PERAKITAN VARIETAS TANAMAN BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.) BERDAYA HASIL TINGGI DENGAN SIFAT WARNA POLONG UNGU DAN KUNING Andy Soegianto 1*) dan Sri Lestari Purnamaningsih 1) 1) Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang *) Corresponding author. E-mail: a.soegianto@ub.ac.id ABSTRAK Sifat penting selain daya hasil pada tanaman buncis adalah kandungan β-karoten dan anthosianin yang dicirikan berturut-turut oleh warna kuning dan ungu. Warna polong kuning dan ungu belum dijumpai pada varietas buncis yang ditanam di Indonesia, dan hanya dijumpai pada varietas introduksi, diantaranya adalah Cherokee Sun untuk sifat polong berwarna kuning dan Purple Queen untuk sifat warna polong ungu. β-karoten dan anthosianin secara medis berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah kanker dan penyakit lainnya. Persilangan antara varietas buncis lokal Surakarta yang dikenal memiliki rata-rata daya hasil lebih tinggi dari varietas lokal lainnya dengan varietas introduksi diharapkan menghasilkan varietas baru yang merupakan gabungan keunggulan sifat lokal dan introduksi tersebut. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu melakukan persilangan antara tiga varietas lokal asal Surakarta (Gilig Ijo, Mantili, dan Gogo Kuning) dengan dua varietas introduksi asal Selandia Baru (Cherokee Sun dan Purple Queen) yang dilakukan secara resiprok; dilanjutkan dengan pengamatan populasi F 1 dan F 2 untuk mempelajari pewarisan sifat warna polong kuning dan ungu. Data pengamatan populasi F 1 dilakukan analisis heterosis, sedangkan data populasi F 2 dianalisis dengan uji kecocokan menggunakan metode Khi-Kuadrat atau Chi-Square (χ 2 ) untuk melihat besarnya nilai perbandingan data penelitian yang diperoleh dari persilangan yang telah dilakukan dengan hasil yang diharapkan berdasarkan hipotesis secara teoritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna polong pada F 1 dan F 1 resiprok hasil persilangan antara varietas introduksi Cherokee Sun (berpolong kuning) dengan varietas lokal berpolong hijau Gilig Ijo, Mantili, dan Gogo Kuning, adalah berpolong kuning. Warna polong F 1 dan F 1 resiprok keturunan persilangan Purple Queen (berpolong ungu) dengan semua varietas lokal berpolong hijau, menampilkan polong warna ungu. Hal ini menunjukkan bahwa persilangan untuk menggabungkan sifat warna polong kuning antara varietas introduksi Cherokee Sun dengan varietas lokal yang digunakan tidak menunjukkan pengaruh induk betina atau maternal effect. Demikian pula halnya persilangan antara varietas introduksi Purple Queen dengan varietas lokal Gilig Ijo, Mantili, dan Gogo Kuning tidak dipengaruhi oleh maternal effect. Nisbah warna polong kuning : hijau ataupun ungu : hijau pada populasi F 2 setelah dilakukan uji χ 2 menghasilkan nisbah 3 : 1. Dengan demikian, warna polong kuning maupun ungu dikendalikan oleh gen tunggal dominan. Kombinasi persilangan antara Cherokee Sun dengan Gilik Ijo memiliki nilai duga heterosis yang lebih baik dibandingkan kombinasi persilangan yang lain untuk sifat umur genjah. Nilai duga heterosis yang lebih besar untuk sifat daya hasil dijumpai pada kombinasi persilangan antara Cherokee Sun dengan Gogo Kuning dibandingkan dengan kombinasi persilangan yang lain. Kata kunci : Buncis, Pewarisan sifat warna polong, -karoten, Anthosianin, Persilangan 1
