BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana. Istilah tindak pidana yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Wetboek Van Strafrecht yang dulu dibawa oleh bangsa penjajah Belanda dan diberlakukan di Indonesia (asas konkordansi), atau sering dikenal dalam bahasa Indonesia yaitu Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang berlaku sampai sekarang di Indonesia. Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana tersebut, karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah tersebut. Namun pada sepanjang perjalanannya sampai kini belum ada keseragaman pendapat. Istilah istilah yang pernah dipergunakan dalam perundang undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah stafbaar feit adalah : 7 7 Adami Chazawi, Pembelajaran Hukum Pidana 1, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman 67 69. 17
a. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang undangan menggunakan istilah tindak pidana. b. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya Mr. R. Tresna dalam bukunya Azas azas Hukum Pidana, Prof. A. Zainal Abidin dalam bukunya Hukum Pidana dan lain sebagainya. c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin yaitu delictum. Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang undang tindak pidana. 8 Keragaman pendapat dari kalangan beberapa pakar hukum pidana masing masing memberi definisi mengenai tindak pidana, antara lain sebagai berikut : Utrecht, memakai istilah peristiwa pidana karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana. 9 Van Der Hoeven, sesungguhnya kurang beralasan jika diperhatikan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi Tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang undang yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Dalam hal ini, tepat yang dikatakan Van Hattum bahwa perbuatan dan orang yang melakukannya sama sekali tidak dapat dipisahkan. 10 halaman 7. 10 Ibid. 8 Definisi delik yang diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. 9 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, 18
Vos, Van Hamel, dan Simons menggunakan istilah delik yang mendefenisikan hampir sama bahwa delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum. 11 Moeljatno, memakai isilah perbuatan pidana, mengatakan bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 12 Komariah Emong Supardjadja, mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. 13 Indrianto Seno Adji, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. 14 Wirjono Prodjodikoro, beliau menggunakan istilah peristiwa pidana lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan 11 Ibid, halaman 8. 12 Moeljatno, Asas asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, halaman 59. 13 Mahrus Ali, Dasar dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, halaman 99. 14 Ibid. 19
manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu dalam percakapan sehari hari sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu merupakan peristiwa alam. 15 Teguh Prasetyo, beliau mengikuti pendapat Sudarto yang menggunakan istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang undang. Bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum). 16 B. Sifat Melawan Hukum 1. Pengertian Sifat Melawan Hukum Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam menentukan perbuatan dapat dipidana, pembentuk undang undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang undang akan menjadi terlampau luas. Selain itu, sifat dapat dicela kadang kadang dimasukkan dalam rumusan delik, yaitu dalam rumusan berupa culpa. 15 Teguh Prasetyo, Op. Cit., halaman 48 49. 16 Ibid, halaman 50. 20
Pompe, mengatakan bahwa untuk dapat dipidananya seseorang yang telah dituduh melakukan tindak pidana, ada ketentuan di dalam hukum acara antara lain tindak pidana yang dituduhkan atau didakwakan itu harus dibuktikan. Dan tindak pidana itu hanya dikatakan terbukti jika memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusannya. 17 Dalam kehidupan sehari hari sering terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perubahan yang dilarang oleh undang undang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang tidak menyenangkan. Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani secara benar sehingga tidak terjadi eigenricthing atau maen hakim sendiri seperti yang sering terjadi sekarang. Perbuatan eigenricthing sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan hukum karena dengan demikian proses hukum menjadi tidak dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan. Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat terakhir apabila usaha usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan. Namun, tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam hukum pidana itu 17 Ibid, halaman 68. 21
mengandung pikiran pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan. 18 Melawan hukum merupakan unsur unsur dari tiap tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, tetapi tidak semua pasal dalam KUHP mencantumkan unsur melawan hukum ini secara tertulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain : 19 a. bilamana dari rumusan undang undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit; b. perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau bertentangan dengan kaidah materiil yang berlaku baginya, oleh karena itu dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan pidana adalah onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan. 2. Sifat Melawan Hukum Formil dan Materiil Menurut doktrin hukum pidana ajaran sifat melawan hukum dikenal ada dua jenis, yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan dikatakan 18 Ibid, halaman 69. 19 Ibid, halaman 70. 22
