BAB II LANDASAN TEORI. pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari dalam negeri yaitu dari sektor pajak.

dokumen-dokumen yang mirip
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

BAB II LANDASAN TEORI. (2006), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Joanna Junaedi (2010) dengan judul Analisis Rekonsiliasi Fiskal Atas

BAB II LANDASAN TEORI

RUGI LABA BIAYA FISKAL

A. Pengertian Laporan Keuangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI. adalah sebagai berikut, iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang

1. Pengertian Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang. Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

BAB II LANDASAN TEORI

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Soemitro, SH (Mardiasmo, 2006) adalah iuran rakyat kepada negara yang dapat

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

PAJAK PENGHASILAN UMUM. Amanita Novi Yushita, M.Si

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

Repositori STIE Ekuitas

Pajak Penghasilan (PPh) Umum

PAJAK PENGHASILAN. Saiful Rahman Yuniarto, S.Sos, MAB

BAB II LANDASAN TEORI. iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rochmat Soemitro yang dikutip oleh Mardiasmo, (2003:1) :

APLIKASI UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 2000 DAN PENGARUHNYA TERHADAP LAPORAN KEUANGAN Oleh : Evi Ekawati. Abstrak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Konsep Penghasilan Untuk Keperluan Perpajakan. diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,

BAB II LANDASAN TEORITIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 57/PUU-XII/2014 Penghitungan Pajak Penghasilan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak yang dikemukakan oleh Mardiasmo (2011). Pajak

PERPAJAKAN II. Penyajian Laporan Keuangan dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan

PAJAK PENGHASILAN. Pembagian Subjek Pajak. Subjek Pajak Dalam Negeri Subjek Pajak Luar Negeri SIAPA SUBJEK PAJAK?

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Undang-Undang PPh dan Peraturan Pelaksanaannya

3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi secara

PAJAK PENGHASILAN. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

KOMPILASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN (PPh)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam Siti Resmi (2009:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

HAKIKAT REKONSILIASI. Perbedaan timbul terkait pengakuan pendapatan dan beban di laporan laba rugi.

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Mardiasmo ( 2006 ) mendefinisikan, Pajak adalah iuran rakyat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Laporan keuangan merupakan produk yang dihasilkan dari akuntansi yang harus

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perpustakaan LAFAI

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak dapat diartikan sebagai iuran wajib yang dipungut oleh Negara dari wajib pajak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengertian Umum Tentang Pajak II.1.1 Definisi Pajak Salah satu sumber penerimaan negara yang paling potensial untuk membiayai pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari dalam negeri yaitu dari sektor pajak. Sehingga sangat diperlukan adanya pemahaman akan pengertian pajak oleh masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan taat dan patuh. Banyak ahli dalam bidang perpajakan yang mengemukakan pengertian atau definisi yang berbeda-beda mengenai pajak, namun pada dasarnya berbagai definisi tersebut mempunyai inti dan tujuan yang sama. Definisi pajak tersebut antara lain adalah sebagai berikut : Menurut Adriani dalam buku Waluyo (2008), Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarkannya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali. Yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelengarakan pemerintahan (h.2). Menurut Soemitro dalam buku Waluyo (2008), Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (h.3). Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, adalah sebagai berikut : 8

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. 4. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur. II.1.2 Fungsi Pajak dan Jenis Pajak Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, Waluyo (2008) menjelaskan terdapat adanya dua fungsi pajak yaitu sebagai berikut : 1. Fungsi Budgeter (Sumber Keuangan Negara /Fungsi Penerimaan Negara) Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain. 2. Fungsi Reguler (Fungsi Mengatur) Pajak selain berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan dana dari masyarakat, juga berfungsi untuk mengatur. Dalam hal ini, pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi dan mencapai 9

tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Contoh : dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras. Terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pengelompokkan menurut golongannya, menurut sifatnya, dan menurut lembaga pemungutnya. 1. Menurut Golongannya Menurut golongannya, pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung. a. Pajak Langsung Adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Contoh: Pajak Penghasilan. b. Pajak Tidak Langsung Adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa, perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut Sifatnya Menurut sifatnya, pajak dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu Pajak Subjektif dan Pajak Objektif. 10

a. Pajak Subjektif Adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan pada keadaan pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya. Contoh: Pajak Penghasilan. b. Pajak Objektif Adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan pada objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi subjek pajak (wajib pajak) maupun tempat tinggal. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan. 3. Menurut Lembaga Pemungutnya Menurut lembaga pemungutnya, pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu Pajak Negara (Pajak Pusat) dan Pajak Daerah. a. Pajak Negara (Pajak Pusat) Adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan. b. Pajak Daerah Adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing (h.6-12). 11