I. PENDAHULUAN Kebutuhan masyarakat akan buncis terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan penduduk. Data statistik produksi tanaman sayuran buncis di Indonesia periode 2009 sampai 2013 adalah 290,99; 336,49; 334,66; 322,15; dan 327,38 ton berturut-turut (BPS, 2014). Namun demikian, Indonesia masih harus mengimpor 30,91 ton buncis pada tahun 2012 guna mencukupi kebutuhan dalam negeri (Deptan, 2012). Rata-rata hasil sayuran buncis pada tahun 2009 adalah 8,52 t.ha -1, dan rata-rata hasil beberapa varietas sayuran buncis yang ditanam di Indonesia saat ini berkisar dari 16,3 sampai 27,5 t.ha -1. (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009). Data konsumsi buncis dari tahun 2008 sampai dengan 2011 relatif stabil yaitu 0,87; 0,75 ; 0,77; dan 0,71 kg/kapita/tahun (Badan Pusat Statistik, 2012). Pemuliaan tanaman merupakan suatu usaha untuk memperbaiki bentuk dan sifat tanaman sehingga diperoleh varietas baru yang mempunyai sifat lebih baik dari tetuanya dalam segi kuantitas seperti daya hasil maupun kualitas seperti kandungan gizi pada polong, ketahanan terhadap hama penyakit, dan sebagainya. Brom (2000) menyatakan bahwa tingkat konsumsi sayuran dimasa depan sangat dipengaruhi oleh faktor ketersediaan (availability), keterjangkauan harga (affordability), kenyamanan atau kepraktisan (convenience) dan keamanan produk (health). Penelitian Roininen et al. (2006), membuktikan bahwa kesegaran, rasa, kebersihan, nilai kesehatan dan absennya penggunaan pestisida juga merupakan faktor penting lainnya. Perbaikan varietas dapat dilakukan melalui penggabungan sifat-sifat genetik yang diinginkan yaitu melalui persilangan, sekaligus untuk meningkatkan dan memanfaatkan keragaman genetik, yang dilanjutkan dengan seleksi dan evaluasi terhadap daya hasil dan kualitas. Adanya keragaman (variabilitas) genetik dari karakter yang dapat diwariskan dan kemampuan memilah genotipe-genotipe unggul dalam proses seleksi sangat menentukan keberhasilan program pemuliaan tanaman. Dengan demikian, tujuan pemuliaan tanaman adalah untuk mendapatkan varietas baru dengan sifat-sifat kuantitatif maupun kualitatif keturunan yang lebih baik dari tetuanya, akan dapat tercapai apabila cukup tersedia keragaman genetik. Pewarisan sifat adalah suatu proses pemindahan sifat atau gen dari tetua kepada keturunannya. Sering dijumpai bahwa suatu individu berpenampilan relatif sama dengan tetuanya, walau tidak semua sifat diwariskan dari tetuanya tersebut. Dengan demikian, pewarisan warna polong pada buncis untuk mewariskan kandungan anthosianin tinggi dari buncis varietas introduksi asal Selandia Baru yaitu varietas Purple Queen, serta kandungan β-karoten tinggi dari varietas Cherokee Sun kepada beberapa buncis varietas lokal asal Surakarta (Mantili, Gilik Ijo, dan Gogo Kuning) yang mempunyai karakter daya hasil tinggi dan adaptif, diamati pada keturunan F 1 dan F 2 nya. Dalam setiap program pemuliaan tanaman, evaluasi dan seleksi merupakan kegiatan utama yang harus dilakukan setelah diperoleh keragaman genetik tinggi. Keragaman genetik yang tinggi adalah dijumpai pada populasi bersegregasi, yaitu pada populasi F 2 ketika tetua persilangannya adalah galur homosigot. II. TINJAUAN PUSTAKA Buncis (P. vulgaris L.) sebagai tanaman yang sifat reproduksinya adalah menyerbuk sendiri, mempunyai ciri populasi yang homosigot-homogen. Tanaman ini bersifat diploid 2n = 2x = 22 (Cheng dan Basset, 1981). Penyebaran tanaman buncis diduga berasal dari benua Amerika dengan dua pusat asal-usul yaitu Andean dan Mesoamerika (Hornakova et al., 2003). Buncis yang ditanam di Indonesia merupakan hasil introduksi dari kurang lebih 100 kultivar yang berasal dari Hawai, Belanda dan 2
