FIQIH MAZHAB NEGARA Sebuah Gagasan yang tidak Realistis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 2 Tahun 2004 Tentang PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 17 Tahun 2013 Tentang BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN

AHMADIYAH SEBAGAI PAHAM DAN GERAKAN KEAGAMAAN

BAB IV ANALISIS HEDGING TERHADAP KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK-BBM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB VI PENUTUP. Universitas Indonesia Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 40 Tahun 2011 Tentang BADAL THAWAF IFADHAH (PELAKSANAAN THAWAF IFADHAH OLEH ORANG LAIN)

FIQHUL IKHTILAF (MEMAHAMI DAN MENYIKAPI PERBEDAAN DAN PERSELISIHAN) Oleh : Ahmad Mudzoffar Jufri

BAB I PENDAHULUAN. dan hari raya Islam (Idul fitri dan Idul adha) memang selalu diperbincangkan oleh

Biografi Singkat Empat Iman Besar dalam Dunia Islam

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan analisis dalam pembahasan disertasi ini, peneliti. 1. Matlak menurut fikih adalah batas daerah berdasarkan jangkauan

Etimologis: berasal dari jahada mengerahkan segenap kemampuan (satu akar kata dgn jihad)

BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR

Bayar Fidyah FIDYAH DIBAYAR SEKALIGUS DAN FIDYAH DENGAN UANG

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3)

Mazhab menurut bahasa: isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I ânah ath- Thalibin, I/12).

BAB V PENUTUP. 1. Pemikiran Kiai Said Aqil Siroj tidak terlepas dari Nahdltul Ulama dalam

3 Wasiat Agung Rasulullah

BAB II GAMBARAN UMUM GADAI EMAS (AR-RAHN) DALAM FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJLIS UALAMA INDONESI (DSN-MUI) TENTANG RAHN DAN RAHN EMAS

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB III KEDUDUKAN DAN IMPLIKASI HUKUM SURAT KEPUTUSAN MENTERI AGAMA DALAM PENETAPAN AWAL BULAN QAMARIYAH

Fiqh Ulil Amri: Perspektif Muhammadiyah 1

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

PERBEDAAN IDUL FITRI: HISAB, RU YAH LOKAL, DAN RU YAH GLOBAL

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

Oleh: Hafidz Abdurrahman

BAB I PENDAHULUAN. Perbedaan pendapat mengenai penetapan awal bulan Qamariyah kerap

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal

PEDOMAN DAN PROSEDUR PENETAPAN FATWA

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

`BAB I A. LATAR BELAKANG

MENGGAPAI BERKAH IBADAH HAJI DAN IBADAH QURBAN 1438 H/ 2017 M

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik.

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON

BAB I PENDAHULUAN. karena itu para ahli hukum Islam menentukan lembaga-lembaga mana yang. berwenang melakukannya, prosedur dan mekanismenya.

PENENTUAN ARAH QIBLAT

BAB IV ANALISIS EFEKTIVITAS PENGAWASAN KUA KECAMATAAN SEDATI TERHADAP PENGELOLA BENDA WAKAF

KISI-KISI SOAL UJIAN AKHIR MADRASAH BERSTANDAR NASIONAL (UAMBN) MADRASAH ALIYAH (MA) TAHUN PELAJARAN 2015/2016

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

ULANGAN HARIAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KELAS XI

BAB V PENUTUP. yang berbeda. Muhammadiyah yang menampilkan diri sebagai organisasi. kehidupan serta sumber ajaran. Pada sisi ini, Muhammadiyah banyak

BABI PENDAHULUAN. iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan

IRSYAD AL-FATWA SIRI KE-208: HUKUM WANITA MEMBUKA SYARIKAT SENDIRI

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 13 Tahun 2011 Tentang HUKUM ZAKAT ATAS HARTA HARAM

A. Persamaan Pemikiran Imam Mawardi dengan Ali Abdul Raziq tentang Konsep

Mendidik Anak Menuju Surga. Ust. H. Ahmad Yani, Lc. MA. Tugas Mendidik Generasi Unggulan

