BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PNEUMONIA DENGAN METODE GYSSENS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan Tatalaksana Terkini

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertukaran gas setempat (Dahlan Z, 2010). negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. (Saifudin, 2008). Infeksi Luka Operasi (ILO) memberikan dampak medik berupa

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Obat yang termasuk golongan ini ialah : a. Sulfonamid, b. Trimetoprin, c. Asam p-aminosalisilat (PAS), dan

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jamur, virus, dan parasit (Dorland, 2014).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

F. Originalitas Penelitian. Tabel 1.1 Originalitas Penelitian. Hasil. No Nama dan tahun 1. Cohen et al Variabel penelitian.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua yaitu, infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 4 No. 3 Agustus 2015 ISSN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tengah dan pleura (Soemantri dkk., 1991). ISPbA dapat dijumpai dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

BAB I PENDAHULUAN. antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. dari saluran napas bagian atas manusia sekitar 5-40% (Abdat,2010).

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Community-Acquired Pneumonia (CAP) perawatan dalam kurun waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Antibiotik adalah zat zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini akan membahas tentang evaluasi terapi penggunaan antibiotik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK ISPA NON-PNEUMONIA PADA PASIEN ANAK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK TAHUN 2013 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan daya tahan tubuhnya masih rendah (Ngastiyah, 1997). Peradangan akut

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN LANSIA DENGAN PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP PROF. DR. R. D

BAB I PENDAHULUAN. pada wanita pekerja seks menunjukan bahwa prevelensi gonore berkisar antara 7,4% -

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak di. seluruh dunia. Pneumonia menyebabkan 1,1 juta kematian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Obat terpenting untuk mengatasi masalah tersebut adalah antimikroba antara lain anti bakteri atau antibiotik, antijamur, antivirus, antiprotozoa. Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri (Hadi, 2009). Penelitian multisenter di 12 rumah sakit di Turki mendapatkan hasil penggunaan antibiotik yang tidak tepat terbanyak pada kasus infeksi saluran pernapasan 56,6% (Ceyhan et al., 2010). Akibat dari ketidakpatuhan penggunaan antibiotik adalah resistensi, meningkatnya biaya pengobatan, dan memperparah kondisi pasien. Prevalensi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) tahun 2007 di Indonesia adalah 25,5% (rentang: 17,5% - 41,4%) dengan 16 provinsi di antaranya mempunyai prevalensi di atas angka Nasional (Riskesdas, 2007). Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah sebesar 80% sampai 90% dari seluruh kasus kematian Infeksi Saluran Pernafasan Akut disebabkan oleh pneumonia. Angka kejadian pneumonia di Jawa Tengah pada tahun 2010 mencapai 26,76% (Dinkes Jawa Tengah, 2010). Indonesia sebagai daerah tropis yang berpotensi menjadi daerah endemik dari beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman kesehatan bagi kesehatan masyarakat. Pengaruh geografis dapat mendorong terjadinya peningkatan kasus maupun kematian akibat Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Daroham & Mutiatikum, 2009). Pemilihan dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional akan menentukan keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri. Setiap farmasis harus dapat mendeteksi, mengatasi, dan mencegah masalah-masalah yang terjadi atau akan terjadi dalam pengelolaan dan penggunaan antibiotika (Worokarti et al., 2005). Pemilihan RSUD Sukoharjo dirasa cukup tepat karena pneumonia termasuk 20 besar penyakit di instalasi rawat inap pada tahun 2014 dengan 191 1

2 angka kejadian. Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi apakah penggunaan antibiotik di RSUD Sukoharjo sesuai dengan standar acuan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2003. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah sebagai berikut: Apakah penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di instalasi rawat inap RSUD Sukoharjo tahun 2014 sudah memenuhi parameter tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis berdasarkan standar Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2003? C. Tujuan Penelitian Mengetahui ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di instalasi rawat inap RSUD Sukoharjo tahun 2014 dengan parameter tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis berdasarkan standar Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2003. 1. Pneumonia a. Definisi D. Tinjauan Pustaka Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (Ngastiyah, 2005). Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi dan radiasi. Di negara berkembang, pneumonia disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus aureus (Said, 2010). Pneumonia diklasifikasikan menjadi 2, yaitu pneumonia nosokomial dan pneumonia komunitas. Pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit atau nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia) adalah suatu penyakit yang dimulai 48 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit, yang tak sedang mengalami inkubasi suatu infeksi saat masuk rumah sakit. Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di komunitas didefinisikan sebagai

