BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1 Anak usia sekolah di Indonesia ± 83 juta orang (

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN juta kematian/tahun. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Laporan WHO tahun 2015 menyebutkan bahwa diare masih merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi. Diare adalah penyebab kematian yang kedua pada anak balita setelah

BAB I PENDAHULUAN. Diare adalah sebagai perubahan konsistensi feses dan perubahan frekuensi

BAB I PENDAHULUAN. Konsumsi rokok meningkat secara pesat dari tahun ke tahun, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (socially and economically productive life). Status kesehatan berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. lebih dalam sehari. Dengan kata lain, diare adalah buang air besar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal, serta dapat. menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. bertambah, sedangkan insiden penyakit menular masih tinggi. Salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ini manifestasi dari infeksi system gastrointestinal yang dapat disebabkan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya lebih dari satu milyar kasus gastroenteritis atau diare. Angka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan kesehatan merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus diperhatikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Target Millenium Development Goals (MDGs) ke-7 adalah setiap negara

BAB 1 PENDAHULUAN. Perilaku adalah suatu tindakan atau perbuatan yang bisa kita amati bahkan

BAB I PENDAHULUAN. kematian bayi (AKB) masih cukup tinggi, yaitu 25 kematian per 1000

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sehat merupakan hak setiap individu agar dapat melakukan segala

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku sehat. Program PHBS telah dilaksanakan sejak tahun 1996 oleh

BAB I PENDAHULUAN. dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat. kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (DepKes RI, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur, salah satu agenda riset nasional bidang

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan suatu negara, karena merupakan generasi penerus bangsa

BAB 1 : PENDAHULUAN. tahun 2013 terjadi kenaikan jumlah kasus terinfeksi kuman TB sebesar 0,6 % pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan suatu negara, karena merupakan generasi penerus bangsa

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi 1,6%-6,3%) dan insiden diare pada anak balita

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) dalam Buletin. penyebab utama kematian pada balita adalah diare (post neonatal) 14%,

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan perhatian khusus dan perlu penanganan sejak dini. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan menjaga tingkat kesehatan, aktifitas masyarakat tidak terganggu dan dapat

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada bayi dan balita. United Nations Children's Fund (UNICEF) dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Diare adalah perubahan frekuensi dan konsistensi tinja. World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan

BAB I PENDAHULUAN. dan Kusuma, 2011). Umumnya, masa remaja sering diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. disekelilingnya khususnya bagi mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan

BAB I PENDAHULUAN. seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kualitas lingkungan dapat mempengaruhi kondisi individu dan

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang termasuk Indonesia (Depkes RI, 2007). dan balita. Di negara berkembang termasuk Indonesia anak-anak menderita

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk meningkatkan derajat kesehatan dalam rangka memperbaiki kualitas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi paling. umum di dunia dengan perkiraan sepertiga populasi

BAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh Pemerintah (UU RI No. 36 Tahun 2009 Pasal 93). (Rahmawati dkk., 2011). Anak-anak yang berusia 6-12 tahun diseluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam kebijakan Indonesia sehat 2010 ( Dinkes Makassar, 2006 )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Promosi Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB I PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku

tinggi tingkat kesehatan, maka kesegaran jasmani akan semakin baik pula. Berdasarkan Undang- Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 yang memuat

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang setinggi-tingginya. Dengan kata lain bahwa setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang mempunyai peranan besar dalam menentukan

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan beban global. terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah diare.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara demografi, lansia di Indonesia termasuk lima besar terbanyak

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan yang sehat telah diatur dalam undang-undang pokok kesehatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Salah satu indikator

NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Oleh : Januariska Dwi Yanottama Anggitasari J

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan dari orang ke orang. Mereka memiliki durasi panjang dan umumnya

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif yaitu tahun,

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

BAB 1 PENDAHULUAN. masa depan yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu

I. PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Menurut World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat

BAB I PENDAHULUAN. perubahan gaya hidup yang berkaitan dengan perilaku dan sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Gejala utama

