BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada hari Jum at, tanggal 25 November

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang mencakup tiga segmen

BAB I PENDAHULUAN. Pelajaran Fisika merupakan salah satu bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan berpikir kritis dan kreatif untuk memecahkan masalah dalam

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat penting bagi siswa. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

BAB I PENDAHULUAN. bahasan fisika kelas VII B semester ganjil di salah satu SMPN di Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Atamik B, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan implementasi

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewi Elyani Nurjannah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan dari

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. Biologi merupakan salah satu bidang IPA yang menyediakan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

UNESA Journal of Chemical Education ISSN: Vol. 4, No. 2, pp , May 2015

I. PENDAHULUAN. SMA Negeri 12 Bandar Lampung terletak di jalan H. Endro Suratmin

BAB I PENDAHULUAN. belajar untuk mengamati, menentukan subkompetensi, menggunakan alat dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam (IPA) yang terdiri

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian mengenai penerapan model pembelajaran Discovery-

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak menyenangkan, duduk berjam-jam dengan mencurahkan perhatian

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 1. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD merupakan model pembelajaran

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu mata pelajaran sains yang diberikan pada jenjang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan aspek penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman peneliti mengajar IPA di MTs Negeri Jeketro,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sains diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desy Mulyani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. siswa (membaca, menulis, ceramah dan mengerjakan soal). Menurut Komala

BAB I PENDAHULUAN. 2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama dengan orang lain

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor penunjang yang sangat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengamatan penulis selama melakukan studi lapangan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan mata pelajaran fisika pada jenjang Sekolah Menengah Atas. (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA) berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Muhammad Gilang Ramadhan,2013

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan permasalahan yang akan dihadapinya (Syah, 2006: 1). Pentingnya

JIPFRI: Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika dan Riset Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kurikulum sains dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menjadi

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, yaitu saling pengaruh antara pendidik dan peserta didik. Pendidikan

I. PENDAHULUAN. tugas dan kewajiban guru. Oleh karena itu, seorang guru memerlukan strategi

BAB III METODE PENELITIAN. penjelasan tentang istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian. Penjelasan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Elly Hafsah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuliani Susilawati,2013

I. PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di sekolah saat ini menuntut para guru harus selalu. kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan melalui

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

BAB I PENDAHULUAN. tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan untuk mencapai

BAB I PENDAHULUAN. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut kemudian diatur

UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN NHT (Numbered Heads Together) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia tersebut. Upaya peningkatan kualitas manusia harus

I. PENDAHULUAN. Mata pelajaran Biologi memiliki peran penting dalam peningkatan mutu

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran siswa dapat memahami konsep yang dipelajarinya. mengingat dan membuat lebih mudah dalam mengerjakan soal-soal

BAB III METODE PENELITIAN. Terkait dengan keperluan penelitian yaitu untuk melihat peningkatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hermansyah, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

I. PENDAHULUAN. hasil belajar siswa disekolah. Kurikulum yang digunakan saat ini adalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penguasaan konsep siswa terhadap materi fluida statis diukur dengan tes

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi sarana proses belajar-mengajar untuk mencapai hasil prestasi siswa

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN FISIKA BERORIENTASI PENEMUAN TERHAD AP PRESTASI BELAJAR FISIKA SISWA SMP KELAS VIII PAD A POKOK BAHASAN HUKUM NEWTON

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. (Langeveld, dalam Hasbullah, 2009: 2). Menurut Undang-Undang Republik. Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI TULISAN DAN PENGUASAAN KONSEP SISTEM EKSKRESI SISWA KELAS XI

BAB I PENDAHULUAN. melalui proses pembelajaran. Guru sangat berperan penting dalam peningkatan mutu

BAB I PENDAHULUAN. Bumi berputar pada porosnya dengan kecepatan yang konstan dan

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan salah satu cabang sains yang merupakan pengetahuan yang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan sarana dan wahana yang strategis di dalam

Isti Komariah 1, Jamzuri 2, Surantoro 3. Universitas Sebelas Maret, Surakarta,

I. PENDAHULUAN. permasalahannya dekat dengan kehidupan sehari-hari. Konsep dan prinsip

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas dan keberhasilan suatu bangsa bisa dilihat dari kualitas pendidikannya. Hal mendasar yang perlu

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. pendidikan. Proses pendidikan dipandang sebagai aktivitas yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

Daftar Isi. BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian B. Definisi Operasional C. Partisipan...

