwujudan Desentralisasi. 86. (2) Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-pemerintah Daerah. (1) Pajak Daerah dan retribusi Daerah bertujuan memberikan kewenangan kepada Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi. (2) Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan antar- Pemerintahan Daerah. 87. (3) Dana Otonomi Khusus bertujuan untuk penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 88. (3) Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah. 89. (4) Lain-lain Pendapatan bertujuan memberi peluang kepada Daerah untuk memperoleh pendapatan selain pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). (4) Hibah bertujuan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan mendanai kegiatan tertentu. 90. (5) Dana Darurat bertujuan untuk membantu daerah mendanai kegiatan dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. 91. (6) Pinjaman Daerah bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Daerah dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. 92. Pasal 5 93. Prinsip pengaturan hubungan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dan Pasal 4 menjadi dasar dalam pengaturan: a. perpajakan daerah dan retribusi daerah; b. pengalokasian dana dari APBN ke APBD; c. pengalokasian dana tugas pembantuan; dan Catatan: Pajak Daerah dan retribusi Daerah mencerminkan kewenangan perpajakan yang dimiliki Pemerintah Daerah dalam rangka otonomi. Pindah ayat (6) Penjelasan : Dengan ketentuan ini pengalokasian dana APBN kepada daerah dalam rangka hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah hanya yang diatur dalam 12

d. pinjaman daerah. undang-undang ini. 94. Pasal 6 95. Pelimpahan urusan pemerintahan umum dan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ditugaskan sebagai pelaksanaan Tugas Pembantuan disertai pendanaan dari APBN. 96. Pasal 7 97. Pengelolaan keuangan daerah mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan Keuangan Negara. 98. BAB III BAB IV 99. DASAR PENDANAAN PEMERINTAH DAERAH PENDANAAN PEMERINTAHAN DAERAH 100. Pasal 4 Pasal 8 101. (1) Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD. 102. (2) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai APBN. 103. (3) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka Tugas Pembantuan didanai APBN. 104. (4) Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diikuti dengan pemberian dana. (1) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban APBD. (2) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di daerah didanai dari dan atas beban APBN. Catatan: Dibahas dalam pleno Hasil harmonisasi RUU 32/2004 RUU HKPD bahwa RUU 33/2004 dapat mengatur hal-hal umum/pokok-pokok terkait keuangan daerah. Pasal 216 RUU Pemda dan penjelasan. 105. Pasal 9 106. (1) Pemerintah Pusat dilarang mendanai urusan yang telah 13

menjadi kewenangan Daerah dalam rangka Tugas Pembantuan. 107. (2) Pemerintah Daerah dilarang mendanai urusan Pemerintah Pusat, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundangundangan. 108. Pasal 10 109. (1) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dikenakan sanksi berupa pengurangan/pemotongan anggaran kementerian/lembaga yang bersangkutan pada tahun anggaran berikutnya. 110. (2) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dikenakan sanksi berupa pemotongan Dana Perimbangan yang menjadi hak Daerah yang bersangkutan. 111. (3) Tata cara pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. 112. BAB IV 113. SUMBER PENERIMAAN DAERAH 114. Pasal 5 115. (1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. 116. (2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; dan c. Lain-lain Pendapatan. PMK tentang sanksi mengatur bahwa sanksi dikenakan berdasarkan : a. untuk K/L hasil evaluasi tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri PPN/Kepala Bappenas, dan Menteri; b. untuk Pemerintah Provinsi hasil evaluasi tentang APBD oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri; dan c. untuk Pemerintah kabupaten/kota hasil evaluasi tentang APBD oleh gubernur. 14

117. (3) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: a. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah; b. penerimaan Pinjaman Daerah; c. Dana Cadangan Daerah; dan d. Hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. 118. BAB V BAB V 119. PENDAPATAN ASLI DAERAH PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH 120. Pasal 6 Pasal 11 121. Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak Daerah dan retribusi Daerah dalam rangka melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan Daerah. 122. (1) PAD bersumber dari: a. Pajak Daerah; b. Retribusi Daerah; c. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. lain-lain PAD yang sah. 123. (2) Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi: a. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan; b. jasa giro; c. pendapatan bunga; d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. 124. Pasal 7 Pasal 12 125. Dalam upaya meningkatkan PAD, Daerah dilarang: a. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi; dan b. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan impor/ekspor. Dalam memungut pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Daerah dilarang menetapkan Peraturan Daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan impor/ekspor. Dipindah ke BAB Pengelolaan Keuangan Daerah. 15