BAB I PENDAHULUAN. bawah Pemda Kota Bandung. Promosi kesehatan Dinas Kesehatan Kota. Bandung memiliki strategi khusus dalam mengajak masyarakat untuk

BAB I PENDAHULUAN. mutu pelayanan kesehatan pada seluruh masyarakat. Menurut WHO kesehatan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat. Bayi baru lahir dan anak-anak merupakan kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara sekitar dari jumlah penduduk setiap tahunnya.gastritis

GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT PADA IBU HAMIL TRIMESTER III DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DARUL AMAN

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Pada usia balita merupakan masa perkembangan tercepat

BAB I PENDAHULUAN. Berwawasan Kesehatan, yang dilandasi paradigma sehat. Paradigma sehat adalah

BAB I PENDAHULUAN. kematian terbesar kedua di dunia setelah Human Immunodeviciency Virus

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak menular salah satunya adalah kebiasaan mengkonsumsi tembakau yaitu. dan adanya kecenderungan meningkat penggunaanya.

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat menekankan pada praktik-praktik kesehatan (Wong, 2009). Di dalam

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Penyakit diare merupakan salah satu penyebab. mortalitas dan morbiditas anak di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia yang baik. Menciptakan sumber daya

DITINGKATKAN Permenkes RI No. 3 tahun 2014 tentang STBM

BAB I PENDAHULUAN. merupakan generasi penerus bangsa. Middle childhood merupakan masa. usia tahun untuk anak laki-laki (Brown, 2005).

GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG ISPA DI PUSKESMAS DESA DAYEUH KOLOT KABUPATEN BANDUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. Hidup Bersih Sehat (PHBS), saat ini telah menjadi perhatian dunia, hal ini karena

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat. Gangguan kesehatan yang dapat terjadi pada masa anak-anak dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau diobati dengan akses yang mudah dan intervensi yang terjangkau. Kasus utama

BAB I PENDAHULUAN. STUDI ini secara garis besar memotret implementasi program LSM H2O (Human

BAB I PENDAHULUAN. perlu dijaga, ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Masa usia sekolah disebut

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) tahun 2013 diare. merupakan penyebab mortalitas kedua pada anak usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sehari-hari. Makanan atau zat gizi merupakan salah satu penentu kualitas kinerja

BAB I PENDAHULUAN. atau lendir(suraatmaja, 2007). Penyakit diare menjadi penyebab kematian

Volume 2 / Nomor 2 / November 2015 ISSN : PERILAKU MENCUCI TANGAN PADA ANAK SD NEGERI 3 GAGAK SIPAT BOYOLALI. Nur Hikmah

Transkripsi:

13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit menular seperti diare telah menyebabkan kematian lebih dari 5 juta anak di seluruh dunia (Boschi-Pinto et al., 2009), yang dimana kebanyakan terjadi di Negara Afrika dan Afrika Selatan (Wardlaw et al., 2010). Dengan angka ini pula penyakit diare berada di peringkat kedua paling mematikan bagi anak-anak di dunia. Setiap tahunnya ada 2,5 juta anak yang terjangkit diare. Dari keseluruhan penyakit yang diderita anak-anak, 16 persennya adalah penyakit diare (Wardlaw et al., 2010). Tingginya angka penyakit menular merupakan imbas dari minimnya aktifitas hygiene. Negara-negara berkembang merupakan tempat yang memiliki masalah penyakit menular yang lebih besar dibandingkan dengan di negara maju. Di kebanyakan negara berkembang tidak mengimbangi pertumbuhan penduduk dengan kepedulian kesehatannya. Hal ini menyebabkan masih ditemukan kurangnya perilaku hygiene mencuci tangan dengan sabun khususnya yang dapat mencegah penularan penyakit di negara-negara tersebut (Pengpid and Peltzer, 2012, Tumwine et al., 2002). Perilaku mencuci tangan dapat membantu mencegah terjangkitnya penyakit menular. Di sekolah, mencuci tangan dapat mencegah siswa agar terhindar dari penyakit dan meningkatkan kehadiran siswa di kelas (Nandrup-Bus, 2009). Tidak hanya di sekolah, promosi kesehatan cuci tangan pakai sabun juga dilakukan di rumah tangga. Di sebuah penelitian di Pakistan pada tahun 2002, anak yang melakukan cuci tangan pakai sabun 53% lebih rendah kemungkinan terkena diare\ (Luby et al., 2004).Tindakan sederhana dengan melakukan cuci tangan dengan sabun dapat mengurangi kematian per tahun sebesar 0,5-1,4 juta jiwa (Curtis and Cairncross, 2003). Hal ini dikarenakan dengan mencuci tangan menggunakan sabun dapat menurunkan resiko penularan dan perpindahan penyakit ke dalam tubuh sebesar 42-47%(Curtis and Cairncross, 2003). Mengingat bahwa angka kematian akibat penyakit menular mencapai 573/100.000 penduduk di dunia