3 suatu penyakit yang dimulai di luar rumah sakit atau didiagnosa dalam 48 jam setelah masuk rumah sakit pada pasien yang tak tinggal dalam fasilitas perawatan jangka panjang selama 14 hari atau lebih sebelum onset gejala (Tierney et al., 2002). b. Penyebab Pneumonia Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan imunitas inang, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain. Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencanaterapi secara empiris serta prognosis dari pasien (Sudoyo et al., 2007). c. Etiologi Pneumonia yang ada di masyarakat pada umumnya, disebabkan oleh bakteri, virus atau mikoplasma. Bakteri yang umum adalah streptococcus pneumonia, staphylococcus aureus, Klebsiella sp, Pseudomonas sp. (Misnadiarly, 2008). Tabel 1 menunjukkan perbedaan penyebab pada pneumonia komunitas dan nosokomial. Lokasi Sumber Komunitas Nosokomial d. Diagnosis Tabel 1. Etiologi yang umum pada pneumonia komuniti dan nosokomial Streptococcus pneumonia Mycobacterium tubercolosis Legionella pneumonia Haemophillus influenza Influenza tipe A, B, C Aderovina Penyebab Staphylococcus aureus Basil usus gram negatif (Escherichia coli) Klebsiella pneumonia Pseudomonas aeroginosa (Syamsudin & Keban, 2013) Setelah mengetahui gejala klinis dan kelainan fisik melalui pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter, masih diperlukan pemeriksaan penunjang seperti rongent dan labolatorium. Hal ini perlu dilakukan untuk memperkuat diagnosis apakah seseorang menderita pneumonia atau tidak (Misnadiarly, 2008). Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan labolatorium berupa pemeriksaan hitung sel tepi, pemeriksaan terhadap kuman (mikrobiologi) mikroskopis ataupun kultur kuman yaitu pemeriksaan utama pra terapi dan untuk evaluasi terapi selanjutnya (Misnadiarly, 2008).

4 Diagnosis pasti pneumonia komunitas adalah jika ditemukan adanya infiltrat progesif pada foto toraks dengan ditemukan adanya dua atau lebih gejala berikut: 1) Batuk terus-menerus 2) Dahak mengalami perubahan karakteristik 3) Suhu tubuh 38 C 4) Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya konsolidasi, suara napas bronchial dan ronki 5) Leukosit 10.000 atau < 4500 sel/ul darah (PDPI, 2003) Penilaian tingkat keparahan pneumonia komuniti dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor, dilihat dari karakteristik berikut: 1) Umur > 50 tahun 2) Penyakit neoplastik 3) Gagal jantung 4) Penyakit cerebrovascular 5) Penyakit liver 6) Perubahan status mental 7) Nadi 125 denyut/menit 8) Tingkat pernafasan 30 nafas/menit 9) Sistolik BP < 90 mmhg 10) Suhu < 35 C atau 40 C (Aujesky & Fine, 2008) Dari karakteristik di atas dapat dimasukkan pasien ke kelas resiko, menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti yang tercantum pada tabel 2 berikut:

5 Faktor demografi Usia : laki-laki Perempuan Tabel 2. Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT Karakteristik penderita Poin Umur (tahun) Umur (tahun)-10 Perawatan dirumah Penyakit penyerta +10 Keganasan +30 Penyakit hati +20 Gagal jantung kongestif +10 Penyakit serebrovaskuler +10 Penyakit ginjal +10 Pemeriksaan fisis Perubahan status mental +20 Pernafasan > 30 kali/menit +20 Tekanan darah sistolik 90 mmhg +20 Suhu tubuh < 35 o C atau > 40 o C +15 Nadi 125 kali/menit +10 Hasil laboratorium atau radiologi Analisis gas darah arteri : ph 7,35 +30 BUN > 30 mg/dl +20 Natrium < 130 meq/liter +20 Glukosa > 250 mg/dl +10 Hematokrit < 30% +10 PO 2 60 mmhg +10 Efusi pleura +10 (PDPI, 2003) Selanjutnya dilakukan penjumlahan poin-poin pada hasil PORT. Berdasarkan penjumlahan tersebut kemudian dikategorikan menurut kelas resikonya, sehingga dapat ditentukan penanganan yang harus dilakukan, seperti yang tercantum pada tabel 3. Tabel 3. Derajat Skor Risiko Menurut PORT Resiko Kelas Jumlah poin Penanganan Rendah I 0 Rawat jalan II <70 Rawat jalan III 71-90 Rawat jalan/ rawat inap Sedang IV 91-130 Rawat inap Berat V >130 Rawat inap (PDPI, 2003) e. Tatalaksanaan Terapi Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri patogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit sesuai patogen (Depkes RI, 2005).