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. hidup manusia sebagai makhluk sosial. Pembelajaran kooperatif merupakan. semua mencapai hasil belajar yang tinggi.

I. PENDAHULUAN. berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan

Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT) Vol. 2 No. 1 ISSN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan alam sekitar beserta permasalahan di dalamnya. Mempelajari IPA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai bangsa yang menginginkan kemajuan. pendidikan, karena pendidikan berperan penting dalam meningkatkan potensi

BAB I PENDAHULUAN. Fisika bukan hanya penguasaan sekumpulan pengetahuan yang berupa faktafakta,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan pretest, tujuan diberikan pretest adalah untuk mengetahui pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. diperlukan penjelasan tentang istilah-istilah, berikut di bawah ini:

I. PENDAHULUAN. Kimia merupakan mata pelajaran sains yang sangat erat kaitannya dengan

BAB III METODE PENELITIAN. didik pada pembelajaran IPA. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelajaran adalah proses transfer ilmu dua arah, antara guru sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi menurut Munif Chatid (Indah,2008). Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif. Hal ini tercantum dalam Permen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41/2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan. Untuk menciptakan pembelajaran interaktif, menyenangkan dan menantang dapat dikembangkan suatu pembelajaran berkelompok sebagai upaya dalam menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada hari Jum at, tanggal 25 November 2011 pada salah satu proses pembelajaran fisika dalam pembahasan usaha dan energi di SMA Negeri Kota Bandung dengan memfokuskan pada siswa kelas XI IPA 4, diamati hasil pengolahan angket yang diperoleh berdasarkan motivasi siswa dalam belajar fisika sebesar 41,31%, termasuk dalam kategori kurang. Siswa yang setuju dalam pembelajaran fisika secara berkelompok sebanyak 68,19%, perolehan angket tersebut menunjukkan bahwa siswa lebih suka pembelajaran fisika secara berkelompok. Berdasarkan observasi, pencapaian siswa menurut taksonomi Bloom baru mencapai C 3 (menerapkan) dan belum mencapai tahap C 4 (menganalisis) yang membutuhkan

2 kemampuan berpikir kritis yang lebih. Dilihat dari dokumentasi terhadap nilai ujian tengah semester siswa, perolehan rata-rata nilai ujian siswa sebesar 55. Nilai tersebut berada di bawah nilai KKM materi yang diujikan sebesar 67. Perolehan nilai tersebut menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa masih rendah. Menurut Moh.Surya dan Nana Syaodih (Hipni,2011), prestasi belajar dapat menimbulkan perubahan aspekaspek: (1) pengamatan, adalah proses penerimaan, penafsiran dan memberi arti, dari kesimpulan yang diterimanya melalui alat indera, (2) berpikir assosiatif yang menumbuhkan proses berpikir dimana terbentuk hubungan antara perangsang dan respon, (3) inhibisi yaitu kesanggupan siswa dalam memilih tindakan yang perlu dilakukan dan tindakan yang tidak perlu dilakukan dan berinteraksi dengan lingkungan dan proses belajar. Maka prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh siswa setelah melaksanakan usaha-usaha belajar. Siswa akan memperoleh prestasi yang baik, jika kemampuan berpikir kritis siswa dalam menyikapi pelajaran fisika di kelas baik. Permen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41/2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan menyatakan bahwa proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif. Namun, partisipasi aktif dan interaktif yang dikehendaki Permen belum muncul seperti yang diharapkan dalam proses pembelajaran. Siswa belum terlihat berpartisipasi aktif dan terlibat langsung selama proses pembelajaran. Pada proses pembelajaran, siswa masih sebagai penerima materi pelajaran dan guru lebih banyak menyampaikan materi dengan metode ceramah, padahal seharusnya