Akhir-akhir ini terlihat banyak upaya-upaya yang ditujukan untuk. mendekatkan antara sunni dan syiah. Hal terlihat baik dalam tataran

BAB VI PENUTUP. 1. konsep upah perspektif Hizbut Tahrir adalah sebagai berikut:

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

KEPUTUSAN KOMISI B-1 IJTIMA ULAMA KOMISI FATWA MUI SE INDONESIA III tentang MASAIL FIQHIYYAH MU'ASHIRAH (MASALAH FIKIH KONTEMPORER)

BAB IV PERBEDAAN DAN PERSAMAAN DALAM PENENTUAN AWAL BULAN SYAWAL 1992, 1993, 1994 M DAN AWAL ZULHIJAH 2000 M ANTARA NAHDLATUL ULAMA DAN PEMERINTAH

-1- QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN AQIDAH

Kewajiban berdakwah. Dalil Kewajiban Dakwah

yang sama bahwa Allah mempunyai sifat-siafat. Allah mempunyai sifat melihat (al-sami ), tetapi Allah melihat bukan dengan dhat-nya, tapi dengan

HISAB PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH MENURUT MUHAMMADIYAH (STUDI PENETAPAN HUKUMNYA) SKRIPSI

INTENSIFIKASI PELAKSANAAN ZAKAT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG

IMKAN RUKYAT: PARAMETER PENAMPAKAN SABIT HILAL DAN RAGAM KRITERIANYA (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA)

BAB IV ANALISIS DATA

Fatwa Seputar Badal Haji dan Umrah. Serta Hukum Melaksanakan Umrah Berkali-Kali Bagi Jama'ah Haji Saat Berada di Makkah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XV/2017

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik

Berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tidak bertaqlid kepada seseorang

STUDI ANALISIS PENDAPAT MADZHAB SYIAH IMAMIYYAH TENTANG DUA ORANG SAKSI SEBAGAI SYARAT SAH JATUHNYA TALAK SKRIPSI

BAB IV ANALISIS PANDANGAN MUHAMMADIYAH DAN THOMAS DJAMALUDDIN TENTANG WUJU<DUL HILAL

Pendidikan Agama Islam

4. Firman Allah SWT QS. al-baqarah (2):278 45)& %*('! Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang b

Persatuan Islam dalam Perspektif Imam Shadiq

HUKUM ISLAM DAN KONTRIBUSI UMAT ISLAM INDONESIA

PERSPEKTIF FATWA MUI ISTITHA AH KESEHATAN DALAM HAJI. Dr. HM. Asrorun Ni'am Sholeh, MA Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat

Oleh: Hafidz Abdurrahman

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 41 Tahun 2011 Tentang PENYEMBELIHAN HEWAN DAM ATAS HAJI TAMATTU DI LUAR TANAH HARAM

Ji a>lah menurut masyarakat Desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

UKHUWAH ISLAMIYYAH Oleh : Agus Gustiwang Saputra

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Pendidikan Agama Islam

Menggapai Ridha Allah dengan Birrul Wâlidain. Oleh: Muhsin Hariyanto

KELAS BIMBINGAN MENENGAH PEPERIKSAAN PERTENGAHAN TAHUN 2015 SEJARAH ISLAM KBM 3

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 8 Tahun 2011 Tentang AMIL ZAKAT

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD4013 USUL FIQH (Minggu 1)

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI

Adab Membaca Al-Quran, Membaca Sayyidina dalam Shalat, Menjelaskan Hadis dengan Al-Quran

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

Sunah Yang Hilang di Bulan Dzulhijjah

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 52 Tahun 2012 Tentang HUKUM HEWAN TERNAK YANG DIBERI PAKAN DARI BARANG NAJIS

Otopsi Jenazah Dalam Tinjauan Syar'i

Perihal : Replik Penggugat dalam Perkara Perdata Nomor 168/ Pdt. G/ 2013/ PN.Jkt.Pst [REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT I]