6 Secara umum pemilihan antibiotik untuk terapi empiris berdasarkan jenisbakteri penyebab pneumonia adalah sebagai berikut: (PDPI, 2003) 1) Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP): golongan penisilin dan makrolid. 2) Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP): betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan), sefotaksim, seftriakson dosis tinggi, makrolid baru dosis tinggi dan fluorokuinolon respirasi. 3) Pseudomonas aeruginosa: aminoglikosida, seftazidim, tikarsilin, karbapenem dan siprofloksasin. 4) Metisilin resisten Staphylococcus aureus (MRSA): vankomisin, teikoplanindan linezolid. 5) Hemophilus influenzae: azitromisin, sefalosporin generasi 2 atau 3 dan fluorokuinolon respirasi. 6) Legionella: makrolid, fluorokuinolon dan rifampisin. 7) Mycoplasma pneumoniae: doksisiklin, makrolid dan fluorokuinolon. 8) Chlamydia pneumoniae: doksisikin, makrolid dan fluorokuinolon. keparahannya Rawat jalan Berikut tabel penentuan terapi pneumonia komuniti berdasarkan tingkat Rawat inap biasa Rawat intensif Tabel 4. Antibiotik Empiris pada Pneumonia Komuniti Tanpa faktor modifikasi: golongan betalaktam atau betalaktam + anti betalaktamase. Dengan faktor modifikasi: golongan betalaktam + antibetalaktamase atau flourokuinolon respirasi (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin). Bila dicurigai pneumonia atipik: makrolid baru (roksitromisin, klaritomisin, azitromisin). Tanpa faktor modifikasi: golongan betalaktam + antibetalaktamse iv atau sefalosporin generasi 2, generasi 3 iv atau flourokuinolon respirasi iv. Dengan faktor modifikasi: sefalosporin generasi 2, generasi 3 iv atau flouro kuinolon respirasi iv. Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid baru. Tidak ada faktor resiko infeksi Pseudomonas: sefalosporin generasi 3 iv non Pseudomonas + makrolid baru atau flourokuinolon respirasi iv. Ada faktor resiko infeksi Pseudomonas: sefalosporin anti Pseudomonas iv atau karbapenem iv + flourokuinolon anti Pseudomonas (siprofloksasin) iv atau aminoglikosida iv. (PDPI, 2003) Pneumonia nosokomial atau Hospital Acquired Pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di rumah sakit. Patogen yang umum terlibat adalah bakteri nosokomial yang resisten terhadap antibiotika yang

7 beredar di rumah sakit biasanya adalah bakteri enterik golongan Gram negatif batang seperti E.coli, Klebsiella sp, Proteus sp. Pada pasien yang sudah lebih dulu mendapat terapi cefalosporin generasi ke-tiga, biasanya dijumpai bakteri enterik yang lebih bandel seperti Citrobacter sp., Serratia sp., dan Enterobacter sp.. Pseudomonas aeruginosa merupakan patogen yang kurang umum dijumpai, namun sering dijumpai pada pneumonia yang fulminan. Staphylococcus aureus khususnya yang resisten terhadap methicilin seringkali dijumpai pada pasien yang dirawat di ICU (Depkes RI, 2005). Terapi antibiotik yang disarankan adalah klindamisin dengan dosis 1,2-1,8 gram sehari. Pemilihan antibiotika untuk pneumonia nosokomial memerlukan kejelian, karena sangat dipengaruhi pola resistensi antibiotika baik in vitro maupun in vivo di rumah sakit. Sehingga antibiotika yang dapat digunakan tidak heran bila berbeda antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain (Depkes RI, 2005). Selain menggunakan PORT, dapat juga digunakan CURB-65 severity index. Berikut ini adalah 6 poin dengan skala 0-5 dimana pasien mendapatkan 1 skor dari masing-masing poin. 1) Kebingungan 2) BUN>19 mg/dl 3) Tingkat pernapasan 30/menit 4) Tekanan darah (sistolik< 90 mmhg dan/atau diastolik 60 mmhg) 5) Umur 65 tahun Penilaian tingkat keparahan sebagai berikut: 1) Pasien dengan skor 3 atau lebih termasuk Community Acquired Pneumonia (CAP) parah, dan perlu perawatan lebih 2) Pasien dengan skor 2 memerlukan pengobatan rawat inap dan pemantauan 3) Pasien dengan skor 0 atau 1 dapat dipertimbangkan untuk pengobatan sebagai pasien rawat jalan (Colville, 2011)

8 Terapi Pendukung Terapi pendukung pada pneumonia meliputi: 1) Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang menunjukkan tanda sesak, hipoksemia. 2) Bronkhodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme 3) Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum 4) Nutrisi 5) Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral 6) Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam 7) Nutrisi yang memadai. (Depkes RI, 2005) 2. Antibiotik a. Definisi Antibiotika adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini, yang dibuat secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay & Rahardja, 2007). b. Klasifikasi Pada umumnya terapi empiris untuk pneumonia yang digunakan adalah agen antibiotik (Tjay & Rahardja, 2007). Golongan antibiotik yang sering digunakan dalam terapi penyakit pneumonia antara lain: 1) Golongan Betalaktam Antibiotika ini dibagi menjadi dua jenis golongan yaitu penisilin dan sefalosporin. a) Penisilin Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai jenis yangdihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-r saja. Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel. Efek samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi anafilaksis dapat menjadi fatal (Sukandar, 2008). Golongan