II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Waluyo (2008), dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu: official assessment system, self assessment system, dan withholding system. 1. Official Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri Official Assessment System adalah sebagai berikut : a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus. b. Wajib Pajak bersifat pasif. c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2. Self Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. 3. Withholding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak (h.17). 12

II.2 Pajak Penghasilan Sejak tahun 1984 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Dalam sejarah perkembangannya, Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilakukan perubahan pada tahun 1990 (Undang-undang No. 7 Tahun 1991), tahun 1994 (Undang-undang No. 10 Tahun 1994), tahun 2000 (Undang-undang No. 17 Tahun 2000) dan yang terakhir dilakukan perubahan pada tahun 2008 (Undang-undang No. 36 Tahun 2008) yang digunakan sebagai Dasar Hukum Pemungutan Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. II.2.1 Subjek Pajak Penghasilan Subjek Pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh Undang-undang untuk dikenakan pajak, yang meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan Bentuk Usaha Tetap. Yang menjadi Subjek Pajak menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2000 adalah: i. a. Orang Pribadi (dapat bertempat tinggal di Indonesia ataupun di luar Indonesia) b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. ii. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, 13

organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap. iii. Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: a. Tempat kedudukan manajemen; b. Cabang perusahaan; c. Kantor perwakilan; d. Gedung kantor; e. Pabrik; f. Bengkel; g. Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; h. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; i. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; j. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; k. Orang atau Badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; 14

l. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia. Bentuk Usaha Tetap ini ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri terpisah dari badan. Perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Pengenaan Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap ini mempunyai eksistensi sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan. Berdasarkan lokasi geografis, subjek pajak dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Subjek Pajak Dalam Negeri Yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri menurut pasal 2 ayat (3) Undang-undang No. 17 Tahun 2000 adalah : a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; c. Warisan yang belum terbagi sebagi satu kesatuan, menggantikan yang berhak. 2. Subjek Pajak Luar Negeri Yang dimaksud subjek pajak luar negeri menurut pasal 2 ayat (4) Undangundang No. 17 Tahun 2000 adalah : a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka 15

waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Yang tidak termasuk sebagai subjek pajak penghasilan, menurut pasal 3 Undangundang No. 17 Tahun 2000 adalah: 1. Badan perwakilan negara asing 2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut. 3. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan dengan syarat: a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut. b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota 16

4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. II.2.2 Objek Pajak Penghasilan Objek Pajak dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk menghitung pajak terutang. Berdasarkan pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2000 yang menjadi objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Dilihat dari mengalirnya (inflow) tambahan kemampuan ekonomis kepada subjek pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: 1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; 2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan; 3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta bergerak atau pun harta tidak bergerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya; 4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya. 17

Selanjutnya dilihat dari penggunaannya (outflow), penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan wajib pajak. Sesuai pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2000 yang termasuk penghasilan sebagai objek pajak dengan nama dan bentuk apa pun termasuk: a) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan; b) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan; c) Laba usaha; d) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk: - Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, atau badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; - Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota; - Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; - Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali diberikan kepada keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan langsung satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; 18

e) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; f) Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan lain karena jaminan pengembalian utang; g) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h) Royalti atau imbalan atas penggunaan hak; i) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; l) Keuntungan selisih kurs mata uang asing; m) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n) Premi asuransi; o) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak. Sesuai pasal 4 ayat (3) Undang-undang No.17 tahun 2000, terdapat penghasilan yang tidak termasuk kategori penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan, yaitu: a) 1). Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan yang diterima oleh para penerima zakat yang berhak; 2). Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial 19

atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. b) Warisan; c) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; d) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-undang Pajak Penghasilan; e) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, auransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa; f) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, dari peyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan syarat: a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b. Bagi Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima 20

persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut; g) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; h) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; i) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi; j) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha; k) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1) Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. II.2.3 Tarif Pajak Penghasilan Pungutan pajak tidak terlepas dari keadilan. Dengan keadilan dapat menciptakan keseimbangan sosial yang sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam penetapan tarif harus mendasarkan pada keadilan. Dalam perhitungan pajak yang 21

terutang digunakan tarif pajak. Tarif pajak merupakan tarif untuk menghitung besarnya pajak terutang (pajak yang harus dibayar). Besarnya tarif pajak dapat dinyatakan dalam persentase. Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang diperlukan dua unsur yaitu tarif pajak dan dasar pengenaan pajak. Berdasarkan ketentuan pasal 17 Ayat (1) Undangundang No. 17 Tahun 2000, besarnya tarif pajak penghasilan yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak Badan dalam negeri, sebagai berikut : Tabel II.1 Tarif Pajak Penghasilan untuk Orang Pribadi Dalam Negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp 25.000.000,00 5% Diatas Rp 25.000.000,00 sampai dengan Rp 50.000.000,00 10% Diatas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 100.000.000,00 15% Diatas Rp 100.000.000,00 sampai dengan Rp 200.000.000,00 25% Diatas Rp 200.000.000,00 35% Tabel II.2 Tarif Pajak Penghasilan untuk Badan Dalam Negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp 50.000.000,00 10% Diatas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 100.000.000,00 15% Diatas Rp 100.000.000,00 30% 22