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRODUK KEPEMILIKAN LOGAM MULIA (KLM) DI PT. BRI SYARIAH KCP SIDOARJO

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA PASAL 1320 TERHADAP JUAL BELI HANDPHONE BLACK MARKET DI MAJID CELL

BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ

I TIKAF. Pengertian I'tikaf. Hukum I tikaf. Keutamaan Dan Tujuan I tikaf. Macam macam I tikaf

LEBARAN KAPAN PAK?? Oleh : Mutoha Arkanuddin Koord. Rukyatul Hilal Indonesia (RHI)

Transkripsi:

FIQIH MAZHAB NEGARA Sebuah Gagasan yang tidak Realistis Sopa AR Program Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta Pendahuluan Asrarun Ni am dalam salah satu artikelnya yang dipublish di website MUI, www.mui.or.id, mengajukan gagasan tentang fiqih mazhab negara. Gagasan tersebut muncul karena keperihatinan penulisnya terhadap perbedaan penentuan awal puasa Ramadan, lebaran Idul Fithri tanggal 1 Syawwal dan lebaran Idul Adlha tanggal 10 Dzulhijjah yang terjadi di Indonesia. Menurutnya, perbedaan tersebut sebenarnya dapat diselesaikan dengan konsep fiqih mazhab negara. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama RI, dapat mengambil peran untuk mengakhiri perbedaan tersebut dalam sidang itsbat yang diselenggarakan setiap tanggal 29 Sya ban dan 29 Ramadan. Keputusan sidang tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri Agama (KMA) yang berisi penetapan tanggal 1 Ramadan sebagai tanda dimulainya puasa Ramadan dan penetapan tanggal 1 Syawwal sebagai pertanda berakhirnya puasa Ramadan dan perayaan Idul Fithri. Hal ini didasarkan pada dua argumentasi pokok yaitu kewenangan pemerintah sebagai Ulil Amri sebagaimana terdapat dalam surat al-nisa> [4]: 59 dan kaidah fiqhiyah Keputusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan silang pendapat. Apakah ide tersebut cukup realistis sehingga dapat menyelesaikan perbedaan pendapat (ikhtilaf)? Apakah KMA tersebut cukup representatif untuk

44 Sopa AR mewakili pandangan negara yang bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler sehingga layak dikategorikan sebagai fiqih mazhab negara? Apakah ini tidak berarti intervensi negara yang melanggar kebebasan beragama yang merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi? Artikel ini mencoba memberikaan tanggapan terhadap gagasan tersebut dan memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas. Fiqih Mazhab Negara dalam Tinjauan Historis Ide tentang perlunya fiqih mazhab negara sebenarnya bukan ide yang baru. Apabila ditelusuri secara historis, sebenarnya ide tersebut sudah disampaikan oleh Ibn al-muqaffa pada masa Abbasiyah. Dia menyampaikan ide tersebut kepada Khalifah Abu Ja far al-manshur dalam suatu risalah yang disebut Risa>lah al-shaha>bah. Di dalamnya ia menjelaskan latar belakang perlunya taqni>n di bidang hukum Islam karena perihatin akibat negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan mazhab-mazhab yang dapat menimbulkan perpecahan. Dengan perkataaan lain, perkembangan mazhab-mazhab telah mengancam keamanan dan stabilitas negara.oleh karena itu, diperlukan taqni>n di bidang hukum Islam yang berlaku untuk semua rakyat sebagaimana tercermin dalam permohonannya kepada Khalifah,... Maka Amirul mukminin akan dapat meneliti di situ, mengesahkan tiap-tiap masalah yang benar menurut Paduka dan Paduka dapat melarang menghukumi perkara dengan ketentuan yang bertentangan dengan itu. Dengan jalan demikian, berarti Paduka telah membentuk kitab hukum yang menyeluruh (Mahmasani,1981:67). Usulan tersebut kemudian direspon oleh Khalifah dengan cara meminta kesediaan Imam Malik bin Anas, pendiri Madzhab Maliki, untuk menyusun kodifikasi hukum Islam dan memberlakukannya untuk semua umat Islam. Permintaan yang pertama akhirnya dikabulkan oleh Imam Malik dengan menyusun kitab al- Muwaththa, sedang permintaan yang kedua ditolaknya secara halus sebagai mana tercermin dalam jawaban Imam Malik berikut ini, Bahwa tiap-tiap kaum sudah memiliki ulama-ulama salaf dan imam-nya masing-masing. Apabila Amirul Mukminin melihat keadaan mereka menurut kecondongannya sendiri baiklah Amirul Mukminin melakukannya. Permintaan tersebut kemudian diulangi lagi oleh khalifah berikutnya yaitu Harun al-raysid, tetapi sang Imam tetap pada pendiriannya. (Mahmasani, 1981:67). Menurut Subhi Mahmasani (1981: 67), upaya taqni>n tersebut gagal disebabkan oleh karena para ulama termasuk di dalamnya Imam Malik merasa dan meyakini bahwa apa yang dihasilkannya dari kerja intelektualnya merupakan hasil ijtihad yang tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, mereka takut untuk memikul tanggungjawab