9 yang umumnya digunakan dalam terapi pneumonia komunitas adalah amoksisilin dengan dosis untuk dewasa 500mg-1000mg tiap 8 jam sekali. b) Sefalosporin Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (Sukandar, 2008). Sefalosporin dibagi menjadi beberapa golongan: (1) Sefalosporin generasi pertama Golongan ini aktif terhadap kuman gram positif. Efektif terhadap sebagian besar Staphylococcus aureus dan streptokokus termasuk Streptococcus pyogenes, Streptococcus viridians, dan Streptococcus pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif adalah Clostridium perfringens, dan Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim, sefradin aktif pada pemberian per oral (Tjay & Rahardja, 2007). (2) Sefalosporin generasi kedua Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi kedua kurang aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi lebih aktif terhadap gram negatif, misalnya Haemophylus Influenza, Eschercia Coli, dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif terhadap kuman anaerob. Sefuroksim dan sefamandol lebih tahan terhadap penisilinase dibandingkan dengan generasi pertama dan memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap Haemophylus Influenzae dan Neisseria Gonorrheae(Tjay & Rahardja, 2007). (3) Sefalosporin generasi ketiga Golongan ini umumnya kurang efektif terhadap kokus gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase (Sukandar, 2008). Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim (Tjay & Rahardja, 2007).

10 (4) Sefalosporin generasi keempat Golongan jenis ini dapat digunakan untuk mengatasi infeksi yang resisten terhadap sefalosporin golongan ketiga, sefepim yang merupakan sefalosporin generasi keempat juga aktif sekali terhadap pseudomonas (Tjay & Rahardja, 2007). 2) Golongan Kuinolon Golongan jenis ini terdiri dari asam nalidiksat dan fluorokuinolon. Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae. Fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin, ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain-lain. Fluorokuinolon bisa digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh Gonokokus, Shigella, Escherichia coli, Salmonella, Haemophilus, Moraxella catarrhalis serta Enterobacteriaceae dan Pseudomonas aeruginos (Kemenkes RI, 2011). 3) Golongan Makrolida Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat menghambat beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian besar Gram-negatif aerob resisten terhadap makrolida, namun azitromisin dapat menghambat Salmonella. Azitromisin dan klaritromisin dapat menghambat Haemophylus influenzae, tapi azitromisin mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap Helicobacter pylori (Kemenkes RI, 2011). c. Resistensi Resistensi bakteri merupakan masalah yang harus mendapat perhatian khusus karena menyebabkan terjadinya kegagalan pada terapi dengan antibiotika. Berbagai strategi disusun untuk mengatasi masalah resistensi, diantaranya dengan mencari antibiotika baru atau menciptakan antibiotika semisintetik. Meskipun demikian ternyata usaha ini belum dapat memecahkan masalah. Penggunaan bermacam-macam antibiotika yang tersedia telah mengakibatkan munculnya banyak jenis bakteri yang resisten terhadap lebih dari satu jenis antibiotika (Craig & Stizel, 2005).

11 E. Landasan Teori Penelitian yang telah dilakukan oleh Novia Tunggal Dewi di Balai Kesehatan Surakarta pada periode tahun 2012-2013 dengan subyek yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 36 pasien (58,33%). Antibiotik terbanyak yang digunakan setelah levofloksasin (28,13%) adalah sefotaksim (25%), sefradin (19,44%), seftriakson (13,5%), azitromisin (8,33%), sefazidim (2,8%), dan sefuroksim (2,8%) (Dewi, 2014). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Yudha Marsono di Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta tahun 2013, analisis data menggunakan diagram alur Gyssens, dari 51 sampel yang terdiagnosa pneumonia, didapatkan penggunaan antibiotik ceftriaxone (44,19%), metronidazole (15,12%), ciprofloxacin (12,80%), gentamicin (10,46%), ceftazidim (8,14%), levofloxacin (4,65%), azitromicin (2,32%), cefadroxil (1,16%) dan meropenem (1,16%). Penilaian kualitas penggunaan antibiotik diperoleh 8 sampel masuk kategori 0 (15,69%), 1 sampel masuk kategori IIIA (1,96%), 26 sampel masuk kategori IVA (50,98%), 12 sampel masuk kategori IVB (23,53%), 3 sampel masuk kategori IVC (5,88%) dan 1 sampel masuk kategori IVD (1,96%) (Marsono, 2015).