126. Pasal 8 Pasal 13 127. Ketentuan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang. Ketentuan mengenai pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diatur dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak Daerah dan retribusi Daerah. 128. Pasal 9 129. Ketentuan mengenai hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan. 130. BAB VI BAB VI 131. DANA PERIMBANGAN DANA PERIMBANGAN 132. Bagian Kesatu Bagian Kesatu 133. Jenis Jenis Dana Perimbangan 134. Pasal 10 Pasal 14 135. (1) Dana Perimbangan terdiri atas: a. Dana Bagi Hasil; b. Dana Alokasi Umum; dan c. Dana Alokasi Khusus. 136. (2) Jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN. (1) Dana Perimbangan terdiri atas: a. DBH; b. DAU; dan c. DAK. (2) Besarnya Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam Undang-Undang tentang APBN. 137. Bagian Kedua Bagian Kedua 138. Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil 139. Pasal 11 Pasal 15 140. (1) Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. 141. (2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. (1) DBH bersumber dari: a. Pajak; b. Cukai; dan c. Sumber Daya Alam. (2) DBH Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. PBB; b. PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. PBB yang dimaksud dalam ketentuan ini, adalah PBB yang bersumber dari sektor perkebunan, perhutanan dan pertambangan. 16

142. (3) DBH Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah cukai hasil tembakau. 143. (3) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari: a. kehutanan; b. pertambangan umum; c. perikanan; d. pertambangan minyak bumi; e. pertambangan gas bumi; dan (4) DBH Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas: a. kehutanan; b. pertambangan umum; c. pertambangan minyak bumi; d. pertambangan gas bumi; dan e. pertambangan panas bumi. f. pertambangan panas bumi. 144. Pasal 12 Paragraf Kesatu DBH Pajak 145. (1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a dan huruf b dibagi antara daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan Pemerintah. 146. (2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah dengan rincian sebagai berikut: a. 16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi; b. 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota; dan c. 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan. 147. (3) 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun Pasal 16 (1) DBH Pajak yang bersumber dari PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a, yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh persen) dengan rincian: a. 18% (delapan belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 72% (tujuh puluh dua persen) untuk kabupaten dan kota yang bersangkutan. Huruf b Yang dimaksud dengan pertambangan umum dalam ketentuan ini adalah pertambangan mineral dan batubara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 17

anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut: a. 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota; dan b. 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu. 148. (2) DBH PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersumber dari PBB sektor pertambangan yang diperoleh dari wilayah laut 4 (empat) mil dari garis pantai, dibagi dengan rincian: a. 18% (delapan belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 72% (tujuh puluh dua persen) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan. 149. (3) DBH PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersumber dari PBB sektor pertambangan yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil dibagi dengan rincian: a. 18% (delapan belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 72% (tujuh puluh dua persen) untuk seluruh kabupaten dan kota di provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama besar. 150. (4) Penerimaan PBB yang bersumber dari PBB sektor pertambangan yang diperoleh dari wilayah laut di atas 12 (dua belas) mil tidak dibagihasilkan kepada Daerah. 151. 152. (4) Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80% (delapan puluh persen) dengan rincian sebagai berikut: a. 16% (enam belas persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi; dan b. 64% (enam puluh empat persen) untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota. 18

153. (5) 20% (dua puluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota. 154. (6) Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 155. Pasal 13 Pasal 17 156. (1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c yang merupakan bagian Daerah adalah sebesar 20% (dua puluh persen). 157. (2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi antara Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota. 158. (3) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dengan imbangan 60% (enam puluh persen) untuk kabupaten/kota dan 40% (empat puluh persen) untuk provinsi. 159. (4) Penyaluran Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara triwulanan. (1) DBH Pajak yang bersumber dari PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b, ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen) dengan rincian: a. 8% (delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan. (2) Pembagian kepada provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada wilayah Daerah tempat tinggal wajib pajak, tempat kegiatan usaha, dan/atau tempat bekerja. 160. Paragraf Kedua DBH Cukai Disiapkan skenario dampak atas setiap penambahan satu persen dari DBH PPh. (sensitivity analysis) Simulasi apakah provinsi lebih beruntung dari pada kab/kota yang bisa dilihat dari defisitnya jika dibandingkan dengan rasio pendapatan (defisit per total pendapatan) dengan spirit memperkuat kab/kota dengan transfer melalui prov. Dengan ketentuan ini penerimaan PPh Pasal 25/29 WPOPDN diadministrasikan sesuai dengan wilayah daerah tempat tinggal WP dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan untuk PPh Pasal 21 diadministrasikan berdasarkan wilayah daerah tempat bekerja. 19