14 (WHO, 2013). Namun sayang, kesadaran untuk berperilaku cuci tangan masih belum bisa dibilang baik. Angka perilaku cuci tangan dari berbagai kalangan umur masih sangat kecil, khususnya dari golongan remaja. Remaja sebagai golongan penerus diharapkan memiliki kesadaran kesehatan yang baik. Di Portugal 18,8% remaja laki-laki yang selalu mencuci tangan setelah menggunakan toilet, dan hanya 24,39% dari remaja perempuan yang melakukannya (Gomes et al., 2011). Dan sebuah studi di empat negara Asia (India, Indonesia, Myanmar, Thailand), memperlihatkan hanya ada 45,2% responden yang selalu mecuci tangan sebelum makan, dan hanya 26,5% yang mencuci tangannya setelah menggunakan toilet (Peltzer and Pengpid, 2014). Pemerintah Indonesia mewacanakan pentingnya cuci tangan yang baik dengan memasukannya ke dalam sepuluh indikator berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Cuci tangan penting dilakukan di lima waktu krisis yaitu, sebelum makan, sehabis buang air besar, sebelum menyusui, sebelum menyiapkan makan, setelah menceboki bayi, dan setelah kontak dengan hewan (Curtis et al., 2005, Kleinau and Pyle, 2004). Sosialisasi pentingnya mencuci tangan terus dilakukan sejak tahun 1996 oleh pemerintah Indonesia. Perilaku mencuci tangan yang ada di dalam PHBS terus diupayakan demi menekan angka penyakit menular yang menjadi penyebab menurunnya status kesehatan masyarakat di dalam negeri. Status kesehatan merupakan resultan dari faktor lingkungan, perilaku, genetik, dan pelayanan kesehatan (Notoatmojo, 2003). Pengaruh empat faktor tersebut dapat mempengaruhi status kesehatan individu ataupun derajat kesehatan suatu masyarakat. Di antara keempat faktor tersebut, faktor perilaku merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sukar ditanggulangi, disusul faktor lingkungan karena status kesehatan manusia dipengaruhi oleh faktor ini. Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus dengan proses: stimulus organisme (makhluk hidup/manusia) respon (Skinner, 1938, Notoatmodjo, 2010). Dengan demikian dapat dipahami bahwa perilaku/respon manusia tergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik itu dari dalam (internal) atau dari luar (eksternal). Dan perilaku kesehatan adalah suatu respon terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit

15 (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), sistem pelayanan kesehatan (sarana dan prasarana), makanan (pemenuhan nutrisi) serta lingkungannya (penyediaan air bersih, jamban sehat, rumah sehat) (Sopacua, 2011). Secara garis besar terdapat dua determinan atau faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan unsur yang melekat pada individu tersebut seperti umur, jenis kelamin, dsb. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu seperti lingkungan fisik, lingkungan sosial, dsb (Maulana et al., 2009) yang berawal dari sebuah keluarga dimana individu tersebut tinggal. Rumah tangga adalah komunitas terkecil di dalam masyarakat. Interaksi sosial berawal di dalam sebuah rumah tangga. Masing-masing anggota rumah tangga memiliki peranan dan tugas serta tanggung jawab. Kedekatan yang terbangun di dalam sebuah rumah tangga akan menimbulkan pengaruh satu sama lain. Perilaku salah seorang anggota rumah tangga bisa dengan mudah mempengaruhi perilaku anggota rumah tangga lainnya (Farkas et al., 2000). Peraturan yang dibuat dan dibiasakan di dalam rumah pun akan turut mempengaruhi perilaku anggota rumah tangga tersebut (Szabo et al., 2006). Perilaku cuci tangan di dalam rumah tangga atau keluarga perlu diperhatikan, karena infeksi atau penularan penyakit akan sangat mudah terjadi antar anggota keluarga. Ketersediaan fasilitas cuci tangan juga perlu diperhatikan. Availabilitas air bersih dan fasilitas cuci tangan akan meningkatkan awareness dan perilaku cuci tangan (Schmidt et al., 2009, Cairncross et al., 2007). Selain itu tingkat kesejahteraan ekonomi juga turut andil dalam perilaku cuci tangan benar di dalam rumah tangga (Luby et al., 2009). Perilaku cuci tangan pada rumah tangga di Indonesia bisa dilihat melalui survei yang dilakukan baik melalui pihak swasta ataupun oleh pemerintah, atau keduanya (pemerintah bekerja sama dengan swasta). Survei ini dilakukan sebagai bahan evaluasi dan monitor atas program yang sedang berjalan dan bisa dijadikan pertimbangan sebelum pengambilan keputusan kebijakan. Berdasarkan studi Basic Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006, perilaku masyarakat dalam mencuci tangan adalah (i) setelah buang air besar 12%, (ii) setelah

16 membersihkan tinja bayi dan balita 9%, (iii) sebelum makan14%, (iv) sebelum memberi makan bayi 7%, dan (v) sebelum menyiapkan makanan 6% (Kemenkes, 2008). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa angka perilaku cuci tangan masyarakat hanya sebesar 9,6%. Angka perilaku masyarakat dalam mencuci tangan pakai sabun terus meningkat dari tahun ke tahun. Hasil yang didapat dari dua periode Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2013 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang berperilaku cuci tangan dengan benar meningkat pesat (Depkes, 2014). Penduduk yang berperilaku cuci tangan yang benar dihitung berdasarkan sampel yang melakukan cuci tangan dengan sabun sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar, setelah menceboki anak/bayi, dan setelah memegang atau kontak dengan hewan. Pada tahun 2007 jumlah penduduk berperilaku cuci tangan benar penduduk 10 tahun adalah sebesar 23,2%. Provinsi dengan tingkat perilaku cuci tangan paling tinggi ada di provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 44,7% dan yang paling kecil ada di Provinsi Sumatra Barat yaitu 8,4%. Riskesdas di tahun 2013 jumlah penduduk yang sadar pentingnya berperilaku cuci tangan bertambah. Hal ini dapat dilihat dari hasil riskesdas bahwa jumlah penduduk yang berperilaku cuci tangan dengan benar berjumlah 47,0%. Bila dilihat perbandingan antara jumlah penduduk yang berperilaku cuci tangan benar dalam kurun waktu enam tahun adalah seperti pada Gambar 1. Dari Riskesdas 2007 dan 2013 dapat dilihat bahwa pada usia remaja merupakan golongan yang perilakunya lebih kecil bila dibandingkan pada usia produktif di atasnya. Pada Riskesdas 2007 angka cuci tangan usia remaja sebesar 17,2% di seluruh Indonesia, yang kemudian naik ke angka 42,8% di tahun 2013. Angka tersebut semakin meningkat sampai kepada golongan kelompok umur dewasa dan kemudian turun pada kelompok umur lansia.