3 siswa ikut berperan aktif dalam proses pembelajaran dan mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya melalui pokok bahasan yang dipelajari melalui masalah sesuai dengan Permen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41/2007. Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang mengungkapkan tujuan yang beralasan mengenai suatu keputusan mengenai sesuatu yang diyakini dan yang harus dilakukan (Ennis,1996:3). Tuntutan kurikulum saat ini yaitu siswa sebagai objek dalam pembelajaran yang aktif (student centre). Selain itu fungsi dan tujuan mata pelajaran fisika di tingkat SMA menurut Depdiknas (2006) menjelaskan bahwa mata pelajaran fisika dapat memupuk sikap ilmiahnya mencakup jujur dan objektif terhadap data, terbuka dalam menerima pendapat berdasarkan bukti-bukti tertentu, kritis terhadap pernyataan ilmiah dan dapat bekerjasama dengan orang lain. Memberikan pengalaman untuk dapat mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan, merancang dan menyusun instrumen percobaan, mengumpulkan, mengolah dan menafsirkan data, menyusun laporan serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara tertulis dan lisan. Mengembangkan kemampuan berfikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakkan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaikan masalah secara kualitatif maupun kuantitatif. Adanya mata pelajaran fisika membuat siswa bersikap jujur, objektif, bekerjasama dengan orang lain, membangun jiwa seorang peneliti, bersikap ilmiah dan dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Menurut Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Diperlukan suatu usaha

4 dalam mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi dalam berpikir kritis siswa. Selain itu proses pembelajaran yang diciptakan harus interaktif, menyenangkan dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif. Pemaparan diatas menjadi alasan perlunya dikembangkan suatu metode pembelajaran yang dapat merangsang siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi dan mengembangkan potensi berpikir kritisnya. Model Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Peran guru dalan pembelajaran investigasi kelompok adalah sebagai narasumber dan fasilitator. Tahapan model tipe investigasi kelompok siswa diantaranya (1) mengidentifikasi masalah, (2) merencanakan investigasi, (3) melaksanakan observasi, (4) menyimpulkan hasil observasi, mempresentasikan dan (5) evaluasi. Pada tahapan model pembelajaran ini siswa dapat belajar bersama, saling membantu, berdiskusi dan mengembangkan ide kelompok untuk menyelesaikan masalah tentunya dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis khususnya dalam aspek observasi. Dalam menemukan dan menyelesaikan masalah dibutuhkan pemahaman, strategi, kreativitas serta eksperimen yang berulangulang untuk mendapatkan hasil sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam aspek observasi. Dalam model pembelajaran ini dibutuhkan suatu komunikasi dan interaksi kooperatif di antara sesama teman sekelas akan mencapai hasil terbaik apabila dilakukan dalam kelompok kecil, di mana pertukaran di antara teman sekelas dan sikap-sikap kooperatif akan terus bertahan (Slavin:2010). Pada

5 tahapan model pembelajaran satu sampai empat termasuk kedalam tahapan siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis khususnya dalam aspek observasi. Menurut Bhisma Murti, berpikir kritis memerlukan upaya terus-menerus untuk menganalisis dan mengkaji keyakinan, pengetahuan yang dimiliki dan kesimpulan yang dibuat dengan menggunakan bukti-bukti yang mendukung. Pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam mengidentifikasi masalah, merencanakan investigasi, mengobservasi dan menganalisis hasil observasi berdasarkan materi yang dikaji. Dari penjelasan diatas model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok memiliki keterkaitan dengan prestasi belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa khususnya dalam aspek observasi. Berdasarkan masalah yang diuraikan pada latar belakang tersebut, maka penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Investigasi Kelompok pada Pembelajaran Fisika untuk Meningkatkan Prestasi dan Mengetahui Profil Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diperoleh rumusan masalah secara umum yaitu bagaimanakah peningkatan prestasi dan profil kemampuan berpikir kritis siswa SMA setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok dalam pembelajaran?