Fiqh Mazhab Negara 45 berupa menanggung dosa akibat rakyat diwajibkan mengikuti hasil ijtihadnya yang ternayata salah atau keliru. Sementara itu, menurut Prof. Djazuli (2010: 166), sang Imam menolak permintaan Khalifah dengan alasan akan mengganggu kebebasan berijtihad. Sebab, Apabila mazhab Maliki menjadi mazhab resmi negara maka para mujtahid tidak akan bebas lagi berijtihad, sebab harus mengikuti mazhab resmi penguasa. Padahal saat itu perkembangan mazhab-mazhab begitu pesatnya bahkan sedang menuju masa keemasannya sebagaimana dijelaskan dalam literatur-literatur sejarah perkembangan hukum Islam (ta>ri>kh tasyri> al-isla>mi>). Secara lebih spesifik, Mun im A. Sirry (1995:65) menjelaskan alasan sang Imam. Katanya, Jangan Anda lakukan itu, sebab para sahabat menyebar ke seluruh daerah. Mereka meriwayatkan selain hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ulama-ulama Hijaz yang saya jadikan rujukan. Biarkan saja mereka tetap seperti semula. Dengan demikian, sang Imam menyadari betul keterbatasan hasil ijtihadnya akibat keterbatasan rujukan sehingga tidak layak dijadikan mazhab resmi negara yang berlaku untuk semua umat Islam sebagaimana diminta oleh sang Khalifah berikut ini, Saya bermaksud meletakkan buku Anda ini di pintu Ka bah dan menyebarkan ke seluruh daerah. Kita dapat memerintahkan orang-orang untuk merujuk pada buku ini sebagai pegangan (Sirry, 1995:65). Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa gagasan tentang perlunya fiqih mazhab negara untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di kalangan ulama (ikhtila>f al- ulama> ) itu akhirnya kandas karena tidak disetujui oleh Imam Malik. Sang Khalifah, meskipun mempunyai legitimasi yang sangat kuat sebagai pemimpin tertinggi daulah Islamiyah akhirnya tidak berani memaksakan kehendaknya. Padahal ia mempunyai legitimasi sebagai khali>fatur rasu>l sebagai kelanjutan dari khulafa> ar-ra>syidi>n berkat darah Quraish yang ada padanya. Bukankah baginda Rasulullah saw pernah bersabda bahwa pemimpin itu harus dari keturunan Quraish? ala immatu min quraisyin. Lebih dari itu, daulah Islamiyah sedang mengalami puncak kejayaannya yang didukung oleh kekuatan ekonomi dan militer. Dengan demikian, legitimasi dan kekuatan militer yang dimiliki sang Khalifah tidak digunakan untuk memaksakan kehendaknya untuk memberlakukan fiqih mazhab negara. Saat ini hanya tiga negara yang berhasil memberlakukan fiqih mazhab negara yaitu Brunai Darussalam yang memberlakukan mazhab Syafi i, Iran yang memberlakukan mazhab Syi ah Imamiyah dan Saudi Arabia yang memberlakukan mazhab Hambali. Oleh karena itu, secara historis gagasan tersebut tidaklah realistis dan akhirnya menemui kegagalan. Dengan perkataan lain, gagasan tentang perlunya fiqih