17 Gambar 1. Grafik Perbandingan Persentase Jumlah Pelaku Cuci Tangan Dengan Baik Penduduk Berumur 10 Tahun Sumber Riskesdas 2013 Litbang Depkes RI, 2014 Perbedaan perilaku cuci tangan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan). Tao melihat adanya perbedaan perilaku berdasarkan elemen sosiodemografi seperti umur, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, dan status perkawinan (Tao et al., 2013). Serta penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan cenderung berperilaku cuci tangan dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di pedesaan. Faktor gender atau jenis kelamin juga turut mempengaruhi. Anderson membuktikan adanya perbedaan praktik cuci tangan antar gender (Anderson et al., 2008). Selain sosiodemografi, lingkungan fisik (ketersediaan akses air, sumber air) juga berpengaruh terhadap perilaku cuci tangan. Penduduk dengan akses air yang baik akan mencuci tangannya dibandingkan penduduk yang akses airnya kurang (Sopacua, 2011). Selain kedua faktor di atas, unsur sosioekonomi juga berpengaruh dalam perilaku cuci tangan. Masyarakat yang berpenghasilan tinggi lebih memiliki kesadaran untuk mencuci tangan setelah kontak dengan feces atau setelah menggunakan toilet. Kepemilikan fasilitas media seperti televisi atau radio pun ikut meningkatkan perilaku cuci tangan (Schmidt et al., 2009). Hal ini dimungkinkan karena promosi kesehatan seringkali melalui media-media tersebut.

18 Sehingga penduduk yang memiliki dan menggunakan media lebih mendapatkan manfaat dari promosi kesehatan dibandingkan mereka yang tidak memiliki fasilitas media di rumahnya. Mencuci tangan erat hubungannya dengan ketersdiaan air bersih sebagai media mencuci tangan. Namun sayangnya di Indonesia masih mengalami kesulitan dalam hal ini. Menurut UNICEF dan WHO memperkirakan, Indonesia adalah salah satu kelompok dari 10 negara yang hampir dua - pertiga dari populasi tidak mempunyai akses ke sumber air minum. Mereka adalah : China (108 juta), India 99 juta ), Nigeria (63 juta), Ethiopia (43 juta), Indonesia (39 juta), Republik Demokratik Kongo (37 juta), Bangladesh (26 juta), Inggris Republik Tanzania (22 juta), Kenya (16 juta) dan Pakistan (16 juta). Hal ini disebabkan oleh pembangunan yang tidak merata di seluruh penjuru Indonesia. Keadaan geografis Indonesia menjadi kendala pembangunan infrastruktur tidak merata. Terdapat perbedaan yang terlihat jelas antara angka cuci tangan di wilayah Indonesia. Bila dikelompokkan menjadi dua antara wilayah Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali didapat angka rata-rata cuci tangan pada wilayah Jawa-Bali sebesar 52,5% sedangkan di luar Jawa-Bali 47,7%. Memang menjadi masalah Indonesia sejak lama bahwa pembangunan terlalu terpusat di wilayah Jawa-Bali dan kurang memperhatikan wilayah di luar itu khususnya Indonesia bagian timur khususnya Papua. Hal ini baiknya menjadi perhatian pemerintah daerah yang mempunyai tanggung jawab untuk memajukan daerahnya terlebih sejak terbitnya UU otonomi dimana daerah dipercaya menjadi sosok yang lebih mandiri yang tidak selalu bergantung pada pusat dan APBN. Penelitian tentang cuci tangan sudah banyak dilakukan oleh para peneliti di dunia. Banyak peneltian yang menyelidiki determinan dan faktor yang lain yang menyebabkan dan mempengaruhi perilaku cuci tangan khususnya pada anak-anak. Namun, dari sekian banyak penelitian seputar cuci tangan masih jarang ditemukan penelitian yang berfokus atau melihat perilaku cuci tangan pada remaja khususnya di Indonesia. Sedangkan Indonesia memiliki target menaikkan angka cuci tangan sampai ke 70% pada 2014 ini (Kemenkes, 2011), dan hasil yang sekarang masih jauh dari angka itu. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat perilaku