6 Rumusan masalah ini dapat dijabarkan secara operasional dalam pertanyaanpertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana peningkatan prestasi belajar siswa SMA setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok? 2. Bagaimana profil kemampuan berpikir kritis siswa SMA setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok? 1.3 Batasan Masalah Agar permasalahan dalam penelitian ini tidak terlalu luas, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Peningkatan prestasi belajar siswa dilihat dari nilai gain berdasarkan hasil tes prestasi belajar berupa tes kognitif yang diberikan sebelum (pretest) dan sesudah kegiatan pembelajaran (postest). 2. Profil kemampuan berpikir kritis siswa dilihat dari kemampuan berpikir kritis dalam aspek observasi yang dikembangkan oleh Robert H.Ennis, kemudian diteskan dengan menggunakan Cornell Critical Thinking Test. 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan prestasi dan profil kemampuan berpikir kritis siswa setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok. Secara rinci tujuan yang ingin dicapai: 1. Mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok.

7 2. Mengetahui profil kemampuan berpikir kritis setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok. 1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dilaksanakannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi sekolah, penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses pengembangan kualitas pembelajaran. 2. Bagi peneliti, diharapkan dapat memberikan masukan kepada peneliti lain mengenai prestasi dan profil kemampuan berpikir kritis siswa melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok. 1.6 Definisi Operasional 1. Model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif bertukar pikiran dengan sesamanya dalam memahami suatu materi pelajaran, siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil dengan struktur kemampuan yang heterogen. Pembelajaran kooperatif model investigasi kelompok adalah model pembelajaran dengan siswa belajar dalam kelompok-kelompok heterogen yang terdiri dari lima hingga enam anggota untuk menemukan atau memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Tahapan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok yang digunakkan dalam penelitian ini adalah tahapan-tahapan menurut Slavin (2010) yang meliputi: a. Mengidentifikasi topik dan mengatur siswa dalam kelompok

8 b. Merencanakan tugas yang akan dipelajari c. Melaksanakan investigasi d. Menyiapkan laporan akhir e. Mempresentasikan laporan akhir f. Evaluasi Kesesuaian aktivitas yang dilakukan guru dengan tahapan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok diukur dengan menggunakan format observasi keterlaksanaan model pembelajaran. 2. Prestasi belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dapat diamati setelah siswa menerima pengalaman belajarnya. Prestasi belajar diukur melalui tes tertulis berdasarkan skor yang diperoleh siswa dalam menjawab soal posttest dan pretest prestasi belajar siswa. Prestasi ini dapat diamati dalam kemampuan kognitif yang dikembangkan oleh Bloom dalam ranah C 1 (pengetahuan), C 2 (pemahaman), C 3 (penerapan), C 4 (analisis) yang diukur dengan menggunakan 20 soal dalam bentuk pilihan ganda. 3. Kemampuan berpikir kritis menurut Ennis adalah suatu proses berpikir yang bertujuan untuk membuat keputusan yang rasional yang diarahkan untuk memutuskan apakah meyakini atau melakukan sesuatu (Rusamsi, 2009). Robert H.Ennis menganjurkan untuk menggunakan Cornell Critical Thinking Test dalam melihat kemampuan berpikir kritis siswa. Tes ini terdiri dari dua level yaitu level X dan level Z. Level X digunakan pada siswa yang berada pada tingkat 4-14 (tingkat menengah) atau yang belum pernah melakukan tes ini, sedangkan level Z berada pada tingkat diatas 14 dan biasanya untuk para mahasiswa yang berada

9 pada tingkat perguruan tinggi. Penelitian ini menggunakan tes standar Cornell Critical Thinking Test pada level X karena siswa yang akan dijadikan sampel berada pada tingkat SMA (kelas 10-12) dan siswa belum pernah melakukan tes sebelumnya. Bagian Cornell Critical Thinking Test yang digunakan pada level X mengacu pada aspek pengamatan (observation) dengan jumlah 24 soal berpikir kritis dalam bentuk pilihan ganda (Ennis&Millman,2005).