bersifat melawan hukum, apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang undang. 20 Moeljatno mengatakan bahwa suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan undang undang. Jadi menurut pemikiran ini suatu perbuatan tidak bisa dianggap bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut tidak secara eksplisit dirumuskan dalam undang undang sebagai perbuatan pidana, sekalipun perbuatan tersebut sangat merugikan masyarakat. Ukuran untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum atau tidak adalah undang undang. Salah satu penganut ajaran sifat melawan hukum formil adalah Simons. Dia mengatakan bahwa untuk dapat dipidana maka perbuatan yang dilakukan harus dicakup oleh uraian undang undang, sesuai isi delik berdasarkan ketentuan pidana di dalam undang undang. Dalam hal terjadi demikian, maka pada umumnya tidaklah lagi tepat untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang sifat melawan hukum bilamana suatu perbuatan memenuhi rumusan delik, sehingga telah ada sifat melawan hukum. 21 Dalam ajaran sifat melawan hukum formil terkandung dua pemahaman. Pertama, dalam ajaran sifat melawan hukum formil, suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum, ketika perbuatan tersebut sudah dirumuskan dalam undang undang sebagai perbuatan yang diancam pidana. Menurut ajaran ini, perbuatan yang dianggap bersifat melawan hukum 20 Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1 A B, Fakutas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1975, halaman 62. 21 Mahrus Ali, Op. Cit., halaman 146. 23
hanyalah perbuatan perbuatan yang secara formil telah dirumuskan dalam undang undang sebagai perbuatan pidana. Kedua, hal yang dapat menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan hanyalah undang undang. Sekalipun suatu perbuatan secara materiil (nilai nilai yang hidup dalam masyarakat) tidak dianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum, dalam arti perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai nilai yang hidup dalam masyarakat, tetapi apabila secara formil dirumuskan dalam undang undang sebagai perbuatan pidana yang dilarang, maka perbuatan tersebut secara formil tetap dianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan demikian, sifat melawan hukumnya perbuatan yang telah dirumuskan dalam undang undang hanya dapat dihapuskan oleh undang undang. 22 Ajaran sifat melawan hukum materiil berpandangan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan itu tidak hanya didasarkan pada undang undang saja atau hukum tertulis saja, tetapi harus juga didasarkan pada asas asas hukum yang tidak tertulis. Menurut ajaran ini sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata nyata diatur dalam undang undang dapat hapus baik karena ketentuan undang undang maupun aturan aturan yang tidak tertulis. Oleh karena itu, melawan hukum berarti bertentangan dengan undang undang maupun hukum tidak tertulis atau nilai nilai yang hidup dalam masyarakat yaitu tata susila, nilai kepatutan, nilai moral, dan nilai agama. 22 Ibid. 24
Suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai nilai yang hidup dalam masyarakat. 23 Suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum materiil, apabila perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat. 24 Setiap perbuatan yang dianggap atau dipandang tercela oleh masyarakat merupakan perbuatan melawan hukum secara materiil. Pandangan ini sebenarnya merupakan reaksi atas pendapat yang menyatakan bahwa hukum adalah undang undang. Moeljatno mengatakan bahwa pikiran bahwa hukum adalah undang undang belum pernah dialami. Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum yang tidak tertulis. Kiranya perlu dipertegas di sini bahwa di mana peraturan peraturan hukum pidana sebagian besar telah dimuat di dalam KUHP dan perundangan undangan yang lain, maka pandangan tentang hukum dan sifat melawan hukum materiil di atas, hanya mempunyai arti dalam perkecualian perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang undang itu tidak merupakan perbuatan pidana. Biasanya itu yang dinamakan fungsi negatif dari sifat melawan hukum yang materiil. 25 Penjelasan Moeljatno tersebut mengisyaratkan bahwa di dalam ajaran sifat melawan hukum materiil terkandung dua jenis sifat melawan hukum 23 Sudarto, Op. Cit., halaman 63. 24 Muladi (Ketua Tim), Pengkajian Tentang Asas asas Pidana Indonesia dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2003, halaman 43. 25 Ibid, halaman 148. 25
materiil, yaitu sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif dan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. Ajaran melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif berpandangan, bahwa hal hal atau nilai nilai yang berada di luar undang undang hanya diakui kemungkinannya sebagai hal yang dapat menghapus atau menegatifkan melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang undang. Artinya, terhadap suatu perbuatan yang secara formil dirumuskan dalam undang undang dapat hapus atau hilang sifat melawan hukumnya karena nilai nilai yang hidup dalam masyarakat. Jadi, dalam fungsi yang menegatifkan atau menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang secara formal telah dirumuskan dalam undang undang itulah nilai nilai atau hal hal yang berada di luar undang undang diakui. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif memiliki pandangan yang berseberangan dengan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Sumber hukum materiil atau hal hal di luar undang undang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan tetap dipandang sebagai tindak pidana atau perbuatan melawan hukum walaupun menurut undang undang tidak merupakan tindak pidana. 26 Dengan pengertian yang sama dapat dikatakan bahwa perbuatan itu tidak dilarang oleh undang undang, tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dianggap keliru. 27 Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, dengan demikian mengakui hal hal yang berada di luar undang undang, 26 Barda Nawawi Arif, Pembaruhan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, halaman 28. 27 Moeljatno, Op. Cit., halaman 144. 26