Dalam penghitungan jumlah pajak yang terutang, maka penghasilan kena pajak akan dibulatkan hingga ribuan rupiah penuh sebelum dikalikan dengan tarif, sesuai dengan Pasal 17 ayat (4) Undang-undang No.17 Tahun 2000. II.3 Penghasilan dan Biaya Menurut Standar Akuntansi Keuangan dan Ketentuan Pajak Pada akuntansi komersial berbasis Standar Akuntansi Keuangan (SAK) menggunakan istilah Beban dan Pendapatan, tetapi dalam undang-undang Pajak Penghasilan menggunakan istilah Biaya dan Penghasilan. II.3.1 Pendapatan dan Beban Menurut Standar Akuntansi Keuangan II.3.1.1Pendapatan Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 23 (1994), Pendapatan adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal perusahaan selama suatu periode bila arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. II.3.1.2Beban Pengertian biaya menurut akuntansi dikenal dengan istilah beban. Menurut Suandy (2008), Beban adalah Penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal (h.76). II.3.2 Penghasilan dan Biaya Menurut Ketentuan Pajak II.3.2.1Penghasilan 23

Yang menjadi objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Penghasilan sebagai objek pajak dengan nama dan bentuk apa pun yang diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2000, dapat dilihat pada sub bab II.2.2 Objek Pajak Penghasilan. II.3.2.2Biaya Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dapat pula dibedakan menjadi: 1. Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya (deductible expenses). Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. 2. Pengeluaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-deductible expenses). Pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau tidak dapat dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak atau pengeluaran dilakukan tidak dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Oleh karena itu pengeluaran yang melampaui 24

batas kewajaran dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka pengeluaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2000 menyatakan bahwa untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk; A. Biaya pengeluaran yang lazim disebut biaya sehari-hari, yaitu: biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan; B. Penyusutan dan amortisasi Berdasarkan penjelasan pada pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-undang Pajak Penghasilan; pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Metode penyusutan yang diperbolehkan berdasarkan ketentuan ini adalah: 1) Dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus/ straight line method); atau 2) Dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun/ declining balance method) 25

Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut: Tabel II.3 Kelompok dan Tarif Penyusutan Aktiva Berwujud Kelompok Harta Masa Tarif Penyusutan Berwujud Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun I. Bukan Bangunan Kelompok I 4 Tahun 25% 50% Kelompok II 8 Tahun 12,50% 25% Kelompok III 16 Tahun 6,25% 12,50% Kelompok IV 20 Tahun 5% 10% II. Bangunan Permanen 20 Tahun 5% - Tidak Permanen 10 Tahun 10% - C. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya D. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta 1) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. 2) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. 26

E. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing Perlakuan PPh terhadap kerugian selisih mata uang asing telah diberikan penegasan dalam surat edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ.31/1997 dimana kerugian selisih kurs mata uang asing akibat fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan pembukuan yang dianut oleh wajib pajak dan dilakukan pembukuan yang dilakukan oleh wajib pajak dan dilakukan secara taat azas, apabila wajib pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan: 1) Kurs tetap, pembebanannya dilakukan pada saat terjadinya realisasi perkiraan mata uang asing tersebut. 2) Kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun. F. Biaya penelitian dan pengembangan Perlakuan perpajakan atas biaya penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh perusahaan dapat dibebankan kepada penghasilan, pembebanannya berdasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan No.769/KMK.04/1990 dibedakan menjadi 3 kelompok: 1) Harus disusutkan atau diamortisasikan, pembebanannya melalui penyusutan atau amortasasi. 2) Jika merupakan biaya sehari-hari dapat dibebankan sebagai biaya tahunan yang bersangkutan. 3) Biaya diluar butir 1) dan 2), antara lain misalnya biaya konsultan, perlakuan perpajakan sesuai dengan undang-undang akuntansi yang berlaku. 27

G. Biaya bea siswa, magang dan pelatihan Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan bea siswa, magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan. H. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: 1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2) Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. 3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; 4) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus dan; I. Biaya Entertainment, dapat dibiayakan jika dapat menunjukan daftar nominatifnya. Daftar nominatif harus berisikan: 1) Nomor urut 2) Tanggal entertainment 3) Nama dan Tempat entertainment 4) Alamat entertainment 5) Jenis entertainment 6) Jumlah (Rp) entertainment 7) Relasi usaha yang diberikan entertainment yang berisikan nama, posisi, nama perusahaan, jenis usaha 28

Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto (nondeductible expense) menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-undang No.17 Tahun 2000 adalah: a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota; c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan; d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan perkerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; 29

g. Harta yang dihibahkan bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; h. Pajak Penghasilan; i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan. II.4 Rekonsiliasi Fiskal atas Laporan Keuangan Komersial Penyesuaian laporan keuangan komersial untuk kepentingan perpajakan pada akhir tahun sudah menjadi kewajiban bagi setiap perusahaan. Penyesuaian ini muncul karena terjadinya perbedaan pengakuan atas penghasilan dan biaya pada satu periode tertentu (tahun buku) antara pengakuan penghasilan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan pengakuan penghasilan berdasarkan peraturan perundangan perpajakan. SAK hanya memberikan pedoman dalam menyusun laporan keuangan komersial dan tidak secara spesifik mengatur perlakuan akuntansi yang berkaitan dengan peraturan perundangan perpajakan. Sehingga muncullah rekonsiliasi fiskal atas laporan keuangan komersial untuk kepentingan perpajakan. 30

Adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara akuntansi komersial yang mendasarkan laba pada konsep dasar akuntansi yaitu penandingan antara pendapatan dengan biaya-biaya terkait, sedangkan dari segi fiskal tujuan utamanya adalah penerimaan Negara. Dalam penyusunan laporan keuangan fiskal, Wajib Pajak harus mengacu kepada peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial yang dibuat berdasarkan SAK harus disesuaikan atau dibuat koreksi fiskalnya terlebih dahulu sebelum menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Laporan Keuangan Komersial Koreksi Fiskal Laporan Keuangan Fiskal Akibat adanya perbedaan konsep pengakuan penghasilan dan biaya menurut akuntansi dan Undang-undang Pajak Penghasilan, akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam penentuan laba secara komersial dengan Penghasilan Kena Pajak. Perbedaan ini dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Perbedaan tetap /permanen (permanent differences) adalah perbedaan yang terjadi karena peraturan perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan perhitungan laba menurut Standar Akuntansi Keuangan tanpa ada koreksi dikemudian hari. Contohnya adalah pengakuan penghasilan yang bersifat Final; dalam akuntansi semua penghasilan diakui (tanpa mengenal istilah final atau tidak), namun dalam melakukan rekonsiliasi fiskal, penghasilan yang bersifat final tidak diakui lagi sebagai penghasilan dalam menghitung PPh Badan (Orang Pribadi) terutang. 31

2. Perbedaan waktu (temporary differences); adalah suatu perbedaan yang bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan beban antara peraturan perpajakan dengan Standar Akuntansi Keuangan. Perbedaan tersebut akan hilang setelah seluruh nilai tercatatnya dipulihkan (recovered) atau dilunasi (settled). II.5 Kompensasi Kerugian Dalam konteks Pajak Penghasilan, keuntungan yang diperoleh adalah objek Pajak Penghasilan, sebaliknya kalau terjadi kerugian, maka Wajib Pajak tidak akan terkena Pajak Penghasilan. Bahkan kerugian yang didapatkan dalam satu tahun pajak dapat digunakan untuk menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya sehingga pada tahun-tahun tersebut Pajak Penghasilannya menjadi lebih kecil atau tidak terutang sama sekali. Proses dari membawa kerugian dalam satu tahun pajak ke tahun-tahun pajak berikutnya ini dinamakan sebagai Kompensasi Kerugian (Carrying Loss). Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 menyatakan bahwa apabila penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang boleh dikurangkan didapat kerugian maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak yang berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. Kompensasi kerugian hanya diperbolehkan apabila wajib pajak menggunakan pembukuan. 32

II.6 Aktiva Pajak Tangguhan Dari perbedaan temporer antara akuntansi dan pajak akan muncul dua hal yaitu: 1. Hutang Pajak Tangguhan (Deferred Tax Liability) Hutang pajak tangguhan timbul apabila nilai aktiva menurut laporan keuangan komersial lebih besar dari nilai aktiva menurut laporan keuangan fiskal. Hal ini disebabkan karena biaya menurut fiskal lebih besar dibanding biaya menurut komersial. 2. Aktiva Pajak Tangguhan (Deferred Tax Assets) Sebaliknya, aktiva pajak tangguhan timbul apabila nilai Aktiva menurut laporan keuangan komersial lebih kecil dari nilai aktiva menurut laporan keuangan fiskal. Hal ini disebabkan karena biaya menurut fiskal lebih kecil dibanding biaya menurut komersial. Aktiva pajak tangguhan (deferred tax asset) adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan (recoverable) pada periode mendatang sebagai akibat adanya: 1) Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan, dan 2) Sisa kompensasi kerugian. 33