Australia. Sentra awal penanaman buncis di Indonesia ada di Kotabatu (Bogor), Pengalengan, Lembang (Bandung), dan Cipanas (Cianjur) (Fachruddin, 2000). Berbagai metode pemuliaan tanaman dapat dilakukan pada tanaman menyerbuk sendiri. Penyerbukan sendiri pada tanaman akan memunculkan galur-galur. Galur yang terbentuk pada dasarnya adalah kelompok populasi yang secara genetik berbeda, dengan keragaman dalam galur adalah sempit atau seragam sedangkan ragam antar galur adalah besar. Penerapan atau pemilihan suatu metode pemuliaan untuk suatu komoditas tanaman tertentu memerlukan pengetahuan dasar yang cukup karena banyak faktor atau hal yang perlu diketahui. Salah satu faktor penentu keberhasilan pemuliaan tanaman adalah tersedianya keragaman genetik. Keragaman genetik tanaman dapat diupayakan diantaranya adalah melalui cara introduksi, hibridisasi, dan mutasi. Teknik persilangan buatan (hibridisasi) dapat menyebabkan terjadinya kombinasi alel-alel yang dapat meningkatkan keragaman genetik. Penentuan tetua merupakan tahap yang sangat penting karena akan menentukan keberhasilan dari tujuan perolehan karakter yang diinginkan. Pembentukan populasi dasar buncis berpolong ungu maupun kuning dilakukan melalui persilangan antara varietas buncis lokal Surakarta yang memiliki rata-rata produksi tinggi (Gilik Ijo, Gogo Kuning dan Mantili) dengan buncis introduksi yang memiliki kandungan antosianin tinggi (Purple Queen) dan kandungan -karoten tinggi (Cherokee Sun). Seperti disebutkan di atas bahwa hibridisasi dapat meningkatkan keragaman genetik, dan dengan keragaman genetik tinggi, maka peluang untuk mendapatkan sifat-sifat unggul yang diharapkan juga semakin besar. Dari persilangan tersebut diharapkan akan diperoleh keturunan baru yang memiliki sifat unggul kombinasi tetuanya yaitu buncis berpolong ungu dan kuning dengan daya hasil tinggi melalui serangkaian prosedur pemuliaan dan seleksi yang tepat. Salah satu metode seleksi pada keturunan hasil persilangan tanaman menyerbuk sendiri adalah seleksi pedigree atau seleksi silsilah. Metode ini paling sering digunakan khususnya untuk generasi F 2. Seleksi pedigree ini membutuhkan nilai heritabilitas tinggi untuk sifat yang digunakan sebagai kriteria seleksi. Prosedur seleksi pedigree dimulai dengan melakukan persilangan sepasang tetua homosigot yang berbeda sehingga diperoleh keturunan generasi F 1 yang seragam. Penyerbukan sendiri populasi F 1 ini akan menghasilkan populasi generasi F 2 yang bersegregasi. Seleksi pedigree diterapkan mulai generasi F 2 dan dilanjutkan pada generasi-generasi berikutnya (Gambar 1). III. BAHAN DAN METODE Bahan penelitian yang digunakan adalah 5 (lima) varietas buncis (Tabel 1) yang terdiri dari 2 (dua) varietas introduksi asal Selandia Baru (Cherokee Sun, berpolong kuning, dan Purple Queen, berpolong ungu) serta 3 (tiga) varietas lokal asal Surakarta yang semuanya berpolong hijau (Gogo Kuning, Gilig Ijo, dan Mantili). Penelitian dilaksana dalam 3 (tiga) generasi tanam yaitu, generasi tetua untuk persilangan, Generasi F 1, dan generasi F 2, yaitu penanaman pada bulan Februari sampai dengan September 2012 untuk generasi tetua dan F 1, kemudian dilanjutkan penanaman generasi F 2 pada bulan Mei sampai Agustus 2013. Persilangan buatan dilakukan antara varietas introduksi dan varietas lokal serta resiproknya. Populasi tetua masing-masing terdiri dari 20 tanaman yang ditanam dengan jarak tanam 50 x 30 cm. Benih F 1 dan resiproknya diperoleh dari persilangan yang direncanakan pada populasi tetua dan ditanam sebanyak 50 individu untuk setiap populasi F 1. Sedangkan pada populasi F 2 hasil selfing generasi F 1 ditanam sebanyak 400 individu tanaman per galur dengan jarak tanam 50 x 30 cm. 3