yaitu nilai nilai yang hidup dalam masyarakat atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum yang positif. 3. Perbuatan Melawan Hukum Menurut KUHP Secara lebih jelas pembuat Konsep RUU KUHP Baru 1998 menegaskan dianutnya pandangan sifat melawan hukum material yang terdapat dalam Pasal 17 yang dirumuskan sebagai berikut : 28 Perbuatan yang dituduhkan haruslah merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh suatu peraturan perundang undangan dan perbuatan tersebut juga bertentangan dengan hukum. Penegasan ini juga dilanjutkan dalam Pasal 18, yaitu : Setiap tindak pidana selalu bertentangan dengan pengaturan perundang undangan atau bertentangan dengan hukum, kecuali terdapat alasan pembenar atau alasan pemaaf. Dari kata kata bertentangan dengan hukum ini, maka dapat ditafsirkan bahwa sifat melawan hukum tidak hanya berbicara rumusan undang undang yang diakui, tetapi juga nilai nilai yang berkembang dalam masyarakat juga terakomodasi. Ini tidak lain untuk menampung hukum adat yang sampai saat ini di berbagai daerah masih tetap berlaku dan kebanyakan tidak tertulis. Ajaran sifat melawan hukum materiil di Indonesia menjadi sangat penting mengingat hukum pidana yang berlaku di Indonesia bukan hanya hukum pidana yang didasarkan pada KUHP saja, tetapi juga hukum adat yang 28 Teguh Prasetyo, Op. Cit., halaman 74. 27
sampai sekarang masih tetap terpelihara. Jika hal ajaran sifat melawan hukum materiil ini tidak ditampung dalam suatu perundang undangan atau yurisprudensi maka dikhawatirkan hukum pidana adat akan mengalami kematian. C. Perbarengan KHUP mengatur perbarengan tindak pidana dalam Bab VI Pasal 63 71. 1. Concursus Idealis (Pasal 63 KUHP) Concursus idealis, yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok terberat. Namun bila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana tambahan yang paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana pokok terberat didasarkan pada urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP. 29 29 Pasal 10 KUHP tentang pidana yang terdiri atas yang pertama pidana pokok yang memuat pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda dan yang kedua pidana tambahan yang memuat pencabutan hak hak tertentu, perampasan barang barang tertentu, serta pengumuman putusan hakim. 28
Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derodat lex generalis (aturan undang undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). 2. Perbuatan Berlanjut (Pasal 64 KUHP) Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Kriteria perbuatan perbuatan itu ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut adalah a. Harus ada satu keputusan kehendak; b. Masing masing perbuatan harus sejenis; c. Tenggang waktu antara perbuatan perbuatan itu tidak terlalu lama. Pada perbuatan berlanjut, tiap tiap perbuatan yang dapat dihukum mempunyai tempat sendiri dan jangka waktu daluarsa sendiri, hal ini sesuai dengan perumusan dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP : 30 a. Jika antara beberapa perbuatan meskipun masng masing merupakan kejahatan atau pelanggaran ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda beda 30 Teguh Prasetyo, Op., cit., halaman 185. 29
akan dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. b. Begitu juga hanya dikenakan satu aturan pidana jika seseorang dinyatakan salah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang dan menggunakan barang palsu yang dirusak. c. Akan tetapi, jika orang melakukan kejahatan kejahatan tersebut dalam Pasal 364, 373, 379, dan 407 ayat (1) KUHP, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan lebih dari 24 rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana tersebut dalam Pasal 362, 372, 378, 406 KUHP. 3. Concursus Realis (Pasal 65 71 KUHP) Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan). Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu : 31 a. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu aturan pidana dengan ketentan bahwa jumlah maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam. Misal A melakukan 31 Ibid, halaman 181. 30
tiga kejahatan yang masing masing diancam pidana penjara empat tahun, lima tahun, sembilan tahun, maka yang berlaku adalah sembilan tahun ditambah sepertiga sembilan tahun menjadi duabelas tahun. b. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak. Misal A melakukan dua kejahatan yang masing masing diancam pidana sembilan bulan kurungan dan dua tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah dua tahun ditambah sepertiga dari dua tahun menjadi dua tahun delapan bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan dua tahun penjara delapan bulan kurungan. c. Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem kumulasi, yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum satu tahun empat bulan kurungan. d. Apabila concursus realis berupa kejahatan kejahatan ringan, misal Pasal 302 ayat (1) tentang penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 tentang penganiayaan ringan dan sebagainya, 31
maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara delapan bulan. e. Untuk concursus realis, baik kejahatan maupun pelanggaran yang diadili pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 KUHP yang berbunyi jika seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang terdahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan aturan dalam bab ini mengenai perkara perkara diadili pada saat yang sama. 32