46 Sopa AR mazhab negara tersebut adalah a-historis. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Ide fiqih mazhab negara selalu merujuk kepada fatwa Majelis Ulama Indonesia. Fatwa tersebut berasal dari Ijtima Ulama Komisi Fatwa seluruh Indonesia tahun 2003. Dalam fatwa tersebut ditetapkan: a). Penetapan awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru yah dan hisab; b). Seluruh Umat Islam Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah; dan c). Dalam menetapkan awal Ramadan Syawal dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan instansi yang terkait (Amin, 2010: 724). Diktum pertama fatwa tersebut berisi penerimaan sekaligus pengakuan MUI terhadap metode hisab dan rukyah yang digunakan oleh umat Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah yang berkaitan dengan ibadah. Kedua metode tersebut sudah lama digunakan di negara kita berpuluh-puluh tahun yang lalu bahkan sejak zaman kolonial sebelum berdirinya republik ini. Diktum kedua berisi ketentuan hukum yang mewajibkan umat Islam untuk mengikuti ketetapan Pemerintah tentang awal Ramadan untuk memulai ibadah puasa dan awal Syawal untuk mengakhirinya serta awal Dzulhijjah untuk beridul Adha pada tanggal 10-nya. Dalam diktum ini terdapat kata wajib yang berarti jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa. Kata wajib itu merupakan salah satu unsur ah} ka>m al-khamsah sehingga dari diktum kedua ini dapat difahami bahwa ketetapan Pemerintah sebagaimana tertuang dalam KMA wajib dipatuhi. Bagi yang mematuhinya akan mendapat pahala, sedangkan bagi yang tidak mematuhinya akan mendapat dosa. Adanya kata wajib dalam diktum kedua fatwa tersebut adalah sah karena fatwa ulama itu antara lain berisi ah} ka>m al-khamsah. Akan tetapi, apabila diktum kedua tersebut kemudian dijadikan dasar adanya fiqih mazhab negara yang mengikat sebagaimana undang-undang perlu dikritisi. Sebab, yang namanya fatwa ulama di manapun di seluruh dunia Islam tidak ada yang mengikat. Ketentuan ini sudah menjadi semacam konsensus (ijma> ) yang berlaku sejak zaman sahabat sampai sekarang. Kalaupun ada ulama yang berpendapat bahwa fatwa ulama itu mengikat maka yang dimaksud mengikatnya adalah mengikat secara moral bukan mengikat secara yuridis sebagaimana undang-undang (qa>nu>n). Agar fatwa ulama itu mempunyai daya ikat, maka fatwa tersebut diproses lebih lanjut menjadi undang-undang. Hal ini sudah dijelaskan secara gambalang oleh Wahidudin Adam dalam disertasinya yang berjudul Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Peraturan