Pengamatan dilakukan pada populasi F 1 dan F 2 untuk warna polong dan daya hasil. Uji kesesuaian warna polong untuk analisis pewarisan sifat warna polong pada populasi F 2 menggunakan metode Chi-Square (χ 2 ) dengan rumus (Stansfield, 1983) : Dimana : χ 2 = nilai Chi-Square O = Frekuensi hasil pengamatan E = Frekuensi harapan Adapun pendugaan efek heterosis dianalisis menggunakan metode high-parent dan midparents heterosis atau heterobeltiosis dan heterosis standar untuk sifat berat polong dengan rumus (Chaudary, 1984) : x 100% x 100% IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan warna polong pada populasi F 1 dan F 1 resiprok pada persilangan antara Cherokee Sun dan semua varietas lokal menunjukkan dominansi warna polong kuning dari tetua introduksi. Demikian pula pada persilangan antara Purple Queen dan semua variteas lokal serta resiproknya menampilkan warna polong ungu berasal dari tetua introduksi. Dengan demikian warna polong kuning dan ungu adalah dominan terhadap warna polong hijau dan tidak dipengaruhi oleh efek induk betina. Dengan kata lain bahwa pewarisan warna polong kuning dan ungu dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti sel. Perhitungan Chi-Square untuk analisis pewarisan sifat warna polong pada populasi F 2 memperkuat hasil yang diperoleh pada pengamatan F 1 (Tabel 2). Tiga kombinasi persilangan untuk tetua berpolong kuning dan hijau, semua populasi F 2 -nya menampilkan segregasi ratio 3 kuning : 1 hijau. Tiga kombinasi persilangan lainnya untuk tetua berpolong ungu dan hijau, maka segregasi ratio warna polong pada populasi F 2 -nya juga menunjukkan 3 ungu : 1 hijau. Crowder (1997) menyebutkan bahwa pewarisan sifat kualitatif pada umumnya dikendalikan oleh gen sederhana. Efek heterosis yang cukup tinggi (Tabel 3) teramati pada peubah umur berbunga dan berat polong, yaitu pada F 1 keturunan persilangan (Cherokee Sun x Gogo Kuning), (Purple Queen x Mantili) dan (Purple Queen x Gogo Kuning) yang menunjukkan umur berbunga yang lebih awal dibandingkan tetuanya. Sedangkan untuk peubah berat polong teramati gejala heterosis pada F 1 keturunan persilangan (Cherokee Sun x Gogo Kuning). Keragaman warna polong yang tinggi pada populasi F 2 menunjukkan terjadinya segregasi genetik pada susunan genotipe heterosigot akibat penyerbukan sendiri. Keragaman warna polong ini dapat dilihat pada gambar 2. Keragaman genetik yang luas menjamin efektivitas program seleksi, apabila nilai duga heritabilitas untuk karakter seleksi adalah tinggi pula. Sebagai contoh, populasi F 2 (Purple Queen x Gogo Kuning) memiliki nilai heritabilitas tinggi untuk umur genjah. 4
V. KESIMPULAN Pewarisan warna polong kuning dan ungu berasal dari varietas introduksi adalah bersifat dominan terhadap warna polong hijau varietas lokal dengan pola pewarisan 3 kuning atau ungu : 1 hijau, dengan gen pengendali bersifat intra nuclear chromosomal. Seleksi pedigree untuk memperoleh galur berdaya hasil tinggi dengan polong berwarna kuning atau ungu akan efektif dilakukan pada populasi F 2 karena ragam genetik dan heritbilitas untuk kedua sifat tersebut tinggi. Peluang untuk mengembangkan secara langsung keunggulan umur genjah selain daya hasil dan warna polong adalah cukup besar terutama dari persilangan antara Purple Queen dan Gogo Kuning berdasarkan nilai duga heterosisnya. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah memberikan bantuan dana penelitian Hibah Perguruan Tinggi Melalui DIPA Universitas Brawijaya Nomor : DIPA- 023.04.2.414989/2013, Tanggal 5 Desember 2012, dan berdasarkan SK Rektor Universitas Brawijaya Nomor : 153/SK/2013 tanggal 28 Maret 2013, sehingga makalah ini dapat disampaikan pada Seminar Nasional Pemuliaan yang dilaksanakan di Fakultas Pertanian, Universitas Jember pada tanggal 22 23 Oktober 2014. DAFTAR PUSTAKA Brom, F.W.A. 2000. Food, Consumer Concerns, and Trust : Food Ethnics for A Globalizing Market. J. Agric. And Environ. Ethnics 12(2): 127-139 Chaudary, R.C. 1984. Introduction to Plant Breeding. Oxford and IBH Publishing Co., New Delhi. 