Pasal 18 161. (1) DBH Cukai yang bersumber dari CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) ditetapkan sebesar 2% (dua persen) dengan rincian: a. 0,4% (nol koma empat persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 0,8% (nol koma delapan persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan c. 0,8% (nol koma delapan persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. 162. (2) Pembagian untuk provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, didasarkan pada kontribusi Daerah yang bersangkutan terhadap penerimaan CHT dan/atau produksi tembakau. 163. (3) Ketentuan DBH Cukai sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, berlaku sampai dengan tahun 2013. Kontribusi daerah dapat dilihat dari jumlah penerimaan cukai, jumlah/kapasitas pabrik/produksi rokok, produksi tembakau atau luas lahan tembakau. 164. Pasal 14 Paragraf Ketiga DBH Sumber Daya Alam Pasal 19 165. Pembagian Penerimaan Negara yang berasal dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut: 166. a. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. (1) DBH Sumber Daya Alam kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) huruf a berasal dari: a. IIUPH; b. PSDH; dan c. Dana Reboisasi. (2) DBH Sumber Daya Alam kehutanan yang bersumber dari IIUPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk kabupaten/kota penghasil. Yang dimaksud kabupaten/kota penghasil dalam ketentuan ini adalah kabupaten/kota tempat pengusahaan hutan. Dibuat link untuk simulasi dan gambar dimana provinsi hilang bagiannya. 167. (3) DBH Sumber Daya Alam kehutanan yang bersumber dari Yang dimaksud kabupaten/kota 20

168. b. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah dan 40% (empat puluh persen) untuk Daerah. PSDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dengan rincian: a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. (4) DBH Sumber Daya Alam kehutanan yang bersumber dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota penghasil. 169. (5) DBH Sumber Daya Alam kehutanan yang bersumber dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. 170. c. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. 171. d. Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota. 172. e. Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk Pemerintah; dan 2. 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah. 173. f. Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan penghasil dalam ketentuan ini adalah kabupaten/kota tempat pengusahaan hutan. Yang dimaksud dengan kabupaten/kota penghasil dalam ketentuan ini adalah wilayah kabupaten/kota tempat pengusahaan hutan. Konsultasi dengan kementerian Kehutanan dalam penggunaan DBH DR. 21

peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk Pemerintah; dan 2. 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk Daerah. 174. g. Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. 175. Pasal 15 176. (1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan IHPH yang menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dibagi dengan rincian: a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi; dan b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil. 177. (2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PSDH yang menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dibagi dengan rincian: a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan c. 32% (tiga puluh dua persen) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. 178. Pasal 16 179. Dana Bagi Hasil dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b: a. 60% (enam puluh persen) bagian Pemerintah digunakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional; dan b. 40% (empat puluh persen) bagian daerah digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil. 180. Pasal 17 Pasal 20 181. (1) Penerimaan Pertambangan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c terdiri atas: (1) DBH Sumber Daya Alam pertambangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) huruf b, berasal dari: 22

a. Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent); dan b. Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti). a. Penerimaan Iuran Tetap; dan b. Penerimaan Iuran Produksi. 182. (2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Tetap (Land-rent) yang menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibagi dengan rincian: a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil. (2) DBH Sumber Daya Alam pertambangan umum yang bersumber dari Iuran Tetap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk kabupaten/kota penghasil. 183. (3) DBH Sumber Daya Alam pertambangan umum yang bersumber dari Iuran Tetap sebesar 80% (delapan puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil, seluruhnya dialokasikan untuk provinsi yang bersangkutan. 184. (3) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti) yang menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dibagi dengan rincian: a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. (4) DBH Sumber Daya Alam pertambangan umum yang bersumber dari Iuran Produksi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dengan rincian: a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten dan kota penghasil; dan c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. 185. (5) DBH Sumber Daya Alam pertambangan umum yang bersumber dari Iuran Produksi sebesar 80% (delapan puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil dibagi dengan rincian: a. 26% (dua puluh enam persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan b. 54% (lima puluh empat persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan kabupaten/ kota penghasil dalam ketentuan ini adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan pertambangan umum. 23

186. (4) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. 187. Pasal 18 188. (1) Penerimaan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d terdiri atas: a. Penerimaan Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan b. Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan. 189. (2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara sektor perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada kabupaten/kota di seluruh Indonesia. 190. Pasal 19 Pasal 21 191. (1) Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagikan ke Daerah adalah Penerimaan Negara dari sumber daya alam Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. 192. (2) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e angka 2 sebesar 15% (lima belas persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: a. 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; b. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan c. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. (1) DBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) huruf c, berasal dari Bagian Negara yang diperoleh dari pengusahaan pertambangan minyak bumi setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) DBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dihasilkan dari wilayah laut sejauh 4 (empat) mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 15,5% (lima belas koma lima persen) dengan rincian: a. 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; b. 6,25% (enam koma dua lima persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan c. 6,25% (enam koma dua lima persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. 193. (3) DBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi sebesar 15,5% (lima belas koma lima persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 Yang dimaksud dengan kabupaten dan kota penghasil dalam ketentuan ini: a. Untuk wilayah daratan (on shore) adalah wilayah daratan kabupaten dan kota yang menjadi tempat kepala sumur (wellhead) produksi minyak bumi; dan b. Untuk wilayah lepas pantai (off shore) adalah wilayah laut kabupaten dan kota yang menjadi tempat anjungan (platform) minyak bumi. 24