Fiqh Mazhab Negara 47 Perundang-Undangan 1975-1997. Atas dasar itu, Ali Mushtofa Ya kub, Imam Besar Masjid Istiqlal, mengusulkan adanya undang-undang hari raya. Sebagai sebuah gagasan perlu kita hormati. Akan tetapi, apakah itu sudah menjadi kebutuhan umat Islam Indonesia sehingga menjadi kesadaran hukum dan akhirnya layak untuk diangkat menjadi undang-undang? Padahal sebelum Republik ini berdiri (1945) umat Islam sudah terbiasa menentukan sendiri awal bulan kamariahnya baik untuk memulai puasa Ramadan maupun untuk berlebaran (Idul Fithri dan Idul Adha) dan terus berlanjut sampai sekarang. Dengan demikian, adanya undang-undang tersebut sebenarnya tidak didukung oleh kesadaran hukum masyarakat. Akibatnya, undang-undang tersebut tidak akan berlaku secara efektif karena tidak didukung oleh masyarakat yang menjadi subyek hukumnya. Kaidah Fiqhiyah Gagasan tentang fiqih mazhab negara merujuk pada dua argumentasi pokok yaitu kewenangan pemerintah sebagai Ulil Amri sebagaimana terdapat dalam surat an-nisa [4]: 59 dan kaidah fiqhiyah berikut ini Keputusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan silang pendapat. Argumen pertama yang merujuk pada Ulil Amri yang terdapat dalam surat an-nisa [4]: 59 yang ditafsirkan dengan Pemerintah. Padahal dalam kitab-kitab tafsir dijelaskan bahwa Ulil Amri yang terdapat dalam ayat tersebut tidak hanya ditafsirkan Pemerintah sebagai perwujudan pemimpin dalam urusan dunia yang disebut Umara, tetapi juga ulama sebagai perwujudan pemimpin dalam urusan agama (Ibn Ka i>r, 1992:641). Oleh karena itu, pembatasan tafsir ulil amri hanya untuk pemerintah perlu didukung dalil yang memadai. Lebih dari itu, Pemerintah kita yang bukan negara agama dan bukan negara sekuler akan sulit mendapat legitimasi keagamaan. Hal ini diperparah lagi oleh kredibilitas Pemerintah akhir-akhir ini yang sangat rendah di hadapan rakyatnya. Masih besar kecurigaan masyarakat, janganjangan keputusan Pemerintah tentang awal bulan kamariah yang berkaitan dengan waktu-waktu ibadah itu lebih didominasi kepentingan politis dan bukan argumentasi syar i. Selanjutnya, argumentasi yang kedua berupa kaidah fiqhiyah, Keputusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan silang pendapat. Argumen inipun perlu kita kritisi karena Keputusan Pemerintah yang mengikat itu wujudnya bukan keputusan menteri dalam hal ini Keputusan Menteri Agama (KMA), tetapi dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana dari sebuah undang-undang. Apabila yang dimaksud kaidah itu adalah keputusan Pemerintah maka keputusan itu termasuk kebijakan pemimpin yang dalam istilah fiqih masuk dalam kategori tas} arruf.

48 Sopa AR Oleh karena itu, mestinya kaidah ini juga harus dikaitkan dengan kaidah fiqhiyah yang lain yang berbunyi, tas} arruf al-ima>m ala> al-ra> iyyah manu>t\un bi al-mas} lah} ah} yang berarti tindakan pemerintah terhadap rakyatnya harus mengacu pada kemaslahatan. Apakah tindakan Pemerintah dalam menetapkan awal bulan kamariah tersebut mengandung kemaslahatan? Secara sepintas kelihatannya memang demikian. Sebab, tindakan tersebut dapat menghilangkan kesimpangsiuran akibat adanya perbedaan pendapat tersebut. Persatuan dan kesatuan bangsa tercipta karena umat memulai puasa Ramadan dan berlebaran dilakukan secara bersamaan. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan menimbulkan masalah. Kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi yaitu pasal 28 UUD 1945 menjadi terpasung sehingga umat Islam akan jumud lantaran pintu ijitihad yang selama ini terbuka ditutup oleh tindakan Pemerintah yang ditetapkan berdasarkan ijtihad. Padahal hasil ijtihad itu setara siapapun yang melakukannya apakah pihak Pemerintah ataukah ormas Islam seperti Muhammadiyah. Oleh karena itu, berlaku kaidah alijtiha>d la> yunqad} u bi al-ijtiha>d (al-suyu>t\ i>: 71) yang berarti Ijtihad itu tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang lain. Lebih jauh akibat yang ditimbulkan oleh tindakan Pemerintah tersebut akan memberangus kebebasan berfikir sehingga umat Islam akan mengalami kebekuan dan kemunduran. Di samping itu, pada saat yang bersamaan tindakan Pemerintah itu bertentangan dengan kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi yaitu pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan perkataan lain, tindakan Pemerintah dalam bentuk KMA itu bertentangan dengan konstitusi. Akibatnya, KMA tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UUD 1945. Oleh karena itu, akan lebih bijak apabila Pemerintah dengan rendah hati menghargai perbedaan penetapan awal Ramadan dan hari raya apabila didukung oleh ilmu pengetahuan dalam hal ini ilmu Falak atau Astronomi. Sikap pemerintah tersebut dapat dilakukan secara tertulis seperti dalam KMA No. 62 Tahun 1971 yang berbunyi, Pertama: Awal puasa tanggal 1 Ramadan 1391 H dengan istikmal jatuh pada hari Kamis tanggal 21 Oktober 1971; Kedua: Bagi Ahli Hisab serta mereka yang mempercayainya dapat menunaikan ibadah puasa sesuai dengan keyakinannya. Dengan demikian, diktum pertama berisi penetapan awal puasa Ramadan tahun 1391 H dan diktum kedua berisi pengakuan sekaligus penghargaan pemerintah terhadap adanya perbedaan penetapan awal puasa yang dilakukan dengan menggunakan metode hisab.