267p. Cheng, S.S. and M.J. Bassett, 1981. Chromosome Morphology in Common Bean (Phaseolus vulgaris) at the Diplotene Stage of Meiosis. Cytologia 46 : 675-684. Crowder, L.V. 1997. Genetika Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 449p. Fachruddin, L. 2000. Budidaya Kacang-kacangan. Kanisius. Yogyakarta. Hornakova, O., M. Zavodna, J. Kraic, and F. Debre, 2003. Diversity of Common Bean Landraces Collected in the Western and Eastern Carpatien. Czech J. genet. Plant Breed.,39(3): 73-83. Roininen K., A. Arvola, and L. Lahteenmaki. 2006. Exploring Consumer s Perceptions of Local Food with Two Different Qualitative Techniques: Laddering and Word Association. Food Quality and Preference (17): 1-2:20-30. Stansfield, W.D. 1983. Theory and Problem of Genetics. Ed ke-2. New York: McGraw Hill. 5
GAMBAR DAN TABEL Gambar 1. 6
Gambar 2. Keragaman fenotipe warna polong pada populasi F 2. Tabel 1. Deskripsi buncis varietas tetua Introduksi dan Lokal Deskripsi Cherokee Sun Purple Queen Gogo Kuning Gilik Ijo Mantili Asal-usul Introduksi Introduksi Lokal Lokal Lokal Tipe Tumbuh Tegak Merambat Tegak Merambat Merambat Warna Bunga Pink Ungu Putih Putih Putih Warna Daun Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Warna Batang Hijau Ungu Hijau Hijau Hijau Warna Polong Kuning Ungu Hijau Hijau Hijau Warna Biji Hitam Putih Kuning Putih Kuning Umur Berbunga 27,6 hst 42,2 hst 24,67 hst 34 hst 29,33 hst Awal Panen polong muda Awal Panen polong kering 35,33 hst 51,44 hst 33,67 hst 38,37 hst 40,48 hst 70,33 hst 88,35 hst 73,33 hst 78,2 hst 79,4 hst Panjang Polong 15,25 cm 19,5 cm 15,00 cm 17,33 cm 19,33 cm Jumlah Biji per Polong 5,4 8,55 5,33 10,38 10,77 Bobot per Polong 6,17 g 10,28 g 8,33 g 8,48 g 8,33 g Bobot Polong per Tanaman Jumlah Polong per Tanaman 221,00 g 608,94 g 543,33 g 810,00 g 723,33 g 28,33 68,83 51,67 131,67 73,33 Bobot 100 biji 31,27 g 35,96 g 33,47 g 31,67 g 35,63 g Panjang Biji 1,13 cm 1,22 cm 0,86cm 0,74 cm 0,87 cm Lebar biji 0,38 cm 0,43 cm 0,43 cm 0,33 cm 0,46 cm 7
Tabel 2. Perhitungan Chi-Square pada populasi F 2 untuk pewarisan sifat warna polong kuning dan ungu Per silangan O Ratio warna polong Kuning : Hijau pada populasi F 2 3 : 1 9 : 7 13 : 3 15 : 1 E E E E CS x GI 280:120 300:100 0.26 * 225:175 2.92 * 325:75 3.08 * 375:25 25.06 * CS x M 320:80 300:100 0.26 * 225:175 6.7 tn 325:75 1.03 * 375:25 9.06 tn CS x GK 320:80 300:100 0.26 * 225:175 6.7 tn 325:75 1.03 * 375:25 9.06 tn Per silangan O Ratio warna polong Ungu : Hijau pada populasi F 2 3 : 1 9 : 7 13 : 3 15 : 1 E E E E PQ x GI 320:80 300:100 0.26 * 225:175 6.7 tn 325:75 1.03 * 375:25 9.06 tn PQ x M 320:80 300:100 0.26 * 225:175 6.7 tn 325:75 1.03 * 375:25 4.26 tn PQ x GK 340:60 300:100 1.06 * 225:175 1.91 * 325:75 3.04 * 375:25 36.26 tn Keterangan : O = Frekuensi teramati; E = Frekuensi harapan; = Chi-Square; tn = tidak nyata pada taraf 5%; *) = berbeda nyata pada taraf 5% Tabel 3. Nilai duga pengaruh Heterobeltiosis (HP) dan Heterosis standar (HS) pada persilangan buncis varietas introduksi dan lokal. Persilangan Umur berbunga Bobot polong HP (%) HS (%) HP (%) HS (%) CS x GI -19.53-10.20-26.16-15.41 CS x M -9.95-7.13-13.58-1.23 CS x GK -20.13-15.26 3.94 7.07 PQ x GI 0.15 12.22-2.02 2.95 PQ x M -20.62-3.21 1.62 7.07 PQ x GK -40.87-19.71-8.19 7.05 8