BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dalam

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk mencapai tujuannya yaitu

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB II TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN MODEL PENELITIAN. Volatilitas (volatility)berasal dari kata dasar volatile(restiyanto, 2009).

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Monetaris berpendapat bahwa inflasi merupakan fenomena moneter. Artinya,

VII. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. riil, dan meningkatnya lapangan kerja sehingga mengurangi pengangguran.

BABI PENDAHULUAN. Fenomena yang sangat penting di perhatikan oleh pemerintah baik negara

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi merupakan suatu isu yang tak pernah basi dalam sejarah panjang

BAB I PENDAHULUAN. Pengeluaran konsumsi masyarakat merupakan salah satu variabel ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia selaku otoritas kebijakan moneter telah berupaya melakukan fungsi

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran.

INFLATION TARGETING FRAMEWORK SEBAGAI KERANGKA KERJA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

DEFISIT ANGGARAN, PERTUMBUHAN UANG DAN INFLASI DI INDONESIA OLEH NANANG ANDRIAN H

I. PENDAHULUAN. Kebijakan moneter memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap suatu perekonomian,

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi. Dimana pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang

I. PENDAHULUAN. makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan sebuah kerangka

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

BAB II TINJAUAN TEORI. landasan teori yang digunakan dalam penelitian yaitu mengenai variabel-variabel

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan antara lain melalui pendekatan jumlah uang yang beredar dan

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. proses pertukaran barang dan jasa serta untuk pembayaran utang. Pada umumnya setiap

SISTEM EKONOMI DAN KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. berhasil menerapkan kebijakan dalam ekonomi. Pendapatan nasional yang

1. PENDAHULUAN. makro. Kebijakan moneter ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran

BAB I PENDAHULUAN. kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan fiskal

BAB I PENDAHULUAN. menetapkan stabilitas di bidang ekonomi yang sehat dan dinamis, pemeliharaan di bidang ekonomi akan tercipta melalui pencapaian

VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian ini menyajikan faktor faktor ekonomi yang mempengaruhi

Pengaruh utang luar negeri dan defisit anggaran terhadap kondisi makro ekonomi OLEH: Siti Hanifah NIM.F BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah

Tugas Bank Indonesia. Kebijakan Sistem Pembayaran. Kebijakan Moneter. Pengawasan Makroprudensial

I. PENDAHULUAN. Uang merupakan alat pembayaran yang secara umum dapat diterima oleh

BAB I PENDAHULUAN. moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian.

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi pada tahun 1997 dan 1998 yang melanda negara negara

BAB I PENDAHULUAN. inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7,

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin

I. PENDAHULUAN. Kebijakan moneter adalah merupakan kebijakan bank sentral atau otoritas

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan

Bab I. Pendahuluan Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang terakhir ini digunakan sebagai kounter indikator terhadap ukuranukuran

BAB I PENDAHULUAN. Keberlanjutan fiskal menurut Adams et al. (2010) didefinisikan sebagai

Perekonomian Suatu Negara

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional (Wikipedia, 2014). Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. internasional tidak bisa lepas dari hal-hal yang sedang dan akan berlangsung di

... Bank Indonesia: Langkah-langkah Penguatan Kebijakan Moneter dengan Sasaran Akhir Kestabilan Harga (Inflation Targeting Framework)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengakibatkan gejolak ekonomi moneter karena inflasi akan

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

Pertemuan ke: 03 KEBIJAKAN FISKAL. POLITIK KEUANGAN NEGARA (3 SKS) Pengampu: Miftah Adhi Ikhsanto, S.IP, MiOP Amirudin, S.IP, M.Ec.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sejarah banyak memuji kemampuan kebijakan ketentuan atau yang dikenal

BAB I PENDAHULUAN. moneter terutama sudah sangat banyak dilakukan oleh para peneliti di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilakukan dengan cara pembangunan infrastruktur sebagai pendorong

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Perekonomian Indonesia

I. PENDAHULUAN. Kebijakan moneter merupakan bagian dari kebijakan ekonomi yang dirumuskan

Fokus Negara IMF. Fokus Negara IMF. Ekonomi Asia yang Dinamis Terus Memimpin Pertumbuhan Global

BAB I PENDAHULUAN. tabungan paksa dan tabungan pemerintah (Sukirno dalam Wibowo, 2012).