Fiqh Mazhab Negara 49 Di samping itu, sikap Pemerintah tersebut dapat disampaikan secara lisan dalam jumpa pers setelah selesai sidang isbat. Hal ini penting untuk dilakukan untuk mendidik umat agar terbiasa menghadapi perbedaan sehingga dapat menghargainya dan pada akhirnya dapat menerimanya. Perbedaan tidak disikapi dengan permusuhan, tetapi disikapi dengan kedewasaan sehingga dapat menerimanya dengan lapang dada (tasa>muh}, toleran). Sebab, perbedaan merupakan keniscayaan yang dalam bahasa agama disebut sunnatullah. Oleh karena itu, umat Islam terutama yang berada di akar rumput dapat menerimanya secara alamiah sehingga tercapai kerukunan intern umat beragama yaitu kerukunan antara sesama umat Islam. Sikap Pemerintah tersebut perlu disampaikan agar adanya perbedaan tersebut tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu oleh para petualang politik. Dengan demikian, sikap Pemerintah itu dapat menutup celah para politisi untuk mengais keuntungan demi kepentingan politiknya yaitu mengail di air yang keruh. Di samping itu, pada saat yang bersamaan dapat memberikan pendidikan politik karena biasanya mendapat liputan yang luas dari media masa baik media cetak maupun media elektronik. Penutup Gagasan tentang fiqih mazhab negara yang mengkhususkan pada penetapan awal bulan kamariah yang berkaitan dengan waktu-waktu ibadah merupakan gagasan yang tidak realistis. Sebab, di samping gagasan tersebut bersifat a-historis juga bertentangan dengan konstitusi yaitu pasal 28 dan 29 UUD 1945. Di samping itu, gagasan tersebut terkesan dipaksakan untuk mengambil jalan pintas dalam menghadapi perbedaan puasa dan hari raya. Padahal perbedaan tersebut dapat diselesaikan dengan dialog bukan paksaan meskipun perlu waktu yang relatif lama. Semoga, kita semakin dewasa dalam menghadapi perbedaan. DAFTAR PUSTAKA Adams, Wahiduddin Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Peraturan Per undang- Undangan 1975-1997, Disertasi Doktor Ilmu Agama Islam, Jakarta: Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2002. Amin, Ma ruf et.al., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2010. Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Keputusan Menteri Agama Tentang Penetapan Tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal Tahun 1381-1418 H/ 1962-1997 M, Tahun 1999/2000. Djazuli, A., Ilmu Fiqih: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2010.

50 Sopa AR Ibn Katsi>r, Tafsi>r al-qur a>n al- Azhi>m, jilid I, Beirut: Dar al-fikr, 1992. Mahmasani, Subhi, Falsafah al-tayri> fi> al- Isla>m, terjemahan Ahmad Sudjono, Bandung: PT Al-Ma arif, 1981. Sirry, Mun im A., Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Jakarta: Risalah Gusti, 1995. Al-Suyu>t\i>,al-Asyba>h wa al-naz a> ir fi> al- Furu>, Jakarta: Dar al-fikr, tth.