19 mencuci tangan pada remaja awal di wilayah perkotaan dan determinan- determinannya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, peneliti menyusun sebuah rumusan masalah apakah determinan sosial dan lingkungan fisik berhubungan dengan perilaku cuci tangan remaja awal wilayah perkotaan di Indonesia. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui determinan sosial dan lingkungan fisik pada perilaku cuci tangan remaja awal wilayah perkotaan di Indonesia. 2. Tujuan Khusus a. Untuk melihat hubungan elemen sosiodemografi pada perilaku cuci tangan remaja awal di wilayah perkotaan di Indonesia. b. Untuk melihat hubungan elemen sosioekonomi pada perilaku cuci tangan remaja awal di wilayah perkotaan di Indonesia. c. Untuk melihat hubungan lingkungan fisik pada perilaku cuci tangan remaja awal di wilayah perkotaan di Indonesia. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Bagi Program Kesehatan Memberikan informasi dan masukan kepada pengelola program di Departemen Kesehatan RI dalam melaksanakan program pembangunan dan membuat kebijakan pembangunan serta penyehatan masyarakat di wilayahnya. 2. Manfaat Bagi Masyarakat Mengingatkan dan memotivasi masyarakat tentang pentingnya berperilaku cuci tangan dengan benar dalam kehidupan sehari-hari.

20 3. Manfaat Bagi Peneliti Sebagai tambahan pengetahuan, pengalaman dan memperkaya wawasan ilmiah serta sebagai salah satu cara untuk menerapkan ilmu dan teori di dalam kehidupan sehari-hari dan di lingkungan di sekitar peneliti. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang determinan cuci tangan sudah banyak dilakukan, antara lain: 1. Associations among handwashing indicators, wealth, and symptoms of childhood respiratory illness in urban Bangladesh oleh Stephen P. Luby and Amal K. Halder. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan karakteristik rumah tangga sebagai indikator sosioekonomi. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa status ekonomi keluarga mempunyai pengaruh pada perilaku cuci tangan dalam rumah tangga. 2. Handwashing behaviour among Chinese adults: a cross-sectional study in five province oleh S. Y. Tao. Tao melakukan penelitian terhadap penduduk berusia dewasa yang telah dibagi berdasarkan lima wilayah di Cina. Penelitian ini mencoba melihat hubungan perilaku cuci tangan yang dilakukan oleh orang dewasa 18-60 tahun dengan pengetahuan dan data sosiodemografi. Dari penelitian ini diketahui bahwa faktor sosiodemografi seperti tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan lokasi tempat tinggal mempunyai pengaruh terhadap perilaku cuci tangan. 3. Determinants of handwashing practices in Kenya: the role of media exposure, poverty and infrastructure oleh Wolf-Peter Schmidt. Penelitian ini dilakukan di Kenya dengan sampel sebanyak 800 rumah tangga dan menggunakan desain penelitian cross sectional. Schmidt memperlihatkan tentang hubungan antara pendidikan, sumber air, dan fasilitas sanitasi, serta kepemilikan barang-barang penyalur informasi (tv, radio, dll) dengan mencuci tangan menggunakan sabun.

21 4. Hygiene behaviour of adolescents in the Pasific: associations with sociodemographic, health behaviour and school environment oleh Tran D. dkk. Tran meneliti prevalensi perilaku menggosok gigi dan mencuci tangan dengan faktor sosiodemografi, perilaku hygiene, dan campur tangan sekolah pada 9013 siswa di Vanuatu, Tonga, dan Pohnpei. Pada penelitiannya Tran menemukan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, pekerjaan orang tua, dan peran sekolah pada perilaku cuci tangan pada remaja di sekolah. Penelitian ini dengan penelitian-penelitian tersebut memiliki kesamaan yaitu sama-sama meneliti tentang hubungan dan determinan perilaku cuci tangan. Yang membedakan adalah lokasi, subjek, waktu, dan beberapa variabel di dalam penelititan.