Perekonomian Indonesia

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

Mekanisme transmisi. Angelina Ika Rahutami 2011

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal,

Andri Helmi M, SE., MM. Sistem Ekonomi Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya Undang-Undang No. 23 tahun 1999, kebijakan moneter

I. PENDAHULUAN. rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan makro yang dijalankan oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal yang dijalankan oleh pemerintah dapat terlihat melalui kebijakan anggaran. Kebijakan anggaran di Indonesia ditujukan untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam memacu pertumbuhan, menciptakan dan memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Kebijakan anggaran memiliki instrumen berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan penjabaran rencana kerja para penyelenggara negara untuk kurun waktu satu tahun yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari hingga 31 Desember) 1. Indikator makroekonomi yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan anggaran (APBN) adalah sebagai berikut: a. Pertumbuhan ekonomi e. Harga minyak internasional b. Inflasi f. Produksi minyak Indonesia c. Nilai tukar d. Suku bunga SBI 1 Nota Keuangan dan APBN dari berbagai edisi.

2 Kebijakan anggaran di suatu negara dalam prakteknya memiliki tiga kondisi, antara lain berimbang, surplus dan defisit. Anggaran negara yang berimbang memang terlihat sebagai kondisi paling ideal bagi pemerintah karena total pengeluaran pemerintah seimbang dengan total penerimaan dan juga merupakan indikator yang berguna untuk kesehatan makroekonomi. Namun tidak sedikit ekonom yang menentang hal di atas karena kondisi tersebut tidak optimal untuk pertumbuhan ekonomi dan menganggap bahwa surplus atau defisit anggaran yang lebih optimal. Menurut Mankiw (2000), kebijakan fiskal yang optimal pada suatu negara sebagian besar membutuhkan kondisi defisit atau surplus pada anggarannya karena setidaknya ada tiga alasan, yaitu alat stabilisasi, tax smoothing dan redistribusi intergenerasi. Pada umumnya, negara berkembang dan maju mengadopsi kebijakan defisit anggaran yang sering disebabkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat, rendahnya daya beli masyarakat, melemahnya nilai tukar, pengeluaran akibat krisis global, dan pengeluaran berlebih karena inflasi. Kebijakan defisit anggaran merupakan kondisi dimana total pengeluaran pemerintah (belanja negara) lebih besar dari total penerimaan pemerintah (pendapatan negara ditambah hibah). Kebijakan anggaran di Indonesia juga menerapkan kebijakan defisit anggaran yang terlihat dari penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai dari rezim Orde Baru hingga tahun 2000, pemerintah selalu menetapkan kebijakan fiskal ekspansif. Walaupun sejak pemerintahan Orde Baru dinyatakan bahwa APBN selalu bersendikan pada prinsip anggaran berimbang

3 dan dinamis, namun sebenarnya lebih bersifat politis (agar sesuai dengan GBHN), karena secara konseptual dan faktual APBN selalu mengalami defisit (Basri, 2000). Setelah krisis multidimensional tahun 1997-1998, Indonesia juga masih menjaga konsistensi defisit anggarannya dibawah 3 persen dari PDB, seperti yang terlihat pada Gambar 1.1. 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 BUDEF (% PDB) Sumber : Nota Keuangan dari berbagai tahun, diolah. Gambar 1.1. Ringkasan Defisit APBN Indonesia Periode 1999-2009 Berdasarkan Gambar 1.1, terlihat bahwa sebelas tahun sesudah krisis ekonomi yang mengguncang negara-negara di Asia Tenggara pada tahun 1997-1998, pemerintah Indonesia ternyata tetap melakukan ekspansi fiskal untuk melanjutkan program pemulihan krisis, namun secara bersamaan juga menyehatkan APBN dengan menurunkan defisit anggaran hingga dibawah 3 persen dari nilai PDB. Seperti pada tahun 1999, persentase defisit anggaran terhadap PDB mencapai 3,9 persen dan berfluktuasi menurun hingga tahun 2005 mendekati 0,5 persen. Namun setelah tahun 2005, terus mengalami kenaikan hingga mencapai 2,5 persen pada tahun 2009.

4 Dalam perkembangannya, kebijakan defisit anggaran juga tidak bisa lepas dari pro dan kontra mengenai waktu dan pembiayaan terhadap defisit tersebut karena selain kebijakan moneter, keseimbangan fiskal (anggaran) juga merupakan indikator untuk melihat kesehatan makroekonomi. Persepsi yang berkembang adalah kebijakan anggaran yang terlalu besar dan dalam jangka waktu yang lama seringkali menjadi akar permasalahan dari ketidakstabilan makroekonomi seperti inflasi yang tinggi, defisit current account yang besar, kewajiban utang yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Pada negara industri maju, beberapa publikasi memperlihatkan hubungan antara defisit anggaran dengan ketidakseimbangan indikator makroekonomi sulit dijelaskan tapi bisa lebih dikaitkan dengan bagaimana defisit anggaran tersebut dibiayai dan untuk berapa lama terjadi (Hossain dan Chowdhury, 1998). Sedangkan menurut Lozano (2008), hasil di negara berkembang, seringkali inflasi yang tinggi terjadi ketika pemerintah menghadapi defisit yang besar dan terus-menerus yang kemudian dibiayai oleh penciptaan uang (money creation) sehingga sering disebut inflasi yang timbul karena fiscal driven monetary phenomenon. Pembiayaan defisit anggaran di Indonesia, fakta sebelum diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia adalah sebagai bendahara pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk mendanai pengeluaran pemerintah (defisit anggaran) dengan mencetak uang (money creation), tentu saja pembiayaan ini akan menyebabkan meningkatnya base money (M0) dan mempengaruhi money supply (M1 dan M2) yang dapat berimbas pula pada tingkat inflasi. Seperti yang terjadi pada tahun 1960 hingga 1970, tingkat inflasi Indonesia yang terus naik

5 hingga mencapai lebih dari 1000 persen atau bisa dikatakan hyperinflation yang disebabkan oleh kebijakan fikal pemerintah yang terlalu ekspansif dan tidak prudent. Hal tersebut menyebabkan Bank Indonesia melakukan pencetakan uang secara berlebihan untuk membiayai defisit anggaran yang sangat besar (proyekproyek mercusuar atau pengeluaran untuk militer) namun berhasil diturunkan dengan solusi alternatif pembiayaan defisit anggaran, yaitu berupa pinjaman luar negeri (Chowdhury dan Sugema, 2006). Setelah diberlakukan pada tahun 2000, transmisi pengaruh defisit anggaran terhadap variabel moneter melalui jalur moneter secara institusional berubah. Bank Indonesia tidak diperbolehkan memberikan dana talangan terhadap pengeluaran pemerintah dan atau bahkan membiayai defisit rekening pemerintah (Net Claim on Government) di Bank Indonesia. Hal ini berarti Bank Indonesia hanya sebagai pemegang rekening pemerintah dan tidak akan mengeluarkan dana, jika pemerintah tidak memiliki dana di rekeningnya (Maryatmo, 2004). Selain itu, Bank Indonesia juga mulai menempuh langkah-langkah untuk semakin meningkatkan tingkat independensi, transparansi, dan akuntabilitas. Hal ini dapat dilihat dengan penerapan kerangka kerja kebijakan moneter berdasarkan suatu kerangka yang dikenal dalam literature ekonomi dan praktek di bank-bank sentral lain dengan sebutan Inflation Targetting Framework (ITF). Prinsip dasar dari ITF adalah sasaran akhir dari kebijakan moneter diutamakan untuk mencapai dan memlihara laju inflasi yang rendah dan stabil. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan pokok yaitu laju inflasi yang tinggi menimbulkan biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat dan kebijakan

6 moneter jangka menengah-panjang hanya berpengaruh pada inflasi dan bukan pada pertumbuhan ekonomi (Warjiyo, 2004). Hal ini sesuai dengan pendapat Friedman dalam Mishkin (2001) yang menyatakan bahwa pergerakan ke atas pada tingkat harga adalah sebuah fenomena moneter yang hanya akan terjadi apabila pergeseran tersebut adalah sebuah proses yang berkelanjutan, sehingga inflasi merupakan fenomena moneter dan sumber dari segala inflasi adalah pertumbuhan money supply yang tinggi. Agar sasaran akhir utama ITF yaitu tingkat inflasi yang rendah dan stabil dapat diterapkan, maka ITF memiliki beberapa syarat yang salah satunya adalah tidak adanya dominasi sektor fiskal (fiscal dominance). Hal tersebut berarti Bank Indonesia harus dilindungi undang-undang dan dibebaskan dari segala pengaruh atau kewajiban untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Ekspansi moneter untuk pembiayaan pengeluaran fiskal telah terbukti secara nyata berdampak pada tidak terkendalinya uang beredar dan memperlemah efektifitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi dan mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan (Warjiyo, 2004). Menurut Lozano (2008), hubungan antara defisit anggaran, pertumbuhan uang, dan inflasi selalu menjadi isu penting dalam literatur ekonomi moneter di dunia. Beberapa literatur telah mencoba untuk melihat kemungkinan hubungan sebab-akibat antara pembiayaan defisit anggaran dan tingkat harga secara umum. Secara teori, paling tidak ada empat pandangan yang berbeda untuk melihat hubungan ketiga variabel tersebut. Pertama, pandangan kaum Monetaris Ortodoks dengan dasar teori kuantitas uang menjelaskan bahwa bila terjadi perubahan pada

7 kuantitas uang secara nominal akan menyebabkan perubahan yang sama pada tingkat harga dan perubahan kuantitas uang bisa disebabkan karena penciptaan uang (money creation) yang digunakan untuk membiayai defisit anggaran. Kedua, The Fiscal Theory of Price Level (FTPL) atau yang dikenal sebagai teori kuantitas utang pemerintah, menjelaskan dimana tingkat harga bisa dipengaruhi oleh aksi kebijakan fiskal sehingga defisit anggaran merupakan salah satu faktor perhitungan inflasi dalam jangka panjang dengan pertumbuhan uang yang tidak berperan dalam sistem tersebut. Ketiga, pandangan kaum Keynesian dimana berkesimpulan inflasi yang tinggi tidak disebabkan oleh kebijakan fiskal saja tetapi banyak faktor yang lain dan lebih memfokuskan pada efek defisit anggaran yang temporer pada tingkat inflasi dan bukan seperti inflasi pada umunya dimana terjadi peningkatan tingkat harga secara terus-menerus. Pandangan yang terakhir adalah pandangan kaum Ricardian Equivalence (RE) dimana defisit anggaran pemerintah bersifat netral atau tidak akan berpengaruh pada perekonomian (neutrality preposition). Oleh karena dampak defisit anggaran dapat mempengaruhi variabel moneter berupa pertumbuhan uang dan tingkat inflasi, maka penelitian tentang hubungan defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi menarik untuk diteliti. Walaupun kerangka kerja Inflation Targetting (kebijakan moneter) sudah diterapkan di Indonesia, bukan tidak mungkin pengaruh defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) tetap dapat mempengaruhi jumlah uang beredar dan tingkat inflasi, antara lain seperti adanya jangka waktu (lag of time) antara

8 pengeluaran dan penerimaan pemerintah, sumber pendanaan (utang domestik maupun luar negeri), dan perubahan permintaan agregat. 1.2. Perumusan Masalah Defisit anggaran yang besar dan terjadi secara terus-menerus dapat menjadi akar dari permasalahan makroekonomi seperti hyperinflation, ketergantungan terhadap utang luar negeri, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Apabila ketidakseimbangan makroekonomi terjadi maka akan membahayakan bagi kelanjutan perekonomian. Fakta di Indonesia, sebelum diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999, Indonesia telah mengalami hyperinflation karena pencetakan uang (money creation) secara berlebihan oleh Bank Indonesia untuk membiayai defisit anggaran pemerintah akibat kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif. Namun setelah diberlakukan, kerangka kerja Inflation Targetting (kebijakan moneter) oleh Bank Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa era fiscal dominance sudah tidak akan terjadi lagi di Indonesia. Perubahan institusional tersebut secara empiris tidak menghalangi kemungkinan adanya pengaruh defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) terhadap jumlah uang beredar maupun variabel moneter (inflasi). Pengaruh tersebut dimungkinkan misalnya saja karena adanya jangka waktu antara pengeluaran dan penerimaan pemerintah, sumber pendanaan (utang domestik maupun luar negeri), dan perubahan permintaan agregat.

9 Permasalahan yang dirumuskan secara spesifik dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hubungan jangka panjang inflasi, pertumbuhan uang dan defisit anggaran di Indonesia? Apakah defisit anggaran pemerintah (kebijakan fiskal ekspansif) berpengaruh terhadap variabel moneter yaitu pertumbuhan uang dan inflasi di Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini secara rinci adalah mengidentifikasi persamaan jangka panjang inflasi, pertumbuhan uang, dan defisit anggaran. Menganalisis dan mengetahui apakah defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) mempengaruhi pertumbuhan uang dan inflasi serta teori yang mendasarinya. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai dampak defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) terhadap variabel moneter yaitu pertumbuhan uang dan inflasi di Indonesia. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berwenang sebagai referensi untuk harmonisasi dan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pembacanya dan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut. Bagi penulis sendiri, penelitian ini merupakan wadah pembelajaran untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor.